Anda di halaman 1dari 6

Pengantar Anatomi Fisiologi kelenjar tiroid

Kelenjar tiroid merupakan organ yang bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah
anterior trakea. Kelenjar tiroid memiliki aktivitas metabolik yang tinggi. Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon
yang berbeda yaitu tiroksin (T4) serta triiodotironin (T3) yang keduanya disebut dengan satu nama yaitu hormone tiroid
dan kalsitonin.

Fungsi utama hormon tiroid adalah mengendalikan aktivitas metabolik seluler. Kedua hormone ini bekerja sebagai alat
pacu umum dengan mempercepat proses metabolisme. Dan kecepatan pelepasan hormone ini dipengaruhi oleh
sekresi tirotropin atau TSH (thyroid stimulating hormone) oleh kelenjar hipofisis.

Abnormalitas Fungsi Tiroid

Jika terjadi gangguan pada kelenjar hipofisis anterior maupun kelenjar tiroid dalam fungsi sekresi hormon tiroid akan
dapat mengakibatkan kondisi hipotiroidisme dan hipertiroid. Hipotiroidisme yaitu sekresi hormone tiroid yang tidak
adekuat selama perkembangan janin dan neonates akan menghambat pertumbuhan fisik dan mental karena
penekanan aktivitas metabolic tubuh secara umum. Pada orang dewasa, hipotiroidisme memiliki gambaran klinik
berupa letargi, proses berpikir yang lambat dan perlambatan fungsi tubuh yang menyeluruh. Hipertiroidisme merupakan
sekresi hormone tiroid yang berlebihan dan dimanifestasikan melalui peningkatan kecepatan metabolisme.

Jika gangguan berupa hipotiroid tidak segera ditangani, maka akan dapat mengakibatkan terjadinya koma miksedema
yang menggambarkan hipotiroid yang paling ekstrem dan berat, di mana pasien mengalami hipotermia dan tidak
sadarkan diri. Sedangkan jika hipertiroid tidak segera ditangani, maka akan dapat mengakibatkan krisis tiroid berupa
hipertiroid berat yang biasanya terjadi dengan awitan mendadak dan ditandai dengan hiperpireksia, takikardia yang
ekstrim serta perubahan status mental yang sering terlihat sebagai delirium (Smeltzer, 2002).

Krisis Tiroid

Seperti telah dijelaskan dalam pengantar di atas bahwa krisis tiroid sendiri muncul akibat perburukan dari manifestasi
Hipertiroidisme.

Etiologi

Menurut Sherwood (2012) disfungsi tiroid berupa hipertiroid yang dapat menjadi krisis tiroid dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu :

1. Adanya long-acting thyroid stimulator (penyakit graves) yang ditandai dengan peningkatan hormone T3
dan T4 dalam sirkulasi dengan penurunan hormone TSH
2. Sekunder karena sekresi berlebihan hipotalamus atau hipofisis anterior yang ditandai dengan
peningkatan hormone T3 dan T4 sebagai hasil dari peningkatan TRH pada hipotalamus dan TSH pada
hipofisis anterior
3. Tumor tiroid dengan hiperpireksia juga menyebabkan hipertiroid dengan peningkatan hormone tiroid
dan penurunan hormone TSH
4. Factor pencetusnya krisis hingga kini belum jelas namun diduga dapat berupa free- hormon meningkat,
naiknya free-hormon mendadak, efek T3 paska transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran dan
sebagainya. Dan factor resikonya dapat berupa surgical crisis (persiapan operasi yang kurang baik,
belum eutiroid), medical crisis (stress apapun, fisik maupun psikologis, infeksi dan sebagainya)
(Sudoyo, dkk, 2007)

Patofisiologi

Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari
anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid
melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi
terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1)
bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin
(TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini
mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.

Pada gambar di atas nampak TRH (Thyrotropin Releasing Hormone ) dari hipotalamus menstimulasi kelenjar hipofisis
untuk menyekresikan TSH (Thyroid Stimulating Hormone ). TSH merangsang tiroid untuk memproduksi hormone ntiroid
(T3 dan T4). Kadar T3 dan T4 dalam darah menghambat sekresi TSH serta produksi hormone tiroid berikutnya melalui
mekanisme umpan – balik. Pada kasus krisis tiroid adanya peningkatan pada produksi tiroid diakibatkan oleh
beberapa factor. Adanya perubahan pada sel – sel pada kelenjar tiroid sendiri atau adanya gangguan pada produksi
TSH pada hipofisis anterior seperti adanya produksi LATS (Long Acting Thyroid Stimulator) pada penyakit autoimun –
penyakit Graves, tumor tiroid dengan hipersekresi serta sekunder karena sekresi berlebihan hipotalamus atau hipofisis
anterior, membawa penderita dengan gangguan tiroid ini mengalami kondisi tirotoksikosis, dimana gejala tersebut
berupa gejala akibat peningkatan metabolisme basal.

Meningkatnya metabolisme basal akan meningkatkan produksi panas yang menyebabkan keringat berlebihan dan
intoleransi panas. Meskipun nafsu makan dan asupan makanan meningkat yang terjadi sebagai respon terhadap
meningkatkan kebutuhan maetabolic namun berat badan biasanya turun karena tubuh menggunakan bahan bakar jauh
lebih cepat. Terjadi penguraian netto simpanan karbohirat, lemak, dan protein. Berkurangnya protein protein otot
menyebabkan tubuh lemah. Berbagai kelainan kardiovaskuler dilaporkan disebabkan baik oleh efek langsung dari
kelenjar tiroid maupun interaksinya dengan katekolamin. Kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi dadapat meningkat
sedemikian besar sehingga individu dapat mengalami palpitasi (jantung berdebar - debar). Perburukan dari kondisi –
kondisi inilah yang disebut dengan krisis tiroid. Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan
merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang
semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau
meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah
terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat
meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa.
Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.

Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya.
Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan
tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik
adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis
hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga
menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah
tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya
kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers
gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.

Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam
kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon
tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi,
selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang
pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik
pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan
katekolamin (Price, 2006).

Woc krisis tiroid : http://web.unair.ac.id/admin/file/f_66267_1.docx

Gejala Klinik

Demam merupakan gejala yang hampir selalu ditemukan dan dapat berkembang menjadi hiperpireksia. Gejala lain
yang dapat ditemukan juga berupa keringat yang berlebihan sampai dehidrasi, tekanan darah sistolik meningkat,
aritmia atrial dan takiaritmia sering menyebabkan gagal jantung dan syok, nyeri angina akibat spasme arteri koroner,
mual muntah, diare, gelisah, gangguan mental. Kebingungan, gangguan kesadaran sampai koma.

Menurut Smeltzer (2002), tanda-tanda pada orang dengan krisis tiroid berupa

1. Takikardia (lebih dari 130x/menit)

2. Suhu tubuh lebih dari 37,70C

3. Gejala hipertiroidisme yang berlebihan

4. Penurunan berat badan, diare, nyeri abdomen (system gastrointestinal)

5. Psikosis, samnolen, koma (neurologi)

6. Edema, nyeri dada, dispnea, palpitasi (kardiovaskular).

Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Smeltzer (2002) terdapat beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan
diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah pada kelenjar tiroid.

1) Test T4 serum

Test yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan tekhnik radioimunoassay atau pengikatan
kompetitif nilai normal berada diantara 4,5 dan 11,5 µg/dl ( 58,5 hingga 150 nmol/L) dan terjadi peningkatan pada krisis
tiroid.

2) Test T3 serum

Adalah test yang mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau T3 total dalam serum dengan batas normal adalah
70 hingga 220 µg/dl ( 1,15 hingga 3,10 nmol/L) dan meningkat pada krisis tiroid.

3) Test T3 Ambilan Resin

Merupakan pemeriksan untuk mengukur secara tidak langsung kadar TBG tidak jenuh. Tujuannnya adalah untuk
menentukan jumlah hormon tiroid yang terikat dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Nilai Ambilan
Resin T3 normal adal 25% hingga 35% ( fraksi ambilan relatif : 0,25 hingga 0,35 ) yang menunjukan bahwa kurang
lebih sepertiga dari tempat yang ada pada TBG sudah ditempati oleh hormone tiroid. Pada krisis tiroid biasanya terjadi
peningkatan.

4) Test TSH ( Thyroid – Stimulating Hormone )

Pengukuran konsetrasi TSH serum sangat penting artinya dalam menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan
kelainan tiroid dan untuk membedakan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar tiroid sendiri dengan
kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau hipothalamus.

5) Test Thyrotropin_Releasing Hormone

Merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH dihipofisis dan akan sangat berguna apabila hasil test T3
serta T4 tidak dapat dianalisa. Test ini sudah jarang dikerjakan lagi pada saat ini, karena spesifisitas dan sensitifitasnya
meningkat.

6) Tiroglobulin

Tiroglobulin merupakan prekursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam serum dngan hasil yang bisa
diandalkan melalui pemeriksaan radioimunnoassay. Pemeriksaan ini diperlukan untuk tindak lanjut dan penanganan
penderita karsinoma tiroid, serta penyakit tiroid metastatik.

Melihat kondisi krisis tiroid merupakan suatu keadaan gawat medis maka diagnosis krisis tiroid didasarkan pada
gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak
boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Kecurigaan akan
terjadinya krisis tiroid harus diketahui dengan jelas oleh perawat. Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid terdapat
dalam triad 1). Menghebatnya tanda tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun 3). Hipertermi. Apabila terdapat triad maka
dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis kritis tiroid dari Burch – Wartofsky. Skor menekankan 3
gejala pokok hipertermia, takikardi dan disfungsi susunan saraf.

Penatalaksanaan

1) Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu menangani faktor pencetus, mengatur pelepasan
hormone tiroid yang berlebihan, menghambat pelepasan hormone tiroid, dan melawan efek perifer hormon tiroid.

Obat-obat antitiroid digunakan untuk mengontrol pelepasan hormone tiroid atau biosintesis. Senyawa anti-tiroid seperti
propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga
menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid.
Sedangkan MMI merupakan agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya
menghambat inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau
agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut.4 PTU diindikasikan
untun hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan
adanya peningkatan risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan
hati serius telah ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU sekarang
dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau
untuk wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan dilaporkan menyebabkan
embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.

Dan mungkin juga diberikan glukokortikoid karena dapat juga menghambat pelepasan hormone tiroid. Serta diberikan
penggunaan beta-adrenerge bloker, terutama propanolol untuk gejala yang timbul yang merupakan efek perifer
hormone tiroid yang berlebihan berupa hipertermia, peningkatan kecepatan metabolic, dan takikardia. Selain itu dapat
juga dilakukan tindakan tiroidektomi pada pasien dengan hipertiroidisme. Sedangkan intervensi keperawatan berfokus
pada hipermetabolisme yang dapat menyebabkan dekompensasi system organ, keseimbangan cairan dan elektrolit,
dan memburuknya status neurologis.

2) Penatalaksanaan Keperawatan (Smeltzer, 2002)

Tujuan pelaksanaan keperawatan mencakup mengenali efek dari krisis tiroid, memantau hasil klinis secara tepat, dan
memberikan perawatan suportif untuk pasien dan keluarga. (Hudak, 2010). Sebagai seorang perawat secara mandiri
adalah tindakan untuk menurunkan panas tubuh mencakup penggunaan kasur dan selimut hipotermia, paket es,
lingkungan yang dingin serta yang terpenting adalah observasi proses humidifikasi, hasil pemeriksaan gas darah arteri
atau dan terapi cairan infus (yang mengandung glukosa) serta asuhan keperawatan suportif yang sangat teliti dan
agresif selama serta sesudah stadium sakit yang akut itu sebab perawatan pasien hipertiroidisme merupakan dasar
penatalaksanaan keperawatan kritis tiroid yang kondisinya kritis (Smeltzer, 2002).

Konsep Asuhan Keperawatan Krisis Tiroid

1) Pengkajian

Tanda dan gejala krisis tiroid adalah bervariasi dan nonspesifik. Tanda klinik yang dapat dilihat dari peningkatan
metabolism adalah demam, takikardi, tremor, delirium, stupor, coma, dan hiperpireksia.

B1 (Breathing)
Peningkatan respirasi dapat diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen sebagai bentuk kompensasi peningkatan
laju metabolisme yang ditandai dengan takipnea

B2 (Blood)

Peningkatan metabolisme menstimulasi produksi katekolamin yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas jantung,
denyut nadi dan cardiac output. Ini mengakibatkan peningkatan pemakaian oksigen dan nutrisi. Peningkatan produksi
panas membuat dilatasi pembuluh darah sehingga pada pasien didapatkan palpitasi, takikardia, dan peningkatan
tekanan darah. Pada auskultasi jantung terdengar mur-mur sistolik pada area pulmonal dan aorta. Dan dapat terjadi
disritmia,atrial fibrilasi,dan atrial flutter. Serta krisis tiroid dapat menyebabkan angina pectoris dan gagal jantung.

B3 (Brain)

Peningkatan metabolisme di serebral mengakibatkan pasien menjadi iritabel, penurunan perhatian, agitasi, takut.
Pasien juga dapat mengalami delirium, kejang, stupor, apatis, depresi dan bisa menyebabkan koma.

B4 (Bladder)

Perubahan pola berkemih ( poliuria, nocturia).

B5 (Bowel)

peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat mengakibatkan kehilangan berat badan. Krisis tiroid juga dapat
meningkatkan peningkatan motilitas usus sehingga pasien dapat mengalami diare, nyeri perut, mual, dan muntah.

B6 (Bone)

degradasi protein dalam musculoskeletal menyebabkan kelelahan, kelemahan, dan kehilangan berat badan

2) Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh.

Tujuan :

Mencapai Pemeliharaan Suhu Tubuh Normal dengan kriteria : Suhu dalam batas normal 36,5 C

Intervensi :

1. Pantau Tanda Vital (Suhu ) Tiap 2 jam (Menilai peningkatan dan penurunan suhu tubuh)
2. Berikan Tambahan lapisan pakaian atau tambahan selimut (Meminimalkan Kehilangan Panas)
3. Hindari dan cegah penggunaan sumber panas dari luar (Mengurangi vasodilatasi perifer dan kolaps
vaskuler)
4. Lindungi Terhadap Pajanan hawa dingin dan hembusan angin (Meningkatkan tingkat kenyamanan
pasien dan menurunkan lebih lanjut kehilangan panas)

Deficit volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan motilitas usus

Tujuan : keseimbangan cairan tubuh

1. Tanda-tanda vital tetap stabil


2. Warna kulit dan suhu normal
3. Volume cairan tetap adekuat
4. Pasien memproduksi volume urine yang adekuat
5. Pasien mempunyai turgor kulit normal dan membrane mukosa lembab
6. Volume cairan dan darah kembali normal

Intervensi :

1. Pantau tanda-tanda vital setiap 2 jam atau sesering mungkin sesuai keperluan sampai stabil.
(Takikardia, dispnea, atau hipotensi dapat mengindikasikan kekurangan volume cairan dan
ketidakseimbangan elektrolit)
2. Kaji turgor kulit dan membrane mukosa mulut setiap 8 jam (Untuk memeriksa dehidrasi dan
menghindari dehidrasi membrane mukosa)
3. Ukur asupan dan haluaran setiap 1 sampai 4 jam. Catat dan laporkan perubahan yang signifikan
termasuk urine. (Haluaran urin yang rendah mengindikasikan hipovolemi)
4. Berikan cairan IV sesuai instruksi. (Untuk mengganti cairan yang hilang)
5. Timbang pasien pada waktu yang sama setiap hari (Berat badan merupakan indicator yang baik untuk
status cairan)
Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penurunan suplai O 2 ke otak

Tujuan:

1. Pasien mempertahankan atau meningkatan tingkat kesadaran saat ini


2. TIK normal
3. Tekanan darah cukup untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral tetapi cukup rendah untuk
mencegah peningkatan perdarahan
4. Hiperkapnia dapat dicegah
5. Pasien terbebas dari nyeri
6. Factor resiko perubahan perfusi jaringan serebral dapat dikurangi semaksimal mungkin.

Intervensi :

1. Lakukan pengkajian neurologis setiap 1 sampai 2 jam pada awalnya selanjutnya setiap 4 jam bila
pasien sudah stabil (Untuk menskrining perubahan tingkat kesadaran dan status neurologis)
2. Ukur tanda-tanda vital setiap 1 sampai 2 jam kemudian setiap setiap 4 jam jika pasien sudah stabil
(Untuk mendeteksi secara dini tanda-tanda penurunan perfusi jaringan serebral atau peningkatan TIK)
3. Tinggikan kepela tempat tidur pasien 30 derajat (Untuk mencegah peningkatan tekanan intraserebral
dan untuk memfsilitasi drainase vena sehingga menurunkan edema serebral)
4. Pertahankan kepala pasien dalam posisi netral (Untuk mempertahankan arteri karotis tanpa halangan
sehingga dapat memfasilitasi perfusi)
5. Bila skor GCS pasien kurang dari 10 hiperventilasikan pasien dengan ventilator sesuai dengan
kebijakan (Layanan untuk meningkatkan oksigenasi dan mencegah pembengkakan serebral dan
hiperkapnia)
6. Pertahankan lingkungan dan pasien tetap tenang. Berikan sedasi bila perlu (Tindakan tersebut
mengurangi peningkatan TIK)

Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipertiroid tidak terkontrol, keadaan hipermetabolisme, peningkatan
beban kerja jantung

Tujuan :

Klien akan mempertahankan curah jantung yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan kriteria hasil :

1. Nadi perifer dapat teraba normal.


2. Vital sign dalam batas normal.
3. Pengisian kapiler normal
4. Status mental baik
5. Tidak ada disritmia

Intervensi :

1. Pantau tekanan darah pada posisi baring, duduk dan berdiri jika memungkinkan. (Hipotensi umum atau
ortostatik dapat terjadi sebagai akibat dari vasodilatasi perifer yang berlebihan dan penurunan volume
sirkulasi)
2. Periksa kemungkinan adanya nyeri dada atau angina yang dikeluhkan pasien. (Merupakan tanda
adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh otot jantung atau iskemia)
3. Auskultasi suara nafas. Perhatikan adanya suara yang tidak normal (seperti krekels).(S 1dan murmur
yang menonjol berhubungan dengan curah jantung meningkat pada keadaan hipermetabolik)
4. Observasi tanda dan gejala haus yang hebat, mukosa membran kering, nadi lemah, penurunan
produksi urine dan hipotensi,pengisian kapiler lambat (Dehidrasi yang cepat dapat terjadi yang akan
menurunkan volume sirkulasi dan menurunkan curah jantung)
5. Catat masukan dan haluaran (Kehilangan cairan yang terlalu banyak dapat menimbulkan dehidrasi
berat)
6. Kolaborasi : berikan obat sesuai dengan indikasi : Penyekat beta seperti: propranolol, atenolol, nadolol
(diberikan untuk mengendalikan pengaruh tirotoksikosis terhadap takikardi, tremor dan gugup serta obat
pilihan pertama pada krisis tiroid akut. Menurunkan frekuensi/ kerja jantung oleh daerah reseptor
penyekat beta adrenergic dan konversi dari T3 dan T4. Catatan: jika terjadi bradikardi berat, mungkin
dapat diberikan atropine); Kortikosteroid, sepert deksametason (memberikan dukungan glukokortikol.
Menurunkan hipertermia, menghilangkan kekurangan adrenal secara relative menghalangi absorbsi
kalsium dan menurunkan perubahan T3 dan T4 di daerah perifer)
7. Kolaborasi :Pantau hasil pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi: Kalium serum (berikan pengganti
sesuai indikasi) (hipokalemi sebagai akibat dari kehilangan melalui gastrointestinal); Kalsium serum
(terjadi peningkatan dapat mengubah kontraksi jantung) Kultur sputum (infeksi paru merupakan factor
pencetus krisis yang paling sering)
8. Berikan selimut dingin sesuai indikasi (kadang – kadang digunakan untuk menurunkan hipertermi yang
tidak terkontrol (lebih tinggi dari 40°C) untuk menurunkan kebutuhan metabolisme atau konsumsi
oksigen dan menurunkan beban kerja jantung )

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan metabolisme (peningkatan nafsu
makan/pemasukan dengan penurunan berat badan)

Tujuan :

1. Nafsu makan baik.


2. Berat badan normal
3. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

Intervensi :

1. Catat adanya anoreksia, mual dan muntah (Peningkatan aktivitas adrenergic dapat menyebabkan
gangguan sekresi insulin/terjadi resisten yang mengakibatkan hiperglikemia)
2. Pantau masukan makanan setiap hari, timbang berat badan setiap hari (Penurunan berat badan terus
menerus dalam keadaan masukan kalori yang cukup merupakan indikasi kegagalan terhadap terapi
antitiroid)
3. Dorong pasien untuk makan dan meningkatkn jumlah makanan dengan makanan tinggi kalori, protein,
karbohidrat dan vitamin. (Membantu menjaga pemasukan kalori cukup tinggi untuk menambah kalori
tetapi tinggi pada pengguanaan kalori yang disebabkan oleh adanya hipermetabolik)
4. Kolaborasi untuk pemberian diet tinggi kalori, protein, karbohidrat dan vitamin (Mungkin memerlukan
bantuan untuk menjamin pemasukan zat-zat makanan yang adekuat dan mengidentifikasi makanan
pengganti yang sesuai)

Anda mungkin juga menyukai