Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ada tiga tipe gangguan napas saat tidur, yaitu tipe sentral, obstruksi, dan
campuran. Tipe obstruksi atau OSA adalah tipe yang paling sering dijumpai (Fibriani
et al, 2011).
Sindroma henti napas tipe obstruktif atau yang lebih dikenal dengan nama
Obstructive Sleep Apnea (OSA). Dulu dianggap sebagai suatu gangguan tidur yang
jarang terjadi. Akan tetapi, penelitian epidemiologi terbaru menunjukkan
prevalensinya sangat tinggi dalam populasi dewasa di masyarakat (Takegami et al,
2009).
OSA adalah kondisi umum dimana terjadi fase henti aliran udara di hidung dan
mulut, baik total (apnea) maupun sebagian (hipoapnea), yang berhubungan dengan
kondisi hipoksia dan pengaktifan saraf simpatis selama tidur yang berlangsung lebih
dari 10 detik dan disertai penurunan oksigen lebih dari 4%. Keadaan ini terjadi
berulang kali hingga sekitar 20 – 60 kali per jam (Fibriani, 2011). Menurut American
Academy of Sleep Medicine, (2005), kriteria diagnosis OSA adalah keluhan
mengantuk di siang hari yang tak dapat dijelaskan dengan faktor lainnya, yang
disertai lima episode atau lebih obstruksi jalan napas sewaktu tidur. Apnea-
hipoapnea index (AHI) dipakai untuk menilai derajat keparahan OSA (Gonsalves,
2004 dalam Fibriani, 2011).
OSA dialami oleh sekitar 12 juta masyarakat dewasa di Amerika (ASA, 2014).
Menurut studi berbasis populasi yang dilakukan di Amerika, Eropa, Australia, dan
Asia memperkirakan 1 dari 5 orang dewasa menderita OSA ringan (AHI ≥ 5) dan 1
dari 15 orang dewasa menderta OSA derajat sedang – berat (AHI ≥ 15) (Somers et al,
2008).
2

Dalam beberapa dekade terakhir OSA dipandang seabagai faktor potensial dalam
berbagai penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, gagal jantung, sindroma koroner
akut, aritmia (atrial fibrilasi memiliki prevalensi tinggi), penyakit serebrovaskular
seperti stroke (prevalensinya mencapai 38 – 78% di populasi umum), dan sudden
cardiac death (Chami, et al, 2008 dalam hesshelbacher, et al, 2012; Felipe, 2012;
Aaronson, 2014; Fibriani, 2011). Penatalaksanaan yang tepat terbukti memperbaiki
parameter kardiovaskular dan kualitas hidup (Fibriani, 2011).
OSA memiliki hubungan yang erat dengan beberapa faktor resiko seperti obesitas,
usia yang lebih tua, dan jenis kelamin laki – laki (Punjabi, 2009). Menurut data
statistik terakhir dari WHO tahun 2008, lebih dari 1,4 milyar orang dewasa
menderita kelebihan berat badan (overweight) dan sekitar 500 juta menderita obesitas.
Di Indonesia sendiri angka obesitas dan kelebihan berat badan mencapai 4,7%. WHO
memperkirakan di tahun 2015, sekitar 2,3 milyar orang dewasa akan menderita
kelebihan berat badan dan obesitas.
Penderita obesitas dan kelebihan berat badan memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk mendengkur dan menderita gangguan tidur (sleep apnea) (Madani, 2007).
Mendengkur merupakan salah satu dari gejala yang dialami oleh penderita OSA. Ada
dua tipe mendengkur yaitu, tipe habitual (kebiasaan) dan tipe occasional(kadang –
kadang). Prevalensi tipe habitual mencapai 3,2 – 12,1 % dan prevalensi tipe
occasional adalah 28,1 % (Schetcher, 2002).
Rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari atau sering disebut Excessive
daytime sleepiness (EDS), merupakan salah satu kondisi yang diakibatkan oleh OSA
(Leibowiz, et al, 2006), dan hal ini dialami oleh sekitar 12% dari populasi umum
(Klink, 1993). EDS adalah faktor predisposisi yang umum menyebabkan kecelakaan,
menurunkan produktivitas, gangguan neurokongnitif, dan masalah interpersonal
maupun sosial penderitanya (Cai et al, 2013).
OSA dapat memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas.oleh karena itu, sekarang
OSA dianggap sebagai masalah yang perlu ditanggapi dengan serius. Menurut
3

Commission on Sleep Disorder Research, 42 – 54 % kecelakaan berhubungan dengan


OSA. Menurut Ulfberg, (2000) dalam Takegami et al, (2009) dan Teran – Santos et
al, (1999), pasien yang mengalami OSA memiliki resiko kecelakaan 7,2 kali lebih
tinggi dibandingkan pasien tanpa OSA. Di Indonesia, Sekitar 60% kecelakaan taxi
perusahaan X di Jakarta disebabkan oleh supir taxi yang mengantuk. Kecelakaan ini
mengakibatkan banyak kerugian baik materi , kesehatan , maupun pekerjaan itu
sendiri (Wiadnya, 2010).
EDS jarang dianggap sebagai kondisi yang fatal, membuat individu yang
mengalaminya kesulitan untuk menyadarinya. Hanya sedikit dari penderita OSA
sedang dan berat yang mendapat terapi yang adekuat (Young, 1997 dalam Takegami,
et al, 2009). Tenaga kesehatan baik pasien itu sendiri sangat jarang menyadari kondisi
– kondisi tertentu yang sebenarnya merupakan faltor resiko OSA, yang akhirnya
pasien – pasien ini tidak terdiagnosa dan tidak mendapat terapi. Jika tak diterapi akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular (Young ,
1993;Young 2002 dalam Febriani, 2011;Punjabi, 2009).
OSA membutuhkan perhatian, baik dari klinisi maupun pihak yang terlibat dalam
bidang kesehatan masyarakat (Takegami et al, 2009). Polisomnografi (PSG) adalah
pemeriksaan gold standar untuk diagnosa OSA, Tapi pemeriksaan ini sangat mahal,
tidak tersedia di seluruh level pelayanan kesehatan masyarakat, memakan banyak
waktu, karena pasien harus menghabiskan waktu bermalam di klinik tidur, dan
beberapa pasien menyatakan ketidaknyamanan dalam melaksanakan pemeriksaan ini
serta tak dapat digunakan sebagai alat skrining. Oleh karena itu diperlukan tes
skrining yang simpel, dan memiliki sensivitas tinggi untuk melihat populasi yang
beresiko tinggi menderita suatu penyakit tertentu. Pemberi pelayanan primer seperti
dokter umum, harus bisa menentukan apakah pasien yang beresiko menderita OSA
memerlukan evaluasi dengan menggunakan PSG atau tidak. Berdasarkan masalah
tersebut, keputusan untuk menentukan apakah pasien perlu untuk menjalani
pemeriksaan polisomnografi harus dapat diambil secara tepat (Silva et al, 2011).
4

Kuesioner Berlin (Berlin Questionaire Scale/BQ) cukup mudah dimengerti dan


hanya membutuhkan waktu singkat, hanya beberapa menit, untuk mengisinya
(Netzer, 1999 dalam Somers et al, 2008). BQ juga memiliki reabilitas yang tinggi
dalam mendiagnosa populasi dewasa sampai tua yang beresiko tinggi menderita
OSA. BQ juga sudah divalidasi sebagai alat skrining untuk identifikasi pasien dari
komunitas yang beresiko tinggi OSA (Netzer, 1999 dalam Somers et al, 2008). BQ
dikembangkan untuk digunakan di pelayanan primer. Memiliki sensitifitas dan
spesifisitas tinggi dalam mendiagnosa pasien dengan AHI >= 5 (Netzer, 1999 dalam
Somers et al, 2008). Menurut Graciela et al (2011) BQ adalah kuesioner yang paling
akurat dari semua kuesioner yang pernah dibuat untuk menyaring (skrining) pasien
dengan SDB. Menurut penelitian peninjauan sistematik (systematic review) terbaru
oleh Abrishami et al (2010) menyatakan bahwa BQ memiliki sensitivitas (69 – 86%
dengan rata – rata 73%) tertinggi dan spesifisitas (38-95% dengan rata – rata 53%)
tertinggi untuk melihat apakah seseorang memiliki OSA atau tidak (AHI ≥5). BQ
juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas dalam mendiagnosa pasien dengan OSA
sedang atau parah.
Ephworth Sleepiness Scale (ESS) salah satu kuesioner yang digunakan untuk
mengukur tingkat EDS. Saat ini sudah sering dipakai secara luas untuk menyaring
pasien dengan OSA. Tetapi sudah banyak penelitian yang melaporkan akan
efisiensinya (Bausmer, 2010 dalam Zou, et al 2013).ESS kurang mampu
mendiagnosa OSA pada pasien yang tidak memiliki riwayat gangguan tidur (Zou, et
al, 2013). Nilai ESS juga sangat dipengaruhi oleh subjektivitas pasien tentang rasa
mengantuk, etnik, gender, dan bentuk tubuh , dan ESS sendiri tidak bisa digunakan
tanpa dukungan data klinis dari hasil pemeriksaan lain, misalnya PSG(Hesselbacher,
2012).
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran
masyarakat yang beresiko menderita OSA dengan menggunakan kuesioner Berlin dan
ESS pada masyarakat di Kecamatan Medan Perjuangan.
5

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana gambaran masyarakat yang beresiko menderita
obstructive Sleep Apnea (OSA) dari hasil skrining menggunakan Ephworth Sleepiness
Scale dan Berlin Sleep Questionaire di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran masyarakat yang beresiko menderita
obstructive Sleep Apnea (OSA) dari hasil skrining menggunakan Ephworth
Sleepiness Scale dan Berlin Sleep Questionaire di Kecamatan Medan
Perjuangan Tahun 2014.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran masyarakat yang beresiko menderita OSA
berdasarkan hasil skrining dengan menggunakan Berlin Sleep
Questionaire.
2. Untuk mengetahui gambaran masyarakat yang beresiko menderita OSA
berdasarkan hasil skrinining dengan menggunakan Ephworth Sleepiness
Scale dan Berlin Sleep Questionaire.
3. Untuk mengetahui gambaran masyarakat yang beresiko menderita OSA
berdasarkan faktor resiko seperti usia, jenis kelamin, lingkar leher, faktor
genetik dan konsumsi alkohol.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Petugas Kesehatan
Memberikan informasi tentang gambaran masyarakat yang beresiko
menderita OSA di populasi umum. Agar petugas kesehatan dapat
mengevaluasi pasien lebih dini secara tepat.
6

2. Masyarakat
Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran kepada masyarakat
tentang faktor resiko apa saja yang dapat menyebabkannya menderita
OSA dan juga mengetahui tentang akibat yang bisa disebabkan jika
seorang individu menderita OSA. Dengan demikian masyarakat lebih
peduli tentang bagaimana cara untuk mencegah penyakit tersebut.
3. Peneliti
Sebagai wadah untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam
menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) dan untuk menambah wawasan bagi
penulis tentang gambaran masyarakat di populasi umum yang beresiko
menderita OSA dari hasil skrining menggunakan Ephworth Sleepiness
Scale dan Berlin Sleep Questionaire.
4. Penelitian selanjutnya
Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk
penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai