Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT
PENDIDIKAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
FILSAFAT PENDIDIKAN

Di susun oleh
NO NAMA NPM
1 Giri Wiarto 18720006
2 Misnanto 18720007
3 Nanang Avandi 18720008
4 Samsul Arifin 18720021

PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala limpahan Rahmat dan
Inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu,menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.

Metro, 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... ii


DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
C. Tujuan ........................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 4
A. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme ......................................... 4
B. Filsafat Pedidikan Progresivisme ............................................... 11
C. Filsafat Pendidikan Perenealisme .............................................. 13
D. Filsafat Pendidikan Esensialisme ............................................... 15
E. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme ................................... 17
BAB III KESIMPULAN ...................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat
untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam
sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika
berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama
dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi
sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas
filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat
juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang
biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang
mempertanyakan segala hal.
Semenjak Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan
disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat; maka semenjak itu pula refleksi filsafat
mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Dan lahirlah pada
abad 18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan (theory of
knowledge atau epistemology). Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber
serta tatacara untuk menggunakan sarana dan metode yang sesuai guna
mencapai pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula evidensi dan syarat-syarat yang
harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah, serta batas batas
validitasnya.
Mula-mula filsafat berarti sifat seseorang berusaha menjadi bijak,
selanjutnya filsafat mulai menyempit yaitu lebih menekankan pada latihan
berpikir untuk memenuhi kesenangan intelektual (intelectual curiosity), juga

1
filsafat pada masa ini ialah menjawab pertanyaan yang tinggi yaitu pertanyaan
yang tidak dapat dijawab oleh sains. Secara terminologi filsafat banyak
diartikan oleh para ahli secara berbeda, perbedaan konotasi filsafat disebabkan
oleh pengaruh lingkungan dan pandangan hidup yang berbeda serta akibat
perkembangan filsafat itu sendiri seperti; James melihat konotasi filsafat
sebagai kumpulan pertanyaan yang tidak pernah terjawab oleh sains secara
memuaskan. Russel melihat filsafat pada sifatnya ialah usaha menjawab,
objeknya ultimate question. Phytagoras menunjukkan filsafat sebagai
perenungan tentang ketuhanan. Poedjawijatna (1974: 11) menyatakan filsafat
diartikan ingin mencapai pandai, cinta, pada kebijakan, dan sebagai jenis
pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi
segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Hasbullah Bakry (1971: 11)
mengatakan filsafat menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal
manusia dan bagiamana sikap manusia itu harus setelah mencapai
pengetahuan itu, dan masih banyak pendapat dari tokoh-tokoh lainnya.
Filsafat pendidikan merupakan hasil pemikiran dan perenungan
secara mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Para filsuf
melalui karya filsafat pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang
pendidikan, yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran
keberadaan peserta didik dan pendidik maupun ditinjau dari latar geografis,
sosiologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia
akan menimbulkan aliran Perenialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan
Eksistensialis. Sedangkan dari sudut geografis, sosiologis, dan budaya akan
menimbulkan aliran Esensialis, Tradisionalis, Progresivis, dan
Rekonstruksionis.
Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut di atas, memberi dampak
terciptanya konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-
masing konsep akan mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu.
Dalam memangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga

2
mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas kebenaran berdasarkan
kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori pendidikan harus
disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat diambil rumusan masalah, sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan aliran filsafat eksistensialisme,
progresivisme, perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme?
2. Bagaimana konsep pendidikan aliran filsafat eksistensialisme,
progresivisme, perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme?
3. Bagaimana implikasi aliran filsafat eksistensialisme, progresivisme,
perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme di dunia pendidikan
Indonesia?
4. Apa saja contoh penerapan aliran filsafat eksistensialisme, progresivisme,
perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut, tujuan dari makalah ini adalah
1. Mengetahui pengertian dari aliran filsafat eksistensialisme, progresivisme,
perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme.
2. Mengetahui konsep pendidikan aliran filsafat eksistensialisme,
progresivisme, perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme.
3. Mengetahui implikasi aliran filsafat eksistensialisme, progresivisme,
perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme di dunia pendidikan
Indonesia.
4. Mengetahui contoh penerapan aliran filsafat eksistensialisme,
progresivisme, perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, yang berarti bahwa


filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan
menggunakan hasil-hasil kajian dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia
tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, khususnya yang berkaitan dengan praktek
pelaksanaan pendidikan. Dalam filsafat pendidikan terdapat berbagai aliran
sesuai dengan aliran yang terdapat dalam filsafat. Tinjauan filsafat dapat berwujud
sebagai upaya penemuan kongruensi antara aliran-aliran filsafat pendidikan
dengan filsafat pancasila. Berikut ini akan diuaraikan berbagai aliran filsafat
pendidikan yang menjelaskan tentang pengkajian terhadap fenomena atau gejala
dan eksistensi manusia dalam pengembangan hidup dan kehidupannya dalam
alam dan lingkungannya yang tercakup dalam eksistensialisme, progresivisme,
perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme ( Edward dan Yusnadi, 2015:
18-19 ).
A. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat
eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya di
dalam filsafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti cara manusia
berada di dalam dunia, dan hal ini berada dengan cara berada benda-benda,
sebab benda-benda tidak sadar akan keberadaannya sebagai sesuatu yang
memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada di samping yang lain. Secara
lengkap eksistensi memiliki hubungan dengan yag lain, dan berada di samping
yang lain. Secara lengkap eksistensi memiliki arti bahwa manusia berdiri
sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia
sadar bahwa dirinya ada.
Menurut Callahan, 1983 (dalam Pidarta, 2007:93-94) filsafat
pendidikan eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah
eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia
ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia.

4
Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan
dan komitmennya sendiri. Seseorang akan menjadi tahu tentang sesuatu
melalui pengalaman. Hal itu bergantung pada tingkat kesadaran masing-
masing untuk mencari pengalaman. Kebenaran menurut mereka adalah relatif
bergantung kepada keputusan mereka masing-masing. Begitu pula nilai-nilai
ditentukan oleh setiap individu. Orang tidak perlu menyesuaikan diri dengan
nilai-nilai sosial agar eksistensinya tidak hilang.
Ada beberapa pandangan penganut filsafat ini sehubungan dengan
eksistensi, yakni:
1. Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang
bereksistensi, manusialah sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat
humanistis.
2. Bereksistensi tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya
secara aktif, merencanakan,berbuat dan menjadi.
3. Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka
serta realistis. Namun demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya
terutama sesama manusia (Edward dan Yusnadi, 2015: 28 ).
Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran
individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong
pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan
mengembangkan komitmen diri. Materi pelajaran harus memberi kesempatan
aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri,
maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan
langsung dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan
pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru
harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar tidak langsung (Pidarta,
2007:94).
Eksistensi manusia sebagai makhluk hidup di muka bumi ini memiliki
hakikat-hakikat sebagai berikut ini:
1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan

5
Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran (consciousness)
dan penyadaran diri (self-awarness). Karena itu, manusia adalah subjek
yang menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan
segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek), selain itu manusia bukan
saja mampu berpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus
sadar tentang pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari
perbedaan dengan alam bahwa konteks keseluruhan alam semesta
manusia merupakan bagian daripadanya.
Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul
alam semesta, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme. Menurut
Evolusionisme, alam semesta menjadi ada bukan karena diciptakan oleh
Sang Pencipta atau Prima Causa, melainkan ada dengan sendirinya, alam
semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi.
Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta
adalah sebagai hasil ciptaan suatu Crative Cause atau Personality, yang
kita sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Bertolak dari pandangan tersebut, secara umum ada dua pandangan
yang berbeda pula tentang asal-usul manusia. Menurut Evolusionisme
beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai hasil evolusi.
Sebaliknya Kreasionisme menyatakan bahwa beradanya manusia di alam
semesta sebagai makluk (ciptaan) Tuhan.
Oleh karena itu manusia berkedudukan sebagai makluk Tuhan
Yang Maha Esa maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat
kita alami sendiri adanya Fenomena Kemakhlukan. Fenomena
kemakhlukan ini, antara lain berupa pengakuan atas kenyataan adanya
perbedaan kodrat dan martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia
merasakan dirinya begitu kecil dan rendah di hadapan Tuhan Yang Maha
Besar dan Maha Tinggi. Manusia mengakui keterbatasan dan
ketidakberdayaannya dibanding Tuhannya yang Maha Kuasa dan Maha
Perkasa. Manusia serba tidak tahu, sedangkan Tuhan serba Maha Tahu.
Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia

6
merasakan kasih sayang TuhanNya, namun ia pun tahu begitu pedih
siksaNya.
2. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Roh
Terdapat empat paham mengenai struktur metafisik manusia, yaitu
Materialisme, Idealisme, Dualisme, dan paham yang menyatakan bahwa
manusia adalah kesatuan badan-roh.
a. Materialisme : Alam semesta atau realitas ini tiada lain adalah serba
materi, zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta
sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Yang esensial
dari manusia adalah badanya, bukan jiwa atau rohnya. Manusia
adalah apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging,
tulang, urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau
rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai resonansi saja dari
fungsinya badan atau organ tubuh.
b. Idealisme : Bertolak belakang dengan pandangan di atas, menurut
penganut Idealisme bahwa esensi diri manusia adalah jiwanya atau
spiritnya atau rohaninya. Dalam hubungannya dengan badan, jiwa
berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi
badan karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa
adalah asas primer yang menggerakkan semua aktivitas manusia,
badan tanpa jiwa tiada memiliki daya.
c. Dualisme : Dari dua pandangan diatas tampak bertolak belakang.
Pandangan pertama bersifat monis-materialis, sedangkan kedua
bersifat monis-spiritualis. Menurut Descartes esensi diri manusia
terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Oleh karena manusia
terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa) maka antara
keduanya tidak terdapat hubungan salaing mempengaruhi, namun
demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu pararel dengan peristiwa
badaniah atau sebaliknya.
Sebagai kesatuan jasmani-rohani, manusia hidup dalam ruang dan
waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai

7
kebutuhan, insting, nafsu, serta mempunyai tujuan. Selain itu, manusia
potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki
potensi untuk berkarya. Adapaun dalam eksitensinya manusia memiliki
aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan dan
keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau
berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika.
3. Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi
antara aspek jasmani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan,
sebaliknya bukan hanya roh. Sebagai individu, setiap manusia
mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Setiap manusia mempunyai
dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri. Masing-masing secara sadar
berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya sendiri atau
bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu, dan masing-masing
mampu menyatakan “inilah aku” di tengah-tengah segala yang ada.
Karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai
objek.
4. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak
hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya
untuk dirinya sendiri. Manusia hidup dalam keterpautan dengan
sesamanya. Di samping itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan
hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan
tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Sehubungan ini Aristoteles
menyebut manusia sebagasi makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya
hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka
idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesamanya itu tidak
merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek
dengan subjek. Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal

8
balik antara individu dengan sesamanya dalam rangka mengukuhkan
eksisitensinya masing-masing maka hendaknya terdapat keseimbangan
antara individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.
5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia pada dasarnya adalah makhluk budaya yang harus
membudayakan dirinya. Manusia sebagai makhluk budaya mampu
melepaskan diri dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu menguasai
alam sekitarnysa dengan alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini
berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama
makhluk alamiah dengan manusia dia tidak dapat melepaskan dari ikatan
dorongan nalurinya dan terikat erat oleh alam sekitarnya.
Kebudayaan memiliki fungsi bagi kemungkinan eksistensinya
manusia, namun demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam
mengembangkannya, kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuatan-
kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Kodrat dinamika hidup
manusia mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaharuan
eksistensinya. Selain itu, mengingat adanya dampak kebudayaan terhadap
manusia, masyarakat kadang-kadang terombang-ambing di antara dua
ralasi kecenderungan. Di satu pihak ada yang mau melestarikan bentuk-
bentuk lama (tradisi), sedang yang lain terdorong untuk menciptakan hal-
hal baru (inovasi). Ada pergolakan yang tak kunjung reda antara tradisi
dan inovasi.
6. Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai potensi
dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab,
serta punya potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia
memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki
aspek kesusilaan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang
memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebagai makhluk
otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada satu
alternatif tindakan yang harus dipilihnya.

9
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan
norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya.
Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan
perbuatannya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau
tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya.
7. Manusia sebagai Makhluk Beragama
Aspek Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial
eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau
keyakinan akan kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam sikap dan
perilaku. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan
yang sungguh atas suatu agama, adapun yang dimaksud dengan agam
ialah : “satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya
sesuatu yang mutlak di luar manusia, satu sistem ritus (tata peribadatan)
manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu, dan satu sistem norma (tata
kaidah) yang mengatur hubungan manuisa dengan manusia dan alam
lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan termaksud di atas.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah
menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar
tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar
(sehingga) manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup
beragama kerana agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat
mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak
dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-maswing
individu. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya
menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata
cara hidup dalam berbagai aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula
apa yang menjadi tujuan hidupnya.
8. Manusia sebagai Makhluk Berpendidikan

10
Pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia
atau upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai
dengan martabat kemanusiaan. Sebab manusia menjadi manusia yang
sebenarnya jika ia mampu merealisasikan hakikatnya secara total maka
pendidikan hendaknya merupakan upaya yang dilaksanakan secara sadar
dengan bertitik tolak pada asumsi tentang hakikat manusia.
Hidup bagi manusia bukan sekedar hidup sebagaimana hidupnya
tumbuhan atau hewan, melainkan hidup sebagai manusia. Hak hidup bagi
manusia mengimplikasikan hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebab
hak asasi manusia diinjak-injak oleh penguasa pemerintahan monarki dan
absolutisme. Melalui pendidikan hak asasi diupayakan agar diperoleh
setiap individu.
Contoh pendidikan eksistensialisme yaitu adanya penerapan program
ekstrakurikuler di sekolah. Dalam program ini peserta didik bebas memilih
apa yang menjadi kesenangan dan bakat mereka tanpa adanya paksaan. Dari
program ekstrakurikuler ini peserta didik dapat menunjukkan prestasi dan
eksistensinya.
B. Filsafat Pendidikan Progresivisme
Filsafat pendidikan progresiv lahir di Amerika Serikat. Filsafat ini
sejalan dengan jiwa bangsa Amerika pada waktu itu, sebagai bangsa yang
dinamis berjuang mencari hidup baru di negeri seberang. Bagi mereka tidak da
hidup yang tetap, apalagi nilai-nilai yang abadi. Yang ada adalah perubahan.
Mereka sangat menekankan kehidupan sehari-hari, maka segala tindakan
mereka diukur dari kegunaan praktisnya. Karena tujuan tidak pasti, maka cara
atau alat untuk mencapai tujuan itu pun tidak pasti pula. Tujuan dan alat bagi
mereka adalah satu, artinya bila tujuan berubah maka alat pun berubah pula.
Tokoh filsafat pendidikan progresivisme ini adalah John Dewey (Pidarta,
2007:92).
Menurut penganut aliran ini bahwa kehidupan manusia berkembang
terus menerus dalam suatu arah positif. Apa yang dipandang benar sekarang
belum tentu benar pada masa yang akan dating. Oleh sebab itu, peserta didik

11
bukan dipersiapkan untuk menghidupi kehidupan masa kini, melainkan
mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan masa datang.
Permasalahan hidup kini tidak akan sama dengan permasalahan hidup masa
yang akan dating. Untuk itu, peserta didik harus diperlengkapi dengan
strategi-strategi menghadapi kehidupan masa dating dan pemecahan masalah
yang memungkinkan mereka mengatasi permasalahan-permasalahn baru
dalam kehidupan dan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang relevan
pada masa itu (Edward dan Yusnadi, 2015:28).
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan untuk tetap
survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat
segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan
instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan
intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk
mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimental atau
empirik karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Progresivisme dinamakan
environtalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup ini
mempengaruhi pembinaan kepribadian (Imam Muis, 2004).
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan yang meliputi: ilmu hayat, bahwa manusia untuk mengetahui
semua masalah kehidupan. Antropologi yaitu bahwa manusia memiliki
pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru.
Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan,
pengelaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan
mengaturnya.
Prinsip-prinsip pendidikan menurut pandangan progresivisme menurut
Kneller (dalam Uyoh Sadullah, 2010:148) meliputi:
1. Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
2. Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, minat
individu yang dijadikan sebagai motivasi belajar.

12
3. Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap
pemberian subject matter. Jadi, belajar harus dapat memecahkan masalah
yang penting dan bermanfaat bagi kehidupan anak. Dalam memecahkan
suatu masalah, anak dibawa berpikir melewati beberapa tahapan yang
disebut metode berpikir ilmiah, sebagai berikut:
 Anak menghadapi keraguan, merasakan adanya masalah
 Menganalisis masalh tersebut dan menduga atau menyusun
hipotesis-hipotesis yang mungkin
 Mengumpulkan data yang akan membatasi dan memperjelas
masalah
 Memilih dan menganalisis hipotesis
 Mencoba, menguji, dan membuktikan
4. Peranan guru tidak langsung, melainkan memberi petunjuk kepada siswa
5. Sekolah harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangkan
persaingan.
6. Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi
pertumbuhan.
Contoh penerapan aliran filsafat progresivisme dapat terlihat dari
perubahan sistem mengajar di sekolah. Dulu sekolah-sekolah di Indonesia
menerapkan pembelajaran Teacher Learning Centre (TLC), dimana guru
menjadi pusat pembelajaran. Namun karena perkembangan zaman dan
kesadaran akan perlunya mempersiapkan peserta didik yang mampu
mengatasi masalah-masalah baru yang muncu di kehidupan yang akan datang
maka diterapkanlah Student Learning Centre (SLC), diman peserta didik
memiliki kesempatan luas untuk bereksplorasi, menemukan hal-hal baru, serta
mengembangkan pendapat dan pikiran mereka. Pada pembelajaran SLC, guru
hanya berperan sebagai pembimbing dan fasilitator untuk peserta didik.
C. Filsafat Pendidikan Perenialisme
Filsafat ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan
agama Katolik-Kristen. Pada zaman itu tokoh-tokoh agam menguasai hamper
semua bidang kemasyarakatan. Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah

13
yang berintikan ajaran agama muncul di sana-sini. Ajaran agama itulah
merupakan suatu kebenaran yang patut dipelajari dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas Aquino.
Pengaruh filsafat ini menyebar ke seluruh dunia. Bukan saja di
kalangan Katolik dan Protestan, tetapi juga pada agama-agama lain.
Demikianlah kita lihat di Indonesia banyak sekolah diwarnai keagaam seperti
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama di samping sekolah-sekolah Katolik dan
Kristen (Pidarta, 2007:91-92).
Perenialisme merupakan aliran yang menentang ajaran progesivisme.
Perenialisme mengambil jalan regresif karena mempunyai pandangan bahwa
tidak ada jalan kecuali kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah
menjadi dasar tingkah laku dan perubahan zaman kuno dan abad pertengahan.
Motif perenialisme dengan mengambil jalan regresif bukanlah hanya nostalgia
atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan
berpendapat bahwa nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi
pembangunan kebudayaan abad kedua puluh. Prinsip-prinsip aksiomatis yang
terikat oleh waktu terkandung dalam sejarah.
Berikut ini ada beberapa prinsip pendidikan perenialisme, sebagai
berikut:
1. Pada hakekatnya manusia adalah sama dimanapun dan kapanpun ia
berada, yang walau lingkungannya berbeda. Tujuan pendidikan adalah
sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan dan kebajikan,
untuk memperbaiki manusia sebagai manusia atau dengan kata lain
pemuliaan manusia. Oleh karena itu maka pendidikan harus sama bagi
semua orang kapanpun dan dimanapun.
2. Bagi manusia, pikiran adalah kemampuan yag paling tinggi. Karena itu
manusia harus menggunakan pikirannya untuk mengembangkan
bawaannya sesuai dengan tujuannya.manusia memiliki kebebasan namun
harus belajar untuk mempertajam pikiran dan dapat mengintrol hawa
nafsunya. Kegagalan yang dialami peserta didik jangan dengan cepat
menyalahkan lingkungan yang kurang menguntungkan atau nuansa

14
psikologis yang kurang menyenangkan, namun guru hendaknya dapat
mengatasinya dengan pendekatan intelektual yang sama bagi semua
peserta didik.
3. Fungsi utama pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang
kebenaran yang pasti dan abadi. Pengetahuan yang penting diberikan
kepada peserta didik adalah mata pelajaran pendidikan umum atau general
education, bukan mata pelajaran yang hanya penting sesaat atau menarik
minat pada saat tertentu saja atau seketika. Mata pelajaran yang esensi
adalah pelajaran bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3
R’s; membaca, menulis, dan menghitung.
4. Pendidikan adalah persiapan untuk hidup bukan peniruan untuk hidup.
5. Peserta didik harus mempelajari karya-karya besar dalam literature yang
menyangkut sejarah, filsafat, seni, kehidupan sosial terutama politik dan
ekonomi (Edward dan Yusnadi, 2015:30).
Contoh aliran perenialisme pada pendidikan di Indonesia yaitu
berdirinya sekolah-sekolah yang berbasis agama seperti Muhammdiyah,
Nahdatul Ulama, sekolah-sekolah Kristen, dan Pondok Pesantren. Sekolah-
sekolah seperti ini biasanya memiliki kurikulum yang sedikit berbeda dan
lebih mengedepankan ilmu agama karena agama dianggap sebagai sesuatu
yang memiliki nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup.
D. Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang
mendirikan suatu bangunan filsafat tersendiri, melainkan sutu gerakan dalam
pendidikan yang memprotes pendidikan progresivisme. Penganut faham ini
berpendapat bahwa betul-betul ada yang esensial dari pengalaman peserta
didik yang memiliki nilai esensial dan perlu dipertahankan. Esensi (essence)
ialah hakikat barang sesuatu yang khusus sebagai sifat terdalam dari sesuatu
sebagai satuan yang konseptual dan akali. Esensi adalah apa yang membuat
sesuatu menjadi apa adanya. Esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih

15
permanen dan mantap dari sesuatu yang berlawanan dengan yang berubah-
ubah, parsial, atau fenomenal (Edward dan Yusnadi, 2015: 30-31).
Filsafat pendidikan esensial bertitik tolak dari kebenaran yang telah
terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang
lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu
ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang
menggunakan buku-buku klasik yang ditulis dengan bahasa Latin yang
dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya
mampu membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Inilah bukti
bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya
antara lain Brameld. Tekanan pendidikanya adalah pada pembentukan
intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan Yunani-Romawi
yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak peserta didik
akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat
diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran
berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga
mempercepat kebiasaan berpikir efektif. Pengajaran terpusat pada guru
(Pidarta, 2007: 90-91).
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance
mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai
pendidikan dan kebudayaan. Jika progressivisme menganggap pendidikan
yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang,
maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu
pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah
dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas
pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu,
tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi. Nilai-nilai
yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang

16
korelatif, Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad
ke sembilan belas (Imam Barnadib, 1987:29).
Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William
C. Bagley adalah sebagai berikut :
1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya
belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena
dorongan dari dalam diri siswa.
2. Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah
melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan
yang khusus pada spsies manusia.
3. Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan
pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang
pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme)
memberikan sebuah teori yang lemah.
E. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme merupakan variasi dari
progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umunya harus
diperbaiki. Mereka bercita-cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia
secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran
yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan
membangun tata susunan hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan
protes pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan
pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran progresivisme (Pidarta,
2007:93).
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.

17
Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930
( Teguh, 2013:189).
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme adalah sepaham dengan
aliran perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya
saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh
perennialisme, tetapi sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha
membina konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan
utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia restore to the original form.
Untuk mencapai tujuan itu, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan
semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan
manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui
lembaga dan proses pendidikan, rekonstruksioonisme ingin “merombak tata
susunan lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama
sekali baru” (Zuhairini, 1995:29).
Brameld mengemukakan teori pendidikan rekonstruksionisme terdiri
dari lima tesis, yakni:
1. Pendidikan berlangsung saat ini untuk menciptakan tata sosial baru yang
akan mengisi nilai-nilai dasar budaya masa kini, selaras dengan yang
mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
2. Demokrasi sejati merupakan dasar dari kehidupan masyarakat baru.
Lembaga utama di masyarakat ditentukan dan dikontrol oleh masyarakat
itu sendiri. Segala harapan dan kepentingan/kebutuhan masyarakat
menjadi tanggung jawab rakyat melalui wakil-wakil yang dipilih.
3. Anak, sekolah dan pendidikan diatur oleh kekuatan dan budaya sosial.
Rekonstruksionisme memandang kehidupan beradab adalah hidup
berkelompok, sehingga sekolah harus berlangsung dalam kelompok yang
berarti bahwa kelompok memegang peran yang sangat penting di sekolah.
Sekolah adalah realisasi dari sosial (social self realization); melalui
sekolah akan dikembangkan bukan hanya sifat sosialnya akan tetapi
kemampuan untuk melibatkan diri dalam perencanaan sosial.

18
4. Guru memegang peran penting dalam pendidikan di sekolah akan tetapi
dalam pelaksanaan tugasnya harus selalu memperhatikan prosedur
demokratis.
5. Tujuan pendidikan adalah untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang
berhubungan dengan krisis budaya, dan untuk menyesuaikan kebutuhan
dengan sains sosial yaitu nilai-nilai yang universal.
6. Penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur
administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih, sebaiknya harus ditinjau
kembali dan disesuaikan dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar
manusia secara rasional dan ilmiah (Edward dan Yusnadi, 2015:32-33).
Contoh penerapan aliran rekonstruksionisme yaitu pemberian tugas
mandiri kepada peserta didik secara berkelompok maupun individu. Seperti
pembuatan karya ilmiah yang dapat memberikan kesempatan untuk
membangun pengetahuan dan pengalaman masing-masing peserta didik. Dari
tugas ini peserta didik dapat bersosialisasi dan berinteraksi langsung dengan
masyarakat di luar lingkungan sekolahnya, dapat mengetahui masalah-
masalah dan perkembagan apa saja yang terjadi di masyarakat saat ini, serta
dapat memberikan ide, pendapat, atau solusi-solusi atas permasalahan sosial
yang ada.

19
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan
segala sesuatu secara mendalam dan sungguh-sungguh serta radikal sehingga
mencapai hakikat segala situasi tersebut. Dalam rangka mewujudkan
pendidikan yang baik, maka filsafat berperan penting dalam penciptaan.
Penciptaan kondisi – kondisi yang benar-benar mendukung bagi pelaksanaan
suatu kegiatan pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Lahirnya aliran-aliran filsafat pendidikanpun selalu didasarkan atas
keinginan menciptakan manusia-manusia ideal melalui jalur pendidikan.
Aliran-aliran di dalam filsafat pendidikan diantaranya adalah progresivisme,
perenealisme, essensialisme, rekonstruksionisme dan eksistensialisme.
B. Saran
Sebagai pendidika sudah sepantasnya kita memiliki filsafat yang baik
untuk kita terapkan dan aplikasikan demi kehidupan sehari-hari supaya kita
menjadi insan yang memahami akan makna kehidupan dunia ini dan supaya
bisa menjadi uswatun khasanah (suri tauladan) bagi peserta didiknya.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://harkaman01.wordpress.com/aliran_filsafat_pendidikan diunduh tanggal 6


oktober 2018 pukul 19.38 WIB
https://haslizalubis.blogspot.com/aliran_aliran_filsfat diunduh tanggal 6 oktober
2018 pukul 19.45 WIB
www.academia.edu/aliran_aliran_filsafat_pendidikan/ diunduh tanggal 6 oktober
2018 pukul 19.54 WIB

21

Anda mungkin juga menyukai