Tugas - Pidana Mati

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

LEMBAGA BANTUAN HUKUM

TENTANG
PIDANA MATI DI INDONESIA

Disusun Oleh

Nama : 1. LIFDA YANI


Semester : VII
Dosen Pembimbing : RISWAN RIKA, MH

STAI-UMAR BIN KHATTAB UJUNG GADING


JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
KABUPATEN PASAMAN BARAT
TAHUN 1440 H / 2018 M
KATA PENGANTAR

  



Puji sukur penulis aturkan kepada Allah SWT atas segala hidayah dan
rahmat-Nya sehingga penulis diberikan kemampuan dan kekuatan untuk dapat
menyelesaikan Tugas ini dengan judul : “Pidana Mati di INdonesia”.
Penulis menemukan banyak kesulitan dalam penulisan dan penyelesaian
Makalah ini. Dengan adanya bantuan, arahan dari berbagai pihak akhirnya penulis
dapat mengatasi segala kesulitan yang ditemukan dalam penyusunan Makalah ini.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulis.
Dalam penulisan Makalah ini penulis menyadari bahwa penulisan ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan krtik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan ini

Ujung Gading, Desember 2018


Penulis

LIFDA YANI
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pidana Mati ........................................................... 2
B. Pidana Mati di Indonesia ......................................................... 4
C. Perbandingan Hukum Mati Indonesia dengan Negara Lain ... 7
D. Analisis Pidana Mati di Indonesia........................................... 12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................... 15
B. Saran ......................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalulintas atau hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam
setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri
pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau
menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu,
penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan
daya paksa.
Pidana mati sebagai Social Defence, pidana mati adalah suatu
pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan
bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan
menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan
mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup
manusia bermasyarakat dan beragama/bernegara.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Pengertian Pidana Mati
2. Pidana Mati di Indonesia
3. Perbandingan Hukum Mati Indonesia dengan Negara Lain
4. Analisis Pidana Mati di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pidana Mati


Kata “hukuman mati” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
berasal dari kata “hukum” dan “mati”. Hukum adalah peraturan yang dibuat
oleh suatu kekuasaan atau adat istiadat yang dianggap berlaku bagi banyak
orang dalam masyarakat. Maka hukuman adalah sebuah sanksi yang diberikan
kepada seseorang yang melanggar undang-undang. Sedangkan kata “mati”
mempunyai arti kehilangan nyawa. Dengan demikian, arti hukuman mati
adalah usaha pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh pengadilan
resmi negara, atas dasar tindak kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana.
Pengertian pidana mati berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonessia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati (selanjutnya disebut Perkapolri 12 Tahun 2010).
Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12 Tahun 2010 ditentukan bahwa hukuman
mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh
hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Bapak kriminologi : Lombroso dan Garofalo berpendapat bahwa
pidana mati itu adalah alasan yang mutlak yang harus ada pada masyarakat
untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki
lagi. Dan karenanya kedua sarjana ini pun menjadi pembela daripada pidana
mati. Pidana mati adalah suatu suatu upaya yang radikal untuk meniadakan
orang-orang yang tak terbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka
hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara-penjara
yang demikian besar biayanya. Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan kita
kalau orang demikian melarikan diri dari penjara dan membuat kejahtan lagi
dalam masyaarkat.
H.G. Rambonnet, berpendapat bahwa tugas pemerintah untuk
mempertahankan ketertiban hukum diwujudkan melalui pemidanaan.
Berdasarkan ini pemerintah mempunyai hak untuk memidana, artinya
membalas kejahatan. Karena hak dari pemerintah untuk memidana itu adalah
akibat yang logis daripada haknya untuk membalas dengan pidana. Kalau
kejahatan itu menyebabkan terganggunya ketertiban hukum tersebut dalam
suatu bagian tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dipulihkan kembali
dengan mengeluarkan atau tidak menurut sertakan penjahat itu dalam
pergaulan masyarakat dan hal itu direalisasikan dengan merampas
kemerdekaan, mengambil harta bendanya dan lain sebagainya.
Hatawi A.M. memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati
sebagai Social Defence, pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk
menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman
bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang
telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta
keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup manusia bermasyarakat dan
beragama/bernegara.
Dalam pandangan Abdul Qadir Audah, hukuman adalah pembalasan
atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan
masyarakat. Hukuman pokok yang diajarkan dalam sistem hukum pidana
Islam menurut mayoritas ulama adalah Qishash, yaitu hukuman yang setimpal
dengan apa yang telah dilakukan oleh pelakunya. Umpamanya, perlakuan
terhadap si pembunuh harus harus dibunuh juga, sekalipun tidak mesti dengan
alat atau senjata yang sama. Dengan kata lain dia dibunuh kalau dia
membunuh dan dilukai kalau dia melukai atau menghilangkan anggota badan
orang lain. Adapun bentuk jarimah yang dapat dikenakan hukuman mati,
adalah sebagai berikut: Pertama, pembunuhan disengaja. Kedua, Pezina
Muhson. Ketiga, Muharib. Terhadap pelaku jarimah ini dikenakan empat
hukuman yaitu hukuman mati biasa, hukuman mati di salib, dipotong tangan
dan kaki secara bersilang dan diasingkan. Keempat, Murtad. Terhadap pelaku
jarimah ini diancam hukuman mati sebagai hukuman pokok kemudian
dirampas harta bendanya sebagai hukuman tambahan.
Berdasarkan pengertian di atas maka hukuman pidana mati untuk
mencegah kacaunya perekonomian masyarakat, membasmi dan mencegah
timbulnya kejahatan besar yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa manusia
dan anak-anak tak berdosa. Membasmi dan mencegah penjahat-penjahat besar
dan penghianat yang memerkosa ketertiban dan keamanan umum, pendeknya
untuk mencegah dan menjamin keselamatan masyarakat dan negara dari
bahaya yang mengancam, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi.
Justru karenanya pidana mati adalah pula merupakan The Right of The
Social Defence, adalah pertahanan sosial. Kalau dalam norma-
norma hukum pidana dan estetika, setidak-tidaknya dibenarkan untuk
melakukan (Self Defence) terhadap serangan yang mengancam jiwanya atau
harta bendanya dan kehormatannya.

B. Pidana Mati di Indonesia


Di Indonesia, setidaknya terdapat dua belas (12) undang-undang yang
masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk
pidana. Berbeda dengan perkembangan Hukum Pidana di Belanda yang telah
menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870, KUHP Indonesia masih
mempertahankan hukuman mati.
Sebagai bagian dari pembatasan hak asasi manusia yang paling hakiki
yaitu hak untuk hidup, maka sudah tentu dasar untuk mencantumkan hukuman
mati harus memiliki akar yang sangat kuat dan didasarkan atas bukti dan
rasionalisasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka pada titik ini menjadi
penting untuk mengetahui Raison D’être sebab musabab masih dimasukannya
sanksi pidana hukuman mati di pelbagai regulasi di Indonesia.
Legislasi yang memuat hukuman mati sebagai hukuman sebagai upaya
mencari tahu alasan berlakunya hukuman mati di Indonesia: Konsolidasi
hukuman mati pertama terjadi pada masa pemerintahan Daendels (1808) yang
mengatur pemberian hukuman mati menjadi kewenangan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, hukuman mati pada saat itu dianggap sebagai strategi untuk
membungkam perlawanan penduduk jajahan dan untuk mempertahankan Jawa
dari serangan Inggris;
Konsolidasi hukuman mati kedua terjadi pada saat berlakukanya
Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiaers) 1 Januari 1873 dan
Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) 1 Januari 1918, meskipun
Belanda telah menghapus hukuman mati di negaranya pada 1870. Hal ini
dilatarbelakangi alasan rasial bahwa Negara kolonial saat itu berpikir orang-
orang pribumi jajahan tidak bisa dipercaya, suka berbohong, memberikan
keterangan palsu di Pengadilan dan bersifat buruk;
Pada masa awal kemerdekaan, hukuman mati tetap dipertahankan
dengan menyesuaikan WvS sebagai hukum pidana. Dalam konteks hukum
pidana militer, hukuman mati dianggap sebagai respon untuk memperkuat
strategi pertahanan negara dari situasi dan upaya mempertahankan
kemerdekaan dalam kurun waktu 1945- 1949.
Pada masa demokrasi liberal tahun 1951, hukuman mati dipertahankan
untuk menghalau pemberontakan yang terjadi di hampir seluruh wilayah
Indonesia, akhirnya terbentuklah UU Darurat No. 12 Tahun 1951 yang
mengatur mengenai peraturan hukuman istimewa sementara tentang senjata
api, amunisi, dan bahan peledak;
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1956-1966, Presiden Soekarno
mengeluarkan UU Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan
Tindak Pidana ekonomi (LN 1955 Nr 27). Undang-undang ini diperkuat
dengan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 21 tahun 1959 dengan ancaman maksimal
hukuman mati. Keseluruhan Undang-undang ini ditujukan untuk merespon
kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis
dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan
perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan
di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun
masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.
Presiden Soekarno juga mengeluarkan sebuah regulasi yang diharapkannya
mampu mengurangi tingkat kejahatan korupsi dengan mengeluarkan Perpu
pengganti Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi (LN 1960 Nr 1972);
Pada masa oder baru (1966-1998), pencantuman hukuman mati
digunakan sebagai upaya untuk mencapai stabilitas politik untuk
mengamankan agenda pembangunan. Pada masa ini beberapa kejahatan salah
satunya kejahatan narkotika dianggap sebagai upaya subversif. Kejatahan
korupsi pada masa ini pernah didakwa dengan menggunakan UU No.
11/PNPS/1963 tentang subversi yang menyertakan ancaman hukuman mati,
walaupun pada masa ini kejahatan korupsi sendiri tidak diancam dengan
hukuman mati. Beberapa legilslasi yang mencantumkan hukuman mati antara
lain mengenai Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan dan Tenaga
Atom;
Pada masa reformasi (1998-sekarang), pencantuman hukuman mati
dalam legislasi diwarnai dengan hadirnya alasan “kedaruratan” mulai dari
alasan “darurat bencana” “darurat perlindungan anak” dan juga skala jumlah
korban yang menjadi alasan penting untuk memberikan respon pemberatan
hukuman demi kepentingan stabiltas nasional. Terdapat beberapa motif yang
paling populer dalam alasan penggunaan hukuman mati di Indonesia, yakni
hukuman mati memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dari ancaman
hukuman lainnya. Selain memiliki efek yang menakutkan (shock therapy),
hukuman mati juga dianggap lebih hemat. Hukuman mati juga digunakan
agar tidak ada tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat;
Seiring dengan motif ini, klaim teoritis yang dominan saat ini adalah
pandangan bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera (detterent
effect) yang sangat tinggi sehingga akan menyebabkan orang mengurungkan
niatnya untuk melakukan tindak pidana. Dengan demikian, hukuman mati bisa
dijadikan sebagai alat yang baik untuk prevensi umum maupun prevensi
khusus. Di samping itu, masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan
pada aspek pembalasan (retributif), utamanya masih dipertahankannya
beberapa pendekatan dari teori absolut atas pembalasan, teori relatif, dan teori
gabungan yang tentunya memberikan kontribusi penting bagi masih
diberlakukannya hukuman mati di Indonesia saat ini;

C. Perbandingan Hukum Mati Indonesia dengan Negara Lain


Menurut Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
pidana mati masuk dalam kategori pidana pokok bersamaan dengan pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan.
Konvenan Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia
melalui UU No 12 tahun 2005 memperbolehkan negara-negara
mencantumkan hukuman mati pada legislasinya, namun hal tersebut dalam
Pasal 6 ayat (2) hanya diperbolehkan untuk kejahatan yang serius. Konsep the
most serious crimes dalam hukum internasional sangat terbatas pada kejahatan
dengan karakteristik tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang
keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the
conscience of humanity); dengan tujuan untuk menimbulkan kematian atau
akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave consequences); dan
dengan cara yang sangat buruk (crime with extremely heinous methods) dan
kejam di luar batas perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau
membahayakan keamanan negara.
Adapun perbandingan pidana mati Indonesia dengan negara lain
adalah sebagai berikut:
1. Republik Rakyat China
Penerapan pidana mati berdasarkan KUHP RRC 1980 memiliki
beberapa ketentuan, antara lain menentukan pidana mati yang ditunda
selama 2 tahun. Penundaan pidana mati di RRC lebih merupakan bentuk
modifikasi pelaksanaan pidana (strafmodus atau model of sanction). Yang
ditunda bukan penjatuhan ataupun penerapan pidana matinya, melainkan
pelaksanaannya sehingga menurut Barda Nawawi Arief lebih tepat disebut
“penundaan pelaksanaan pidana mati” atau “pidana mati tertunda”
(suspended death sentence / penalty).Pidana mati tertunda di RRC diatur
dalam KUHP yang ketentuan intinya sebagai berikut :
Dalam hal si pelaku seharusnya dijatuhi pidana mati, tetapi
eksekusi segera tidak diperlukan sekali (immediate execution is not
essential), maka penundaan eksekusi selama 2 tahun dapat diputuskan
pada saat pidana mati itu (Article 48).
Apabila seseorang yang dijatuhi pidana mati tertunda tidak
berkeinginan melakukan kejahatan (maksudnya menunjukkan penyesalan
atau pertobatan yang sungguh-sungguh-truly repents) selama waktu
penundaan, ia diberi pengurangan pidana penjara seumur hidup; apabila ia
menunjukkan pengabdian yang berjasa, ia mendapat pengurangan pidana
tidak kurang dari 15 tahun dan tidak lebih dari 20 tahun pidana penjara;
apabila terbukti bahwa ia melakukan kejahatan dengan sengaja, maka
pidana mati dilaksanakan atas persetujuan Mahkamah Agung (Article 50).
Waktu atau lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati dihitung
sejak putusan hakim berkekuatan tetap, waktu atau lamanya pidana yang
dikurangi dari pidana mati tertunda menjadi pidana penjara dalam waktu
tertentu, dihitung sejak tanggal berakhirnya masa penundaan (Article 51)
Dari ketentuan di atas terlihat dua kemungkinan pengurangan atau
reduksi pidana bagi terpidana mati yang berhasil menjalani masa
penundaan selama 2 tahun, yaitu: Pidananya direduksi menjadi pidana
penjara seumur hidup apabila menunjukkan penyesalan sungguh-sungguh;
atau Direduksi menjadi pidana penjara minimal 15 tahun, tetapi tidak lebih
dari 20 tahun apabila disamping menunjukkan penyesalan sungguh-
sungguh, juga menunjukkan pengabdian yang berjasa.
Walaupun dalam pasal 48 di atas pidana mati tertunda dapat
diberikan kalau “immediate execution is not essential”, untuk kejahatan-
kejahatan tertentu pengadilan dapat menjatuhkan hal itu karena adanya
alasan-alasan hukum yang meringankan. Dengan adanya Pasal 50 di atas,
pidana mati tertunda di RRC dapat juga dikatakan sebagai “pidana mati
bersyarat”.
2. Inggris
Di Inggris pada akhir abad ke-15, mulanya pidana mati hanya
dikenal terhadap 8 kejahatan besar, antara lain perampokan, pemerkosaan,
pembunuhan terhadap suami atau istri dan pembunuhan atas dasar
kebencian. Pada saat George II sebagai Raja Inggris, jumlah jenis
kejahatan yang dapat dijatuhi pidana mati pada tahun 1688 meningkat
mendekati 50, sedangkan pada saat George III berkuasa total kejahatan
yang dapat dijatuhi pidana mati menjadi 60 jenis. Penjatuhan pidana mati
pada jaman itu adalah dengan digantung didepan umum. Dalam
perkembangannya kontroversi terhadap pidana mati mulai bermunculan di
berbagai belahan dunia termasuk Inggris, juga Amerika. Salah satu alasan
penolakan terhadap pidana mati adalah bahwa hak untuk menghukum
hanya ada pada Tuhan termasuk pencabutan terhadap nyawa pelaku yang
melakukan kejahatan pembunuhan sekalipun.
Pada tahun 1957 sebuah kompromi dicapai atas hukuman mati.
Undang-undang Pembunuhan dihapuskan untuk beberapa jenis
pembunuhan. Namun masih diterapkan untuk pembunuhan dengan
pencurian, dengan menembak atau meledakan. Hukuman mati juga
diterapkan untuk pembunuhan petugas polisi atau petugas penjara saat
bertugas (Orang terakhir yang digantung karena membunuh seorang
polisi di Inggris adalah Gunther Podola pada tahun 1959). Seseorang
yang dihukum karena lebih dari satu pembunuhan juga bisa digantung.
Hukuman mati secara teori masih bisa digunakan untuk kejahatan lainnya.
Hukuman mati untuk pembakaran di Galangan Kapal Kerajaan telah
dihapuskan pada tahun 1971. Pada tahun 1998 dihapuskan untuk
pengkhianatan dan pembajakan dengan kekerasan. (Orang terakhir yang
benar-benar digantung karena pengkhianatan di Inggris adalah Theodore
Schurch pada tahun 1946). Pada tahun 1999, Sekretaris Rumah Inggris
menandatangani protokol ke-6 dari Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa,
yang secara formal mengakhiri hukuman mati di Inggris
3. Amerika Serikat
Penerapan pidana mati di Amerika pada awalnya ditujukan untuk
jenis-jenis kejahtan antara lain pemujaan terhadap berhala, perzinahan dan
sodomi. Namun seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa Amerika
Serikat juga mengalami berbagai penolakan terhadap pidana mati. Kritik
pertama kali muncul dari Cesare Beccaira pada tahun1764 yang
menyatakan bahwa pidana mati merusak masyarakat dari contohnya
kebiadaban yang dihasilkannya. Jika nafsu atau kebutuhan perang telah
mengajari manusia untuk mencucurkan darah dari mahluk sesamanya,
hukum yang dimaksudnkan untuk memperbaiki keganasan manusia,
seharusnya tidak dengan cara menambah contoh kebiadaban. Bahkan
menurutnya, lebih mengerikan saat pidana mati biasanya dihadirkan
dengan arak-arakan formal dan di depan umum.
Di Amerika, meskipun para founding fathers dapat menerima
pidana mati, namun sejak awal banyak yang menentang adanya pidana
mati. Benjamin Rush adalah orang pertama yang mendirikan gerakan
penghapusan pidana mati di Amerika pada akhir abad ke-18. Pada
pertengahan abad ke-19, jenis kejahatan yang dapat dijatuhi pidana mati
telah dikurangi. Negara bagian pertama yang menghapus pidana mati
adalah Pennsylvania pada tahun 1786, namun penghapusan tersebut hanya
untuk kejahatan-kejahatan tertentu seperti perampokan, sodomi dan
pembunuhan yang dilakukan untuk pertama kali. Perkembangan lebih
lanjut di Amerika, dibentuklah koalisi nasional penghapusan pidana mati
atau National Coalition To Abolish The Death Penalty (NCADP). Koalisi
tersebut sebagai pusat dan sumber informasi upaya mengakhiri pidana
mati di Amerika. Jaringan individu dan organisasi baik ditingkat lokal
maupun nasional saling bertukar informasi, bantuan teknis dan kampanye
penghapusan pidana mati.
4. Malaysia
Tata cara eksekusi pidana mati menurut undang-undang di
Malaysia telah diatur dalam Undang-Undang Sivil di bawah Akta Kanun
Acara Jenayah yang diundangkan pada 9 Januari 1976 pada BAB XXVII,
Pasal 281 tentang Pelaksanaan Hukuman Mati.Malaysia merupakan
sebuah negara yang melaksanakan hukuman mati dengan cara digantung
dengan tali bagi terpidana yang melakukan jinayah besar. Pelaksanaan
hukuman gantung sudah lama diterapkan di Malaysia, yakni sejak Penjara
Pudu, Malaysia dibina pada tahun 1891. Undang-Undang mengenai
hukuman mati di Malaysia ini didasarkan atas undang-undang Inggris
yang sejak dulu dipakai. Undang-undang hukuman mati di Malaysia ini
tidak sepenuhnya berdasarkan hukum Islam, Malaysia mendasarkan alasan
“cepat mematikan” bagi hukuman gantung, karena hukuman gantung
dengan tali dipercaya merenggut nyawa terpidana tidak sampai
dua detik.Pasal 277 Kanun Acara Jenayah menyatakan, “apabila mana-
mana orang telah dihukum dengan kematian maka hukuman itu hendaklah
mengarahkan bahwa dia digantung lehernya sehingga mati, tetapi tidak
boleh dinyatakan tempat dan masa hukuman gantung itu dijalankan.”
Selanjutnya menurut Kanun Prosedur Jinayah sebab-sebab
dijatuhkan hukuman mati menurut undang-undang di Malaysia ialah
apabila: Kejahatan yang dilakukan dengan cara merampas atau
bersekongkol menggulingkan kekuasaan Yang Dipertuan Agung atau
Raja-Raja atau Yang dipertuan Negeri; Kesalahan yang berhubungan
dengan angkatan bersenjata; Kesalahan yang berhubungan dengan
keterangan palsu dan kesalahan-kesalahan terhadap keadilan awam, yakni:
Membuat keterangan palsu dan kejahatan terhadap kepentigan umum;
Menggunakan keterangan yang diketahuinya palsu; Mengeluarkan atau
menandatangani pernyataan palsu; Membuat pengakuan palsu tentang
sesuatu perkara penting dengan pernyataan palsu; Pernyataan palsu yang
dibuaat dalam suatu pernyataan yang boleh diterima disisi undang-undang
sebagai keterangan; Menggunakan data sebagai “yang benar” pada semua
pengakuan yang diketahuinya palsu. Kejahatan terhadap jiwa; Mengajak
anak-anak atau orang gila untuk membunuh diri; Kesalahan tentang
perampokan secara gerombolan; Pengedaran narkotik atau obar terlarang
yang syarat tertentu.
5. Belanda
Belanda sebagai asalnya KUHP Indonesia, hukuman mati telah
dihapus pada 17 September tahun 1870, Stb 162. 16 tahun sebelum
Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda) disahkan, namun dikecualikan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, khususnya untuk
delik-delik tertentu (kejahatan perang, pengkhianatan, dan lain-lain) yang
terjadi di masa pendudukan, terutama ketika tengah terjadi perang. Dengan
demikian, praktis di negeri Belanda hukuman mati telah dihapuskan.
Berdasarkan sejumlah peraturan pemerintah yang dibuat
Pemerintah Belanda dalam pengasingan di London pada masa
berlangsungnya Perang Dunia II, pidana mati kembali dicakupkan ke
dalam hukum pidana Belanda. Namun, berdasarkan amendemen Undang-
Undang Dasar yang diberlakukan pada tanggal 17 Februari 1983 (Pasal
114) ditetapkan bahwa pidana mati (oleh hakim) tidak dapat lagi
dijatuhkan. Bahkan juga dihapuskan pengenaan hukuman pidana mati
dalam hukum pidana militer. Kini, rata-rata vonis bagi terdakwa
pembunuhan berupa hukuman pidana antara 12 hingga 30 tahun.

D. Analisis Pidana Mati di Indonesia


Indonesia adalah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati di
dunia. Beberapa data yang telah dihimpun yaitu menunjukkan jumlah eksekusi
hukuman mati di Indonesia yaitu
1. Terpidana Mati yang telah dieksekusi
No. Kasus Jumlah
1. Narkotika dan Psikotropika 66 Kasus
2. Pembunuhan 33 Kasus
3. Terorisme 12 Kasus
Jumlah 111 sus
2. Jumlah orang yang divonis mati berdasarkan tahun
No. Tahun Jumlah
1. 1998 5 Orang
2. 2000 10 Orang
3. 2001 17 Orang
4. 2002 9 Orang
5. 2003 12 Orang
6. 2004 10 Orang
7. 2005 9 Orang
8. 2006 15 Orang
9. 2007 10 Orang
10. November 2008 8 Orang
Jumlah 105 Orang

3. Warga Negara Asing yang Divonis Mati


No. Negara Jumlah
1. Nigeria 10 orang
2. Australia 7 orang
3. Nepal 6 orang
4. China 5 oramh
5. Malawi 2 orang
6. Zimbabwe 2 orang
7. Pakistan 2 orang
8. Thailand 2 orang
9. Brazil 2 orang
10. Belanda 2 orang
11. Angola 1 orang
12. Malaysia 1 orang
13. Afrika Selatan 1 orang
14. Siere Leone 1 orang
15. Ghana 1 orang
16. Senegal 1 orang
17. India 1 orang
18. Perancis 1 orang
Jumlah 48 Orang

Didalam hukum positif (yang berlaku) di Indonesia, baik dalam KUHP


Nasional maupun di berbagai perundang-undangan, hukuman mati ada
tercantum dengan jelas, bahkan tata cara pelaksanaannya pun juga telah diatur
dengan jelas. Maka dari sudut hukum (legalistik) tidak ada hal yang harus
diperdebatkan. Hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas
dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat.
Memang sejarah hukum pidana di Indonesia pada masa lampau
mengungkapkan, adanya sikap dan pendapat bahwa pidana mati merupakan
obat yang paling mujarab untuk menghadapi dan menanggulangi kejahatan-
kejahatan berat, dan pada masa sekarang pun pendapat itu masih ada.
Dalam menyikapi tentang hukuman mati, kelompok ini mengaitkannya
dengan 3 (tiga) tujuan hukum, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan manfaat
atau kegunaan. Dari aspek manfaat atau kegunaan, hukuman mati akan
membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan
kejahatan, serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah serta penegak
hukum. Bagi kelompok ini yang khusus mengacu pada Hukum Islam
mengatakan, bahwa “Islam mengajarkan agar umat Islam memelihara akal,
keturunan, harta, nyawa, dan agama, sebagai prinsip Islam yang wajib dijaga
dan jangan sampai dirusak oleh siapapun.” Tindak kejahatan pembunuhan,
narkoba, terorisme adalah perbuatan yang merusak apa yang harus dan wajib
dipelihara. Maka hukuman yang pas bagi pelakunya adalah hukuman mati.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hukuman pidana mati untuk mencegah kacaunya perekonomian
masyarakat, membasmi dan mencegah timbulnya kejahatan besar yang
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa manusia dan anak-anak tak berdosa.
Membasmi dan mencegah penjahat-penjahat besar dan penghianat yang
memerkosa ketertiban dan keamanan umum, pendeknya untuk mencegah
dan menjamin keselamatan masyarakat dan negara dari bahaya yang
mengancam, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi.
2. Sebagai bagian dari pembatasan hak asasi manusia yang paling hakiki
yaitu hak untuk hidup, maka sudah tentu dasar untuk mencantumkan
hukuman mati harus memiliki akar yang sangat kuat dan didasarkan atas
bukti dan rasionalisasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka pada titik
ini menjadi penting untuk mengetahui Raison D’être sebab musabab
masih dimasukannya sanksi pidana hukuman mati di pelbagai regulasi di
Indonesia.
3. Didalam hukum positif (yang berlaku) di Indonesia, baik dalam KUHP
Nasional maupun di berbagai perundang-undangan, hukuman mati ada
tercantum dengan jelas, bahkan tata cara pelaksanaannya pun juga telah
diatur dengan jelas. Maka dari sudut hukum (legalistik) tidak ada hal yang
harus diperdebatkan. Hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk
balas dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan
masyarakat.

B. Saran
Kami dari Kelompok menyadari bahwa masih kurang sempurnanya
makalah yang kami sajikan ini, untuk itu kami mengharapkan kritikan dan
saran yang membangun untuk memperbaiki dan kesempurnaan dari makalah
kami ini.
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan ke-3. Bandung :
PT Citra Aditya Bakti, 2013

Hamzah. Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-4. Jakarta : Rineka Cipta,
2010

Hiariej, Eddy O.S., Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cetakan ke-1. Yogyakarta :


Cahaya Atma Pustaka, 2014

Samsul, Inosentius, “Politik Hukum Pidana Mati”, Info Singkat Hukum P3DI
Sekretariat Jendral DPR RI, Edisi No. 2 Tahun 2015

Anda mungkin juga menyukai