Anda di halaman 1dari 12

Wabah Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS) yang

disebabkan oleh coronavirus di Wilayah Al-Ahssa, Arab


Saudi, 2015
H.E. El Bushra,1 M.N. Abdalla,1 H. Al Arbash,1 Z. Alshayeb,1 S. Al-Ali,2 Z. Al-Abdel Latif,2 H Al-Bahkit,2
O. Abdalla4, M. Mohammed4, H. Al-Abdely4, M. Chahed,3 A.L. Lohiniva3, and A. Bin Saeed 4

ABSTRAK Antara 19 April dan 23 Juni 2015, terdapat 52 kasus Sindrom Pernapasan Timur
Tengah (Middle East Respiratory Syndrome-MERS) yang disebabkan oleh coronavirus yang
telah terkonfirmasi laboratorium di wilayah Al-Ahssa, Arab Saudi bagian timur. Tujuh kasus
pertama terjadi dalam satu keluarga, kemudian diikuti 45 kasus di tiga rumah sakit umum.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan karakteristik epidemiologis dari
kelompok tersebut dan mengidentifikasi faktor resiko potensial dan membentuk langkah-
langkah pengontrolan untuk mencegah terjadinya MERS lebih lanjut. Kami memperoleh
catatan medis dari semua kasus yang telah terkonfirmasi, mewawancarai anggota rumah
tangga yang terkena dampak dan meninjau tindakan yang diambil oleh otoritas kesehatan.
Semua kasus tersebut saling berhubungan. Kasus yang menjadi indeks adalah kasus seorang
pria yang berusia 62 tahun dengan riwayat pernah kontak dekat dengan unta-unta dromedaris
(unta berpunuk satu); tiga dari tujuh anggota keluarga yang terinfeksi dan 18 orang di rumah
sakit meninggal (tingkat fatalitas kasus,40,4%). Masa inkubbasi rata-rata adalah sekitar 6
hari. Kelompok kasus muncul karena paparan MERS yang tinggi, keterlambatan diagnosis,
penyuluhan resiko yang masih kurang, dan kurangnya kepatuhan petugas kesehatan dan
pengunjung rumah sakit dengan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi.

1
Saudi Field Epidemiology Program, Ministry of Health, Riyadh, Al-Ahssa, Saudi Arabia (Correspondence to:
H.E. El Bushra: bestregards.h@gmail.com. 2Al-Ahssa Health Directorate, Saudi Arabia. 3WHO Country Office,
Riyadh, Saudi Arabia. 4Deputyship for Public Health, Ministry of Health, Riyadh, Saudi Arabia

Received: 29/05/16; accepted 22/09/16

1
Pendahuluan

Sindrom Pernapasan Timur Tengah (Middle East Respiratory Syndrome-MERS) merupakan


sebuah penyakit menular yang menyerang sistem pernapasan yang dihubungkan dengan
tingkat fatalitas kasus yang tinggi (1). Infeksi primer pada manusia dikaitkan dengan paparan
langsung atau tidak langsung terhadap unta dromedaris yang telah terinfeksi MERS
coronavirus (MERS-CoV) di Arab Saudi, Qatar, dan UEA (2-7). Lebih dari 85% kasus
MERS telah dilaporkan berasal dari Arab Saudi (8). Wabah besar MERS terjadi di fasilitas
perawatan kesehatan mulai dari yang tidak bergejala atau sakit ringan hingga penyakit
pernapasan akut yang berat dan kematian; tampilan penyakit yang parah biasanya pada orang
tua, orang dengan gangguan imunitas, dan orang dengan penyakit kronis yang mendasari dan
dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi (9-12). Saat ini, belum ada penularan antar
manusia yang didokumentasikan (8).

Pada 20 April 2015, satu kasus MERS dilaporkan di Al-Ahssa, Arab Saudi bagian timur,
yang diikuti oleh enam kasus yang berasal dari keluarga yang sama dari kasus tersebut. Pada
23 Juni 2015, terdapat 52 kasus yang telah terkonfirmasi laboratorium dilaporkan telah terjadi
di wilayah tersebut, 45 kasus sekunder dilaporkan di tiga rumah sakit umum; dan 8 infeksi
yang asimtomatik yang ditemukan pada petugas kesehatan.

Kementrian Kesehatan Arab Saudi menggelar misi bersama dengan Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization-WHO) ke wilayah tersebut untuk menginvestigasi
gambaran karakteristik epidemiologi dari wabah tersebut, mengidentifikasi faktor resiko
potensial yang terjadi pada kelompok keluarga yang terdampak MERS dan kasus sekunder
pada fasilitas perawatan kesehatan, dan mengidentifikasi langkah-langkah pengontrolan
untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, termasuk penyuluhan tentang faktor resiko
dan wabah MERS.

Material dan Metode


Latar Belakang

Al-Ahssa merupakan provinsi terbesar di Arab Saudi dengan luas 534.000 km2, dan memiliki
populasi 1.063.112 jiwa pada tahun 2010. Di sana terdapat iklim tropis yang kering dengan 5
bulan musim panas dan musim dingin yang relatif dingin. Selain aktivitas pertanian, terdapat

2
juga aktivitas peternakan yang membuat Al-Ahssa menjadi salah satu penghasil makanan
terbesar di Arab Saudi. Terdapat 3 rumah sakit umum di Al-Ahsaa: Rumah Sakit A, B, dan C.

Sumber Data

Daftar lengkap kasus MERS yang telah terkonfirmasi laboratorium didapatkan dari
Departemen Kesehatan bidang Pencegahan, Direktorat Jenderal (Dirjen) Kesehatan Al-
Ahssa. Diagnosis MERS dilakukan menggunakan uji Real Time reverse-transcription
Polymerase Chain Reaction (rRT-PCR) pada swab nasofaring dan spesimen pernapasan
bagian bawah lainnya (13). Data tambahan didapatkan dari formulir penelitian yang buat oleh
ahli epidemiologi lapangan di wilayah Al-Ahssa, dengan meninjau rekam medis pada kasus
dan korespondensi di aplikasi “Whatsapp” pada petugas kesehatan di wilayah tersebut.
Petugas pengawas dan koordinator MERS berada di Kementrian Kesehatan di Riyadh.

Tim investigasi wabah mengunjungi keluarga dari kasus indeks sebanyak 2 kali untuk
mendapatkan kronologi yang lengkap dan hubungan antara ayah (yang merupakan kasus
indeks) dan anggota keluarga lainnya. Seluruh anggota keluarga telah diwawancarai untuk
mengidentifikasi faktor resiko yang menyebabkan mereka terjangkit MERS dan mengambil
sampel swab nasofaring untuk kepentingan uji rRT-PCR. Tes serologi tidak dilakukan karena
alasan logistik.

Pengendalian Infeksi dan Pencegahan pada rumah sakit di Al-Ahssa

Rumah Sakit A memiliki 105 tempat tidur dan melayani sekitar 300.000-400.000 populasi
dalam daerah cakupannya; rumah sakit tersebut menerima rata-rata 350 pasien rawat jalan
dan 500 pasien IGD setiap hari. Rumah Sakit B merupakan rumah sakit tersier yang memiliki
73 tempat tidur dan melayani seluruh wilah Al-Ahssa dan juga menerima pasien dari wilayah
lain. Rumah Sakit C menerima rata-rata sekitar 700-800 pasien per hari. Ketiga rumah sakit
tersebut memiliki unit-unit khusus kecil untuk pengendalian infeksi dan pencegahan
(infection prevention and control-IPC); dimana tiap unitnya terdiri dari satu hingga dua
dokter dan beberapa perawat.

Direktur dari ketiga rumah sakit tersebut diminta untuk memberikan informasi tentang
implementasi tindakan IPC yang direkomendasikan, termasuk uraian terperinci dari semua

3
langkah-langkah yang diambil tentang wabah MERS dan mencegah kasus-kasus sekunder,
dengan tanggal yang pasti; daftar petugas kesehatan yang telah diuji-skrining MERS, ruang
kerja mereka di rumah sakit, alasan pengujian, tanggal pengujian, tanggal penerimaan hasil
laboratorium, dan apakah mereka yang mendapat hasil positif merasakan gejala atau tidak;
tanggal penggunakan peralatan perlindungan diri, triase dan langkah-langkah IPC lainnya
yang relevan; daftar semua petugas kesehatan yang terlibat dalam setiap kasus dan apakah
mereka menggunakan peralatan pelindung diri selama kontak dengan pasien; dan daftar
kesulitan dalam mengimplementasikan langkah-langkah IPC sepenuhnya. Pada Rumah Sakit
C, kami mewawancarai perawat di meja triase.

Hasil

Wabah bermula dari sekelompok dari 7 kasus dalam sebuah keluarga yang terdiri dari 26
anggota keluarga yang tinggal di gedung tiga lantai (secondary attact rate = 23%). Tambahan
37 kasus bergejala dan 8 kasus tak bergejala yang mengjangkiti petugas kesehatan pada
Rumah Sakit B. Jumlah kasus yang bergejala dan tak bergejala adalah 52 kasus. Tiga dari
tujuh anggota keluarga (ayah, anak sulung, dan anak perempuan) meninggal, seperti halnya
18 kasus bergejala lainnya, untuk tingkat fatalitas kasus 40,4%. Tabel 1 merangkum
karakteristik demografis dari semua kasus.

Tabel 1 Jumlah kasus Sindrom Pernapasan Timur Tengah (Middle East Respiratory
Syndrome-MERS) yang disebabkan oleh coronavirus, Al-Ahssa, Arab Saudi, April-Juni 2015

Jumlah kasus (%)


Total 52
Laki-laki 31 (59.6%)
Kasus sekunder 51
Tingkat fatalitas kasus 21 (40.4%)
Keluarga 7
Tingkat serangan sekunder dalam keluarga 6 (23.1%)
Kasus simtomatis (bergejala) 44 (84.6%)
Infeksi tanpa gejala 8 (15.4)
Pekerja non-kesehatan 36 (69.2%)

4
Semua petugas kesehatan 16 (30.8%)
Petugas kesehatan laki-laki 9 (17.3%)
Petugas kesehatan perempuan 7 (13.5%)
Dokter (petugas medis senior, resident, spesialis bedah ortopedi, 6 (37.5%)
spesialis anestesi
Perawat 8 (50%)
Fisioterapis 1 (6.3%)
Petugas keamanan* 1 (6.3%)
*petugas keamanan di fasilitas kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien dan dianggap sebagai
petugas perawatan kesehatan paramedis

Kasus indeks dan keluarganya

Kasus indeks adalah seorang pria berusia 62 tahun. Keluarganya memiliki lahan pertanian
yang jauh dari rumahnya, dimana terdapat dua unta dromedaris muda, kedua unta tersebut
memiliki ulser. Sang ayah dilaporkan memiliki kontak dekat dengan unta, baik itu di
peternakan maupun di pasar unta biasa. Dulunya ia menghabiskan waktunya sehari-hari di
peternakan. Kementrian peternakan menguji dua unta tersebut untuk skrining MERS-CoV
dan hasilnya ditemukan IgG positif dan IgM negatif.

Dua puluh enam anggota keluarga tinggal di rumah yang pernuh sesak dan berventilasi
buruk. Sang ibu menderita diabetes, hipertensi dan masalah ginjal, dan sang ayah & anak
laki-laki tertuanya bertahun-tahun merokok shisha. Keluarga tersebut kurang berpendidikan,
dan otoritas kesehatan setempat menilai tingkat kebersihannya sangat rendah. Mereka jarang
bersosialisasi dengan tetangganya. Mereka mengatakan bahwa mereka sadar pesan kesehatan
masyarakat tentang MERS. Meskipun sang ayah akhirnya dirawat di rumah sakit, anak laki-
lakinya tidak memberi tahu anggota keluarga lainnya tentang diagnosis penyakit ayahnya,
bahkan setelah dia sendiri terjangkit penyakit tersebut. Setelah saudara-saudaranya mulai
menunjukkan gejala penyakit, saudara bungsunya juga menolak untuk dirawat di rumah sakit.

5
Kasus-kasus MERS di rumah sakit

Enam kasus positif MERS didiagnosa di Rumah Sakit A setelah dirawat anggota
keluarganya; tiga dokter dan tiga pasien rawat inap. Dokter pertama menemani pasien dari
Rumah Sakit A ke Rumah Sakit B. Kasus kedua terjadi pada seorang dokter di unit perawatan
intensif yang sedang mengintubasi pasien yang sedang kritis tanpa menggunakan peralatan
pelindung diri, dia masih tanpa gejala pada hari kunjungan. Dokter ketiga bekerja di bagian
orthopedi; ia menyangkal pernah kontak dengan pasien positif MERS dan mengatakan bahwa
ia terinfeksi dari istrinya yang bbekerja di Rumah Sakit B; namun apusan nasofaring yang
diambil dari mulut istrinya negatif MERS-CoV.

Lima belas kasus positif MERS dirujuk dari Rumah Sakit A ke Rumah Sakit B, dan
kemudian dirujuk ke Rumah Sakit C. Dari kasus yang dirujuk, sebagian besar pasien
menghabiskan setidaknya 2 hari di Rumah Sakit A sebelum dirujuk ke Rumah Sakit B.
Bagian Administrasi Rumah Sakit B meyakini bahwa beberapa kasus telah tertular infeksi
sebelum dirujuk ke rumah sakit; dan gejala MERS mulai muncul setelah mereka dirawat.
Seorang staf fisioterapi di Rumah Sakit B tertular MERS dari pasien rawat jalan yang telah
sakit parah selama 2 hari. Dia dirawat di rumah oleh orang tuanya; ayahnya memiliki
gangguan imunitas (pernah trasnplantasi paru-paru) dan ibunya. Baik ayah dan ibunya tidak
terinfeksi MERS. Para petugas kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit A dan B yang pernah
terpapar kasus MERS telah dilakukan skrining untuk MERS-CoV.

Kurva epidemi

Kurva epidemi diplot sesuai tanggal timbulnya gejala (Gambar 1). Kurva ini menunjukkan
dua kelompok kasus yang berbeda; yang pertama yaitu tujuh kasus pada anggota keluarga,
dan yang kedua terdiri dari kasus sekunder yang terkait dengan kunjungan, masuk, atau
bekerja di ketiga rumah sakit umum. Semua kasus yang terkonfirmasi MERS dirawat di
Rumah Sakit C.

Gambar 1 menunjukkan bahwa kelompok kasus di keluarga yang terkena dampak


mendahului mereka yang ada di tiga rumah sakit umum. Rata-rata masa inkubasi adalah
sekitar 6 hari. Kasus-kasus selanjutnya didiagnosis pertama kali antara pasien dan petugas
kesehatan pada Rumah Sakit B. Semua kasus yang yang ditemukan terhubung. Beberapa
pasien sudah pernah dirawat di Rumah Sakit B sebelum terinfeksi MERS.

6
Kakak lelaki tertua mulai menunjukkan gejala pada tanggal 28 April, timbulnya gejala pada 5
dari 7 anggota keluarga yang terinfeksi terjadi dalam 2 hari (4-5 mei); enam kasus positif
telah di Rumah Sakit B sebelum timbulnya gejala; empat pasien lainnya mengunjungi Rumah
Sakit B untuk konsultasi medis atau menjalani prosedur invasif beberapa hari sebelum
mereka menunjukkan gejala MERS. Delapan petugas kesehatan tanpa gejala di Rumah Sakit
B teridentifikasi selama wabah; di antara mereka tidak ada yang memiliki riwayat kontak

langsung dengan keluarga.

Tanggal timbulnya gejala menurut minggu internasional

7
Gambar 1. Kurva epidemi MERS yang menunjukkan distribusi kasus MERS menurut tanggal
timbulnya gejala di Al-Ahssa, Arab Saudi, 2015

Diskusi
Munculnya tujuh kasus penyakit MERS dalam sebuah keluarga dan munculnya kasus
tambahan di kalangan petugas medis dan pasien yang begitu cepat menimbulkan perhatian
serius dari para otoritas kesehatan masyarakat, terutama sebagai wabah yang dikaitkan
dengan tingkat fatalitas kasus yang relatif tinggi dan terjadi setelah periode yang lama tanpa
kasus MERS. Ini secara umum dipandang bahwa transmisi yang dimediasi terutama oleh
mutasi dengan meningkatkan afinitas pada reseptor manusia (14); sebagai kemungkinan lain,
ini diusulkan sebagai “penyebar super” telah muncul (15). Namun, wawancara mendalam
dengan beberapa anggota keluarga menunjukkan bahwa faktor resiko yang memungkinkan
adalah paparan kasus indeks terhadap coronavirus dengan jumlah yang sangat tinggi dan
keterlambatan diagnosis karena adanya penolakan oleh anggota keluarga; faktor resiko
tersebut diperparah dengan komunikasi yang tidak tepat dan ketidakpatuhan dengan langkah-
langkah IPC di rumah sakit.

Munculnya gejala pada lima dari tujuh anggota keluarga yang terinfeksi dalam dua hari
menunjukkan bahwa kemungkinan mereka terinfeksi oleh kakak tertua mereka. Kejadian
kasus MERS yang parah pada kelompok keluarga yang besar relatif jarang terjadi (16-18).
Tingkat serangan sekunder dalam keluarga jauh lebih tinggi (23%) dari yang dilaporkan
dalam penelitian sebelumnya (sekitar 5%) (19-21). Faktor-faktor yang mungkin berkontribusi
terhadap banyak kasus yang terjadi dalam keluarga adalah kondisi lingkungan tempat tinggal
yang penuh sesak, tingkat kebersihan yang buruk dan hubungan yang dekat antar anggota
keluarga laki-laki. Perilaku keluarga menunjukkan pentingnya pelatihan petugas kesehatan
untuk memastikan bahwa pasien mengerti dengan jelas tentang pentingnya kepatuhan
terhadap pesan kesehatan masyarakat. Konseling dan dukungan psikososial harus tersedia
untuk keluarga yang terdampak dan strategi harus dirancang untuk memastikan pesan yang
tepat tentang wabah, melalui saluran terbaik, untuk memastikan visibilitas dan menargetkan
sasaran yang tepat.

Tidak ada kasus baru MERS yang muncul setelah identifikasi dari petugas kesehatan yang
terinfeksi namun asimtomatik. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi pada petugas kesehatan
yang asimtomatik berperan dalam penularan MERS dalam fasilitas kesehatan (faskes) (22).
Pendefinisian kasus MERS yang berbeda di tiap rumah sakit yang berbeda sedikit memberi

8
penjelasan kenapa beberapa faskes melaporkan lebih banyak kasus yang dicurigai. Sebuah
studi yang tidak dipublikasikan baru-baru ini (Al-Zahrani, Kementrian Kesehatan)
menemukan bahwa nilai prediksi positif dari definisi kasus ini adalah 0-4%. Banyak
penelitian terbaru menunjukkan bahwa demam dikaitkan tidak teratur dengan timbulnya
MERS (9,12). Keterlambatan dalam diagnosis MERS biasanya dikarenakan pengujian swab
nasofaring berulang yang memiliki hasil negatif atau apusan nasofaring yang tidak
meyakinkan, yang menunjukkan hasil pengujian positif pada spesimen ketiga atau keempat
(23). Dalam satu contoh, konfirmasi positif didapatkan setelah pasien meninggal. Hasil
laboratorium false-negative dipengaruhi oleh waktu, kualitas, teknik pengambilan spesimen
dan transportasi ke laboratorium serta variabilitas dalam pelepasan virus di antara pasien
(11).

Intervensi untuk mencegah kasus primer dan sekunder berbeda. Meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap faktor resiko merupakan kunci untuk mengurangi atau mencegah
munculnya kasus primer; sedangkan program IPC yang efisien diperlukan untuk mencegah
infeksi sekunder (9,12,19,24,25). Kejadian kasus sekunder MERS di rumah sakit merupakan
indikator atas kelalaian dan ketidak patuhan dalam menerapkan langkah-langkah IPC atau
kekurangan sumber daya manusia, peralatan, persediaan atau pengawasan. Wabah saat ini
menunjukkan kesenjangan yang terjadi pada program IPC di rumah sakit di Wilayah Al-
Ahssa, meskipun perbaikan menyeluruh di Arab Saudi. Direktur rumah sakit dan layanan
kesehatan perlu dilakukan bimbingan dan pelatihan untuk meningkatkan program IPC di
fasilitas-fasilitas kesehatan mereka. Diperlukan sebuah modul pada tambahan langkah-
langkah IPC untuk mengamati selama respon dan pengelolaan wabah infeksi pernapasan
seperti MERS.

MERS adalah infeksi droplet (26,27); namun wawancara dengan dokter-dokter menunjukkan
bahwa banyak yang kurang mendapat informasi tentang MERS-CoV, khususnya mode
penularan virus, banyak yang percaya bahwa itu adalah penyakit yang ditularkan melalui
udara. Tantangan utama dalam mengimplementasikan program IPC adalah untuk mengubah
perilaku petugas keseharan, seperti memastikan kebersihan tangan; tantangan lainnya adalah
mempertahankan praktik yang baik di antara wabah. Kurangnya kepemimpinan IPC di rumah
sakit dan tidak adanya pembagian peran yang jelas dan tanggungjawab atau panduan tentang
petugas kesehatan yang berulang kali melanggar program IPC. Beberapa pihak terkait
menyerukan hukuman, semetara yang lain menyerukan undang-undang kesehatan masyarakat
untuk membatasi penularan kasus MERS-CoV (28,29).

9
Penyuluhan berkelanjutan pada IPC harus terus dilakukan, meskipun tidak memberikan false
sense security kepada administrator rumah sakit. IPC harus menjadi tanggungjawab semua
orang, dengan persediaan peralatan yang memadai. Para petugas kesehatan harus mengikuti
sistem audit untuk praktik IPC yang dikembangkan oleh Kementrian Kesehatan Arab Saudi
yang berkolaborasi dengan Dewan Sentral untuk Akreditasi Institusi Kesehatan (Central
Board for Accreditation of Healtcare Institutions-CBAHI). Sistem audit IPC dirancang untuk
memastikan keberlajutan kepatuhan terhadap pedoman IPC dengan menggunakan metode
penilaian; sistem audit tersebut memantau kinerja berbagai fasilitas kesehatan, dan
implementasi tindakan korektif segera jika dianggap perlu (30). Alat penilaian rutin IPC perlu
direvisi untuk memastikan bahwa itu telah sesuai untuk digunakan selama wabah yang akan
membutuhkan langkah-langkah IPC tambahan. Perlu untuk mengatasi dan memantau
perilaku dan praktik petugas kesehatan dan sistem manajemen rumah sakit. Selama wabah,
banyak rumah sakit yang mengurangi penerimaan dan penghentian operasi elektif atau
menutup unit-unit tertentu (31). Sementara tindakan seperti itu akan meningkatkan kapasitas
tempat tidur dari rumah sakit tersebut, beberapa administrator rumah sakit cenderung
mengambil tindakan seperti itu untuk menghindari berfungsi selama wabah terjadi.
Pengurangan beban kerja selama wabah dianggap sebagai kesempatan untung
mengidentifikasi kelemahan, melatih staf dan meningkatkan dan meningkatkan kesiapan
rumah sakit untuk menghadapi kejadian yang serupa di masa depan. Rumah sakit harus
mendokumentasikan dan berbagi pengalaman tentang MERS.

Wabah itu menunjukkan bahwa rumah sakit dan petugas kesehatan tidak ada yang kebal
terhadap MERS. Rumah Sakit B selalu menyatakan dirinya sebagai pusat keunggulan dan
yakin atas kualitas perawatan medis yang mereka sediakan; namun, rujukan pasien dari
rumah sakit lain membuat Rumah Sakit B rentan terhadap MERS. Munculnya MERS di
rumah sakit B mendorong pengelolanya untuk memantau kebersihan tangan para petugas
kesehatannya melalui tempat perawatan; petugas kesehatan yang tidak patuh, termasuk
dokter senior, dilaporkan ke pengelola rumah sakit secepatnya.

Diperlukan pernyataan yang jelas dari Direktur Jenderal Departemen Kesehatan Al-Ahssa
untuk mendukung implementasi kebijakan pengunjung yang ketat. Masalah lain yang
menggangu IPC ialah jumlah peralatan terbaru yang tidak memadai; ruangan rumah sakit,
lemari dan koridor penuh dengan peralatan usang. Rumah Sakit A kekurangan petugas IPC
prefesional dan tidak memiliki jumlah perawat khusus IPC yang cukup.

10
Dewan Penasihat Ilmiah Kementrian Kesehatan telah merekomendasikan triase klinis dapat
digunakan untuk identifikasi awal pasien yanng masuk dengan penyakit pernapasan akut di
ruang IGD untuk mencegah penularan MERS dan virus lainnya yang menyerang bagian
pernapasan (32). Tim investigasi wabah mengidentifikasi kesulitan praktis dalam triase
pasien secara visual dan terstruktur, termasuk pemahaman yang salah tentang konsep triase
dan logistik. Banyak rumah sakit di Al-Ahssa yang kesulitan menyediakan ruang yang cukup
untuk triase yang tepat, seperti ruangan khusus untuk asesmen dan skrining, ruangan isolasi,
dan lift khusus untuk dugaan kasus MERS perlu untuk implementasi yang tepat. Petugas
kesehatan yang ditugaskan untuk melakukan triase tidak cukup terlatih dan tidak sepenuhnya
didedikasikan untuk kegiatan ini. Daftar periksa terperinci untuk semua persyaratann dapat
berguna untuk membangun fungsi sistem triase di fasilitas pelayanan kesehatan.

Kemungkinan pasien rujukan antar rumah sakit yang berkontribusi dalam penyebaran MERS
bukanlah satu-satunya faktor. Beberapa kasus telah dirawat di Rumah Sakit B lebih lama dari
masa inkubasi terpanjang dari MERS dan karena itu pasti telah terinfeksi selama dirawat di
rumah sakit; namun beberapa kasus yang telah didiagnosa telah dikunjungi departemen rawat
jalan di Rumah Sakit B yang mungkin telah terpapar MERS-CoV di rumah sakit lain.
Rujukan ke Rumah Sakit B untuk tindakan selanjutnya pada kasus penyakit jantung mungkin
telah salah diagnosis atau tidak terdiagnosis MERS, pasien yang menderita penyakit jantung
dan MERS menunjukkan gejala batuk dan sesak napas. Sebuah sistemdapat dirancang di
mana setiap rumah sakit menerima peringatan tentang kasus MERS yang baru didiagnosis di
rumah sakit lain. Ini dapat bermanfaat dalam mengurangi resiko penularan infeksi MERS dari
satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya.

Pengumuman tentang wabah merupakan suatu komponen integral sebagai respon untuk
meminimalkan kepanikan dan mengurangi beredarnya info-info yang belum pasti. Otoritas
kesehatan harus mengumumkan secara transparan terjadinya wabah secepat mungkin dan
mengatasi kekhawatiran masyarakat. Pengumuman tentang wabah yang tepat akan menjaga
kepercayaan masyarakat dan mendorong mereka terlibat dalam tindakan pengendalian.
Sasaran utama pengumuman tentang faktor resiko kesehatan adalah untuk mendorong
perilaku untuk mengurangi resiko. Kepatuhan dengan pesan edukasi kesehatan tergantung
pada sejauh mana mereka menangani masalah publik.

Selama wabah, Direktorat Jenderal Kesehatan di Al-Ahssa memutuskan bahwa perugas IPC
harus melapor langsung ke kantornya dan ketetuan referensi petugas IPC di level regional

11
direvisi sesuai dengan itu. Tindakan ini mungkin meningkatkan akses sumber daya tambahan
untuk munculnya krisis kesehatan masyarakat dan mempercepat pembelian peralatan dan
pasokan yang diperlukan.

12

Anda mungkin juga menyukai