Anda di halaman 1dari 12

CRITICAL REVIEW :

KRITIK TERHADAP PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU


KECIL DI INDONESIA
(STUDI KASUS REKLAMASI TELUK JAKARTA)

Nila Nur Ursyiatur Aini (H75214018)

Prodi Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi, UINSA Surabaya,


Jl. A Yani No. 117, Surabaya Indonesia

ABSTRAK
Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut (termasuk ZEE)
sekitar 5,8 juta km2 dan panjang pantai sekitar 95.181 km, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya alam pesisir dan laut yang sangat besar. Sumber daya pesisir merupakan modal
dasar pembangunan yang penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia pada masa
mendatang. Kota-kota di dunia cenderung berkembang di sepanjang pesisir baik di laut
maupun di sungai. Kota–kota tersebut kemudian berubah menjadi pusat pemerintahan yang
berfungsi sebagai pusat distribusi komoditas bagi kawasan di sekitarnya. Salah satu kasus
reklamasi di Indonesia yang meskipun telah selesai pelak-sanaan dan telah dimanfaatkan
oleh masyarakat tetapi sampai saat ini masih terus menjadi penimbulkan polemik adalah
reklamasi kawasan Teluk Jakarta, Proyek itu dimaksudkan selain untuk memperbaiki
kualitas lingkungan juga untuk pusat niaga dan jasa skala internasional, perumahan, dan
pariwisata. Dalam hukum positif Indonesia, istilah reklamasi di temukan pada UU Nomor:
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4739 ), pada butir 23 memberikan definisi bahwa reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut
lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Terdapat perbedaan diantara urgensi dan pandangan terhadap lingkungan hidup reklamasi
teluk Jakarta. Pada pembahasan urgensi menjelaskan bahwa reklamasi menjadi salah satu
solusi menghadapi keterbatasan lahan. Namun disisi lain terjadi perbedaan jika dilihat dari
sudut pandang lingkungan hidup, pembangunan reklamasi teluk Jakarta akan merusak
ekosistem.

Keywords: Reklamasi, Pesisir, Teluk Jakarta

1
PENDAHULUAN

Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut (termasuk ZEE)
sekitar 5,8 juta km2 dan panjang pantai sekitar 95.181 km, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya alam pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut menyediakan
sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi,
transportasi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata (Hartanto, 2011).
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesungguhnya merupakan wilayah yang memiliki
potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan, oleh karena itu dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan kawasan pesisir dan laut perlu direncanakan dengan
cermat dan sesuai dengan karakteristik wilayahnya (Elysia, 2014).

Sumber daya pesisir merupakan modal dasar pembangunan yang penting bagi
pembangunan ekonomi Indonesia pada masa mendatang. Ekosistem Pesisir dan
keanekaragaman hayatinya berperan dalam menyangga dan merespon perubahan iklim
nasional dan global terutama di pulau yang sangat kecil (< 100 ha) yang rawan tenggelam.
Dalam kondisi yang demikian, upaya pengelolaan pesisir untuk memanfaatkan sumber
dayanya secara lestari belum memadai. Pemanfaatan yang berlebih (over exploitation) telah
mengakibatkan degradasi sumber daya pesisir. Tekanan pemanfaatan sumber daya pesisir
semakin parah dengan adanya krisis ekonomi, sehingga mendorong banyak pihak bersaing
mendapatkan sumber daya yang masih tersisa dengan berbagai cara. Situasi ini
mempengaruhi kehidupan masyarakat dan menimbulkan marginalisasi masyarakat pesisir.
Permasalahan ini disebabkan banyak faktor, antara lain belum diadopsi pendekatan
Pengelolaan Pesisir terpadu (Waluyo, 2014).

Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan ·Pulau-
Pulau Kecil (UU No.27/2007 PWP-3K) menyebutkan bahwa :

 Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang
·dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
 Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya
nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati
meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lainnya;
sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan
meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa
lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air
2
yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat
di Wilayah Pesisir.

Kota-kota di dunia cenderung berkembang di sepanjang pesisir baik di laut maupun di


sungai. Kota–kota tersebut kemudian berubah menjadi pusat pemerintahan yang berfungsi
sebagai pusat distribusi komoditas bagi kawasan di sekitarnya. Demikian juga halnya kota-
kota di Indonesia, sebagian kota-kota besar berada di wilayah pesisir. Sehingga masyarakat
perkotaan di Indonesia sangat terkait dengan kawasan pesisir dan sektor kelautan dan segala
potensi dan permasalahan yang ada di dalamnya. Berkembangnya kota-kota di kawasan
pesisir berdampak terhadap keadaan di wilayah tersebut. Beberapa dampak yg ditimbulkan
antara lain seperti, peningkatan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi dan sosial,
perkembangan industri dan pariwisata, dan lain-lain sampai kepada dampak lingkungan yang
ditimbulkannya baik positif maupun negatif. Selain itu, perkembangan kawasan pesisir juga
memberikan dampak perubahan terhadap ruang dan pemanfaatannya di wilayah pesisir.
Beberapa upaya pemanfaatan yang dapat dilakukan adalah dengan konservasi, reklamasi, dan
rehabilitasi. Salah satu upaya pengelolaan dan wilayah pesisir adalah dengan melakukan
reklamasi. Reklamasi lahan adalah proses pembentukan lahan baru di pesisir atau bantaran
sungai. Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair
yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut
biasanya dimanfaatkan untuk kawasan permukiman, perindustrian, bisnis dan perto-koan,
pelabuhan udara, perkotaan, per-tanian, serta objek wisata (Ali, 2015).

Kegiatan reklamasi pantai sangat memungkinkan timbulnya dampak yang


diakibatkan. Adapun untuk menilai dampak tersebut bisa dibedakan dari tahapan yang
dilaksanakan dalam proses reklamasi, yaitu: Pertama, Tahap Pra Konstruksi, antara lain
meliputi kegiatan survei teknis dan lingkungan, pemetaan dan pembuatan pra rencana,
perizinan, pembuatan rencana detail atau teknis. Kedua, Tahap Konstruksi, kegiatan
mobilisasi tenaga kerja, pengambilan material urug, transportasi material urug, proses
pengurugan. Ketiga, Tahap Pasca Konstruksi, yaitu kegiatan demobilisasi peralatan dan juga
tenaga kerja, pematangan lahan, pemeliharaan lahan. Melihat ruang lingkup tahapan tersebut,
maka wilayah yang kemungkinan terkena dampak adalah: Pertama, wilayah pantai yang
semula merupakan ruang publik bagi masyarakat itu akan hilang atau berkurang karena akan
dimanfaatkan kegiatan privat. Dari sisi lingkungan banyak biota laut yang mati baik flora
maupun fauna karena timbunan tanah urugan sehingga mempengaruhi ekosistem yang sudah
ada. Kedua, sistem hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah dari

3
alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan daerah diluar reklamasi akan mendapat
limpahan air yang banyak sehingga kemungkinan akan terjadinya abrasi, tergerus atau
mengakibatkan terjadinya banjir atau rob karena genangan air yang banyak dan lama. Ketiga,
aspek sosialnya, kegiatan masyarakat di wilayah pantai sebagian besar adalah sebagai petani
tambak, nelayan ataupun buruh. Dengan adanya reklamasi ini akan mempengaruhi ikan yang
ada di laut, sehingga nanti akan berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang
tentunya menggantungkan hidup kepada laut. Selanjutnya adalah aspek ekologi, kondisi
ekosistem di wilayah pantai yang kaya akan keanekaragaman hayati sangat mendukung
fungsi pantai sebagai penyangga daratan. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap
perubahan sehingga apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa akan
mengakibatkan berubahnya keseimbangan ekosistem (Huda, 2013).

Salah satu kasus reklamasi di Indonesia yang meskipun telah selesai pelak-sanaan dan
telah dimanfaatkan oleh masyarakat tetapi sampai saat ini masih terus menjadi penimbulkan
polemik adalah reklamasi kawasan Teluk Jakarta, Proyek itu dimaksudkan selain untuk
memperbaiki kualitas lingkungan juga untuk pusat niaga dan jasa skala internasional,
perumahan, dan pariwisata. Teluk Jakarta adalah salah satu ekosistem wilayah pesisir di
Indonesia yang bernilai strategis secara geo-ekonomi, geopolitik, geo-kultural dan geografi.
Pertama, Secara geo-ekonomi Teluk Jakarta merupakan wilayah pesisir yang memiliki
dinamika ekonomi pesisir dan ekonomi kelautan yang tinggi dan dinamis karena di sana
berlangsung aktivitas kepelabuhanan, transportasi laut, dan kota pantai. Selain itu, pada
tataran ekonomi rakyat di kawasan Teluk Jakarta terdapat aktivitas perikanan tangkap, dan
budidaya perikanan yang dilakukan oleh nelayan, pembudidaya ikan serta aktivitas wisata
bahari di kepulauan Seribu. Kedua, Secara geo-politik dan geo-strategis, Teluk Jakarta
memiliki nilai politik karena menjadi kawasan yang menjadi jalur perdagangan internasional
untuk transportasi barang dan jasa masuk dan keluar Indonesia. Kawasan Teluk Jakarta
merupakan perairan yang dekat dengan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) I yang menjadi
jalur perdagangan internasional dari Samudera Indonesia menuju perairan Laut Jawa dan
Laut China Selatan. Ketiga, secara geokultural, teluk Jakarta menyimpan situs sejarah dan
budaya maritim bangsa Indonesia yang tidak begitu saja diabaikan keberadaannya (Karim,
2015).

4
PERTANYAAN PENELITIAN

Dari pendahuluan yang telah dijelaskan didapatkan beberapa pertanyaan penelitian yaitu :

1. Bagaimana ketentuan reklamasi teluk Jakarta dari sudut pandang peraturan yang ada ?
2. Bagaimana urgensi dari reklamasi teluk Jakarta ?
3. Bagaimana pandangan kegiatan reklamasi teluk Jakarta dari sudut pandang lingkungan
hidup ?

PEMBAHASAN

1. Ketentuan Reklamasi Teluk Jakarta dari Sudut Peraturan Yang Ada

Dalam hukum positif Indonesia, istilah reklamasi di temukan pada UU Nomor: 27


Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739 ),
pada butir 23 memberikan definisi bahwa reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan
dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Reklamasi
Pantai di Indonesia telah di lakukan sejak tahun 1979 dan terus berlangsung hingga saat ini.
Keberadaan lembaga reklamasi pantai mulai di kenal dalam ranah hukum positif Indonesia
sejak tahun 1995 dengan munculnya dua Keputusan Presiden, yaitu Keputusan Presiden No.
52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Hartawan, 2010).

Dalam bagian Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 27 Tahun


2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa “Dalam
satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas Orang dalam me-manfaatkan sumber dayanya
atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang
bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain
di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering
menim-bulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-
un-dangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis
dari Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan
berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam

5
pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terbatasnya ruang untuk partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan
bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan
kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut
belum mampu mengeliminasi faktor- faktor penyebab kerusakan dan belum memberi ke-
sempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber
daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain.” Lebih lanjut Penjelasan atas Undang-
Undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa “keunikan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat
dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu
didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu
diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan,
pengelolaan, pe-ngendalian, dan pengawasan, dengan mem-perhatikan norma- norma yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada
norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan per-undang- undangan yang ada
atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu
akan mem-berikan peran kepada Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku
kepentingan baik kepen-tingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan
internasional melalui sistem penge-lolaan wilayah terpadu. Sesuai dengan hakikat Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengem-bangan sistem Penge-lolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh
guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945” (Ali, 2015).

Dalam pengelolaan pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pelaksanaan reklamasi


pantai atau pengembangan daratan di dunia memiliki ketentuan–ketentuan yang berlaku. Di

6
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kebijakan yang mengatur mengenai reklamasi
pantai, diantara-nya :
1. Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (Peraturan Menteri PU No.
4/PRT/M/2007)
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah yang memberi
wewenang kepada daerah untuk mengelola wilayah laut dengan memanfaat-kan sumber
daya alam secara optimal.
3. Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
6. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

2. Urgensi dari Reklamasi Teluk Jakarta


Pemprov DKI Jakarta sempat menyatakan reklamasi pantai utara Jakarta menjadi
salah satu solusi menghadapi keterbatasan lahan. Reklamasi pantai diharapkan mampu
menghadirkan kawasan tempat tinggal dan industri baru (Republika, 2016). Bertolak dari
kepentingan DKI Jakarta yang dikaji sejak awal tahun 1990-an dan dibahas berulang kali.
Puncaknya terjadi dalam forum Rebirt of Jayakarta tahun 1994. Serta memperhatikan dalam
beberapa dekade terakhir, jumlah penduduk Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, terutama
Jakarta sangat meningkat. Namun, ketersediaan lahan untuk menampung jumlah pertumbuhan
penduduk ini semakin berkurang akibat cepatnya pembangunan. Mengingat kurangnya
wilayah daratan Indonesia sekalipun Indonesia berjulukan negara maritim terbesar di dunia,
berlatar 75% sedangkan daratan yang hanya 25%. Pentingnya reklamasi oleh Pemerintah DKI
Jakarta adalah dengan reklamasi diharapkan menjadi nilai tambah daerah yang kelak
diarahkan bagi pembiayaan, peningkatan dan revitalisasi Jakarta melalui perolehan subsidi
silang. Dimana subsidi tersebut dimanfaatkan guna mengatasi persoalan di daratan melalui
bentuk kewajiban dan kontribusi pengembang pulau reklaasi. Selanjutnya subsidi tersebut
digunakanuntuk pegerukan sedimen sungai dan waduk di daratan Jakarta, pembangunan
rumah susun untuk masyarakat berpeghasilan rendah, penataan kawasan kumuh,
pembangunan jalan dan jembatan serta infrastruktur pengendali banjir, termasuk pompa, pintu
air dan tanggulpatai (Kompasiana, 2016).

7
Ide reklamasi ini berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh DKI Jakarta yang
kekurangan wilayah daratan, sementara populasi penduduk terus meningkat. Untuk itulah
reklamasi ini perlu dilakukan dengan harapan wilayah daratan Jakarta akan menjadi luas
melalui rekayasa ruang tersebut.“Reklamasi adalah salah satu solusi dalam mengatasi
masalah kurangnya lahan yang kita miliki. Disamping itu, jumlah penduduk yang terus
bertambah pun sudah menjadi masalah yang harus kita pikirkan jalan keluarnya (Suara
Pembaruan, 2015).

Reklamasi memang cukup menuai sikap kontraversial sejumlah kalangan. Sekalipun


reklamasi bakal mengubah lanskap perairan Teluk Jakarta. Seperti membuat melemah dan
menurunnya sirkulasi arus tengah teluk “mecuci” perairan secara alami dari sedimen dan
cemaran. Akibat terjadinya penambahan waktu pencucian dari tujuh menjadi empat belas hari.
Padahal tanpa reklamasi pun sedimentasi dan pencemaran di Teluk Jakarta sudah parah.
Reklamasi berdampak memicu pelandaian sungai-sungai di Jakarta. Dimana muara sungai
akan mengalami nol gravitasi dan menambah potensi genangan, apalagi sebagian wilayah
daratan di Jakarta Utara berada di bawah ketinggian muka laut versi Wahana Lingkungan
hidup Indonesia/Walhi. Memang tidaklah mudah untuk melangsungkan program reklamasi ini
secara mulus. Jika harus berhadapan dengan banyak kalangan masyarakat yang cenderung
menentang adanya reklamasi terkait pengerusakan lingkungan, erosi atau yang terkesan
memarginalisasi masyarakat pesisir khususnya nelayan. Namun, sebenarnya banyak manfaat
yang dapat dipetik dari reklamasi. Reklamasi harus dilaksanakan secara hati-hati dan dengan
perencanaan yang matang pelaksanaan reklaasi harus sesuai elibatkan berbagai stakeholder,
serta menerapkan prinsip pembangunan berkelajutan dan jangka panjang yang memperhatikan
aspek sosial, ekonoi dan lingkungan. Hal ini dilakukan guna memperoleh manfaat optimal dari
pembangunan reklamasi pantai (Kompasiana, 2016).

3. Pandangan Kegiatan Reklamasi Teluk Jakarta dari Sudut Pandang Lingkungan


Hidup
Reklamasi dilakukan dengan menimbun tanah ke lokasi laut yang telah ditetapkan
sebelumnya hingga tanah tersebut muncul ke permukaan air laut. Dengan adanya proses ini,
akan terjadi peninggian muka air laut karena adanya penimbunan pada sebagian daerah di
laut. Dampak negatif yang paling mungkin terjadi adalah banjir yang akan melanda ke daerah

8
pesisir pantai dan akan menyebar ke pusat kota apabila terjadi hujan. Banjir yang terjadi ini
tentu akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup
di pesisir pantai. Aktivitas reklamasi tentunya akan menyebabkan kerusakan ekosistem laut,
mulai dari makhluk hidup yang berada di dalamnya serta terumbu karang yang menjadi
tempat tinggal sebagian besar makhluk hidup di laut. Dengan adanya kerusakan ekosistem
laut ini, lagi-lagi akan berdampak pada hilangnya mata pencaharian masyarakat pesisir.
Kerusakan ekosistem laut juga akan mempengaruhi habitat dari ikan dan bukan tidak
mungkin ikan tersebut akan menghilang dari laut yang daerahnya dikelilingi oleh pulau
reklamasi. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, para nelayan akan kehilangan mata pencaharian
mereka dan masyarakat juga akan dihadapkan dengan harga jual ikan yang semakin tinggi
(Praditasari et al, 2015).
Dengan adanya reklamasi Teluk Jakarta nantinya akan menimbulkan dampak
lingkungan hidup. Reklamasi juga akan menyebabkan pelambatan arus dari 13 sungai,
sehingga konsentrasi logam berat yang saat ini memang sudah banyak di Teluk Jakarta akan
semakin banyak. Selain itu dampak lainnya yang ditimbulkan, antara lain peninggian muka
air laut karena area yang sebelumnya berfungsi sebagai kolam telah berubah menjadi daratan.
Akibat peninggian muka air laut maka daerah pantai lainya rawan tenggelam, atau setidaknya
air asin laut naik ke daratan sehingga tanaman banyak yang mati. Biota laut seperti ikan juga
mati akibat kegiatan reklamasi dan mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan para
nelayan hingga lebih dari 50 persen. Kematian ikan tersebut dikarenakan pengaruh logam
berat dan bahan organik. Musnahnya tempat hidup hewan dan tumbuhan pantai sehingga
keseimbangan alam menjadi terganggu (Kementrian Lingkungan Hidup, 2015).

Pihak yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada


lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah. Kehancuran
itu antara lain berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya
ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain. Selain itu,
reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam
(geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara. Perubahan itu antara lain
berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut
sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air. Tak hanya persoalan lingkungan, reklamasi
berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara.
Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber

9
kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin (Ucu,
2015).

Pemanfaatan ruang kawasan pesisir jika tidak mengikuti aturan dan tidak
direncanakan secara terpadu dan berkelanjutan maka akan memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan. Oleh karena itu semua pemangku kepentingan/stakeholders dalam hal
ini masyarakat, swasta, dan pemerintah perlu dilibatkan dalam pengelolaan ruang kawasan
pesisir. Diperlukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap dampak yang akan
ditimbulkan dengan pemanfaatan tersebut. Sosialisasi kepada masyarakat dengan melibat-kan
mereka pada proses pengelolaan ruang kawasan pesisir dan kepastian hukum me-rupakan hal
yang sangat penting diperhati-kan. Sehingga masyarakat akan mempunyai rasa memiliki dan
tanggungjawab yang besar. Selain itu pemanfaatan dan pengelolaan ruang kawasan pesisir
seharusnya juga disinkronkan dengan rencana tata ruang kota yang telah ada. Sehingga
kemampuan daya dukung lahan, daya dukung sosial, dan ekologi tidak terabaikan (Ali,
2015).

KESIMPULAN

Dalam pengelolaan pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pelaksanaan reklamasi


pantai atau pengembangan daratan di dunia memiliki ketentuan–ketentuan yang berlaku. Di
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kebijakan yang mengatur mengenai reklamasi
pantai, diantara-nya :
1. Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai (Peraturan Menteri PU No.
4/PRT/M/2007)
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah yang memberi
wewenang kepada daerah untuk mengelola wilayah laut dengan memanfaat-kan sumber
daya alam secara optimal.
3. Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
6. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

10
Terdapat perbedaan diantara urgensi dan pandangan terhadap lingkungan hidup
reklamasi teluk Jakarta. Pada pembahasan urgensi menjelaskan bahwa reklamasi menjadi
salah satu solusi menghadapi keterbatasan lahan. Namun disisi lain terjadi perbedaan jika
dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup, pembangunan reklamasi teluk Jakarta akan
merusak ekosistem. Selain itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta
karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta
Utara. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola
pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (2015). Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir sebuah “Keniscayaan”? Prosiding Temu
Ilmiah IPLB , 1-8.

Elysia, V. (2014). Kajian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau. Forum Ilmiah ,
Volume 11 Nomor 3 334-343.

Hartawan, H. (2010). Status Hukum Reklamasi Pantai. Jurnal Hukum , 13-20.

Huda, M. C. (2013). Pegaturan Perizinan Reklamasi Pantai. Perspektif , Volume XVIII No. 2
Tahun 126-135.

Karim, M. (2015). Pokok - Pokok Pikiran Reklamasi Teluk Jakarta dan Pengelolaan. Bogor:
Universitas Trilogi Jakarta.

Kementrian Lingkungan Hidup. ( 2015). “Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan


tentang Proyek Reklamasi Pantura Jakarta”. Dipetik November 14, 2016, dari
http://www.menlh.go.id/pertanyaan-pertanyaan-yang-sering-diajukan-tentang-proyek-
reklamasi-pantura-jakarta/

Kompasiana. (2016, Juni 1). Kompasiana 9. Dipetik Noember 14, 2017, dari Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/nikmatjujur/reklamasi-teluk-jakarta-
penting_574eade5f37e61f2072b347e

Praditasari, A. (2016). Analisis Kebijakan Reklamasi Teluk DKI Jakarta Dari Sudut Pandag
Masyarakat dan Nelayan. Jurnal Kelautan , 3-20.

11
Suara Pembaharuan. (2016, Juli 1). Buletin. Dipetik November 14, 2017, dari Kontras:
https://www.kontras.org/buletin/indo/20160701_buletin_Basa_Basi_Reklamasi_577
65f5943610.pdf

Ucu, K. R. (2016, April 3). News. Dipetik November 14, 2017, dari Repulika:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-
nasional/16/04/03/o51v4k282-urgensi-reklamasi-pantai-utara-jakarta-dipertanyakan

Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau
Kecil.

Waluyo, A. (2014). Permodelan Pegelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Secara
Terpadu yang Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Pulau Raas Kaupaten Sumenep
Madura). Jurnal Kelautan , Volume 7, No. 2 75-85.

12

Anda mungkin juga menyukai