Oleh:
Temmy – 112015314
Pembimbing:
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih, kehilangan minat, dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola
tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa bersalah, putus asa dan
tidak berdaya, serta keinginan bunuh diri. Depresi diartikan sebagai gangguan alam perasaan yang
ditandai dengan perasaan tertekan, menderita, berkabung, mudah marah dan kecemasan.
Gangguan atau gejala depresi pada lansia membutuhkan perhatian khusus, dikarenakan gangguan
depresi merupakan masalah kesehatan jiwa paling banyak dihadapi oleh kelompok lansia.1
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 prevalensi keseluruhan gangguan
depresi pada kalangan lansia di dunia bervariasi antara 10% hingga 20%. Di Indonesia, prevalensi
depresi cukup tinggi yaitu sebesar 17,8%.2 Hasil meta analisis dari laporan negara-negara di dunia
mendapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita :
pria adalah 14,1 : 8,6.1 Usia lanjut sangat berkaitan dengan berbagai perubahan akibat proses
menua seperti perubahan anatomi/fisiologi, berbagai penyakit atau keadaan patologik akibat
penuaan, serta pengaruh psikososial pada fungsi organ. Depresi merupakan gangguan psikiatri
yang paling sering terjadi pada pasien lanjut usia, dan merupakan akibat dari interaksi faktor
biologis, fisik, psikologis dan sosial.1,3
Epidemiologi
Lansia
Penduduk lansia atau lanjut usia menurut UU Kesejahteraan Lansia No.13 tahun 1998
adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. WHO menggolongkan lanjut usia
menjadi empat yaitu, (1) usia pertengahan 45-59 tahun, (2) lanjut usia 60-74 tahun, (3) lanjut usia
tua 75-90 tahun dan (4) usia sangat tua diatas 90 tahun. Menurut Depkes RI, batasan lansia terbagi
dalam empat kelompok yaitu umur usia lanjut (virilians) yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini
(prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia
lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan risiko tinggi yang berusia lebih dari 70
tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit
berat, atau cacat.1
Diagnosis
o afek depresif
o kehilangan minat dan kegembiraan
o berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.5
Gejala lainnya:
(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas
(3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-
kurangnya sekitar 2 minggu
(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.5
(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah
tangga.5
Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat
(3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien mungkin
tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian,
penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan.
(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan
rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.5
Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2) tersebut di
atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi.
Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan
pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa
suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju pada stupor.
Depresi pada lansia sering tidak terdeteksi, dalam populasi lansia depresi bervariasi sekitar 19-
94%. Gangguan depresi sering terdapat pada lansia dengan penyakit medis atau neurologis.
Komorbiditas ini perlu mendapat perhatian karena depresi akan memperburuk morbiditas dan
meningkatkan mortalitas. Seringkali tidak terdiagnosis oleh karena gejala yang ada lebih sering
tampak sebagai keluhan somatik.5
Kriteria Diagnosis Episode Depresi Mayor DSM-V
Pada DSM V terdapat perubahan poin diagnosa Episode Depresi Mayor, yaitu pada poin
B hingga E sebagai berikut:
A. Lima (atau lebih) gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan memperlihatkan perubahan
fungsi, paling tidak satu atau lainnya (1)mood depresi (2)kehilangan minat
1. Mood depresi terjadi sepanjang hari atau bahkan setiap hari, diindikasikan dengan laporan
yang subjektif (merasa sedih atau kosong) atau yang dilihat oleh orang sekitar. Note : pada
anak dan remaja, dapat mudah marah
2. Ditandai dengan hilangnya minat disemua hal, atau hampir semua hal
3. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet, atau penurunan atau peningkatan
nafsu makan hampir setiap hari. Catatan : pada anak-anak, berat badan yang tidak naik
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh orang lain, bukan
perasaan yang dirasakan secara subjektif dengan kelelahan atau lamban)
6. Cepat lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari
7. Merasa tidak berguna atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa terjadi delusi) hampir
setiap hari
8. Tidak dapat berkonsentrasi atau berpikir hampir setiap hari
9. Pemikiran untuk mati yang berulang, ide bunuh diri yang berulang tanpa perencanaan yang
jelas, atau ide bunuh diri dengan perencanaan.
B. Gejala yang ada menyebabkan distress atau kerusakan yang signifikan pada proses sosial,
pekerjaan, dan area fungsi penting lainnya
C. Gejala tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan obat, obat-obatan) atau
kondisi medis umum.
D. Kemunculan dari Episode Depresi Mayor ini tidak dapat dijelaskan secara baik dengan
diagnosa Gangguan Skizoafektif, Skizofrenia, Gangguan Skizofreniform, Gangguan Delusi, atau
Spectrum Skizofrenia lainnya yang spesifik dan tidak spesifik serta Gangguan Psikotik lainna.
E. Tidak pernah ada episode manik atau hipomanik sebelumnya.4
Manifestasi Klinis
Gangguan depresi ditandai oleh rasa lelah yang berkepanjangan dan sulit untuk
berkonsentrasi, gangguan tidur (terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali saat tidur),
nafsu makan berkurang, kehilangan berat badan dan keluhan somatik. Pasien usia lanjut yang
mengalami depresi memperlihatkan gejala yang berbeda dibandingkan pada dewasa muda, pasien
usia lanjut akan lebih banyak memiliki keluhan somatik.5 Pada umumnya lansia mengalami
depresi ditandai oleh mood depresi menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas
sehari-hari, dan dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Gejala depresi pada lansia
banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik, gangguan kognitif, dan disabilitas.3,6 Perubahan
pada lansia depresi dapat dikategorikan menjadi perubahan fisik, perubahan dalam pemikiran,
perubahan dalam perasaan dan perubahan perilaku.3 Perubahan fisik seperti perubahan nafsu
makan sehingga berat badan turun, gangguan tidur berupa gangguan memulai tidur atau tidur
terlalu lama, penurunan energi dengan perasaan lemah, mengalami agitasi dengan kegelisahan dan
bergerak terus, nyeri kepala, nyeri otot, gangguan sistem pencernaan. Perubahan dalam pikiran
seperti sulit berkonsentrasi, sulit mengingat informasi, pemikiran obsesif akan terjadi bencana,
preokupasi atas kegagalan, perubahan perasaan meliputi kehilangan minat, perasaan tidak berguna,
putus asa, merasa sedih, iritabel. Perubahan dalam perilaku diantaranya menarik diri dari
lingkungan sosial, pengurangan perawatan diri, penurunan aktivitas.3
Etiologi
Faktor Biologi
Kolinergik neuron memiliki hubungan timbal balik atau interaktif dengan ketiga
sistem monoamine. Kadar abnormal choline, yang merupakan prekursor asetilkolin (Ach),
ditemukan dalam otak pada otopsi beberapa pasien depresi.4 Obat agonis dan antagonis
kolinergik memiliki efek klinis yang berbeda pada depresi dan mania. Agonis
menyebabkan letargi, anergia, dan retardasi psikomotor pada subjek yang sehat, dapat
mengeksaserbasi gejala pada depresi, dan mengurangi gejala mania. Kolinergik agonis
dapat menginduksi perubahan pada aktivitas hypothalamic-pituitary adrenal (HPA) dan
tidur yang meniru terkait dengan depresi berat.4 γ-aminobutyric acid (GABA) memiliki
efek inhibisi pada jalur asenden monoamine, terutama sistem mesokortikal dan
mesolimbic. Penurunan kadar GABA telah diteliti pada plasma, cairan serebrospinal, dan
otak pada depresi. Penelitian pada hewan ditemukan stress kronik dapat menurunkan dan
mendeplesi kadar GABA.4 Sekitar 5 sampai 10 persen orang yang dievaluasi untuk depresi
memiliki riwayat disfungsi tiroid yang tidak terdeteksi, yang terlihat dalam peningkatan
thyroid stimulating hormone (TSH) basal atau peningkatan respon TSH terhadap
pemberian infus 500 mg neuropeptide hipotalamik thyroid releasing hormone (TRH).4
Selain itu pada lansia depresi terjadi perubahan struktur otak seperti abnormalitas jalur
frontostriatal yang menyebabkan gangguan fungsi eksekutif, psikomotor, perasaan apatis;
volume struktur frontostriatal yang rendah; hiperintensitas struktur subkortikal;
abnormalitas makromolekular di korpus kalosum genu dan splenium, nucleus kaudatus dan
putamen; penurunan jumlah glia di korteks singulata anterior subgenual; abnormalitas
neuron di korteks dorsolateral; atrofi kortikal; gangguan substansia alba; abnormalitas
struktur subortikal; peningkatan aktivitas dan perubahan volume amigdala yang berperan
dalam emosi negatif dan gangguan mekanisme koping; dan penurunan volume hipokampus
dan striatum ventral. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan neurotransmitter yang
menyebabkan lansia depresi.3
Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka risiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat diperkirakan 2 sampai
3 kali dibandingkan dengan populasi umum.1 Data yang ada menampilkan jika salah satu
dari kedua orangtua memiliki gangguan mood, anak memiliki risiko antara 10 sampai 25
persen untuk gangguan mood. Jika kedua orangtua yang mengalami, risikonya meningkat
dua kali lipat. Semakin banyak anggota keluarga yang mengalami maka semakin tinggi
risiko untuk anak.4 Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada
kembar monozigot. Pada beberapa kasus, depresi murni berasal dari faktor genetik, orang
yang memiliki keluarga depresi lebih cenderung menderita depresi. Riwayat keluarga yang
menderita gangguan bipolar, skizofrenia, pengguna alkohol, atau gangguan mental lainnya
juga meningkatkan risiko terjadinya depresi.1
Faktor Psikososial
Data yang menunjukkan kejadian kehidupan yang paling sering berkaitan dengan
perkembangan depresi adalah kehilangan orangtua sebelum usia 11 tahun. Stressor
lingkungan paling sering berkaitan dengan onset episode depresi adalah kehilangan
pasangan. Faktor risiko lain adalah tidak memiliki pekerjaan, orang yang tidak bekerja tiga
kali lebih berisiko memiliki gejala episode depresi mayor dibandingkan yang bekerja.4
Tidak ada sifat kepribadian atau tipe yang merupakan predisposisi seseorang menjadi
depresi. Semua manusia, apapun pola personalitasnya dapat menjadi depresi di bawah
keadaan yang sesuai. Orang-orang dengan gangguan kepribadian OCD, histrionik, dan
borderline mungkin mempunyai risiko depresi dibandingkan dengan orang dengan
gangguan kepribadian antisosial atau paranoid.4
Etiologi depresi pada lansia yang diajukan oleh para ahli antara lain,
1. Polifarmasi
Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi diantaranya,
analgetika, OAINS, antihipertensi, antipsikotik.1,8
2. Kondisi medis umum
Beberapa kondisi medis umum yang berhubungan dengan depresi adalah gangguan
endokrin, neoplasma, gangguan neurologis. 1,8
3. Teori neurobiologi
Pada beberapa penelitian ditemukan adanya perubahan neurotransmitter pada lansia
seperti menurunnya konsentrasi serotonin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin Atrofi otak
juga diperkirakan berperan terhadap depresi pada lansia. 1,8
4. Teori psikodinamik
Menurut Freud dalam teori psikodinamika, penyebab depresi adalah kehilangan
objek yang dicintai. Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab
gangguan mental pada lansia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor
psikososial tersebut adalah kehilangan peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman
atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial
dan penurunan fungsi kognitif. Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi
penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan
jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik.1,8 Kemarahan
terhadap objek yang hilang tersebut ditujukan kepada diri sendiri. Akibatnya terjadi
perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri, merasa diri tidak berguna dan
sebagainya.1,8
5. Teori kognitif dan perilaku
Konsep Seligman tentang learned helplessness menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara kehilangan yang tidak dapat dihindari akibat proses penuaan seperti
keadaan tubuh, fungsi seksual, dan sebagainya dengan sensasi passive helplessness pada
pasien usia lanjut.1,8
6. Teori psikoedukatif
Rasa ketidakberdayaan orang lanjut usia, pengisolasian oleh keluarga, tiadanya
sanak saudara ataupun perubahan-perubahan fisik yang diakibatkan oleh proses penuaan
dapat memicu terjadinya depresi pada usia lanjut. Dukungan sosial yang buruk dan
kegiatan religious yang kurang dihubungkan dengan terjadinya depresi pada lansia.
Kegiatan religious dihubungkan dengan depresi yang lebih rendah pada lansia di Eropa.
Religious coping berhubungan dengan berkurangnya gejala-gejala depresif tertentu, yaitu
kehilangan ketertarikan, perasaan tidak berguna, penarikan diri dari interaksi sosial,
kehilangan harapan, dan gejala-gejala kognitif lain pada depresi.1,8
Pembagian lain faktor risiko terjadinya depresi pada lansia terbagi atas faktor internal dan
eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor biologis (usia, jenis kelamin, riwayat keluarga), faktor
fisik (riwayat penyakit yang pernah diderita), dan faktor psikologis (kepribadian dan kognitif).1
Usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya depresi. Semakin meningkatnya usia maka
risiko terjadinya depresi juga akan menjadi dua kali lipat. Hal ini karena terjadi perubahan secara
fisik, psikologis, ekonomi, sosial yang mempengaruhi kualitas hidup seorang lansia. Pada
penelitian yang dilakukan IGM Agus dkk (2014) didapatkan persentase tingkat depresi paling
banyak terjadi pada kelompok usia 75-90 tahun. Hasil yang didapat tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Onya dkk (2013) yang mendapatkan hasil persentase terbanyak pada
kategori kelompok usia 75-90 tahun.7 Menurut beberapa studi, lansia perempuan memang
memiliki risiko depresi lebih tinggi dibandingkan dengan lansia laki-laki. Penelitian oleh IGM
Agus dkk (2014) didapatkan proporsi kejadian depresi lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki.7 Tetapi pada penelitian yang dilakukan Anak Agung dkk (2015)
didapatkan proporsi depresi pada jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
dengan persentase 30,6%.2
Penyakit kronik yang diderita lansia selama bertahun-tahun biasanya menjadikan lansia
lebih mudah terkena depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Chang Quan (2009) menyebutkan
bahwa beberapa penyakit kronik yang menjadi faktor risiko meningkatnya depresi yaitu stroke,
hilangnya fungsi pendengaran, hilangnya fungsi penglihatan, penyakit jantung, dan penyakit
kronik paru.1 Lansia dengan riwayat penyakit fisik multipel memiliki risiko terjadinya depresi yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan lansia tanpa riwayat penyakit fisik.7 Pendidikan sangat
berkaitan dengan kemampuan kognitif. Kemampuan kognitif adalah bentuk mediator diantara
kejadian dalam hidup dengan mood. Tingkat depresi seseorang dapat semakin tinggi ketika tingkat
pendidikan rendah.9 Anak Agung dkk (2015) mendapatkan hasil proporsi depresi pada kelompok
berpendidikan rendah sebanyak 24,4% dan pada kelompok berpendidikan sedang dan tinggi tidak
ada yang mengalami depresi.2 Seseorang dengan kepribadian yang lebih tertutup, mudah cemas,
dan lebih bergantung pada orang lain rentan terhadap depresi. Faktor eksternal yaitu sosial meliputi
status perkawinan, pekerjaan, stressor sosial dan dukungan sosial. Dukungan sosial terdiri dari
empat komponen, yaitu jaringan sosial, interaksi sosial, dukungan sosial yang didapat, dan
dukungan keluarga.1 Berdasarkan status pernikahan memiliki proporsi depresi paling tinggi
sebesar 19,3% dan yang berstatus duda/janda yang mengalami depresi sebesar 27,6% dan yang
tidak menikah sebesar 50% pada penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung (2015). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dlakukan oleh Carrera Campos di tahun 2014 yang menunjukkan
angka depresi lebih banyak dialami oleh seseorang yang tidak menikah.2 Lansia secara perlahan
akan mengalami penurunan kondisi fisik, penurunan aktifitas, pemutusan hubungan sosial dan
perubahan posisi dalam masyarakat. Dukungan sosial diperlukan dalam kondisi seperti tersebut.
Dukungan sosial seperti perhatian dan motivasi dibutuhkan oleh lansia untuk memperoleh
ketenangan, dan merupakan sumber daya yang terdapat ketika berinteraksi dengan orang lain.
Hasil studi menunjukkan dukungan sosial bagi lansia sangat penting, karena dukungan sosial yang
baik telah terbukti menurunkan depresi dan bertindak sebagai suatu pelindung bagi lansia.9
Pada usia lanjut, depresi yang berdiri sendiri maupun yang bersamaan dengan penyakit lain
hendaknya ditangani dengan sungguh-sungguh karena bila tidak diobati dapat memperburuk
perjalanan penyakit dan memperburuk prognosis.8 Lansia yang mengalami depresi mempunyai
hubungan terhadap keluhan somatik dari pada lansia yang tidak mengalami depresi. Dampak
keluhan somatik yang akan timbul dapat berupa kehilangan nafsu makan, berat badan menurun,
gangguan sistem pencernaan, dan gangguan tidur. Dapat pula timbul keletihan dan kehilangan
energi. Aktivitas psikomotor terganggu seperti melambatnya pergerakan tubuh, respon verbal dan
tidak mau bicara. Dilihat dari segi psikososial gejala yang tampak adalah kehilangan minat
terhadap interaksi dengan orang lain dan meninggalkan kebiasaan atau hobi. Sering mengatakan
dirinya kesepian, muncul perasaan ingin menangis namun tidak bisa menangis, merasa hampa,
tidak bahagia, tidak berguna dan harga diri rendah.3,9
Skrining depresi pada lansia di layanan kesehatan primer sangat penting. Hal ini penting
dikarenakan frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri pada lansia tinggi. Dilakukan
juga untuk membantu edukasi pasien dan pemberi perawatan tentang depresi, dan untuk mengikuti
perjalanan gejala-gejala depresi seiring dengan waktu. Skrining tidak ditujukan untuk membuat
diagnosis depresi mayor, namun untuk mendokumentasikan gejala-gejala depresi sedang sampai
berat pada lansia apapun penyebabnya. Skrining depresi pada lansia memiliki kekhususan
tersendiri, gejala-gejala seperti kesulitan tidur, energi yang berkurang, dan libido yang menurun
secara umum ditemukan pada penderita depresi lansia. Pemikiran tentang kematian dan
keputusasaan akan masa depan mempunyai makna yang berbeda bagi mereka yang berada pada
fase terakhir kehidupan.8
Geriatric depression scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes skrining depresi yang
mudah untuk dinilai dan dikelola. GDS memiliki format yang sederhana dengan pertanyaan-
pertanyaan dan respon yang mudah dibaca. Telah divalidasi pada berbagai populsi lanjut usia,
termasuk di Indonesia. Selain GDS, tes skrining lain yang telah terstandarisasi adalah Center for
Epidemiologic Studies Depression Scale Revised (CES-D-R). Instrumen skrining lain seperti
Hamilton Rating Scale for Depression, Zung Self-Rating Depression Scale, Montgomery-Asberg
Depression Rating Scale, namun GDS dan CES-D-R merupakan instrument yang paling sering
digunakan.8
Gambar 1. Geriatric Depression Scale. Sumber: www.medscape.com
GDS terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang sebagai suatu self-administered test,
walaupun telah digunakan juga dalam format observer-administered test, dan dirancang untuk
mengeliminasi hal-hal somatic, seperti gangguan tidur yang mungkin tidak spesifik untuk depresi
pada lansia. Pada GDS, skor 11 mengindikasikan adanya depresi yang signifikan secara klinis
dengan nilai sensitivitas 90,11% dan spesifisitas 83,67%.8 Terdapat juga GDS versi pendek yang
terdiri dari 15 pertanyaan saja. Pada GDS pendek ini, skor 5 atau lebih mengindikasikan depresi
yang signifikan secara klinis. GDS menjadi tidak valid bila digunakan pada lansia dengan
gangguan kognitif. Oleh karena itu status kognitif harus terlebih dahulu dinilai dengan Mini Mental
State Examination (MMSE). MMSE adalah suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang
dikelompokkan menjadi tujuh kategori yaitu orientasi tempat, orientasi waktu, registrasi, atensi
dan konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan konstruksi visual. MMSE didesain untuk
mendeteksi dan menjejaki kemajuan dari gangguan kognitif yang terkait dengan gangguan
neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer. Nilai MMSE 0-16 menunjukkan suatu gangguan
kognitif.8
Penatalaksanaan
Tatalaksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan dan kepribadian masing-
masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi merupakan tata laksana yang sering dilakukan
dan berhasil. Akan tetapi, pada kasus tertentu atau pada depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup,
diperlukan farmakoterapi. Anti depresan bekerja dengan cara menormalkan neurotransmitter di
otak yang memengaruhi mood seperti serotonin, norepinefrin dan dopamin. Selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRI) merupakan obat pilihan pertama.3 Pemilihan jenis obat antidepresi bagi
pasien lansia lebih merujuk pada profil efek samping obat. Preparat sekunder trisiklik (deipramin,
nortriptilin) masih cukup aman dan efektif untuk digunakan pada lansia. Antidepresi generasi baru
bekerja pada reseptor susunan saraf otak bersifat lebih selektif dan spesifik sehingga profil efek
sampingnya lebih baik.8
Dari golongan SSRI, sitalopram dan sertraline dianggap paling aman karena kedua obat ini
sangat sedikit dimetabolisme oleh isoenzim cytochrome P450 sehingga mengurangi risiko
interaksi obat yang merugikan. Namun SSRI mempunyai efek samping yaitu keluhan serotonergic
seperti sakit kepala, mual, diare, insomnia dan agitasi psikomotor. SSRI juga dapat menimbulkan
efek samping ekstrapiramidal khususnya pada pasien dengan komorbiditas penyakti saraf.7
Pengobatan monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal terapi, dievaluasi apabila tidak
ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak berespon pada pengobatan awal
perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain dan daapt dipertimbangkan penggunaan dua
golongan antidepresan.3 Fase lanjutan yakni dosis optimal dipertahankan selama 4 sampai dengan
9 bulan untuk mencegah terjadinya relaps, berikutnya terapi rumatan dapat berlangsung hingga
satu tahun atau lebih. Terapi rumatan diberikan terutama untuk gangguan depresi dengan riwayat
episode berulang.8
Kesimpulan
Depresi pada lansia sulit untuk di diagnosis antara lain karena gejalanya tidak khas.
Ditandai oleh rasa lelah yang berkepanjangan dan sulit untuk berkonsentrasi, gangguan tidur
(terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali saat tidur), nafsu makan berkurang,
kehilangan berat badan dan keluhan somatik. Selain faktor biologi, genetik dan psikososial, faktor
lain yang mempengaruhi rasa kehilangan, polifarmasi, dan riwayat penyakit fisik.
Penatalaksanaaan meliputi psikoterapi dan farmakoterapi. Psikoterapi yang diberikan dapat berupa
cognitive-behavioural therapy dan interpersonal therapy. SSRI merupakan obat pilihan pertama
pada farmakoterpai. Electroconvulsive therapy juga dapat diberikan jika tidak ada respon terhadap
pengobatan farmakoterapi.
Daftar Pustaka
1. Prasetiyani RD. Hubungan dukungan keluarga, interaksi sosial dan fungsi kognitif dengan
depresi pada lanjut usia di kecamatan rajabasa bandar lampung. Lampung: Fakultas
Kedokkteran Universitas Lampung; 2015.
2. Aryawangsa AAN, Ariastuti NLP. Prevalensi dan distribusi faktor risiko depresi pada
lansia di wilayah kerja puskesmas tampaksiring I kabupaten gianyar bali 2015. ISM; 2016:
7 (1). Hal 12-23.
3. Irawan H. Gangguan depresi pada lanjut usia. CDK; 2013: 40(11). Hal 815-9.
4. Sadock B J, Sadock V A, and Ruiz P. Mood disorder: depression and bipolar in Kaplan
& Sadock's Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 11th ed. New
York: Wolters Kluwer; 2015. Hal 752-805.
5. Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas dari ppdgj III, Jakarta,
2001. Hal
6. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi dalam Buku Ajar Psikiatri. Edisi kedua. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2015. Hal 238-34.
7. Bhayu IGM A, Ratep N, Westa W. Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
depresi pada lanjut usia di wilayah kerja puskesmas kubu II januari-februari 2014.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2014.
8. Sihombing B, Fahila R. Depresi pada lansia. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara; 2011.
9. Widianingrum S. Gambaran umum karakteristik lansia dengan depresi di panti wilayah
kota semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2016.
10. Wiese BS. Geriatric depression: the use of antidepressants in the elderly. BMJ; 2011: 53(7).
Hal 341-9.