Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara
tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan
akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah
laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan
suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua
orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa
hidup manusia yang terakhir. Diamana seseorang mengalami kemunduran
fisik, mental dan sosial secara bertahap (Ma’rifatul, 2011).
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki dan mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diterima. Proses menua merupakan proses yang
terus menerus secara alamiah (Nugroho,2016).

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis (M.tb)yang
juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri Mycobacterium
tuberculosis dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru, yang
apabila pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi
berbahaya hingga kematian (Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI, 2016).

Menurut laporan WHO tahun 2017, ditingkat global diperkirakan 10.900.000


kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan, dan
1.400.000 juta kematian karena TB. Dari kasus TB tersebut ditemukan
1.170.000 (12%) HIV positif dengan kematian 390.000 orang. TB Resisten
Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,

1 Universitas Respati Indonesia


2

diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000
kematian/tahun.

Indonesia menduduki peringkat kedua dengan kasus TB tertinggi di seluruh


dunia. Jumlah kasus TB Indonesia (WHO, 2017), diperkirakan ada
1.020.000kasus TB baru per tahun (399 per 100.000 penduduk) dengan
100.000 kematian per tahun (41 per 100.000 penduduk). Kasus TB dengan
HIV positif diperkirakan sebanyak 78.000 kasus (10 per 100.000 penduduk,
mortalitas 26.000). Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965
adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien
TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak
10.000 kasus berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada
12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.

Standar Internasional untuk Pelayanan Tuberkulosis (International Standards


for Tuberculosis Care/ISTC) merupakan standar yang melengkapi guidline
Program Pengendalian TB yang konsisten sesuai rekomendasi WHO. Pada
sidang WHO ke-67 tahun 2014 telah ditetapkan resolusi mengenai strategi
pengendalian TB global yang dituangkan dalam 3 (tiga) pilar strategi utama
dan komponen-komponennya, yaitu integrasi layanan TB berpusat pada
pasien dan upaya pencegahan TB, kebijakan dan sistem pendukung yang
berani dan jelas, serta intensifikasi riset dan inovasi.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam Sustainable Development Goals


(SDG’s), khususnya SDG’s 03 yaitu menjamin dan mendukung
kesejahteraan bagi semua di segala usia. Tujuan dari SDG’s 03 ini berbicara
tentang membantu masyarakat untuk hidup sehat dan panjang umur dengan
MDG terkait yaitu MDG 06 untuk memerangi HIV/AIDS, malaria dan
penyakit menular lainnya. Program Pengendalian Tuberkulosis berada pada
target point 3.3 yaitu, pada tahun 2030 mengakhiri epidemic AIDS,
tuberkulosis, malaria, dan penyakit tropis lainnya, melawan hepatitis,
penyakit yang ditularkan lewat air dan penyakit menular lainnya.

Universitas Respati Indonesia


3

Program Penanggulangan Tuberkulosis (TB) adalah segala upaya kesehatan


yang mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengabaikan aspek
kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan
masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian,
memutuskan penularan (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Program
Penanggulangan Tuberkulosis merupakan salah satu prioritas pembangunan
kesehatan tahun 2015-2019 berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019 yang bertujuan untuk meningkatkan
pengendalian terhadap penyakit menular (Point 2.a. Pembangunan Bidang
Kesehatan) dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019
(Bab I point B.1. Penyakit Menular). Berdasarkan Program Indonesia Sehat
dengan Pendekatan Keluarga, Penyakit Menular, khususnya Tuberkulosis
merupakan indikator ke-6 untuk tercapainya keluarga sehat. Tertuang dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
yang berbunyi “Penderita TB Paru mendapatkan pengobatan sesuai standar”.

Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan penemuan kasus


tuberkulosis tertinggi se-Indonesia. Sejak tahun 2014 terus terjadi
peningkatan kasus TB di Provinsi DKI Jakarta hingga tahun 2018. Pada
tahun 2014 ditemukan 22.013 kasus TB, pada tahun 2015 ditemukan 23.136
kasus TB, pada tahun 2016 ditemukan 28.052 kasus TB, dan pada tahun 2017
ditemukan 37.752 kasus TB di Provinsi DKI Jakarta. Menurut Koesmedi,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (Viva.co.id, 2016) pada tahun
2015 total kasus TB DKI Jakarta berjumlah 23.136 kasus dengan kasus di
Jakarta Timur sebanyak 7.395 kasus dan pada tahun 2017 12.801 kasus TB di
Jakarta Timur. Angka notifikasi kasus tahun 2016 sebanyak 360.565 kasus
maka kasus TB yang ditemukan di Indonesia baru sekitar 35%, sisanya 65%
kasus masih belum diobati atau sudah diobati tetapi belum tercatat oleh
program. Sedangkan kasus TB di PTSW ciracas adalah sebanyak 7 orang.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustina Ayu, dkk (2015) tentang
faktor risiko dan potensi penularan tuberkulosis paru di kabupaten kendal,

Universitas Respati Indonesia


4

jawa tengah didapatkan faktor-faktor yang terbukti berpengaruh sebagai


faktor risiko kejadian tuberkulosis paru yaitu kepadatan hunian, suhu
ruangan, kelembaban ruangan, jenis lantai rumah, kebiasaan membuang
dahak sembarang tempat, dan kebiasaan batu/bersin tidak menutup mulut.
Faktor risiko perilaku pada kasus sebagaian besar mempunyai proporsi tidak
memenuhi syarat seperti kebiasaan membuang dahak pada tempat terbuka
sebesar 84,6%, kebiasaan batuk/ bersin tidak menutup mulut sebasar 90,8%,
kebiasaan tidak membuka jendela sebesar 67,7% kecuali kebiasaan merokok
sebesar 63,1% tidak merokok.

Penelitian yang dilakukan Suharyo (2013) tentang determinasi penyakit


tuberkulosis di daerah pedesaan menunjukkan bahwa sebagian penderita TB
paru berpendidikan menengah, dalam masa usia produktif, dan dalam
kategori kurang mampu dari sisi ekonomi. Hampir semua penderita TB
mempunyai pengetahuan cukup baik, namun masih ada sebagian yang masih
berperilaku buruk, yaitu tidak menutup mulut saat batuk.Berdasarkan hasil
penelitian Helper Manalu, dkk (2010) dikutip dalam Suharyo
(2013)didapatkan penderita TB paru mempunyai kebiasaan sering tidak
menutup mulut saat batuk, hal ini tentunya dapat membuat penularan TB
pada orang-orang yang sehat disekitarnya.

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang membahayakan di


Indonesia. Kuman TB sangat mudah menyebar, satu orang penderita TB
dapat menularkan kuman tersebut kepada 10-15 orang lainnya, 10% darinya
akan berkembang dan menderita penyakit tuberkulosis. Daya penularan
seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman TB yang
dikeluarkan dari parunya ketika batuk (Cahyono, 2010). Penyakit ini seperti
flu biasa yang mudah dan cepat menyebar pada orang-orang yang hidup
bersama penderita. Saat ini upaya pencegahan dini telah dilakukan dengan
imunisasi BCG pada balita, namun Indonesia belum terbebas 100% dari
penyakit infeksi ini (Kristanti, 2009).

Survey prevelensi TB tahun 2004 terhadap pengetahuan sikap dan perilaku


penderita TB hanya 26% yang dapat menyebutkan gejala dan tanda TB dan

Universitas Respati Indonesia


5

hanya 51% keluarga memahami cara penularan TB (Depkes, 2011).


Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti mengenai
perilaku pencegahan penularanTB. Maka diperoleh hasil bahwa pengetahuan,
sikap, dan pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi perilaku pencegahan
penularan TB. Hasil penelitian lainnya ada juga yang memperoleh hasil tidak
ada hubungan faktor-faktor tersebut dengan pencegahan penularan TB .
(Djannah 2009, Umsiah 2009, Nugroho 2010, & Rahmawati 2012). Hasil
penelitian sebelumnya belum dapat di pastikan secara pasti faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan TB. Penelitian
terkait dengan pengetahuan penderita TB paru terhadap perilaku pencegahan
penularanTB, maka diperoleh hasil bahwa semakin tinggi pengetahuan
seseorang, maka semakin baik perilaku pencegahan penularan TB tersebut
(Gaster,2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Lumban Tobing (2008), mengenai pengaruh


perilaku penderita TB Paru dan kondisi rumah terhadap pencegahan potensi
penularan TB Paru pada keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2008,
disebutkan bahwa pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan
dengan potensi penularan TB Paru dimana nilai OR 2,5 artinya potensi
penularan TB Paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan rendah.
Sikap pasien TB juga mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi
penularan TB Paru dengan nilai OR sebesar 3,1 artinya potensi penularan TB
Paru 3,1 lebih besar pada yang bersikap kurang.

Hasil penelitian Iis Nurhayati, dkk (2015) tentang perilaku pencegahan


penularan dan faktor-faktor yang melatar belakanginya pada pasien
Tuberculosis Multidrugs Resistance (TB MDR) didapatkan 59% responden
masuk dalam kategori buruk dalam komponen penggunaan masker dalam
pencegahan penularan TB. Temuan ini perlu mendapat perhatian serius
karena saat batuk atau bersin, pasien TB dapat menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nucleat). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kementerian Kesehatan RI, 2011
dalam Iis Nurhayati, 2015). Penelitan membuktikan bahwa masker menjadi

Universitas Respati Indonesia


6

salah satu cara yang efektif untuk pencegahan TB MDR (Dharmadikari, dkk,
2012).

Hasil penelitian yang dilakukan Suanda Saputra (2015) tentang faktor-faktor


yang berhubungan dengan perilaku pencegahan oleh pasien tuberkulosis paru
di Poli Paru RS Cito Karawang 2015 memperlihatkan bahwa jenis kelamin
laki-laki mengakibatkan perilaku pencegahan TB kurang baik yang
persentasenya lebih banyak (56%) dibandingkan responden berjenis kelamin
perempuan terhadap perilaku pencegahan TB yang persentasenya 10,5%
dengan nilai OR 10,818 yang artinya laki-laki 10,8 kali berisiko perilaku
kurang baik dalam pencegahan penyakit TB Paru. Jenis kelamin dapat
menyebabkan sebagian orang menjadi tertekan karena traumatis maka reaksi
antara kaum pria dan kaum wanita terhadap perilaku pencegahan TB sangat
berbeda. Laki-laki lebih sering kali bersikap acuh, keras kepala dan tidak
mau tahu tentang penyakit bahkan pasrah dan depresi tinggi jika gagal dalam
mencapai sasaran yang telah ditargetkan, dan laki-laki pun akan semakin
putus asa ketika ketika berfikir dirinya sudah terlalu tua untuk melakukan
suatu pekerjaan atau tindakan (Gozilek, 2005 dikutip dalam Suanda, 2015).

Bloom, 1908 dalam Notoadmojo, 2012 yang dikutip oleh Christina


Yuliastuti, 2014 dalam penelitian mengenai tingkat pengetahuan TB paru
mempengaruhi penggunaan masker pada penderita TB Paru menyebutkan
bahwa indikator untuk mengukur perilaku kesehatan mengacu pada 3
dominan antara lain pengetahuan terhadap kesehatan, sikap terhadap
kesehatan dan praktik kesehatan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
seseorang dengan pendidikan tinggi akan mampu memahami tentang
penyakit dan cara pemeliharaan kesehatan terhadap penyakit sehingga
penilaian terhadap perilaku kesehatan akan mudah dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah

Indonesia merupakan negara dengan kasus TB kedua tertinggi di dunia


setelah India (WHO, 2017). Hasil Rakerkesnas Kementerian Kesehatan RI

Universitas Respati Indonesia


7

tahun 2018 didapatkan hasil bahwa tiga program utama kesehatan yaitu
Imunisasi, Tuberkulosis, dan Stunting (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Tahun 2016 DKI Jakarta merupakan Provinsi tertinggi dengan penemuan
kasus tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 27.710 kasus TB. Wilayah
Jakarta Timur menempati urutan tertinggi dengan kasus TB terbanyak se-
DKI Jakarta yaitu sebesar 8.302 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta, 2018). Di wilayah Kecamatan Pasar Rebo, angka penemuan kasus
TB tahun 2017 sebanyak 1.401 kasus dengan kasus tuberkulosis paru resisten
obat hingga Desember 2018 mencapai 28 pendertia (SITT 10.04, 2018). Hal
ini menunjukkan bahwa TB merupakan penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis yang ditularkan melalui udara.
Indonesia belum terbebas 100% dari infeksi tersebut, walaupun telah banyak
upaya pencegahan dan penatalaksanaan, dikarenakan penyakit ini sangat
mudah menyebar.

Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena TB tersebut (bppsdmk.depkes,


2012). Depkes RI pada tahun 2012 menyatakan bahwa setiap hari terdapat
175 orang Indonesia meninggal dunia akibat penyakit tuberkulosis. Kematian
akibat TB paru dalam setahun mencapai 64.000 warga Indonesia (PPTI,
2013).Hasil yang diperoleh dari SKRT (survey kesehatan rumah tangga) pada
tahun 1992, menunjukkan bahwa jumlah penderita tuberkulosis semakin
meningkat dan menyebabkan kematian terbanyak pada urutan kedua. Survey
kesehatan nasional 2001 menyatakan TB menempati urutan ketiga penyebab
kematian (9,4 %) (Widoyono, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ketut Sudiantara, dkk (2014)


tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus TB ditemukan
bahwa sebagian besar faktor yang mempengaruhi tingginya kasus TB paru
yaitu faktor predisposisi sebanyak 44% yang menunjukkan tingginya risiko
penularan risiko penularan TB paru berkaitan dengan usaha pencegahan
penularan yang terbentuk dalam pengetahuan dan sikap pasien dan keluarga.

Universitas Respati Indonesia


8

Faktor host terhadap risiko kejadian TB paru meliputi karakterisktik


kependudukan seperti faktor jenis kelamin, umur, status gizi, dan kondisi
sosial ekonomi (Achmadi, 2008).

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui penanggulangan dan cara pencegahan penularan


penyakit TB pada wilayah PTSW budi mulia 01 Ciracas tahun 2019.

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:


a. Mampu mengenal pengertian TB
b. Mampu mengenal etiologi TB
c. Mampu mengenal gejala TB
d. Mampu mengenal patofiologi TB
e. Mengetahui pengobatan TB
f. Mengetahui pencegahan dan penularan TB
g. Mengetahui penatalaksanaan TB

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi PTSW Budi Mulya 01 Ciracas
a. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan bagi PTSW budi
mulia 01 Ciracas dalam upaya peningkatan pengetahuan dan perilaku
pasien TB dalam pencegahan penularan TB di wilayah PTSW budi
mulia Ciracas

1.4.2. Bagi Masyarakat


a. Menurunkan angka penularan dan kejadian TB kepada masyarakat di
wilayah PTSW budi mulia 01 Ciracas

Universitas Respati Indonesia


9

b. Memberikan pengetahuan tentang faktor-faktor yang berhubungan


dengan perilaku pasien TB paru dalam pencegahan penularan TB di
wilayah PTSW budi mulia 01 Ciracas.

1.4.3. Bagi Profesi Keperawatan


a. Memberikan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku pasien tuberkulosis paru dalam pencegahan penularan
tuberkulosis.
b. Sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan terhadap
perkembangan pendidikan keperawatan dalam mendukung tercapainya
pelayanan keperawatan yang profesional terutama pada pasien dengan
tuberkulosis paru dalam upaya pencegahan penularan tuberkulosis.
c. Menjadikan data dasar tentang perilaku pencegahan penularan
tuberkulosis pada pasien tuberkulosis paru untuk penelitian lebih
lanjut.

1.4.4. Bagi Institusi Pendidikan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi
diperpustakaan dalam studi keperawatan komunitas dan menambah
wawasan bagi mahasiswa lain untuk melakukan penelitian di dalam
keperawatan gerontik.

1.4.5. Bagi Peneliti


a. Menambah pengetahuan, mendapat informasi baru tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien tuberkulosis paru
dalam pencegahan penularan tuberkulosis agar dapat diaplikasikan
kepada masyarakat untuk pencegahan terjadinya penularan
tuberkulosis.
b. Memberi pengalaman kepada orang lain dalam melakukan penelitian.

Universitas Respati Indonesia

Anda mungkin juga menyukai