Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bercerita merupakan salah satu bentuk kegiatan secara lisan yang dapat mengubah
etika anak-anak dengan cara yang menyenagkan yang sering dilakukan guru dan orang tua
dalam mendidik anak. Bercerita yang tepat untuk anak usia dini adalah cerita yang berisi
pesan moral, nasehat dan bimbingan yang berguna bagi kehidupan. Untuk menjadikan
sebuah cerita lebih hidup dan menarik, maka peneliti mencoba membuat sebuah permainan
akan cepat dimengerti dan dipahami kepada anak. Anak tidak merasa terbebani dan
terpaksa untuk belajar, secara tidak langsung pesan moral dengan bercerita melalui
permainan papan magnet in dapat tersampaikan. Untuk itu diharapkan guru lebih kreatif
dalam menggunakan media dan metode yang tepat dalam menyampaikan materinya,
sehingga anak lebih semangat dan tertarik mengikuti kegiatan. Aspek-aspek yang perlu
dikembangkan dalam sebuah cerita meliputi; aspek perkembangan bahasa, aspek
perkembangan sosial, aspek perkembangan emosi, aspek perkembangan moral, dan aspek
perkembangan kognisi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan cerita?

2. Apa saja aspek-aspek yang perlu dikembangkan melalui cerita?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian cerita.

2. Untuk mengetahui aspek-aspek yang dikembangkan melalui cerita.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bercerita
Sebagaimana aktivitas bermain dan bernyanyi, bercerita atau berkisah juga sangat
disenangi anak-anak. Dalam setiap aktivitas bercerita atau mendongeng di kelas-kelas
PAUD, Semua anak akan terpukau oleh dongeng atau kisah yang dibawakan oleh para
gurunya. Terlebih lagi jika guru mampu membawakan cerita/kisah tersebut dengan
sempurna. Tentu, perhatian anak-anak akan terfokus kepadanya dalam jangka waktu yang
cukup lama. Bahkan, banyak anak yang tidak bisa tidur sebelum dibacakan cerita, kisah
mampu dongeng oleh orang tuanya. Hal ini menunjukan bahwa kisah, cerita atau dongeng
menjadi kebutuhan dasar bagi anak-anak. Dari penjelasan tersebut cerita, kisah, atau
hikayat adalah sejarah atau berita masa lalu yang menceritakan kejadian atau peristiwa
tertentu. Tetapi dijinjau dari segi istilah, cerita atau kisah dapat diartikan sebagai media
untuk menyalurkan kebahagiaan hidup yang diambil dari hikmah sejumlah peristiwa yang
saling berkaitan.1
Bercerita merupakan salah satu bentuk kegiatan secara lisan yang dapat mengubah
etika anak-anak dengan cara yang menyenagkan yang sering dilakukan guru dan orang tua
dalam mendidik anak. Bercerita yang tepat untuk anak usia dini adalah cerita yang berisi
pesan moral, nasehat dan bimbingan yang berguna bagi kehidupan. Untuk menjadikan
sebuah cerita lebih hidup dan menarik, maka peneliti mencoba membuat sebuah permainan
akan cepat dimengerti dan dipahami kepada anak. Anak tidak merasa terbebani dan
terpaksa untuk belajar, secara tidak langsung pesan moral dengan bercerita melalui
permainan papan magnet in dapat tersampaikan. Untuk itu diharapkan guru lebih kreatif
dalam menggunakan media dan metode yang tepat dalam menyampaikan materinya,
sehingga anak lebih semangat dan tertarik mengikuti kegiatan.
Pengaruh cerita, membaca cerita, dan bercerita yang demikian besar menjadi salah
satu alasan bagaimana sebuah cerita yang baik perlu diciptakan, dikembangkan, dan
disebarluaskan. Cerita tersebut harus mengembangkan berbagai aspek pada diri anak agar

1
Suyadi, Manajemen PAUD (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2011), Hlm. 160

2
pengaruh negatif dari cerita dapat dihindari, dan agar cerita dapat memberikan peran
edukatif dan psikologi secara optimal.2
Aspek-aspek yang perlu dikembangkan dalam sebuah cerita meliputi; 1). Aspek
perkembangan bahasa, 2). Aspek perkembangan sosial, 3). Aspek perkembangan emosi,
4). Aspek perkembangan moral, dan 5). Aspek perkembangan kognisi. Dalam kelima aspek
tersebut tidak pilah benar. Semuanya saling terkait dan mempengaruhi.
1. Aspek Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa meliputi berbagai aspek linguistik, seperti fonologis,
morfologis, sintaksis, dan wacana. Perkembangan bahasa anak dilihat dari berbagai unsur
tersebut. Cerita dalam konstelasi ini, dimaksudkan sebagai stimulasi perkembangan bahasa
anak secara komprehensif. Oleh karena cerita disampaikan melalui bahasa, maka
pengembangan aspek-aspek linguistik pun perlu memperoleh prioritas. Selain itu, bahasa
merupakan aspek yang cukup penting untuk melihat aspek perkembangan lain.
Pada perkembangan selanjutnya, anak menambah kosa kata secara mandiri dalam
bentuk komunikasi yang baik. Sekedar contoh, orang tua dan orang dewasa terdekat bayi
selalu bertanya kepada bayi tersebut, walaupun mereka tahu bahwa bayi itu tidak bisa
menjawab, misalkan namanya siapa, anak siapa, ayah kemana, dimana ibu , dan lain
sebagainya.
Menurut Montessori, ketika anak “belajar” bahasa melalui interaksi dengan orang
dewasa, anak-anak tidak hanya “mempelajari” redaksi kata dan kalimat, melainkan juga
struktur kata dan kalimat itu sendiri. Sekedar contoh, seorang ayah mengatakan, “gelas
diatas meja”. Anak-anak tidak hanya menirukan dan memakai arti kalimat tersebut,
melaikan ia juga “mempelajari” struktur kalimatnya. Jadi, ketika kalimat tersebut rusak
strukturnya, maka rusaklah kosa kata dan kalimat yang direkam anak. Misalnya, kalimat
tadi dibalik menjadi, “meja di atas gelas”. Jika hal ini yang terjadi, maka rusaklah upaya
anak-anak dalam “belajar” bahasa. Inilah sebabnya, mengapa anak-anak sering kali
mengatakan kata-kata kotor dan arogan tanpa beban dan moral. Hal ini disebabkan anak
memperoleh kata-kata dari menirukan orang dewasa yang salah gramatikanya.3

2
Mbak Itadz, Cerita (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2008), Hlm. 47-48
3
Maria Motessori. The Absorbent Mind, Pikiran yang Mudah Menyerap,(Yogyakarta, Pustaka
Pelajar,2008), Hlm. 97

3
Pengembangan bahasa yang terbaik adalah ketika anak-anak berteriak sebagai
rekan percakapan dan masuk kedalam pembicaraan atau dialog yang sebenarnya.
Walaupun demikian, antara anak yang satu dengan anak yang lain selalu ada perbedaan
dalam berbahasa. Terlebih bagi jika anak tersebut mempunyai kultur yang khas dengan
kehidupan sosialnya. Tentu, bahasa mereka banyak dipengaruhi oleh perbedaan berbahasa
antara anak yang satu dengan anak lain.4 Permasalahannya adalah, sering kali di dalam satu
kelas terdapat banyak anak yang mempunyai kultur dan budaya bermacam-macam.
Konsekuensinnya, dalam satu kelas terdapat banyak bahasa asli mereka. Bagaimana agar
semua bahasa asli dalam satu kelas tersebut dapat terakomudasi oleh satu atau dua guru?
Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dapat memahami bahasa guru dengan bahasa mereka
masing-masing. Disinilah, pentingnya memberi stimulasi untuk meningkatkan
perkembangan bahasa bahasa pada anak. Akan tetapi, stimulai yang dimaksud di sini tidak
boleh memihak satu bahasa asli tertentu, melainkan untuk semua bahasa asli yang ada.
Caranya adalah menanamkan kesadaran adanya perbedaan individu, budaya, dan bahasa.5
2. Aspek Perkembangan Sosial dan Emosional
Perkembangan Sosial adalah tingkat jalinan interaksi anak dengan orang lain, mulai
dari orang tua, saudara, teman bermain, hingga masyarakat secara luas. Sementara
perkembangan emosional adalah luapan perasaan ketika anak berinteraksi dengan orang
lain. Dengan demikian, perkembangan sosial-emosional adalah kepekaan anak untuk
memahami perasaan orang lain ketika berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa perkembangan sosial-emosional
tidak dapat dipisahkan satu masa lain. Dengan kata lain, membahas perkembangan emosi
harus bersinggungan dengan perkembangan sosial anak. Demikian pula sebaliknya,
membahas perkembangan sosial harus melibatkan emosional. Sebab, keduanya terintegrasi
dalam bingkai kejiwaan yang utuh.
Menurut Lawrence E. Shapiro, emosi adalah kondisi kejiwaan manusia.6 Karena
sifatnya psikis atau kejiwaan, maka emosi hanya dapat dikaji melalui letupan-letupan
emosional atau gejala-gejala dan fenomena-fenomena, seperti kondisi sedih, gembira,

4
Suyadi, Psikologi Belajar Anak Usia Dini,(Yogyakarta,Pedagogia,2010), Hlm. 99
5
Ibid,...Hlm. 101
6
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak,(Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2003), Hlm. 108-109

4
gelisah, benci, dan lain sebagainya. Namun, kondisi masing-masing emosi anak berbeda-
beda. Oleh karena itu, memberikan anak permainan untuk mengasah emosi anak juga
berbeda-beda. Mungkin, seorang anak akan mengekspresikan kesedihannya dengan cara
menangis. Anak yang lain mengekspresikan kesedihan dengan wajah murung dan
menyendiri. Demikian pula dengan kondisi sosial emosional lainnya. Oleh karena itu,
dalam memberikan barang mainan yang sesuai dengan perkembangan sosial emosional
anak tidak ada yang sama atau tunggal. Mengapa emosi anak bisa berbeda-beda? Menurut
Hawari, sebagaimana dikutip Mahmudin, perbedaan tersebut dipengaruhi oleh sikap, cara,
dan kepribadian orang tua dalam memelihara, mengasuh, dan mendidik anaknya. 7 Masih
mengutip Hurlock, secara umum pola perkembangan emosi anak meliputi 9 aspek, yaitu
rasa takut, malu, khawatir, cemas, marah, cemburu, duka cita, rasa ingin tahu, dan
gembira.8
Supaya lebih jelas pola-pola emosi tersebut akan dibahas secara terperinci berikut
ini.
1. Rasa takut, yaitu perasaan yang khas pada anak. Hampir setiap fase usia,
seorang anak akan mengalami ketakutan dengan kabar yang berbeda-beda.
Rangsangan yang umumnya menimbulkan rasa takut pada bayi adalah suara
yang terlalu keras, bintang menyeramkan, kamar gelap, tempat yang tinggi, dan
kesendirian.
2. Rasa malu, yaitu ketakutan yang ditandai oleh penarikan diri dari hubungan
dengan orang lain yang tidak dikenal. Rasa malu ini selalu disebabkan oleh
sesama manusia, bukan benda atau binatang dan hal-hal lainnya. Rasa malu
akan dimiliki bayi yang usianya di atas 6 bulan. Alasannya, pada usia ini bayi
tersebut selalu berhubungan dengan orang banyak, maka rasa malu tersebut
akan hilang dengan sendirinya.
3. Rasa khawatir, yaitu khayalan ketakutan atau gelisah tanpa alasan. Rasa
khawatir tidak langsung ditimbulkan rangsagan dalam lingkungan, tetapi
merupakan produk pikiran anak itu sendiri. Perasaan ini akan timbul karena
membayangkan situasi berbahaya yang mungkin akan meningkat. Biasanya,

7
Mahmudi, Pola Asuh Anak Pada Keluarga Perspektif Islam,( Bandung, Mimbar Pustaka, 2004), Hlm. 109
8
Suyadi, Psikologi Belajar Anak Usia Dini....Hlm. 110

5
kekhawatiran ini terjadi pada anak di atas usia 3 tahun. Bahkan, semakin besar
atau bertambah usianya, rasa khawatir tersebut semakin sering dialami. Pada
usia ini, anak lebih senang memendam pikirannya sendiri, kemudian
mengkhayalkannya dan sering kali melebih-lebihkan kekurangan. Akibatnya,
rasa khawatir tersebut semakin meningkat. Reaksi yang menimbulkannya
adalah ekspresi melalui wajah yang “tampak khawatir”.
4. Rasa cemas, yaitu keadaan mental yang tidak enak berkenaan dengan sakit yang
mengancam atau yang dibayangkan.rasa cemas yang ditandai dengan
kekhawatiran, ketidakenakan, dan prasangka yang tidak baik dan tidak bisa
dihindari oleh seseorang, disertai dengan perasaan tidak berdaya dan
pesimetris. Ciri-ciri keadaan ini adalah kecemasaan yang mengambang.
Selanjutnya, perasaan ini akan berkembangan menjadi ketakutan yang
tersamarkan. Reaksi yang ditimbulkan adalah murung, gugup, mudah
tersinggung, cepat marah, dan sikap-sikap over sensitif lainnya.
5. Rasa marah, yaitu sikap penolakan yang kuat terhadap apa yang tidak ia suka.
Dalam pandangan anak, ekspresi kemarahan merupakan jalan yang paling cepat
untuk menarik perhatian orang lain. Umumnya, situasi yang menimbulkan
kemarahan meliputi berbagai macam batasan: rintangan yang menghalagi gerak
anak, rintangan terhadap keinginan, rencana dan niat yang ingin dilakukan, dan
sejumlah kejengkelan lain yang terus menumpuk. Semakin tinggi kemarahan
anak, semakin keras pula ia menunjukan sifat marahnya, mulai dari diam,
berkata keras, gerak verbal, hingga tindakan-tindakan lainnya.9
6. Rasa cemburu, yaitu perasaan ketika anak kehilangan kasih sayang, seperti
terbaginya kasih sayang ibunya kepada saudaranya, ayahnya kepada orang lain,
dan lain sebagainya.
7. Rasa duka cita, yaitu suatu kesengsaraan emosional (trauma psikis) yang
disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai. Dalam bentunya yang lebih
ringan, perasaan emosional ini dikenal dengan sedih atau susah.

9
Ibid., hlm. 111

6
8. Rasa ingin tahu, yaitu setiap anak memiliki naluri ingin tahu yang sangat tinggi.
Mereka mereka menaruh minat terhadap segala sesuatu dilingkungan mereka,
termasuk diri mereka sendiri.
9. Rasa kegembiraan atau kesenangan, yaitu emosi yang keriangan atau rasa
bahagia. Di kalangan bayi, emosi kegembiraan ini berasal dari fisik yang sehat,
situasi yang ganjil, permainan yang mengasyikkan, dan lain-lain.10

Daniel Goelman pernah mengatakan, “kehidupan keluarga merupakan


sekolah kita yang pertama untuk mempelajari emosi. Goelman juga mengatakan
bahwa orang tua merupakan “pelatih” emosi bagi anak-anaknya. Bahkan,
keterlibatan orang tua terhadap emosi anak tidak ada bedanya dengan keterlibatan
pelatih olah raga dalam melatih para atlet. Berdasarkan pernyataan dari ahli
kecerdasan emosi tersebut, dapat ditangkap bahwa pendidikan dalam rumah tangga
merupakan “sekolah”yang paling utama untuk menumbuhkembangkan aspek
sosial emosional anak.

Perlu diketahui bahwa kasih sayang yang tanpa syarat tersebut hanya bisa dilakukan
oleh orang tua kepada anak kepada anak kandungnya, bukan anak-anak yang lain, termasuk
anak tiri. Sebab anak asuh akan mendapat pola asuh “setengah hati” dari orang tua tirinya.
Disamping itu, anak tersebut akan merasa rendah diri, hina, dan kotor. Sebab orang tuanya
bercerai-berai. Walaupun yang bercerai-berai orang tunya, tetapi anak akan terkena
dampaknya. Bahkan keluarga yang sering adu mulut pun akan berdampak buruk bagi
perkembangan emosi anak.11

Apa saja hal-hal yang perlu diajarkan kepada anak, baik di rumah maupun di sekolah
agar sosial-emosionalnya tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga kecerdasan ini
menunjang kejeniusannya? Berikut ini terdapat beberapa materi pokoknya yaitu:

a. Mengembangkan empati dan kepeduliaan. Materi utama untuk menstimulasi anak agar
aspek sosial-emosionalnya berkembang dengan baik adalah dengan menanamkan
empati dan kepedulian.

10
Ibid., hlm. 112
11
Ahmad Tafsir, Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, ( Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2006).
Hlm. 114

7
b. Optimisme adalah hasil dari kebiasaan berfikir positif. Optimisme juga bisa diartikan
sebagai kecerdasan untuk memandang segala sesuatu dari sisi dan kondisi baiknya serta
mengharapkan hasil yang optimal.
c. Pemecahan masalah sering kali orang tua tidak memberi kebebasan kepada anak untuk
meyelesaikan masalahnya sendiri. Bahkan, ada orang tua yang beranggapan bahwa
anak harus dibebaskan dari segala bentuk permasalahan.
d. Motivasi diri, bagian dari diri anak yang bisa merasakan suatu keberhasilan adalah
emosinya.12

Menurut Nurwadjah Ahmad E,Q dalam bukunya, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, hanya
kisah atau cerita yang mengandung unsur-unsur edukatiflah yang dapet meningkatkan
imajinasi dan daya ingat anak. Unsur-unsur edukatif tersebut adalah sebagai berikut;
Adanya subjek atau tokoh dalam kisah. Sebagai contoh adalah kisah para Nabi. Dalam
kisah tersebut, para Nabi dan Rasul menjadi tokoh utama yang memikat perhatian, kisah
atau cerita harus mendukung unsur waktu dan latar belakang. Hal ini hampir mirip dengan
turunnya sebuah ayat yang didahului oleh sebab-sebab, kisah mengandung unsur tujuan
penggambarkan suatu keadaan, dedahului tujuan-tujuan keagamaan, kisah mengandung
unsur pengulangan. Dalam hal ini,bentuk pengulangan tidak harus sama untuk selamanya,
tetapi berupa terhadap demi terhadap, dan kisah harus mengandung unsur dialektik. Kisah-
kisah Qurani sering kali ditampilkan dalam ragam percakapan yang diungkapkan dalam
lafaz “Qala” dalam berbagai macam bentuknya.13

3. Aspek Perkembangan Kognitif dan Perkembangan Moral


Pengembangan aspek kognitif melalui cerita lebih difokuskan pada bagaimana
anak memahami cerita yang didengar dengan sebaik-baiknya, pada bagaimana anak
memahami detail dan keseluruhan isi cerita. Karena pengembangan aspek kognitif
berkaitan erat dengan pengembangan aspek bahasa.14 Salah satu teori Piaget menyatakan
bahwa pengetahuan melalui kegiatan atau aktivitas pembelajaran. Piaget menolak paham
lama yang menyatakan bahwa kecerdasan adalah bahwaan secara genetis. Ini terjadi pada
pada setiap manusia, termasuk pada anak-anak. Khusus pada anak usia dini, Piaget

12
Quraish Shihib, Membumikan Al-Quran, (Bandung, Mizan, 2006). Hlm. 114-116
13
Suyadi, Psikologi Belajar Anak Usia Dini....Hlm. 117-118
14
Mbak Itadz, Cerita,...Hlm. 64

8
menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui eksplorasi, manipulasi dan
kontruksi secara elaboratif. Tendensi-tendensi tersebut mencakup tiga hal,yaitu asimilasi,
akomudasi, dan organisasi.
1. Asimilasi secara harfiah, asimilasi berarti memeasukan atau menerima. Dalam
lingkup penagetahuan, manusia selalu mengasimilasikan objek atau informasi ke
dalam struktur kognitifnya.
2. Akomudasi adalah mengubah struktur diri. Dalam melihat beberapa objek, belum
tentu anak mempunyai struktur penlihatan (diri) yang memadai, sehingga anak
tersebut harus melakukan akomudasi.
3. Organisasi yang dimaksudkan organisasi di sisni adalah menggabungkan ide-ide
tentang sesuatu kedalam sistem berfikir yang koheren ( masuk akal).

Perkembangan moral anak dipengaruhi oleh perkembangan intelektual dan penalaran.


Anak-anak belum dapat menerapkan secara optimal prinsip-prinsip yang abstrak yang
menyangkut benar-salah, serta tatanan moral dan sosial yang baik. Oleh karena itu,
diperlukan latihan bagi mereka tentang bagaimana berperilaku yang moral dalam konteks
tertentu, dengan ditekankan pada bagaimana bertindak. Cerita merupakan salah satu
metode pembelajaran moral yang sesuai untuk di samping modelling atau contoh
bertindak. Nilai dalam cerita dapat dimengerti anak karena simbolisasi nilai-nilainya
melibatkan dua hal sekaligus, yakni gabaran peristiwa dan kesimpulan ynag ditarik pada
akhir cerita. Nilai-nilai moral dalam cerita anak ditransmisikan melalui ganjaran baik dan
buruk, peruntungan dan celaka. Pembentukan perilaku moral didasarkan pada
ketergantungan emosional akan rasa takut dan senang terhadap ganjaran yang diterima
tokoh.15

15
Ibit..,hlm. 64

9
DAFTAR PUSTAKA

Suyadi. 2011. Manajemen Paud. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Itadz Mbak. 2008. Cerita. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Motessori Maria. 2008. The Absorbent Mind, Pikiran yang Mudah Menyerap. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Suyadi. 2010. Psikologi Belajar Anak Usia Dini. Yogyakarta: Pedagogia.

Shapiro Lawrence E. 2003. Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Mahmudi. 2004. Pola Asuh Anak Pada Keluarga Perspektif Islam. Bandung: Mimbar Pustaka.

Ahmad Tafsir. 2006. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.

Shihib Quraish. 2006. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.

10

Anda mungkin juga menyukai