Anda di halaman 1dari 19

Referat

Gangguan Mood Depresi pada Lansia

Oleh:

Temmy – 112015314

Pembimbing:

dr.Safyuni Naswati, SpKJ

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran UKRIDA
Rumah Sakit Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Pendahuluan

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih, kehilangan minat, dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola
tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa bersalah, putus asa dan
tidak berdaya, serta keinginan bunuh diri. Depresi diartikan sebagai gangguan alam perasaan yang
ditandai dengan perasaan tertekan, menderita, berkabung, mudah marah dan kecemasan.
Gangguan atau gejala depresi pada lansia membutuhkan perhatian khusus, dikarenakan gangguan
depresi merupakan masalah kesehatan jiwa paling banyak dihadapi oleh kelompok lansia.1
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 prevalensi keseluruhan gangguan
depresi pada kalangan lansia di dunia bervariasi antara 10% hingga 20%. Di Indonesia, prevalensi
depresi cukup tinggi yaitu sebesar 17,8%.2 Hasil meta analisis dari laporan negara-negara di dunia
mendapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita :
pria adalah 14,1 : 8,6.1 Usia lanjut sangat berkaitan dengan berbagai perubahan akibat proses
menua seperti perubahan anatomi/fisiologi, berbagai penyakit atau keadaan patologik akibat
penuaan, serta pengaruh psikososial pada fungsi organ. Depresi merupakan gangguan psikiatri
yang paling sering terjadi pada pasien lanjut usia, dan merupakan akibat dari interaksi faktor
biologis, fisik, psikologis dan sosial.1,3

Epidemiologi

Berdasarkan World Health Organization (WHO), prevalensi keseluruhan kejadian depresi


pada lansia secara umum bervariasi antara 10-20%, hal ini juga bergantung pada situasi budaya di
masing-masing daerah di dunia. Gangguan depresi mayor dua kali lebih banyak pada perempuan
dibandingkan pada laki-laki. Alasan yang mungkin membedakan antara lain perbedaan hormonal,
efek melahirkan, stressor sosial yang berbeda.4 Suatu penelitian menunjukkan variasi prevalensi
depresi pada lansia antara 0,4-35%, rata-rata prevalensi depresi mayor 1,8%, depresi minor 9,8%
dan gejala klinis depresi nyata 13,5%. Sekitar 15% lansia tidak menunjukkan gejala depresi yang
jelas dan depresi terjadi lebih banyak pada lansia yang memiliki penyakit medis.3 Rerata usia onset
terjadinya gangguan depresi mayor sekitar 40 tahun, dengan 50% dari seluruh pasien memiliki
onset antara usia 20 sampai 50 tahun. Depresi mayor juga dapat terjadi pada masa kanak dan usia
lanjut. Pada data epidemiologi terkini, insiden depresi mayor meningkat pada orang muda di
bawah usia 20 tahun, dimana hal ini berkaitan dengan peningkatan penggunaan obat-obatan dan
konsumsi alkohol pada kelompok usia tersebut.4 Beberapa kondisi lingkungan juga berkaitan
dengan tingkat depresi lebih besar. Orang yang tinggal di perkotaan dua kali lebih depresi
dibandingkan dengan orang yang tinggal di pedesaan. Selain itu orang yang tinggal sendiri,
bercerai, kondisi ekonomi rendah, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak bekerja selama enam
bulan atau lebih tiga kali lebih sering depresi dibandingkan populasi umum.3 Depresi
menyebabkan peningkatan jumlah disabilitas, terhitung hampir 12% dari keseluruhan disabilitas.
Selain itu depresi juga secara umum merupakan penyebab utama morbiditas pada fungsi sosial,
pekerjaan dan interpersonal.6 Gangguan depresi mayor lebih sering dialami individu yang bercerai
atau berpisah dibandingkan dengan yang menikah atau lajang. Status perceraian menmpatkan
seseorang pada risiko yang lebih tinggi untuk menderita depresi. Wanita atau pria lajang lebih
sering menderita depresi dibandingkan yang menikah, depresi juga lebih sering pada orang yang
tinggal sendiri bila dibandingkan dengan yang tinggal bersama kerabat.1,4

Lansia

Penduduk lansia atau lanjut usia menurut UU Kesejahteraan Lansia No.13 tahun 1998
adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. WHO menggolongkan lanjut usia
menjadi empat yaitu, (1) usia pertengahan 45-59 tahun, (2) lanjut usia 60-74 tahun, (3) lanjut usia
tua 75-90 tahun dan (4) usia sangat tua diatas 90 tahun. Menurut Depkes RI, batasan lansia terbagi
dalam empat kelompok yaitu umur usia lanjut (virilians) yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini
(prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia
lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan risiko tinggi yang berusia lebih dari 70
tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit
berat, atau cacat.1

Diagnosis

Pedoman diagnosis menurut PPDGJ-III.

Pedoman diagnostik pada depresi dibagi menjadi:

Semua gejala utama depresi :

o afek depresif
o kehilangan minat dan kegembiraan
o berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.5

Gejala lainnya:

o konsentrasi dan perhatian berkurang


o harga diri dan kepercayaan diri berkurang
o gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
o pandangan masa depan yang suram dan pesimis
o gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
o tidur terganggu
o nafsu makan berkurang

Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi


jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.5

Episode depresif ringan menurut PPDGJ III

(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya

(3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-
kurangnya sekitar 2 minggu

(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.5

Episode depresif sedang menurut PPDGJ III

(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya


(3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu

(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah
tangga.5

Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :

(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada

(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat

(3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien mungkin
tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian,
penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan.

(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan
rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.5

Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :

Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2) tersebut di
atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi.

Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan
pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa
suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju pada stupor.

Depresi pada lansia sering tidak terdeteksi, dalam populasi lansia depresi bervariasi sekitar 19-
94%. Gangguan depresi sering terdapat pada lansia dengan penyakit medis atau neurologis.
Komorbiditas ini perlu mendapat perhatian karena depresi akan memperburuk morbiditas dan
meningkatkan mortalitas. Seringkali tidak terdiagnosis oleh karena gejala yang ada lebih sering
tampak sebagai keluhan somatik.5
Kriteria Diagnosis Episode Depresi Mayor DSM-V

Pada DSM V terdapat perubahan poin diagnosa Episode Depresi Mayor, yaitu pada poin
B hingga E sebagai berikut:

A. Lima (atau lebih) gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan memperlihatkan perubahan
fungsi, paling tidak satu atau lainnya (1)mood depresi (2)kehilangan minat

1. Mood depresi terjadi sepanjang hari atau bahkan setiap hari, diindikasikan dengan laporan
yang subjektif (merasa sedih atau kosong) atau yang dilihat oleh orang sekitar. Note : pada
anak dan remaja, dapat mudah marah
2. Ditandai dengan hilangnya minat disemua hal, atau hampir semua hal
3. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet, atau penurunan atau peningkatan
nafsu makan hampir setiap hari. Catatan : pada anak-anak, berat badan yang tidak naik
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh orang lain, bukan
perasaan yang dirasakan secara subjektif dengan kelelahan atau lamban)
6. Cepat lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari
7. Merasa tidak berguna atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa terjadi delusi) hampir
setiap hari
8. Tidak dapat berkonsentrasi atau berpikir hampir setiap hari
9. Pemikiran untuk mati yang berulang, ide bunuh diri yang berulang tanpa perencanaan yang
jelas, atau ide bunuh diri dengan perencanaan.

B. Gejala yang ada menyebabkan distress atau kerusakan yang signifikan pada proses sosial,
pekerjaan, dan area fungsi penting lainnya

C. Gejala tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan obat, obat-obatan) atau
kondisi medis umum.

Catatan: Kriteria A-C menunjukkan Episode Depresi Mayor

D. Kemunculan dari Episode Depresi Mayor ini tidak dapat dijelaskan secara baik dengan
diagnosa Gangguan Skizoafektif, Skizofrenia, Gangguan Skizofreniform, Gangguan Delusi, atau
Spectrum Skizofrenia lainnya yang spesifik dan tidak spesifik serta Gangguan Psikotik lainna.
E. Tidak pernah ada episode manik atau hipomanik sebelumnya.4

Manifestasi Klinis

Gangguan depresi ditandai oleh rasa lelah yang berkepanjangan dan sulit untuk
berkonsentrasi, gangguan tidur (terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali saat tidur),
nafsu makan berkurang, kehilangan berat badan dan keluhan somatik. Pasien usia lanjut yang
mengalami depresi memperlihatkan gejala yang berbeda dibandingkan pada dewasa muda, pasien
usia lanjut akan lebih banyak memiliki keluhan somatik.5 Pada umumnya lansia mengalami
depresi ditandai oleh mood depresi menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas
sehari-hari, dan dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Gejala depresi pada lansia
banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik, gangguan kognitif, dan disabilitas.3,6 Perubahan
pada lansia depresi dapat dikategorikan menjadi perubahan fisik, perubahan dalam pemikiran,
perubahan dalam perasaan dan perubahan perilaku.3 Perubahan fisik seperti perubahan nafsu
makan sehingga berat badan turun, gangguan tidur berupa gangguan memulai tidur atau tidur
terlalu lama, penurunan energi dengan perasaan lemah, mengalami agitasi dengan kegelisahan dan
bergerak terus, nyeri kepala, nyeri otot, gangguan sistem pencernaan. Perubahan dalam pikiran
seperti sulit berkonsentrasi, sulit mengingat informasi, pemikiran obsesif akan terjadi bencana,
preokupasi atas kegagalan, perubahan perasaan meliputi kehilangan minat, perasaan tidak berguna,
putus asa, merasa sedih, iritabel. Perubahan dalam perilaku diantaranya menarik diri dari
lingkungan sosial, pengurangan perawatan diri, penurunan aktivitas.3

Etiologi

Faktor Biologi

Beberapa penelitian melaporkan terdapat abnormalitas biologik pada pasien dengan


gangguan mood. Saat ini penyebab depresi yang banyak diteliti dan dijadikan dasar
pengobatan adalah abnormalitas monoamine yang merupakan neurotransmitter otak serta
meningkatnya konsentrasi monoamine oksidase akibat proses penuaan.3,4,8 Tiga
neurotransmitter yang diketahui mempengaruhi terjadinya depresi yaitu serotonin,
norepinefrin dan dopamin.3 Ketiga monoamine tersebut cepat di metabolisme sehingga
pengukuran yang dapat dilakukan pada penderita depresi dengan mengukur metabolit
utama di cairan serebrospinal yaitu 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) dari serotonin,
3-methoxy-4-hydroxiphenyl glycol (MHPG) dari norepinefrin dan homovanilic acid (HVA)
dari dopamin. Pada penderita depresi kadar metabolit tersebut lebih rendah bermakna
dibandingkan yang tidak depresi.3

Secara umum ketiga neurotransmitter tersebut berperan dalam mengatur stress,


tidur dan nafsu makan. Hipotesis terbanyak etiologi depresi disebabkan oleh gangguan
regulasi serotonin. Pada percobaan hewan dan pemeriksaan jaringan otak setelah kematian
menunjukkan bahwa pada keadaan depresi terjadi gangguan serotonergik termasuk jumlah
metabolit, jumlah reseptor, dan respon neuroendokrin.3 Deplesi serotonin mungkin
menimbulkan depresi, dan beberapa pasien dengan keinginan bunuh diri memiliki kadar
metabolit serotonin dalam cairan serebrospinal yang rendah.4 Dopamin juga memiliki
peranan dalam patofisiologi depresi. Pada keadaan depresi aktivitas dopamin diketahui
menurun. Obat-obatan yang menurunkan konsentrasi dopamin, sebagai contoh reserpine,
dan penyakit yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Parkinson berhubungan
dengan gejala depresi. Sebaliknya, obat-obatan yang meningkatkan konsentrasi dopamine
seperti tyrosine, amphetamine, dan bupropion mengurangi gejala depresi. Dua teori terkini
mengenai dopamin dan depresi adalah jalur mesolimbic dopamin mungkin disfungsi pada
depresi dan dopamin D1 reseptor hipoaktif pada keadaan depresi.4

Kolinergik neuron memiliki hubungan timbal balik atau interaktif dengan ketiga
sistem monoamine. Kadar abnormal choline, yang merupakan prekursor asetilkolin (Ach),
ditemukan dalam otak pada otopsi beberapa pasien depresi.4 Obat agonis dan antagonis
kolinergik memiliki efek klinis yang berbeda pada depresi dan mania. Agonis
menyebabkan letargi, anergia, dan retardasi psikomotor pada subjek yang sehat, dapat
mengeksaserbasi gejala pada depresi, dan mengurangi gejala mania. Kolinergik agonis
dapat menginduksi perubahan pada aktivitas hypothalamic-pituitary adrenal (HPA) dan
tidur yang meniru terkait dengan depresi berat.4 γ-aminobutyric acid (GABA) memiliki
efek inhibisi pada jalur asenden monoamine, terutama sistem mesokortikal dan
mesolimbic. Penurunan kadar GABA telah diteliti pada plasma, cairan serebrospinal, dan
otak pada depresi. Penelitian pada hewan ditemukan stress kronik dapat menurunkan dan
mendeplesi kadar GABA.4 Sekitar 5 sampai 10 persen orang yang dievaluasi untuk depresi
memiliki riwayat disfungsi tiroid yang tidak terdeteksi, yang terlihat dalam peningkatan
thyroid stimulating hormone (TSH) basal atau peningkatan respon TSH terhadap
pemberian infus 500 mg neuropeptide hipotalamik thyroid releasing hormone (TRH).4
Selain itu pada lansia depresi terjadi perubahan struktur otak seperti abnormalitas jalur
frontostriatal yang menyebabkan gangguan fungsi eksekutif, psikomotor, perasaan apatis;
volume struktur frontostriatal yang rendah; hiperintensitas struktur subkortikal;
abnormalitas makromolekular di korpus kalosum genu dan splenium, nucleus kaudatus dan
putamen; penurunan jumlah glia di korteks singulata anterior subgenual; abnormalitas
neuron di korteks dorsolateral; atrofi kortikal; gangguan substansia alba; abnormalitas
struktur subortikal; peningkatan aktivitas dan perubahan volume amigdala yang berperan
dalam emosi negatif dan gangguan mekanisme koping; dan penurunan volume hipokampus
dan striatum ventral. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan neurotransmitter yang
menyebabkan lansia depresi.3

Faktor Genetik

Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka risiko di antara anggota
keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat diperkirakan 2 sampai
3 kali dibandingkan dengan populasi umum.1 Data yang ada menampilkan jika salah satu
dari kedua orangtua memiliki gangguan mood, anak memiliki risiko antara 10 sampai 25
persen untuk gangguan mood. Jika kedua orangtua yang mengalami, risikonya meningkat
dua kali lipat. Semakin banyak anggota keluarga yang mengalami maka semakin tinggi
risiko untuk anak.4 Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada
kembar monozigot. Pada beberapa kasus, depresi murni berasal dari faktor genetik, orang
yang memiliki keluarga depresi lebih cenderung menderita depresi. Riwayat keluarga yang
menderita gangguan bipolar, skizofrenia, pengguna alkohol, atau gangguan mental lainnya
juga meningkatkan risiko terjadinya depresi.1

Faktor Psikososial

Faktor psikososial dapat meliputi stress kehidupan seperti kesedihan, masalah


finansial, kesepian.7 Dari pengamatan klinis yang telah berlangsung lama, kejadian
kehidupan yang penuh tekanan/stress lebih banyak terjadi sebelumnya dibanding setelah
episode gangguan mood.4 Stress yang menyertai episode pertama berdampak terhadap
perubahan biologi di otak. Perubahan yang terjadi berlangsung lama dan mengubah
keadaan fungsional dari bermacam neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuronal,
perubahan mungkin termasuk kehilangan neuron dan penurunan berlebihan di kontak
sinaps. Beberapa klinisi percaya bahwa kejadian hidup memiliki peran utama dalam
depresi. Beberapa lagi menyatakan kejadian dalam hidup memiliki peranan terbatas pada
onset dan waktu depresi.4

Data yang menunjukkan kejadian kehidupan yang paling sering berkaitan dengan
perkembangan depresi adalah kehilangan orangtua sebelum usia 11 tahun. Stressor
lingkungan paling sering berkaitan dengan onset episode depresi adalah kehilangan
pasangan. Faktor risiko lain adalah tidak memiliki pekerjaan, orang yang tidak bekerja tiga
kali lebih berisiko memiliki gejala episode depresi mayor dibandingkan yang bekerja.4
Tidak ada sifat kepribadian atau tipe yang merupakan predisposisi seseorang menjadi
depresi. Semua manusia, apapun pola personalitasnya dapat menjadi depresi di bawah
keadaan yang sesuai. Orang-orang dengan gangguan kepribadian OCD, histrionik, dan
borderline mungkin mempunyai risiko depresi dibandingkan dengan orang dengan
gangguan kepribadian antisosial atau paranoid.4

Pemahaman psikodinamik mengenai depresi dijelaskan oleh Sigmund Freud dan


diperluas oleh Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik tentang depresi. Teori
tersebut melibatkan empat poin kunci, (1) gangguan hubungan ibu-bayi selama fase oral
(10 sampai 18 bulan pertama) yang menjadi predisposisi kerentanan terhadap depresi, (2)
depresi dapat dihubungkan terhadap kehilangan objek nyata atau imajiner, (3) introjeksi
dari objek yang ditinggalkan merupakan mekanisme defens untuk mengatasi dengan
distress yang terkait dengan kehilangan objek, dan (4) karena kehilangan objek dianggap
dengan campuran cinta dan benci, perasaan marah diarahkan terhadap diri sendiri.4
Berdasarkan teori kognitif, depresi diakibatkan dari penyimpangan kognitif spesifik terjadi
pada orang yang rentan terhadap depresi. Penyimpangan ini disebut sebagai depressogenic
schemata, template kognitif yang mempersepsikan data internal dan eksternal dengan
diubah sesuai dengan pengalaman sebelumnya.4 Aaron Beck mempostulasikan triad
kognitif tentang depresi yang berisi (1) pandangan tentang diri sendiri-persepsi yang
negatif tentang diri sendiri, (2) tentang lingkungan-kecenderungan mengalami dunia
sebagai tempat yang bermusuhan dan menuntut, dan (3) tentang masa depan-ekspektasi
mengalami kegagalan dan penderitaan.4

Etiologi depresi pada lansia yang diajukan oleh para ahli antara lain,

1. Polifarmasi
Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi diantaranya,
analgetika, OAINS, antihipertensi, antipsikotik.1,8
2. Kondisi medis umum
Beberapa kondisi medis umum yang berhubungan dengan depresi adalah gangguan
endokrin, neoplasma, gangguan neurologis. 1,8
3. Teori neurobiologi
Pada beberapa penelitian ditemukan adanya perubahan neurotransmitter pada lansia
seperti menurunnya konsentrasi serotonin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin Atrofi otak
juga diperkirakan berperan terhadap depresi pada lansia. 1,8
4. Teori psikodinamik
Menurut Freud dalam teori psikodinamika, penyebab depresi adalah kehilangan
objek yang dicintai. Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab
gangguan mental pada lansia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor
psikososial tersebut adalah kehilangan peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman
atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial
dan penurunan fungsi kognitif. Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi
penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan
jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik.1,8 Kemarahan
terhadap objek yang hilang tersebut ditujukan kepada diri sendiri. Akibatnya terjadi
perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri, merasa diri tidak berguna dan
sebagainya.1,8
5. Teori kognitif dan perilaku
Konsep Seligman tentang learned helplessness menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara kehilangan yang tidak dapat dihindari akibat proses penuaan seperti
keadaan tubuh, fungsi seksual, dan sebagainya dengan sensasi passive helplessness pada
pasien usia lanjut.1,8
6. Teori psikoedukatif
Rasa ketidakberdayaan orang lanjut usia, pengisolasian oleh keluarga, tiadanya
sanak saudara ataupun perubahan-perubahan fisik yang diakibatkan oleh proses penuaan
dapat memicu terjadinya depresi pada usia lanjut. Dukungan sosial yang buruk dan
kegiatan religious yang kurang dihubungkan dengan terjadinya depresi pada lansia.
Kegiatan religious dihubungkan dengan depresi yang lebih rendah pada lansia di Eropa.
Religious coping berhubungan dengan berkurangnya gejala-gejala depresif tertentu, yaitu
kehilangan ketertarikan, perasaan tidak berguna, penarikan diri dari interaksi sosial,
kehilangan harapan, dan gejala-gejala kognitif lain pada depresi.1,8

Pembagian lain faktor risiko terjadinya depresi pada lansia terbagi atas faktor internal dan
eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor biologis (usia, jenis kelamin, riwayat keluarga), faktor
fisik (riwayat penyakit yang pernah diderita), dan faktor psikologis (kepribadian dan kognitif).1
Usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya depresi. Semakin meningkatnya usia maka
risiko terjadinya depresi juga akan menjadi dua kali lipat. Hal ini karena terjadi perubahan secara
fisik, psikologis, ekonomi, sosial yang mempengaruhi kualitas hidup seorang lansia. Pada
penelitian yang dilakukan IGM Agus dkk (2014) didapatkan persentase tingkat depresi paling
banyak terjadi pada kelompok usia 75-90 tahun. Hasil yang didapat tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Onya dkk (2013) yang mendapatkan hasil persentase terbanyak pada
kategori kelompok usia 75-90 tahun.7 Menurut beberapa studi, lansia perempuan memang
memiliki risiko depresi lebih tinggi dibandingkan dengan lansia laki-laki. Penelitian oleh IGM
Agus dkk (2014) didapatkan proporsi kejadian depresi lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki.7 Tetapi pada penelitian yang dilakukan Anak Agung dkk (2015)
didapatkan proporsi depresi pada jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
dengan persentase 30,6%.2

Penyakit kronik yang diderita lansia selama bertahun-tahun biasanya menjadikan lansia
lebih mudah terkena depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Chang Quan (2009) menyebutkan
bahwa beberapa penyakit kronik yang menjadi faktor risiko meningkatnya depresi yaitu stroke,
hilangnya fungsi pendengaran, hilangnya fungsi penglihatan, penyakit jantung, dan penyakit
kronik paru.1 Lansia dengan riwayat penyakit fisik multipel memiliki risiko terjadinya depresi yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan lansia tanpa riwayat penyakit fisik.7 Pendidikan sangat
berkaitan dengan kemampuan kognitif. Kemampuan kognitif adalah bentuk mediator diantara
kejadian dalam hidup dengan mood. Tingkat depresi seseorang dapat semakin tinggi ketika tingkat
pendidikan rendah.9 Anak Agung dkk (2015) mendapatkan hasil proporsi depresi pada kelompok
berpendidikan rendah sebanyak 24,4% dan pada kelompok berpendidikan sedang dan tinggi tidak
ada yang mengalami depresi.2 Seseorang dengan kepribadian yang lebih tertutup, mudah cemas,
dan lebih bergantung pada orang lain rentan terhadap depresi. Faktor eksternal yaitu sosial meliputi
status perkawinan, pekerjaan, stressor sosial dan dukungan sosial. Dukungan sosial terdiri dari
empat komponen, yaitu jaringan sosial, interaksi sosial, dukungan sosial yang didapat, dan
dukungan keluarga.1 Berdasarkan status pernikahan memiliki proporsi depresi paling tinggi
sebesar 19,3% dan yang berstatus duda/janda yang mengalami depresi sebesar 27,6% dan yang
tidak menikah sebesar 50% pada penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung (2015). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dlakukan oleh Carrera Campos di tahun 2014 yang menunjukkan
angka depresi lebih banyak dialami oleh seseorang yang tidak menikah.2 Lansia secara perlahan
akan mengalami penurunan kondisi fisik, penurunan aktifitas, pemutusan hubungan sosial dan
perubahan posisi dalam masyarakat. Dukungan sosial diperlukan dalam kondisi seperti tersebut.
Dukungan sosial seperti perhatian dan motivasi dibutuhkan oleh lansia untuk memperoleh
ketenangan, dan merupakan sumber daya yang terdapat ketika berinteraksi dengan orang lain.
Hasil studi menunjukkan dukungan sosial bagi lansia sangat penting, karena dukungan sosial yang
baik telah terbukti menurunkan depresi dan bertindak sebagai suatu pelindung bagi lansia.9

Dampak Depresi pada Lansia

Pada usia lanjut, depresi yang berdiri sendiri maupun yang bersamaan dengan penyakit lain
hendaknya ditangani dengan sungguh-sungguh karena bila tidak diobati dapat memperburuk
perjalanan penyakit dan memperburuk prognosis.8 Lansia yang mengalami depresi mempunyai
hubungan terhadap keluhan somatik dari pada lansia yang tidak mengalami depresi. Dampak
keluhan somatik yang akan timbul dapat berupa kehilangan nafsu makan, berat badan menurun,
gangguan sistem pencernaan, dan gangguan tidur. Dapat pula timbul keletihan dan kehilangan
energi. Aktivitas psikomotor terganggu seperti melambatnya pergerakan tubuh, respon verbal dan
tidak mau bicara. Dilihat dari segi psikososial gejala yang tampak adalah kehilangan minat
terhadap interaksi dengan orang lain dan meninggalkan kebiasaan atau hobi. Sering mengatakan
dirinya kesepian, muncul perasaan ingin menangis namun tidak bisa menangis, merasa hampa,
tidak bahagia, tidak berguna dan harga diri rendah.3,9

Geriatric Depression Scale

Skrining depresi pada lansia di layanan kesehatan primer sangat penting. Hal ini penting
dikarenakan frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri pada lansia tinggi. Dilakukan
juga untuk membantu edukasi pasien dan pemberi perawatan tentang depresi, dan untuk mengikuti
perjalanan gejala-gejala depresi seiring dengan waktu. Skrining tidak ditujukan untuk membuat
diagnosis depresi mayor, namun untuk mendokumentasikan gejala-gejala depresi sedang sampai
berat pada lansia apapun penyebabnya. Skrining depresi pada lansia memiliki kekhususan
tersendiri, gejala-gejala seperti kesulitan tidur, energi yang berkurang, dan libido yang menurun
secara umum ditemukan pada penderita depresi lansia. Pemikiran tentang kematian dan
keputusasaan akan masa depan mempunyai makna yang berbeda bagi mereka yang berada pada
fase terakhir kehidupan.8

Geriatric depression scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes skrining depresi yang
mudah untuk dinilai dan dikelola. GDS memiliki format yang sederhana dengan pertanyaan-
pertanyaan dan respon yang mudah dibaca. Telah divalidasi pada berbagai populsi lanjut usia,
termasuk di Indonesia. Selain GDS, tes skrining lain yang telah terstandarisasi adalah Center for
Epidemiologic Studies Depression Scale Revised (CES-D-R). Instrumen skrining lain seperti
Hamilton Rating Scale for Depression, Zung Self-Rating Depression Scale, Montgomery-Asberg
Depression Rating Scale, namun GDS dan CES-D-R merupakan instrument yang paling sering
digunakan.8
Gambar 1. Geriatric Depression Scale. Sumber: www.medscape.com

GDS terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang sebagai suatu self-administered test,
walaupun telah digunakan juga dalam format observer-administered test, dan dirancang untuk
mengeliminasi hal-hal somatic, seperti gangguan tidur yang mungkin tidak spesifik untuk depresi
pada lansia. Pada GDS, skor 11 mengindikasikan adanya depresi yang signifikan secara klinis
dengan nilai sensitivitas 90,11% dan spesifisitas 83,67%.8 Terdapat juga GDS versi pendek yang
terdiri dari 15 pertanyaan saja. Pada GDS pendek ini, skor 5 atau lebih mengindikasikan depresi
yang signifikan secara klinis. GDS menjadi tidak valid bila digunakan pada lansia dengan
gangguan kognitif. Oleh karena itu status kognitif harus terlebih dahulu dinilai dengan Mini Mental
State Examination (MMSE). MMSE adalah suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang
dikelompokkan menjadi tujuh kategori yaitu orientasi tempat, orientasi waktu, registrasi, atensi
dan konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan konstruksi visual. MMSE didesain untuk
mendeteksi dan menjejaki kemajuan dari gangguan kognitif yang terkait dengan gangguan
neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer. Nilai MMSE 0-16 menunjukkan suatu gangguan
kognitif.8

Gambar 2. Mini Mental State Examination. Sumber: https://medworksmedia.com/product/mini-


mental-state-examination-mmse/.

Penatalaksanaan

Tatalaksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan dan kepribadian masing-
masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi merupakan tata laksana yang sering dilakukan
dan berhasil. Akan tetapi, pada kasus tertentu atau pada depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup,
diperlukan farmakoterapi. Anti depresan bekerja dengan cara menormalkan neurotransmitter di
otak yang memengaruhi mood seperti serotonin, norepinefrin dan dopamin. Selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRI) merupakan obat pilihan pertama.3 Pemilihan jenis obat antidepresi bagi
pasien lansia lebih merujuk pada profil efek samping obat. Preparat sekunder trisiklik (deipramin,
nortriptilin) masih cukup aman dan efektif untuk digunakan pada lansia. Antidepresi generasi baru
bekerja pada reseptor susunan saraf otak bersifat lebih selektif dan spesifik sehingga profil efek
sampingnya lebih baik.8

Dari golongan SSRI, sitalopram dan sertraline dianggap paling aman karena kedua obat ini
sangat sedikit dimetabolisme oleh isoenzim cytochrome P450 sehingga mengurangi risiko
interaksi obat yang merugikan. Namun SSRI mempunyai efek samping yaitu keluhan serotonergic
seperti sakit kepala, mual, diare, insomnia dan agitasi psikomotor. SSRI juga dapat menimbulkan
efek samping ekstrapiramidal khususnya pada pasien dengan komorbiditas penyakti saraf.7
Pengobatan monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal terapi, dievaluasi apabila tidak
ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak berespon pada pengobatan awal
perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain dan daapt dipertimbangkan penggunaan dua
golongan antidepresan.3 Fase lanjutan yakni dosis optimal dipertahankan selama 4 sampai dengan
9 bulan untuk mencegah terjadinya relaps, berikutnya terapi rumatan dapat berlangsung hingga
satu tahun atau lebih. Terapi rumatan diberikan terutama untuk gangguan depresi dengan riwayat
episode berulang.8

Selain farmakoterapi, psikoterapi memiliki peranan penting dalam mengobati berbagai


jenis depresi. Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog, pekerja sosial atau konselor.
Pendekatan psikoterapi dapat berupa cognitive behavioral therapy (CBT) dan interpersonal
therapy. CBT terfokus pada cara baru berpikir untuk mengubah perilaku. Terapis membantu
penderita mengubah pola negatif atau pola tidak produktif yang mungkin berperan dalam
terjadinya depresi. Interpersonal therapy membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi
keadaan dan hubungan sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi dan biasanya dilakukan
sesi selama 12 sampai 16 minggu.3,4 Electroconvulsive therapy (ECT) merupakan pengobatan lini
pertama yang direkomendasikan untuk depresi dengan psikotik pada lansia, dengan tingkat
pemulihan sebesar 80% dan responnya lebih cepat dibandingkan dengan medikasi. ECT juga
dipertimbangkan sebagai alternatif pengobatan untuk depresi berat, terutama pada kasus dimana
pasien tidak berespon terhadap dua antidepresan atau terdapat percobaan bunuh diri yang baru
terjadi.10
Gambar 3. Obat Antidepresan yang Banyak Diberikan Pada Lansia.8,10

Kesimpulan

Depresi pada lansia sulit untuk di diagnosis antara lain karena gejalanya tidak khas.
Ditandai oleh rasa lelah yang berkepanjangan dan sulit untuk berkonsentrasi, gangguan tidur
(terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali saat tidur), nafsu makan berkurang,
kehilangan berat badan dan keluhan somatik. Selain faktor biologi, genetik dan psikososial, faktor
lain yang mempengaruhi rasa kehilangan, polifarmasi, dan riwayat penyakit fisik.
Penatalaksanaaan meliputi psikoterapi dan farmakoterapi. Psikoterapi yang diberikan dapat berupa
cognitive-behavioural therapy dan interpersonal therapy. SSRI merupakan obat pilihan pertama
pada farmakoterpai. Electroconvulsive therapy juga dapat diberikan jika tidak ada respon terhadap
pengobatan farmakoterapi.
Daftar Pustaka

1. Prasetiyani RD. Hubungan dukungan keluarga, interaksi sosial dan fungsi kognitif dengan
depresi pada lanjut usia di kecamatan rajabasa bandar lampung. Lampung: Fakultas
Kedokkteran Universitas Lampung; 2015.
2. Aryawangsa AAN, Ariastuti NLP. Prevalensi dan distribusi faktor risiko depresi pada
lansia di wilayah kerja puskesmas tampaksiring I kabupaten gianyar bali 2015. ISM; 2016:
7 (1). Hal 12-23.
3. Irawan H. Gangguan depresi pada lanjut usia. CDK; 2013: 40(11). Hal 815-9.
4. Sadock B J, Sadock V A, and Ruiz P. Mood disorder: depression and bipolar in Kaplan
& Sadock's Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 11th ed. New
York: Wolters Kluwer; 2015. Hal 752-805.
5. Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas dari ppdgj III, Jakarta,
2001. Hal
6. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi dalam Buku Ajar Psikiatri. Edisi kedua. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2015. Hal 238-34.
7. Bhayu IGM A, Ratep N, Westa W. Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
depresi pada lanjut usia di wilayah kerja puskesmas kubu II januari-februari 2014.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2014.
8. Sihombing B, Fahila R. Depresi pada lansia. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara; 2011.
9. Widianingrum S. Gambaran umum karakteristik lansia dengan depresi di panti wilayah
kota semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2016.
10. Wiese BS. Geriatric depression: the use of antidepressants in the elderly. BMJ; 2011: 53(7).
Hal 341-9.

Anda mungkin juga menyukai