OLEH:
Wilda Al Aluf, S.Kep
NIM 182311101118
Mahasiswa
DAFTAR ISI
halaman
1) Proses Filtrasi
Proses ini terjadi di glomerolus dan terjadi karena tekanan permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen sehingga terjado penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein.
Cairan yang disaring disimpan dalam simpai bownman yang terdiri dari
glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat, dan lain-lain yang diteruskan
ke tubulus ginjal.
2) Proses Reabsorbsi
Proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besari dari glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan proses obligator. Proses reabsorbsi ini terjado pada tubulus proksimal
sedangkan pada tubulus dista; terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyarapan ini terjadi secara aktif dengan
reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis. Reabsorpsi zat
tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi. Sebagai contoh pada sisi
tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus renalis terjadi difusi ion Na+,
sedangkan pada sisi sel tubulus yang berdekatan dengan kapiler terjadi transpor
aktif ion Na+. Adanya transpor aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler
menyebabkan menurunnya kadar ion Na+ di sel tubulus renalis, sehingga difusi
Na+ terjadi dari lumen sel tubulus renalis. Pada umumnya zat yang penting
bagi tubuh direabsorpsi secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang
secara aktif direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin.
Zat-zat tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak
ada lagi di lengkung Henle.
Penyakit GGK adalah hasil dari berbagai kerusakan akut dan kronis yang
dapat menyebabkan hilangnya nefron diikuti oleh hiperfiltrasi adaptif pada nefron
yang tersisa. Hyperfiltration adaptif ini menghasilkan kerusakan glomerular
jangka panjang yang menyebabkan proteinuria dan hilangnya fungsi ginjal secara
progresif. Penurunan awal fungsi ginjal tidak menunjukkan gejala, dan
manifestasi klinis gagal ginjal terjadi pada akhir perjalanan penyakit. Kehilangan
fungsi ginjal, bagaimanapun, adalah variabel dan dapat tanpa henti meskipun
terapi medis yang optimal. Definisi penyakit ginjal berfokus pada GFR dan
ukuran kerusakan (proteinuria, kelainan anatomi) (Shafi dan Coresh, 2015).
2. Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu:
a. Derajat (stage) yaitu berdasarkan LFG dengan rumus Cockroft-Gault
Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease
Improving Global Outcomes (NKF-KDIGO) tahun 2012, Klasifikasi PGK
menurut derajat penyakit di kelompokan menjadi 5 derajat, dikelompokan
atas penurunan faal ginjal berdasarkan LFG.
Gejala pada pasien dengan ESRD disebabkan oleh faktor yang berhubungan
dengan proses penyakit (gangguan metabolisme), penyakit komorbiditas, dan
faktor yang berhubungan dengan pengobatan, paling umum, dialisis. Meskipun
pasien ESRD memilih pendekatan konservatif, tanpa-dialisis tidak memiliki
gejala dari dialisis, mereka mungkin memiliki berbagai gejala, yang dapat
menyebabkan penurunan kualitas hidup (Raghavan dan Holley, 2016).
1. Nyeri
Nyeri adalah gejala penting dan mengganggu pada pasien dengan CKD dan
mereka yang telah berkembang menjadi ESRD. Nyeri terlihat pada 53% pasien
yang menggunakan pengobatan konservatif dan 73% pada bulan terakhir
kehidupan. Tiga puluh tujuh persen hingga 50% pasien hemodialisis melaporkan
nyeri, dan 82% menilai nyeri itu sedang hingga berat. Penyebab nyeri pada
populasi ini termasuk gangguan metabolisme yang mengarah pada penyakit
tulang (dan kadang-kadang, kalsiphilaksis) dan penyakit komorbiditas seperti
diabetes dengan neuropati perifer terkait yang menyakitkan. Faktor
muskuloskeletal adalah penyebab utama nyeri dengan osteoartritis, terutama pada
orang tua, yang umum. Kadang-kadang, penyakit ginjal primer dapat menjadi
etiologi nyeri, seperti penyakit ginjal polikistik dengan efek tekanan atau infeksi /
pecahnya kista. Fibrosis sistemik nefrogenik adalah penyakit langka tetapi dapat
menyebabkan nyeri yang melemahkan. Amiloidosis terkait dialisis dan nyeri
terkait akses dialisis juga dapat dilihat (Raghavan dan Holley, 2016).
2. Fatigue
Fatigue juga merupakan gejala umum pada pasien ESRD, terjadi hingga
80%. Ada beberapa penyebab kelelahan terkait dialisis seperti hipotensi terkait
dialisis, pergeseran osmotik yang cepat selama dialisis, interaksi membran dialisis
darah. Faktor-faktor umum untuk dialisis dan pasien yang dikelola secara
konservatif yang dapat berkontribusi terhadap kelelahan termasuk depresi,
insomnia, kekurangan gizi, anemia, dan efek samping obat. Penyedia harus
menanggapi keluhan kelelahan dengan evaluasi untuk gangguan tidur dan anemia.
Penggunaan erythropoietin telah dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup dan
dapat mengobati kelelahan pada beberapa pasien. Olahraga juga dapat
mengurangi kelelahan, tetapi pasien dengan pengobatan konservatif sering
memiliki beberapa komorbiditas yang menghalangi olahraga teratur. Terapi fisik
adalah pilihan bagi pasien seperti itu jika mereka bisa menerimanya. Malnutrisi
juga harus dievaluasi dan diperlakukan semaksimal mungkin. Jika depresi
dianggap berkontribusi terhadap kelelahan, pengobatan dengan obat antidepresan
dapat secara signifikan meningkatkan tingkat energi (Raghavan dan Holley,
2016).
3. Gangguan Pola Tidur
Sekitar 50% hingga 90% pasien dialisis melaporkan masalah dengan tidur.
Dalam sebuah studi pada pasien yang dikelola secara konservatif, 41%
melaporkan gangguan tidur. Masalah-masalah tidur mungkin terkait dengan
gejala-gejala seperti rasa sakit tetapi mungkin juga dikaitkan dengan gangguan
tidur primer. Penilaian untuk sleep apnea, sindrom restless legs, dan gangguan
gerakan kaki periodik harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
menyeluruh. Pasien yang memiliki gejala atau tanda yang menunjukkan salah satu
gangguan ini harus dirujuk untuk pengujian konfirmasi. Perubahan gaya hidup
dan penerapan teknik kebersihan tidur mungkin bermanfaat. Jika gangguan lain
tidak termasuk, trazodone, zolpidem, atau temazepam dapat dicoba untuk tidur
(Raghavan dan Holley, 2016).
4. Pruritus
Sekitar 60% pasien dengan CKD Tahap 5 mengeluh pruritus. Mekanisme
yang tepat untuk hal ini tidak jelas, tetapi faktor-faktor predisposisi pruritus
uremik adalah hiperparatiroidisme sekunder, hiperfosfatemia, peningkatan
endapan kalsium fosfat di kulit, kulit kering, dan anemia defisiensi besi.
Pembatasan fosfat makanan dan penggunaan pengikat fosfat direkomendasikan
dan begitu pula pengobatan dengan 1,25 hydroxyvitamin D untuk menurunkan
kadar hormon paratiroid. Kekurangan zat besi harus diperbaiki dan terapi
erythropoietin digunakan untuk meningkatkan kadar Hb. Terapi emolien juga
dapat diresepkan untuk pasien dengan kulit kering. Antihistamin oral, naltrexone,
ondansetron, thalidomide, krim capsaicin, dan terapi cahaya ultraviolet B juga
telah digunakan dengan kesuksesan variabel. (Raghavan dan Holley, 2016).
5. Anorexia
Anoreksia adalah gejala umum yang terlihat pada pasien dengan CKD
lanjut. Ini mungkin hasil dari uremia itu sendiri, atau dapat disebabkan oleh
gangguan pencernaan seperti gangguan rasa atau gastroparesis dari diabetes yang
mendasari dan penyebab mekanis. Pada pasien yang mual merupakan keluhan
utama, antiemetik dapat digunakan. Pasien dengan gastroparesis dapat menerima
terapi dengan agen promotilitas seperti metoclopramide. Gangguan selera yang
menyebabkan berkurangnya nafsu makan bisa disebabkan oleh sinusitis yang, jika
ada, dapat diobati dengan antibiotik (Raghavan dan Holley, 2016).
Penyakit CKD akan menimbulkan gangguan pada berbagai sistem atau
organ tubuh.
a. Gangguan secara umum
Fatigue, malaise, gagal tumbuh.
b. Gangguan sistem pernapasan
Hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleura.
c. Gangguan pada sistem kardiovaskuler
Smeltzer & Bare (2010) menyatakan bahwa gangguan kardiovaskuler pada
GGK mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif, dan edema
pulmoner (akibat cairan berlebih), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan
perikardial oleh toksin uremik).
d. Gangguan pada sistem gastrointestinal
1) Anoreksia dan nause yang berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein dalam usus dan terbentuknya zat–zat toksik akibat metabolisme
bakteri usus seperti ammonia dan metal guanidine, serta sembabnya mukosa
usus.
2) Ureum yang berlebihan pada air liur yang diubah oleh bakteri dimulut
menjadi amonia oleh bakteri sehingga nafas berbau amonia. Akibat yang
lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
3) Cegukan yang belum diketahui penyebabnya.
e. Gangguan pada sistem hematologi
1) Anemia, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain.
2) Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoiesis pada
sumsum tulang menurun.
3) Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik.
4) Defisiensi besi dan asam folat akibat nafsu makan yang berkurang
5) Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.
6) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisma sekunder.
7) Gangguan fungsi trombosit dan trombosotopenia yang mengakibatkan
perdarahan.
8) Gangguan fungsi leukosit, di mana fagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
f. Gangguan pada meuromuskular
1) Restless leg syndrome, di mana pasien merasa pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan.
2) Feet syndrome, yaitu rasa semutan dan seperti terbakar terutama di telapak
kaki.
3) Ensefalopati metabolic, yang menyebabkan lemah, tidak bisa tidur,
gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
4) Miopati, yaitu kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot
ekstremitas proksimal.
g. Gangguan pada sistem endokrin
1) Gangguan seksual: libido, fertilitas dan penurunan seksual pada laki-laki,
pada wanita muncul gangguan menstruasi.
2) Gangguan metabolisme glukosa: resistensi insulin yang menghambat
masuknya glukosa ke dalam sel dan gangguan sekresi insulin.GGK disertai
dengan timbulnya intoleransi glukosa.
3) Gangguan metabolisme lemak: biasanya timbul hiperlipidemia yang
bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, peninggian VLDL (Very Low
Density Lipoprotein) dan penurunan LDL (Low Density Lipoprotein). Hal
ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akibat
menurunnya fungsi ginjal.
4) Gangguan metabolisme vitamin Dmenyebabkan gangguan penyerapan usus
terhadap kalsium dan hipokalsemia. Kalsium plasma yang rendah
menyebabkan kompensasi hiperplasia paratiroid dan peningkatan sekresi
hormon paratiroid.
h. Gangguan dermatologi
1) Rasa gatal yang parah (pruritus). Butiran uremik merupakan suatu
penumpukan kristal urea dikulit.
2) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan gatal-gatal akibat toksin uremik dan
pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
i. Gangguan pada tulang
Metabolisme kalsium dan fosfat yang abnormal menyebabkan perubahan
tulang (osteodistrofi ginjal) dan kalsifikasi metastatik. Osteodistrofi ginjal
adalah suatu kombinasi kompleks osteomalasia dengan efek hiperparatiroid
(osteitis fibrosa kistik). Kalsifikasi metastasik pada dinding pembuluh darah
kecil dapat menyebabkan perubahan iskemik pada jaringan yang terkena.
j. Gangguan metabolik
Kegagalan ekskresi ion hidrogen menyebabkan pengumpulan asam di dalam
darah (tubuh menghasilkan asam berlebihan selama metabolisme sel)
menyebabkan asidosis metabolik.
k. Gangguan cairan-elektrolit
Gangguan asam-basa mengakibatkan kehilangan natrium sehingga terjadi
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipermagnesemia, dan hipokalsemia.
l. Ketidakmampuan pemekatan urine
Ketidakmampuan ini merupakan suatu manfestasi klinis awal GGK. Keadaan
ini menyebabkan poliuria (peningkatan jumlah keluaran urine), nokturia (urine
berlebihan pada malam hari), dan isotenuria (keluaran urine hanya bervariasi
sedikit dari berat jenis 1,010). Poliuria sering menyebabkan dehidrasi.
m. Gangguan fungsi psikososial
Perubahan kepribadian dan perilaku serta perubahan proses kognitif.
E. Patofisiologi
Batu ginjal dan gagal ginjal merupakan dua gangguan pada ginjal yang
cukup sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya batu ginjal, mulai dari faktor keturunan, kebiasaan
minum, pola hidup dan kebiasaan, serta faktor-faktor lainnya. Batu ginjal yang
dalam istilah kedokteran disebut nefrolitiasis terjadi ketika kristal batu terbentuk
dan menyumbat saluran ureter. Zat kalsium, oksalat, dan fosfat menyebabkan
timbulnya endapan batu. Batu tidak hanya dapat terbentuk di ginjal, namun juga
dapat terbentuk di sepajang saluran yang dilewati oleh urine seperti saluran ureter
dan kandung kemih. Batu yang semakin membesar dalam ureter lama-kelamaan
akan mengakibatkan ginjal bengkak. Urin pun akan terakumulasi lebih banyak
yang dinamakan hidronefrosis di ginjal sehingga muncul gejala utama berupa
nyeri hebat pada perut bagian bawah dan punggung. Terkadang nyeri dapat
menjalar hingga ke paha. Nyeri hebat tersebut disebut dengan istilah kolik. Dalam
kondisi ini, kerja ginjal menjadi lebih berat dan akhirnya rusak. Gagal ginjal baru
terjadi apabila kristal batu menyumbat ginjal kanan dan kiri. Fungsi ginjal akan
menurun dalam mengatur tekanan darah dan kadar cairan dalam tubuh.
Kemampuannya untuk menyaring racun pun melemah. Akibatnya, pasien gagal
ginjal harus rutin cuci darah agar kerja ginjal optimal.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius
belum muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada
keadaan dimana basal LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada penderita antara lain penderita merasakan letih dan
tidak bertenaga, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan berat
badan, susah tidur, kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan
pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering kencing terutama
pada malam hari. Pada LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan
tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai pada LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal (Maw dan Fried, 2013).
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Hal-hal yang dapat ditemukan
pada pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal adalah:
1. Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadi setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat
dihasilkan urine tak ada (anuria).
2. Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau
keruh, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
mioglobin dan porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga
didapatkan kekeruhan urine yang mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat atau urat.
3. Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal
4. Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi
yang sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
ginjal, dan rasio urine/serum 1:1
5. Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna
6. Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik
7. Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria
terletak pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus
bila terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges, 2000)
b. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar
urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin,
urinalisis. Hb: menurun pada adanya anemia
1. Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
2. pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemam
3. puan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
4. BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin meningkat
pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Biasanya
meningkat pada proporsi rasio 10:1.
5. Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine.
6. Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
7. Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
8. pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
9. Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
10. Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial.
c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,
dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia). Pemeriksaan ini
menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.
d. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa
pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
1. Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2. Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
3. Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
4. Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal.
e. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
f. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah
diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO2
normal,PCO2 rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley,
2006).
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal ginjal bertujuan untuk mempertahankan fungsi ginjal
dan homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan
faktor yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani
(Smeltzer, 2013). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi
tiga yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral
5. Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006)
1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya
menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan
pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney
Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2. Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan
gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan dengan
menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui kateter.
Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang berbeda-beda
(waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya gravitasi ke
dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah drainase selesai,
dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali. Pembuangan zat
terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi dicapai melalui
perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik
seperti pada hemodialisis
3. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai oleh
pasien dengan gagal ginjal. Tindakan standar dalam transplantasi ginjal
dengan merotasikan ginjal donor dan meletakannya pada fosa iliaka
kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak di sebelah anterior pembuluh
darah ginjal ke dalam kemih resipien. Arteria renalis beranastomosis end-to-
end pada arteri iliaka interna, dan vena renalis beranastomosis dengan vena
iliaka komunis atau eksternal. Pertimbangan program transplantasi ginjal,
yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
H. Clinical Pathway
Sumbatan/batu ginjal
HEMODIALISIS
HEMODIALISIS
Pra-Hemodialisis
Pra-Hemodialisis Intra-Hemodialisis Post-Hemodialisis
Proses Ultrafiltrasi
Kecemasan menghadapi Pemberian terapi Tindakan invasif saat Penggunaan cairan
terapi hemodialisa pemasangan fistula & dialisat asetat
AV Shunt Penarikan cairan ↑penyaringan &
Terapi antikoagulan
berlebih & cepat ke pemasukan Ca
Ansietas dalam dializer
Adanya jalur masuk Bersifat asam
Menghambat faktor – faktor mikroorganisme asetat
Depolarisasi Ca
pembekuan darah
↓volume cairan
tubuh
Resiko infeksi Gangguan Kontraksi otot terus
Mudah terjadi hemodinamik menerus
pendarahan
Meningkatkan Resiko syok
produksi asam Menimbulkan suasana Kram otot
Resiko pendarahan lambung asam dalam darah
Merangsang pusat
mual di medula Penumpukan asam
laktat pada otot
Mual
Gambar Hemodialisa
Prinsip yang mendasari hemodialisa adalah pada hemodialysis aliran darah yang
penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer
tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.
Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial
berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran
semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat
bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat
akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2002).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit
yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini
dapat di tingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto
dan Madjid, 2009). Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula
dan femoralis, fistula, tandur (Suharayanto dan Madjid, 2009).
a. Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai
melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis
dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera
dan sementara.
b. Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan
pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan
antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4
sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan
untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan
ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak
aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan
untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis.
c. Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah
tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena,
material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri.
Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok
untuk dijadikan fistula.
b. Tujuan
Tujuan dari hemodialisis yaitu untuk mengeluarkan zat nitrogen yang toksik di
dalam darah dan mengurangi cairan yang berlebihan dari dalam tubuh. Hemodialisis
dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk
mencegah kerusakan permanen dan menghindari kematian. Hemofiltrasi digunakan
untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan (Smeltzer, 2013).
c. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD
kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1) Kegawatan ginjal
a) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
e) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g) Ensefalopati uremikum
h) Neuropati/miopati uremikum
i) Perikarditis uremikum
j) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k) Hipertermia
2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut
K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan klien yang
mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini
(Daurgirdas et al., 2007):
1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
5) Komplikasi metabolik yang refrakter
d. Komponen hemodialisa
1. Mesin hemodialisa
Mesin hemodialisa merupakan mesin yang dibuat dengan sistim
komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting
untuk mencapai adekuasi hemodialisa.
2. Dialiser
Dialiser merupakan komponen penting yang merupakan unit fungsional
dan memiliki fungsi seperti nefron ginjal.Berbentuk seperti tabung yang terdiri
dari dua ruang yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang
dipisahkan oleh membran semi permeabel. Di dalam dialiser cairan dan
molekul dapat berpindah dengan cara difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan
konveksi. Dialiser yang mempunyai permebilitas yang baik mempunyai
kemampuan yang tinggi dalam membuang kelebihan cairan, sehingga akan
menghasilkan bersihan yang lebih optimal (Brunner & Suddarth, 2001; Black,
2005 ).
3. Dialisat
Diasilat merupakan cairan yang komposisinya seperti plasma normal dan
terdiri dari air dan elektrolit, yang dialirkan kedalam dialiser. Dialisat
digunakan untuk membuat perbedaan konsentrasi yang mendukung difusi
dalam proses hemodialisa. Dialisat merupakan campuran antara larutan
elektrolit, bicarbonat, dan air yang berperan untuk mencegah asidosis dengan
menyeimbangkan asam basa.Untuk mengalirkan dialisat menuju dan keluar
dari dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat menuju dan keluar dari
dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat yang disebut Quick Of Dialysate
(Qd). Untuk mencapai hemodialisa yang adekuat Qd disarankan adalah 400-
800 mL/menit (Pernefri, 2003).
4. Akses vascular
Akses vascular merupakan jalan untuk memudahkan pengeluaran darah
dalam proses hemodialisa untuk kemudian dimasukkan lagi kedalam tubuh
klien. Akses yg adekuat akan memudahkan dalam melakukan penusukan dan
memungkinkan aliran darah sebanyak 200-300 mL/menit untuk mendapat hasil
yang optimal. Akses vaskular dapat berupa kanula atau kateter yang
dimasukkan kedalam lumen pembuluh darah seperti sub clavia, jungularis, atau
femoralis. Akses juga dapat berupa pembuluh darah buatan yang
menyambungkan vena dengan arteri yang disebut Arteorio Venousus
Fistula/Cimino (Pernefri, 2003).
5. Quick of blood
Qb adalah banyaknya darah yang dapat dialirkan dalam satuan menit dan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bersihan ureum. Peningkatan
Qb akan meningkatkan peningkatan jumlah ureum yang dikeluarkan sehingga
bersihan ureum juga meningkat. Dasar peningkatan aliran (Qb) rata rata adalah
4 kali berat badan klien. Qb yang disarankan untuk klien yang menjalani
hemodialisa selama 4 jam adalah 250-400 m/Lmenit (Daugirdas, 2007; Gatot,
2003).
e. Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: kompartemen darah, kompartemen
cairan pencuci (dialisat), dan ginjal buatan (dialiser). Darah dikeluarkan dari
pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam
mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah
bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar didalam tubuh. Proses
dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser.
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air
melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007). Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan
gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al.,
2007).
Gambar Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis
f. Manfaat Hemodialisa
Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam
urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita (Lumenta, 2001).
Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam klien Manejemen sensasi perifer (2660)
perfusi jaringan dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan : 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
perifer (00228) Perfusi jaringan: perifer (0407) peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
Indikator Awal Akhir Keterangan 3. lnstruksikan keluarga untuk mengobservasi
1:deviasi berat dari kulit jika ada isi atau laserasi
Pengisian kapiler jari kisaran normal 4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
2: deviasi yang 5. Monitor adanya penekanan dari gelang, alat-
Tekanan darah sistolik cukup berat dari alat medis, sepatu dan baju
kisaran normal 6. Kolaborasi pemberian analgetik
Tekanan darah 3: deviasi sedang 7. Monitor adanya tromboplebitis dan
diastolik dari kisaran normal tromboemboli pada vena
4: deviasi ringan dari 8. Diskusikan menganai penyebab perubahan
Edema perifer sensasi
kisaran normal
5: tidak ada deviasi
Kram otot dari kisaran normal
K. Discharge Planning
Pemberian informasi pada klien dan keluarga tentang:
1. Obat: beritahu klien dan kelurga tentang daftar nama obat dosis, waktu
pemberian obat. Jangan mengonsumsi obat-obatan tradisional dan vitamin
tanpa instruksi dokter. Konsumsi obat secara teratur. Jika merasakan ada efek
samping dari obat segera cek ke rumah sakit. Perhatikan aktivitas ketika
selesai meminum obat yang memiliki efek samping mengantuk.
2. Diet: pertahankan diet seperti yang dianjurkan petugas kesehatan seperti
mengkonsusmsi makanan tinggi kalori dan rendah protein. Hal ini
daikarenakan protein dipecah oleh asam amino dengan bantuan enzim
kemudian diproses oleh ginjal. Semakin banyak protein yang dicerna maka
semakin banyak asam amino yng disaring oleh ginjal sehingga membuat
ginjal bekerja lebih berat. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna mencegah
terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang pengeluaran insulin.
Banyak mengonsumsi makanan rendah natrium dan kalium. Hal ini
disebabkan karena natrium berhubungan dengan peningkatan tekanan darah.
Rendah kalium guna mencegah timbulnya kegawatan jantung karena
hiperkalemia.
3. Latihan: Melatih membuat jantung lebih kuat, menurunkan tekanan darah,
dan membantu membuat klien tetap sehat. Cara terbaik untuk mulai
berolahraga perlahan-lahan dan lakukan lebih berat untuk membuat klien
lebih kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Aisara, S., S. Azmi, dan M. Yanni. 2018. Artikel Penelitian Gambaran Klinis
Penderita Penyakit Ginjal Kronik. Artikel Penelitian. 7 (1): 42-50
Baradero, M. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC Doenges, M.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Grace & Borley.2006. At a Glance Ilmu Bedah. edisi ketiga. Jakarta: Erlangga
Karam, M. R. A., M. Habibi, dan S. Bouzari. 2019. Urinary Tract Infection:
Pathogenicity, Antibiotic Rsistence an dDevelopment of Effective Vaccines
against Uropathogenic Escherichia Coli. Molecular Immunology. 108 (69):
56-67.
Herdman, T. & Shigami, K. 2015. NANDA International Inc. Diagnosis
Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Ed. 10. Alih Bahasa:
Budi Anna Keliat dkk. Jakarta: EGC.
Nuari, N., dan Widayati, D. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. Jogjakarta : Deepublish
Raghavan, D., dan J.L. Holley 2016. Conservative Care of The Elderly Chronic
Kidney Disease Patient: A Practical Guide. Advance in Chronic Kidney
Disease. 23(1): 51-56
Ri, K.K, 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. ISSN 2442-7659
Shafi, T dan J. Coresh. 2015. Chronic Kidney Disease : Definition, Epidemiology,
Cost, and Outcomes. Edisi 3. Elsevier Inc. Chronic Kidney Disease,
Dialysis, and Transplantation.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC.
Smetzer, Susan C. 2013. Keperawatan medikal-Bedah Brunner & Suddarth’s
Edisi 12. Jakarta: EGC
Suharyanto, Abdul, Madjid. 2009. Asuhan Keperawatan Pada KLien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.