DISUSUN OLEH :
GILANG DEKA HAYUNA
1808012
B. Etiologi
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan seperti: Tumor tulang (jinak atau ganas), Infeksi
seperti osteomyelitis, dan Rakhitis.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur dibagi menjadi beberapa yaitu :
a. Berdasarkan komplet atau ketidakklomplitan fraktur :
1) Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran.
2) Fraktur inkomplet : patah hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang.
b. Berdasarkan sifat fraktur :
Fraktur simple/tertutup : tidak menyebabkan robeknya kulit.
Fraktur kompleks/terbuka : merupakan fraktur dengan luka pada
kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur terbuka digradasi menjadi :
a) Grade I dengan luka bersih, panjangnya ≤ 1 cm.
b) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak.
c) Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami
kerusakan jaringan yang paling berat.
c. Berdasarkan bentuk garis patah :
1) Fraktur Greenstick : fraktur salah satu sisi tulang patah
sedang sisi lainnya membengkok.
2) Fraktur Tranversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
3) Fraktur Oblik : fraktur membentuk sudut dengan garis tengah
tulang.
4) Fraktur Spiral : fraktur memuntir seputar batang tulang.
D. Patofisiologi
Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang
tersebut. jaringan lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera.
Reaksi inflamasi yang intens terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih
dan sel mast terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran
darah ke area tersebut. fagositosis dan pembersihan sel dan jaringan mati
dimulai.
Resiko infeksi
Iskemia
Imobilisasi (traksi)
Lemak keluar ke
Kontraktur pembuluh darah
Prinsip
3) Pemberian antibiotika.
5) Stabilisasi.
6) Penutub luka.
7) Rehabilitasi.
8) Life Saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat
lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk
terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat
yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi
organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and
circulation.
9) Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang
tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui
bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi
masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu
penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum
golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah
tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas
penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas
ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,
penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
10) Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian
antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai
pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas
untuk kuman gram positif maupun negatif.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai
fraktur, harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :
a. Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
b. Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan
distal.
c. Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang
cidera maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan
dengan yang normal)
d. Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah
tindakan.
2. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
a. Darah rutin,
b. Faktor pembekuan darah,
c. Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
d. Urinalisa,
e. Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk
kliren ginjal).
3. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi
kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut.
1. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Data Subjektif
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.
2) Pengkajian Primer
Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi
dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan.
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara
lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah
memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien
berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang
tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama
intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,
leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak
sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien
antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat
berbicara atau bernafas dengan bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien
antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas
bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas
pasien terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu
pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang
belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan
nafas pasien sesuai indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,
Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
b) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika
pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah
yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest
injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien antara lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi
dan oksigenasi pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah
ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating
injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan
otot bantu pernafasan.
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling
iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk
diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada
pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan
/ atau oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
c) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling
umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan
klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan
perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi
pasien, antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bisa dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
e) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada
pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang
belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan
log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan
eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan,
tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera
dilakukan:
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada
pasien
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam
nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
3) Pengkajian Sekunder :
a) Keluhan Utama
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat
beraktivitas / mobilisasi pada daerah fraktur tersebut
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh trauma /
kecelakaan, degeneratif dan pathologis yang didahului dengan
perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan
nyeri, bengkak, kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan
kesemutan.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau
tidak sebelumnya dan ada / tidaknya klien mengalami
pembedahan perbaikan dan pernah menderita osteoporosis
sebelumnya
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis,
arthritis dan tuberkolosis atau penyakit lain yang sifatnya
menurun dan menular
b. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta
bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image)
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2. Data obyektif
a. keadaan Umum: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
c. pemeriksaan fisik :
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
10) Paru
a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
b. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
c. Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
tulang
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
3. Kerusakan Integritas jaringan dan jaringan berhubungan dengan
kerusakam jaringan
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan immobilisasi
(pemasangan traksi)
5. Ansietas berhubungan dengan adanya ancaman terhadap konsep
diri/citra diri
6. Resiko infeksi berhubungan dengan inflamasi bakteri ke daerah luka
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
tulang
Tujuan : Setekah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
nyeri dapat terkontrol dan skala nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang normal
f. Tidak mengalami gangguan tidur
Intervensi :
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
R/ mengetahui lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
R/ mengetahui tingkat nyeri yang berpengaruh terhadap
kenyamanan
c. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
R/ dukungan dapat meningkatkan manajemen nyeri
d. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
R/ agar lingkungan terkontrol tidak mempengaruhi nyeri
e. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
R/ mengurangi nyeri
f. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
R/ menurangi nyeri secara farmakologi
g. Tingkatkan istirahat
R/ meningkatnya istirahat dapat mengurangi nyeri yang
dirasakan
h. Monitor vital sign
R/ mengetahui kondisi klinis pasien
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam intake dan output
seimbang
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ
urine normal,
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c. Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik,
membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
d. Orientasi terhadap waktu dan tempat baik
e. Jumlah dan irama pernapasan dalam batas normal
f. Elektrolit, Hb, Ht dalam batas normal
g. pH urin dalam batas normal
h. Intake oral dan intravena adekuat
Intervensi :
a. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
R/ untuk mengetahui keseimbangan cairan
b. Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi
adekuat, tekanan darah ortostatik )
R/ mengetahui status hidrasi
c. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN ,
Hmt , osmolalitas urin, albumin, total protein )
R/ penunjang keadaan pasien
d. Monitor vital sign
R/ mengetahui kondisi klinis pasien
e. Kolaborasi pemberian cairan IV
R/ memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh atau mengganti
cairan yang keluar berlebih dari dalam tubuh
f. Monitor status nutrisi
R/ mengetahui status nutrisi pasien
g. Berikan cairan oral
R/ mendukung pemenuhan kebutuhan cairan dalam tubuh
h. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
R/ mendukung pemenuhan nutrisi sesuai kebutuhan
i. Pasang kateter jika perlu
R/ monitor output urin
j. Monitor intake dan urin output setiap 8 jam
R/ mengetahui keseimbangan cairan dalam tubuh
3. Kerusakan Integritas jaringan berhubungan dengan kerusakan
jaringan
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan terjadi perbaikan jaringan pada pasien dengan kriteria
hasil :
a. Temperature kulit sekitar luka dalam rentang normal
b. Hidrasi sekitar luka normal
c. Perfusi jaringan adekuat
d. Integritas kulit membaik
e. Tidak tampak nekrosis
f. Tidak ada pigmentasi yang abnormal
g. Perkiraan kulit membaik
h. Tepi luka sesuai dengan perkiraan
i. Pembentukan jaringan parut
j. Tidak terdapat edema pada luka
Intervensi :
a. Pantau karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran, dan
bau
R/ Mengetahui perkembangan karakteristik dari luka
b. Bersihkan dengan NaCl atau pembersih nontoksik
R/ Agar tidak terjadi reaksi inflamasi akibat dari cairan
pembersih luka
c. Lakukan dressing, sesuaikan dengan tipe luka
R/ Pemilihan dressing yang tepat dapat mempengaruhi keadaan
luka
d. Pertahankan teknik dressing steril saat melakukan perawatan luka
R/ Mencegah resiko infeksi pada luka
e. Inspeksi luka setiap pergantian dressing
R/ Melihat adanya tanda-tanda yang menggambarkan kondisi
luka
f. Bandingkan dan catat perubahan pada luka
R/ Mengetahui adanya perubahan pada kondisi luka
g. Pantau status tekanan darah, nadi, temperatur dan pernapasan,
jika diperlukan
R/ Mengetahui keadaan status kondisi pasien secara umum, jika
terdapat fluktuasi yang besar, agar dapat diintervensi secara tepat
h. Pantau warna, suhu dan kelembaban kulit
R/ Mengetahui adanya tanda-tanda perubahan yang terjadi pada
kulit
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan immobilisasi
(pemasangan traksi)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
klien dapat melakukan aktivitas secara bertahap.
Kriteria Hasil :
a. Klien dapat bergerak secara maksimal
b. klien dapat mempertahankan fungsi tubuh secara maksimal
c. klien dapat menambahkan kekuatan / fungsi dari pada bagian
tubuh yang berpengaruh (fraktur).
Rencana Tindakan :
a. Observasi keterbatasan gerak klien dan catat respon klien
terhadap immobilisasi.
R/ Dengan observasi dapat diketahui seberapa jauh tingkat
perubahan fisik klien (keterbatasan gerak) dan bagaimana respon
/ persepsi klien tentang gambaran dirinya.
b. Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam aktivitas dan
pertahankan stimulasi lingkungan antara lain TV, Radio dan surat
kabar.
R/ Dapat memberi kesempatan pasien untuk mengeluarkan
energi, memfokuskan perhatian, meningkatkan rangsangan
control diri pasien dan membantu dalam menurunkan isolasi
sosial.
c. Ajarkan pada klien untuk berlatih secara aktif / pasif dari latihan
POM.
R/ Dapat menambah aliran darah ke otot dan tulang melakukan
gerakan sendi dapat mencegah kontruktur / atropi.
d. Monitor tekanan darah dan catat masalah sakit kepala.
R/ Hipertensi postural adalah masalah umum yang mengurangi
bedrest lama dan memerlukan tindakan khusus.
e. Konsultasikan dangan ahli terapi fisik / spesialis, rehabilitasi.
R/ Konsultasi dengan ahli terapi / spesialis rehabilitasi dapat
menciptakan program aktivitas dan latihan individu.
5. Ansietas berhubungan dengan adanya ancaman terhadap konsep
diri/citra diri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam ansietas
berkurang/terkontrol.
Kriteria hasil :
a. Klien mampu merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi
yangmembuat stress.
b. Klien mampu mempertahankan penampilan peran.
c. Klien melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.
d. Klien melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik.
e. Tidak ada manifestasi perilaku akibat kecemasan.
Intervensi :
a. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
Rasional : memudahkan intervensi.
b. Kaji mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mengatasiansietas
di masa lalu.
Rasional : mempertahankan mekanisme koping adaftif,meningkatkan
kemampuan mengontrol ansietas.
c. Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan.
Rasional : pendekatan dan motivasi membantu pasien
untuk mengeksternalisasikan kecemasan yang dirasakan.
d. Motivasi pasien untuk memfokuskan diri pada realita yang ada saatini,
harapan-harapan yang positif terhadap terapy yang di jalani.
Rasional : alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang
dibutuhkan untuk mengurangi kecemasan.
e. Berikan penguatan yang positif untuk meneruskan aktivitas sehari-hari
meskipun dalam keadaan cemas.
Rasional : menciptakan rasa percaya dalam diri pasien bahwa
dirinyamampu mengatasi masalahnya dan memberi keyakinan pada
dirisendri yang dibuktikan dengan pengakuan orang lain atas
kemampuannya.
f. Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.
Rasional : menciptakan perasaan yang tenang dan nyaman.
g. Sediakan informasi faktual (nyata dan benar) kepada pasien dankeluarga
menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis.
Rasional : meningkatkan pengetahuan, mengurangi kecemasan.
h. Kolaborasi pemberian obat anti ansietas.
Rasional : mengurangi ansietas sesuai kebutuhan.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan inflamasi bakteri ke daerah luka
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 3x24 jam
tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil :
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal
b. Tidak ditemukan tanda-tanda Infeksi
c. Leukosit dalam batas normal
d. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
infeksi.
e. Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk
mencegah terjadinya infeksi
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda vital
R/ adanya proses infeksi akan berpengaruh terhadap peningkatan
suhu tubuh dan denyut nadi
b. Kaji tanda- tanda infeksi dan peradangan seperti demam,
kemerahan, adanya pus pada luka
R/ adanya tanda infeksi yang terdeteksi lebih dini dapat
menghindarkan proses penyebaran infeksi
c. Pertahankan tehnik aseptik pada prosedur invasif
R/ kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media
terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme
d. Kolaborasi dalam pemberian terapi antibiotika dan pemeriksaan
laboratorium
R/ penanganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis
Daftar Pustaka
Bulechek, Gloria M., dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi
Keenam Bahasa Indonesia. Elsevier
Bruner & Sudarth, 2009 Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 10. Vol 5. EGC :
Jakarta.
Elizabeth J. Corwin, 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Herlman, T. Heather, dkk. 2015. NANDA International Diagnosis Keperawatan :
Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Lemone, Priscilla. 2012. Medical- surgical nursing: critical thinking in patient
care. Jakarta: EGC
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Moorhead, S. dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi Kelima
Bahasa Indonesia. Elsevier
Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Edisi ketiga. Jakarta:
Yarsif Watampore
Smellzer et all. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.. Jakarta : EGC