Anda di halaman 1dari 51

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat

dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus penyakit dalam ini dengan judul

“ PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)” sebagai salah satu persyaratan

mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon. Berbagai

kendala yang telah dihadapi penulis hingga presentasi kasus ini selesai tidak terlepas dari

bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril

maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan

terima kasih yang tulus kepada :

1. dr. H. Rizky Drajat, Sp.P selaku konsulen SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon

yang telah memberikan bimbingan, ilmu, saran dan kritik kepada penulis dalam

penyelesaian presentasi kasus ini.

2. Kedua orang tua tercinta dan tentunya teman-teman seperjuangan di bagian Ilmu Penyakit

dalam RSUD Cilegon .

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini, kesalahan

dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun tata bahasa yang disajikan.

Untuk itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan yang dibuat. Semoga

presentasi kasus ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca dalam memberikan

1
sumbang pikir dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran. Kritik dan saran yang

konstruktif sangat penulis harapkan demi memperoleh hasil yang lebih baik di dalam

penyempurnaan presentasi kasus ini.

Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu merahmati

kita semua.

Cilegon, Desember 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................2
Daftar isi .............................................................................................................4
Laporan kasus
1. Identitas ..................................................................................................4
2. Anamnesis................................................................................................4
3. Pemeriksaan fisik......................................................................................8
4. Pemeriksaan penunjang............................................................................10
5. Diagnosis..................................................................................................11
6. Diagnosis banding....................................................................................11
7. Terapi........................................................................................................11
8. Prognosis..................................................................................................12
9. Follow up..................................................................................................12
Analisa kasus...................................................................................................... 15
Tinjauan Pustaka………………………………………………………………18
1.1 Definisi…….............................................................................................19
1.2. Epidemiologi……………........................................................................19
1.3. Etiologi….................................................................................................20
1.4. Klasifikasi.................................................................................................21
1.5. Patogenesis.…..........................................................................................22
1.6. Manifestasi……………………………………………………………...24
1.7. Diagnosis………………………………………………………………..24
1.8. Diagnosis banding……………………………………………………....28
1.9. Tatalaksana……………………………………………………….……..28
1.10. Komplikasi ……………………………………………........................47
1.11. Pencegahan…………………………………………………………….48
1.12. Prognosis………………………………………………........................48
Daftar Pustaka....................................................................................................50

3
PRESENTASI KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

Topik : Penyakit Paru Obstruksi Kronik


Penyusun : Zamzam Jamilah

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Usia : 69 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Keranggat
No. CM : 807xxx
Pembiayaan : BPJS
Tanggal Berobat : 18 Desember 2016
Ruangan : Nusa Indah RSUD Cilegon

II. Anamnesa

Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 20 Desember 2016 di ruang Nusa Indah
RSUD Cilegon pukul 06.00 WIB.
o Keluhan Utama:
Sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS
o Riwayat Penyakit Sekarang:
Sejak ± 1 hari SMRS pasien merasakan sesak nafas yang dirasakan makin lama
makin memberat. Sesak yang dirasakan makin hebat terutama setelah beraktivitas dan
sedikit berkurang bila pasien beristirahat. Selain itu juga pasien sering terbangun pada
malam hari karena sesak sehingga lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Bunyi ”ngik” saat
sesak (+), nyeri dada (-), demam (-), keringat malam (-), berdebar-debar (-). Sesak nafas
diikuti dengan keluhan batuk dan berdahak. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Keluhan sesak seperti ini telah pasien rasakan selama 1 tahun dan selalu hilang
timbul. Dalam 1 tahun ini, sesak yang parah dirasakan oleh pasien sudah 3 kali dan dirawat

4
di rumah sakit. Pagi hari SMRS pasien sempat pulang berobat dari IGD Cilegon, namun
tidak ada perbaikan.
o Riwayat Medikasi:
Salbutamol
Ambroxol
o Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat Hipertensi hanya 3 bulan
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat TB tahun 2014
- Riwayat sering demam dan pilek saat kecil tidak diketahui
o Riwayat Penyakit Keluarga:
- Riwayat keluhan yang sama pada anggota keluarga disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat Asma disangkal
o Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Pasien adalah suami dari satu istri dan ayah dari 3 orang anak, bekerja sebagai
wiraswasta dengan tingkat ekonomi kebawah. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak
umur 15 tahun dan sampai sekarang masih merokok. Pasien merokok 1 bungkus rokok
perhari. Selain pasien, anaknya dirumah juga merokok. Di lingkungan pekerjaan pun semua
rekannya merokok, dan pasien sering terpapar debu, asap pembakaran aspal, dan asap
kendaraan. Kebiasan minum alkohol (-).
o Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-)
menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam
(-) Kuku (-) Ikterus (-) Sianosis
(-) Lain-lain

Kepala
(-) Trauma (-) Nyeri kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri sinus

5
Mata
(-) Nyeri (-) Sekret
(-) Radang (-) Gangguan penglihatan
(-) Sklera Ikterus (-) Penurunan ketajaman penglihatan
(-) Congjungtiva Anemis

Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan pendengaran
(-) Kehilangan pendengaran

Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis

Mulut
(-) Bibir (-) Lidah
(-) Gusi (-) Gangguan pengecapan
(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorok (-) Perubahan suara

Leher
(-) Benjolan/ massa (-) Nyeri leher

Jantung/ Paru
(-) Nyeri dada (+) Sesak nafas
(-) Berdebar-debar (-) Batuk darah
(-) Ortopnoe (+) Batuk

6
Abdomen (Lambung / Usus)
(-) Rasa kembung (-) Perut membesar
(-) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah darah (-) Melena
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna dempul
(-) Nyeri perut (-) Tinja berwarna ter
(-) Benjolan

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria (-) Kencing nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi urin
(-) Batu ginjal (-) Kencing menetes
(-) Ngompol (-) Kencing seperti air teh

Otot dan Syaraf


(-) Anestesi (-) Sukar menggigit
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot lemah (-) Hipo/hiper-estesi
(-) Kejang (-) Pingsan / syncope
(-) Afasia (-) Kedutan (tick)
(-) Amnesis (-) Pusing (Vertigo)
(-) Lain-lain (-) Gangguan bicara (disartri)

Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri sendi (-) Sianosis

7
III. Pemeriksaan Fisik
VITAL SIGN

- Kesadaran : Komposmentis
- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 104 x/menit
- Pernafasan : 30 x/menit
0
- Suhu : 36,8 C

STATUS GENERALIS:
- Kulit : Berwarna coklat muda, dan turgor kulit baik.
- Kepala : Bentuk oval, simetris, ekspresi wajah terlihat lemah.
- Rambut : Hitam, sebagian berwarna putih, tidak mudah dicabut.
- Alis : Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.
- Mata : Tidak exopthalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
bulat dan isokor, tidak terdapat benda asing, pergerakan bola mata baik.
- Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak ada sekret,
dan tidak hiperemis.
- Telinga : Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, tidak ada darah, tidak
ada tanda radang, membran timpani intak.
- Mulut : Bibir tidak sianosis, gigi geligi lengkap, gusi tidak hipertropi, lidah tidak
kotor, mukosa mulut basah, pursed-lips breathing (+), tonsil T1-T1 tidak
hiperemis.
- Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis,
subklavikula, pre-aurikula, post-aurikula, oksipital,
sternokleidomastoideus, dan supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran
tiroid, trakea tidak deviasi, penampilan tampak pink puffer dan Jugular
Venous Pressure normal.
- Thoraks : Normal, Simetris kiri dan kanan, tidak terlihat pelebaran vena, tak terdapat
spider nevy.
Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan
dinamis, perbandingan trasversal : antero posterior = 2:1, tidak terdapat

8
retraksi dan pelebaran sela iga (+). Bentuk dada barrel chest, pelebaran
sela iga (+).
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak terdengar adanya krepitasi,
fremitus hemitoraks kanan dan kiri seimbang.
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru kanan dan kiri.
Auskultasi : Suara napas vesikuler melemah, rhonki -/-, wheezing +/+, ekspirasi
memanjang.
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra, dan tidak terdapat
thrill
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea para sternalis dextra, batas jantung
kiri pada 2 cm lateral ICS V linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat murmur dan gallop

Abdomen
Inspeksi : Tampak simetris, datar, tidak tegang, tidak terdapat kelainan kulit, tidak
terlihat massa, tidak pelebaran vena, tidak terdapat caput medusa.
Auskultasi : Bising usus(+), bising aorta abdominalis tidak terdengar.
Palpasi : Supel, turgor baik, tidak terdapat nyeri tekan pada epigastrium. Tidak
terdapat nyeri lepas, tidak teraba massa, hepatomegali (-) spleenomegali (-
), Ballotement (-), Undulasi (-).
Perkusi : Suara timpani di semua lapang abdomen, terdapat nyeri ketuk pada
epigastrium, shifting dullness (-).
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, cappilary refill kurang dari 2 detik, kekuatan otot
Tidak terdapat udem pada tungkai bawah, tidak terdapat palmar eritem,
tidak terdapat clubbing finger. 5 5
Refleks fisiologis dan patologis : tidak dilakukan pemeriksaan. 5 5

9
IV. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium 19 Desember 2016

Hb 14,4 gr/dl
Leukosit 12.12/uL
Trombosit 233/uL
Hematokrit 44.2%
Eritrosil 4.83/uL
MCV 91.5fL
MCH 29.8pg
MCHC 32.6g/dL
Ureum 23 mg/dl
Kreatinin 0.83 mg/dl
Glukosa sewaktu 88 mg/dl
SGOT 15u/l
SGPT 16u/l
Natrium 142 mEq/L
Kalium 3.13 mEq/L
Klorida 102.4 mEq/L

Foto Rontgen Thoraks

Cor: CTR < 50%, elongasi aorta


(+) jantung pendulum
Paru : Hiperlusen, costae melebar,
cavum toraks memanjang dan
diafragma mendaftar, corakan
bronkovaskuler dbn

V. Diagnosis
Diagnosis Kerja: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) eksaserbasi akut.
Dasar Diagnosis
 Anamnesis : Sesak nafas, batuk berdahak

10
 Pemeriksaan Fisik: Penampilan pink puffer (+), pursed-lips breathing (+), sela iga
melebar (+), bunyi vesikuler melemah, wheezing +/+, ekpirasi memanjang

VI. Diagnosis Banding


 Asma
 SOPT

USULAN PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan fungsi faal paru (spirometri)
 Cek sputum BTA

VII. Terapi yang diberikan


IGD ALAMANDA

 IVFD RL 16tpm  IVFD RL 16tpm


 O2 3 Lpm nasal kanul  Inj. Cefotaxime 2x1gr
 Nebulizer combivent 1 amp/8 jam  Inj. Methylprednisolon 2x62,5 mg
 Inj. Cefotaxim 2x1 SK  Oral Salbutamol 3x2 mg
 Inj. Methyl prednisolone 2x6,25 IV  Oral Cetirizin 2x1 tab
 Oral Salbutamol 3x2 mg tab  Oral Ambroxol 3x1 tab
 Oral Cetirizine 2x1 tab  Nebulizer combivent RL 16tpm
 Oral Ambroxol 3x1 tab  Bed rest total

NUSA INDAH
 Inj. Cefotaxime 2x1 gr  Digoxin 1x1
 Inj. Methylprednisolon 2x62,5 mg  Candesartan 1x4 mg
 Oral Ambroxol 3x1  Retapil 2x1
 Oral Salbutamol 3x2 mg  Nebulizer combivent
 Oral Cetirizin 2x1  RL 16tpm
 Spironolakton 1x25 mg  Bedrest total

11
IX. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad malam

FOLLOW UP
Tanggal 20 Desember 2016
S: O: A: P:
Sesak nafas (+), Batuk KU : TSS
PPOK eksaserbasi IVFD RL 16tpm
(+), Pusing (+) KS : CM
akut Inj. Cefotaxime 2x1gr
TD : 120/80 mmHg
Inj. Methyl prednisolone
N : 82x/menit
2x62,5 mg
S : 36,3 C
Oral Salbutamol 3x2 mg
R : 28x/menit
Oral Cetirizin 2x1 tab
Saturasi O2 : 96%
Oral Ambroxol 3x1 tab
Status generalis
Nebulizer combivent RL
Kepala : normocephal
16tpm
Mata : KA -/- SI -/-
Bed rest total
THT : NTT (-),
Wajah : deformitas (-),
pursed-lips breathing
Leher: Pembesaran
KGB (-)
Dada : simetris,
tampak penampilan
pink puffer
Cor : BJ I-II regular
gallop (-) murmur (-),
pelebaran sela iga
Pulmo : Vesikuler ka-
ki melemah, Rhonki (-
) Wheezing (+)

12
Abdomen: BU (+)
normal
Extremitas: Akral
hangat

Tanggal 21 Desember 2016


S O A P

Pasien mengeluh sesak KU : TSS PPOK eksaserbasi  Inj. Cefotaxime 2x1 gr


sudah berkurang, KS : CM akut  Inj. Methylprednisolon
batuk (+) TD : 130/80 mmHg 2x62,5 mg
N : 80x/menit  Oral Ambroxol 3x1
S : 36,3 C  Oral Salbutamol 3x2
R : 22x/menit mg
Saturasi O2 : 96%  Oral Cetirizin 2x1
Status generalis  Spironolakton 1x25 mg
Kepala : normocephal  Digoxin 1x1
Mata : KA -/- SI -/-
 Candesartan 1x4 mg
THT : NTT (-),
 Retapil 2x1
Wajah : deformitas (-),
 Nebulizer combivent
pursed-lips breathing
 RL 16tpm
Leher: Pembesaran
 Bedrest total
KGB (-)
Dada : simetris,
tampak penampilan
pink puffer.
Cor : BJ I-II regular
gallop (-) murmur (-),
pelebaran sela iga (+)
Pulmo : Vesikuler ka-
ki melemah, Rhonki (-
) Wheezing (+)

13
Abdomen: BU (+)
normal
Extremitas: Akral
hangat

14
ANALISA KASUS

1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah benar?


Sudah tepat, karena sesuai dengan gejala dan tanda klinis pada pasien tersebut. Pasien
memiliki gejala-gejala PPOK.
 Anamnesis
o Keluhan Utama:
Sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS
o Riwayat Penyakit Sekarang:
Sejak ± 1 hari SMRS pasien merasakan sesak nafas yang dirasakan makin lama
makin memberat. Sesak yang dirasakan makin hebat terutama setelah beraktivitas dan
sedikit berkurang bila pasien beristirahat. Selain itu juga pasien sering terbangun pada
malam hari karena sesak sehingga lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Bunyi ”ngik”
saat sesak (+), nyeri dada (-), demam (-), keringat malam (-), berdebar-debar (-). Sesak
nafas diikuti dengan keluhan batuk dan berdahak. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Keluhan sesak seperti ini telah pasien rasakan selama 1 tahun dan selalu hilang
timbul. Dalam 1 tahun ini, sesak yang parah dirasakan oleh pasien sudah 3 kali dan
dirawat di rumah sakit. Pagi hari SMRS pasien sempat pulang berobat dari IGD
Cilegon, namun tidak ada perbaikan.
 Pemeriksaan Fisik
TTV
 Kesadaran : Compos mentis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 82 kali/menit
 Respirasi : 30x kali/menit
 suhu : 36,8C
Status generalis didapatkan tanda-tanda PPOK:
 Penampilan pink puffer (+)
 Pursed-lips breathing (+)
 Sela iga melebar (+)
 Bunyi vesikuler melemah
 Wheezing +/+

15
 Ekpirasi memanjang
Hasil Rontgen:
 Cor: CTR < 50%, elongasi aorta (+) cor
tidak membesar, jantung pendulum

 Paru : Hiperlusen, costae melebar,


cavum toraks memanjang dan
diafragma mendaftar, corakan
bronkovaskuler dbn

2. Apa yang menyebabkan PPOK eksaserbasi akut pada pasien ini?


Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak umur 15 tahun dan sampai sekarang
masih merokok. Pasien merokok 1 bungkus rokok perhari. Selain pasien, anaknya
dirumah juga merokok. Di lingkungan pekerjaan pun semua rekannya merokok, dan
pasien sering terpapar debu, asap pembakaran aspal, dan asap kendaraan. Kebiasan
minum alkohol (-).
Faktor resiko PPOK, diantaranya:

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok :
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
 Ringan : 0-200
 Sedang : 200-600
 Berat : > 600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

16
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

3. Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?


Sudah. Terapi yang diberikan pada pasien ini :
 IVFD RL 16tpm
 O2 3 Lpm nasal kanul
 Nebulizer combivent 1 amp/8 jam
 Inj. Cefotaxim 2x1 SK
 Inj. Methyl prednisolone 2x6,25 IV
 Oral Salbutamol 3x2 mg tab
 Oral Cetirizine 2x1 tab
 Oral Ambroxol 3x1 tab
Pada pasien ini merupakan PPOK eksaserbasi akut artinya timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

4. Apakah tujuan dari pengobatan PPOK?


- Mengurangi gejala

17
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita

4. Apakah prognosis pada pasien ini?


Quo at vitam : dubia ad bonam
Quo at functionam : dubia at bonam
Quo at sanationam : dubia ad malam
Pasien dapat memiliki prognosis quo ad vitam: dubia ad bonam, quo ad functionam:
dubia ad bonam karena pasien masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara
mandiri dan quo ad sanationam: dubia ad malam karena pasien tidak dapat sembuh total
dari penyakitnya dan perlu terus menghindari faktor pencetus timbulnya kekambuhan.

18
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Paru Obstruktif Kronis yang biasa disebut sebagai PPOK merupakan penyakit
paru yang dapat dicegah dan ditanggulangi, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible bersifat progresif dan berhubungan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun atau berbahaya, disertai efek skstra paru yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit. Gejala utama Penyakit Paru Obstruktif adalah sesak napas
memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum.
Pencetus terbanyak PPOK adalah kebiasaan merokok yang saat ini masih dilakukan
secara luas di kalangan masyarakat Indonesia. Menurut survey kesehatan rumah tangga
Indonesia (SKRT), PPOK menempati urutan ke-5 sebagai penyebab kematian di Indonesia dan
ini meningkat dari no-6 dibanding SKRT 3 tahun sebelumnya. Survey COPD working group di
12 negara Asia Pasifik pada tahun 2002 mendapatkan prevalensi PPOK mencapai 5,6% di
masyarakat Indonesia. Di Jawa Timur, Wijaya bahkan mendapatkan prevalensi mencapai 13%.
PPOK disebabkan oleh interaki antara zat-zat merusak yang terinhalasi, seperti rokok
dan polusi industri serta lingkungan, dengan faktor pejamu seperti genetik, keberadaan infeksi
di paru, dan lain-lain. Akibat interaksi tersebut, terjadi peradangan kronik di dinding dan lumen
saluran napas. Patologi PPOK, gejala-gejalanya, berbagai gangguan fungsionalnya, serta
berbagai komplikasinya dapat dijelaskan dengan dasar pemahaman proses peradangan tersebut.
Secara luas di dunia PPOK diberi batasan sebagai hambatan kronik dari aliran udara
napas akibat bronkitis kronik dan/atau emfisema. Bronkitis kronik mendapat batasan secara
klinik sebagai batuk produktif (berdahak) kronik selama setidaknya tiga bulan terus-menerus
pada dua tahun berturut-turut. Sebab lain dari batuk produktif kronik, seperti misalnya
tuberkulosis atau bronkiektasis, harus disingkarkan terlebih dahulu. Sementara itu emfisema
lebih didefinisikan dengan gambaran patologinya berupa pelebaran ruang udara di distal saluran
napas (alveoli) hingga bronkiolus terminalis disertai dengan kerusakan dinding saluran-saluran
napas tersebut tanpa adanya fibrosis yang nyata. Ketidaknyataan fibrosis adalah hal yang secara
tradisional membedakan PPOK dengan gangguan aliran napas kronik lain seperti akibat
tuberkulosis dan sarkoidosis. Walaupun demikian, berbagai penelitian terakhir menunjukkan
bahwa proses kerusakan pada PPOK diikuti dengan peningkatan kolagen yang mengesankan
adanya pula proses fibrosis aktif sehubungan dengan luruhnya jaringan kerja elastik paru-paru.
Sehubungan dengan irreversibilitas proses penyakitnya serta besarnya morbiditas,
mortalitas dan beban biayanya, berbagai perhimpunan di dunia telah mengeluarkan konsensus
dalam penilaian dan penatalaksanaan PPOK. Salah satu yang paling diterima di dunia adalah

19
GOLD (The Global inisiative on chronic Obstructive Lung Disease). GOLD adalah konsensus
yang disponsori oleh World Health Organization (WHO) dan National Heart, Lung and Blood
Institute (NHLBI) Amerika. GOLD dalam revisi terakhirnya tahun 2009 mendefinisikan PPOK
sebagai keadaan penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara pernapasan yang tidak
sepenuhnya reversible dan seringkali progresif. Dalam definisi ini GOLD tidak lagi
memasukkan kata-kata bronkitis kronik dan emfisema, walaupun jelas bahwa mereka tetap
adalah penyebab yang utama. GOLD juga menggaris bawahi bahwa PPOK harus dipandang
sebagai penyakit yang dapat dicegah dan dapat diobati (walaupun tidak berarti dapat
disembuhkan/dinormalkan secara patologinya).

1.1 DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik
merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3
bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya. Emfisema adalah uatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-
tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas
yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. Karakteristik hambatan aliran
udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap
individu (Riyanto BS, 2006).
Pada tahun 2009, The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai gangguan aliran udara yang kronis dengan
beberapa perubahan patologis pada baru disertai efek ekstra pulmonal dan berbagai
komorbiditas yang dapat berpengaruh terhadap derajat beratnya penyakit (GOLD, 2009).

1.2 EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan

20
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia
(PDPI, 2003).
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut (PDPI, 2003):
1. Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
2. Pertambahan penduduk
3. Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an
4. Industrialisasi
5. Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan

Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita
yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala
sesak terutama pada aktivitas, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik,
klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas
yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit
Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) (PDPI, 2003).
Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai di
rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasilitas pelayanan untuk penyakit PPOK.
Disamping itu kompetensi sumber daya manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis
PPOK seperti spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari
jangkauan Puskesmas (PDPI, 2003).
Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit
yang dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera
disosialisasikan baik untuk kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya
pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi (PDPI, 2003).

1.3 FAKTOR RESIKO


Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya (PDPI, 2003).
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
1. Riwayat merokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
c. Bekas perokok

21
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
a. Ringan : 0-200
b. Sedang : 200-600
c. Berat : >600
3. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
4. Hipereaktiviti bronkus
5. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
6. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia.

1.4 KLASIFIKASI
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu
perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan
VEP1 (PDPI, 2003).
Tabel 1. Klasifikasi PPOK
DERAJAT KLINIS FAAL PARU

Derajat I Gejala batuk kronik dan produksi sputum VEP1 / KVP < 70%
ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini
PPOK ringan VEP1 ≥ 80% prediksi
pasien sering tidak menyadari bahwa faal
paru mulai menurun.

Derajat II Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas VEP1 / KVP < 70%
dan kadang ditemukan gejala batuk dan
PPOK 50% < VEP1 < 80%
produksi sputum . Pada derajat ini biasanya
Sedang prediksi
pasien mulai memeriksakan kesehatannya.

Derajat III Gejala sesak lebih berat, penurunan VEP1 / KVP < 70%
aktivitas , rasa lelah dan serangan
PPOK Berat 30% < VEP1 < 50%
eksaserbasi semakin sering dan berdampak
prediksi
pada kualitas hidup pasien

Derajat IV Gejala diatas ditambah tanda tanda gagal VEP1 / KVP < 70%
napas atau gagal jantung kanan dan
PPOK VEP1 < 30% prediksi atau
ketergantungan oksigen. Pada derajat ini

22
Sangat Berat kualitas hidup pasien memburuk dan jika VEP1 < 50% prediksi
eksaserbasi dapat mengancam jiwa. disertai gagal napas
kronik.

Pada tahap dini, selain obstruksi pasien PPOK akan mengalami keadaan restriktif
atau penurunan kapasitas vital karena terbatasnya pengembangan paru akibat dari
keadaan paru yang sudah hiperinflasi dan diafragma sudah mendatar. Akibatnya rasio
VEP1 / KVP kurang dapat menggambarkan pentahapan derajat obstruksi pada paru-paru
penderita karena walaupun VEP1 turun KVP juga menurun. Sebaliknya pada fase dini
dimana KVP belum berubah, rasio VEP1 / KVP menjadi parameter yang baik untuk
menandai adanya obstruksi atau PPOK.
VEP1 adalah parameter yang paling berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas, sehingga pada stadium I dimana VEP1 masih cukup (walaupun VEP1 / KVP
mulai turun) umumnya pasien belum menyadari dirinya memiliki kelainan pernapasan.
Pada stadium II, pasien akan mencari bantuan medis karena gejala pernapasan kronik dan
kekambuhan penyakitnya. Sementara itu pada stadium III pasien akan mengalami
gangguan yang jelas pada kapasitas kerja dan kualitas hidupnya. Pada stadium IV pasien
relatif tidak bermobilisasi dan sering masuk rumah sakit karena eksaserbasi akut.

1.5 PATOGENESIS
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia (Antonio
et all, 2007).
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam
jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan
akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (Antonio et all, 2007).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur

23
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan
demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan structural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasia sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas (Antonio et all,
2007).
Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni :
peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran
nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan
parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada
penderita asma (Corwin EJ, 2001).

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di


saluran napas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK. Respon inflamasi
abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema
dan mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas
kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan aliran
udara uang bersifat progresif (PDPI, 2003).

Bagan 1. Patogenesis PPOK. Sumber: (PDPI, 2006)

24
Bagan 2. Perbedaan pathogenesis asma dan PPOK. Sumber: (PDPI, 2003)

1.6 MANIFESTASI
Gejala PPOK umumnya tidak akan timbul sampai seorang perokok merokok satu
per hari selama 20 tahun. Umumnya gejala muncul ketika usia 50an tahun yang berupa
batuk kronik yang memberat pada infeksi virus. Gejala selanjutnya sesak napas baru
muncul pada usia 60an. Bagi perokok yang kemudian berhenti merokok saat muda
timbulnya gejala bisa mundur sampai usia 70an tahun (Riyanto, 2006).
Tanda-tanda klinis PPOK yang dikenal adalah ekspirasi yang lambat dan
memanjang, mengi, hiperinflasi dada, perkusi hipersonor, suara napas dan jantung jauh,
gerak diafragma berkurang, ronki basah kasar di awal inspirasi, penggunaan otot bantu
napas dan pursed-lip breathing. Bila terjadi kor pulmonale maka dapat muncul edema
kaki, hepatomegali dan JVP meningkat. Bila terdapat hiperkapnia berat bisa muncul
sianosis (Riyanto, 2006).

1.7 DIAGNOSIS
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan (PDPI, 2003):
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalkan berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi

25
udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed – lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero – posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal atau melemah
- Terdapat ronkhi dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rutin
i. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP
( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

26
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
ii. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
iii. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
i. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
ii. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)

27
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
iii. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
iv. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison
atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
v. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
vi. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
vii. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
viii. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
ix. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.
x. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

28
1.8 DIAGNOSIS BANDING
a. Asma
b. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculosis)
c. Pneumotoraks
d. Gagal jantung kronik
e. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal: bronkiektasis, destroyed
lung (PDPI, 2003)

Tabel 2. Perbedaan Asma, PPOK, SOPT

1.9 PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi (PDPI, 2003):
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK
adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindar pencetus dan
memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
- Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
- Melaksanakan pengobatan yang maksimal

29
- Mencapai aktiviti optimal
- Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.
Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat
ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi
atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat
peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK,
memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian
aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioriti bahan edukasi sebagai berikut:
a. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
b. Penggunaan obat-obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selangwaktu tertentu atau kalau
perlu saja)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
c. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

30
e. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi: batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah dan sputum
berubah warna
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit:
a. Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain
berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
b. Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasaan
c. Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat, diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator:
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali per hari).
- Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.

31
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon
atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila
terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat >20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru
Perawatan di Rumah Sakit :
Dapat dipilih: amoksisilin dan klavulanat, sefalosporin generasi II & III injeksi,
kuinolon per oral
Ditambah dengan yang anti pseudomonas : aminoglikose per injeksi, kuinolon
per injeksi, sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

32
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati

33
3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik
di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat oksigen:
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertnsi pulmonal
- Mengurangi vasokontriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi:
- Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen:
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen
di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas
kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut
di unit gawat darurat, ruang rawat ataupun ICU.
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur
bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di

34
atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen:
- Nasal kanul
- Sungkup venture
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang
ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara:
a. Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah
sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut:
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat
diperbaiki
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif:
- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan
pergerakan abdominal paradoksal
- Frekuensi napas >35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 <40 mmHg)
- Asidosis berat pH <7,25 dan hiperkapni (Pao2 <60 mmHg)
- Henti napas
- Samnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolism, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura massif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

35
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi
sebagai berikut:
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik:
- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
- Kesukaran weaning
Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan:
- Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi
- Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
- Nutrisi seimbang
- Dibantu dengan NIPPV
b. Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Noninvasive Intermitten Positif
Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi:
- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus
(LTOT/Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang
signifikan pada:
- Analisis gas darah
- Kualiti dan kuantiti tidur
- Kualiti hidup
Indikasi penggunaan NIPPV:
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi
dan abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH <7,30 – 7,35

36
- Frekuensi napas >25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik
dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin rendah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi
dapat diberikan secara terus menerus dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumna, protein dapat meningkatkan ventilasi
semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan
hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein
dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi
pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder
dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah:
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi
dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih

37
sering.
6. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK
Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai:
- Symptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu: latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan.
a. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen.
Latihan fisis yang baik akan menghasilkan:
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
- Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan
pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan
inspirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan.
Latihan khusus pada otot pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya
kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan
mengurangi sesak napas.
- Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak
sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya
toleransi latihan karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan
rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan
resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi

38
terhadap asam laktat. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin
merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan
fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4-6 minggu akan menyebabkan
penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan
aktiviti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang
lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat:
- Di rumah: latihan dinamik dan menggunakan otot secara ritmis (jalan,
jogging, sepeda)
- Rumah sakit
Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu.
Tipe latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan
dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh
penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan subyektif atau
obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat
memberikan informasi yang obyektif tentang beban latihan yang sudah
dilaksanakan.
Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di
rumah adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik
daripada walking-jogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan
dimulai selama 2-3 menit, yang cukkup untuk menaikkan denyut nadi
sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai
denyut jantung 60-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti
dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah
sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi
maksimal adalah 220-umur dalam tahun.
Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita
dapat diperkecil walaupun demkian latihan jasmani secara potensial
akan dapat berakibat kelainan fatal dalam bentuk aritrmia atau iskemi
jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan:
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan

39
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental,
gangguan koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan
b. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan
dapat diberikan obat
c. Latihan pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik
latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki
ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga
untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.

B. Penatalaksanaan PPOK stabil


Kriteria PPOK stabil adalah:
- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan PCO2 <45 mmHg dan PO2 >60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil:
- Mempertahankan fungsi paru
- Meningkatkan kualiti hidup
- Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau
dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan di rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil.
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun
oleh keluarganya.
Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus
menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.
Tujuan penatalaksanaan di rumah:

40
- Menjaga PPOK tetap stabil
- Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
- Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
- Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
- Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
- Meningkatkan kualiti hidup
Penatalaksanaan di rumah meliputi:
- Penggunaan obat-obatan dengan tepat
Obat-obatan sesuai klasifikasi. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau
tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan
kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif.
Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di
rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika
timbul eksaserbasi.
- Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang
oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti.
Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus
menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2
liter.
- Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya.
- Rehabilitasi
Penyesuaian aktiviti, latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif, pursed-lips
breathing, latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
- Evaluasi/monitor terutama ditujukan pada:
Tanda eksaserbasi, efek samping obat, kecukupan dan efek samping penggunaan
oksigen

41
Bagan 3. Algoritme Penanganan PPOK

42
C. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan dan timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi:
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga:
- Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
- Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas

43
- Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >20% baseline, atau frekuensi nadi
>20% baseline
Penyebab eksaserbasi akut:
- Primer
Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
- Sekunder
Pneumonia, gagal jantung kanan/kiri, aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan,
penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat penenang,
diuretic) yang tidak tepat, penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit), nutrisi
buruk, lingkungan memburuk/polusi udara, aspirasi berulang, stadium akhir
penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang
ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat)
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah
diedukasi dengan cara:
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator
yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau
rawat inap dan dilakukan di:
- Poliklinik rawat jalan
Indikasi: eksaserbasi ringan sampai sedang, gagal napas kronik, tidak ada gagal
napas akut pada gagal napas kronik, sebagai evaluasi rutin (pemberian obat-obatan
yang optimal, evaluasi progresifiti penyakit, edukasi)
- Unit gawat darurat
- Ruang rawat
Indikasi rawat: eksaserbasi sedang dan berat, terdapat komplikasi (infeksi saluran
napas berat, gagal napas akut pada gagal napas kronik, gagal jantung kanan).
- Ruang ICU

44
Indikasi: sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang
rawat, kesadaran menurun, lethargi atau kelemahan otot-otot respirasi, setelah
pemberian oksigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan, memerlukan ventilasi
mekanik (invasif atau non invasif).
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah
menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus
diperhatikan meliputi:
- Diagnosis beratnya eksaserbasi
Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal, kesadaran, tanda vital,
analisis gas darah, pneumonia
- Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam
jiwa. Dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya
dipertahankan Pao2 >60 mmHg atau Sat O2 >90%, evaluasi ketat hiperkapnia.
Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan 24%, 28%, atau 32%.
Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar
Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi
adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik
usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak
berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
- Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut:
 Antibiotik
Peningkatan jumlah sputum, sputum berubah menjadi purulen, peningkatan
sesak.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit
sebaiknya per ddrip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi
sedang sebiknya kombinasi dengan macrolide, bila ringan dapat diberikan
tunggal.
 Bronkodilator

45
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang
tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati
dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompresor,
karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.
Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan
nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap
timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
 Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping.
- Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas
- Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan mengurangi
mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV,
bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi.
- Kondisi lain yang berkaitan
Monitor balans cairan elektrolit, pengeluaran sputum, gagal jantung atau aritmia
- Evaluasi ketat progesiviti penyakit
Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan
kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah gagal
napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi:
- Sesak napas berat, pernapasan >35 x/menit
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat Pao2 <50 mmHg
- Asidosis pH <7,25 dan hiperkapnia Paco2 >60 mmHg

46
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi pleura
dan emboli massif
- Penggunaan NIPPV yang gagal

Bagan 4. Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah dan


pelayanan kesehatan primer/puskesmas

47
D. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk:
- Memperbaiki fungsi paru
- Memperbaiki mekanik paru
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
- Memperbaiki kualiti hidup
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu:
- Bulektomi
- Bedah reduksi volume paru (BRVP)/ lung volume reduction surgey (LVRS)
- Transplantasi paru

1.10 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah (PDPI, 2003) :


1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal.
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Ditandai oleh: sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan

48
purulent, demam, serta kesadaran menurun.
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.

1.11 PENCEGAHAN
a. Mencegah terjadinya PPOK
- Hindari asap rokok
- Hindari polusi udara
- Hindari infeksi saluran napas berulang
b. Mencegah perburukan PPOK
- Berhenti merokok
- Gunakan obat-obatan adekuat
- Mencegah eksaserbasi berulang
(PDPI, 2003)

1.12 PROGNOSIS
PPOK merupakan penyakit progresif dan ireversibel. Tidak ada obat yang dapat
mengembalikan fungsi paru menjadi normal kembali pada pasien PPOK. Faktor
prognosis buruk didapatkan pada pasien dengan kejadian eksaserbasi akut lebih dari
dua kali dalam setahun, CAT kuesioner lebih dari sama dengan sepuluh, hasil
spirometri termasuk GOLD 3 atau 4, malnutrisi, paparan faktor risiko terus-menerus,
kepatuhan kontrol dan minum obat, dan dukungan dari keluarga dan orang sekitar
(Alsaggaf Hood dkk, 2004).

49
KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik yang ditandai
dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible.
Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan
angka mortalitasnya yang terus meningkat. Penting bagi dokter umum untuk memahami
penegakan diagnosis PPOK, yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta
didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat.
Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu evaluasi
dan monitoring penyakit, mengurangi faktor resiko, tatalaksana PPOK yang stabil, dan
tatalaksana PPOK dengan eksaserbasi. Manajemen utama untuk PPOK derajat I dan II
antara lain dengan menghindari faktor resiko, mencegah progresivitas PPOK, dan
penggunaan obat-obatan untuk mengontrol gejala dari PPOK, sedangkan untuk PPOK
derajat III dan IV memerlukan manajemen terapi yang lebih terpadu dengan berbagai
pendekatan untuk membantu pasien dalam melewati perjalanan penyakitnya.
Penggunaan bronkodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi gejala yang
timbul pada PPOK, dimana bronkodilator dapat berfungsi untuk meredakan gejala dan
dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan bronkodilator yang dapat digunakan
antara lain golongan β2 agonis, antikolinergik, dan xantin, yang dapat digunakan tunggal
atau dikombinasikan. Selain itu berbagai terapi lain juga dapat diberikan pada penderita
PPOK, seperti kortikosteroid inhalasi ataupun sistemik, mukolitik, anti oksidan, dan terapi
oksigen, tergantung pada derajat berat penyakitnya.
Selain pendekatan farmakologis, edukasi dan nasihat pada pasien, diperlukan juga
konseling untuk penghentian rokok, olahraga, kebutuhan nutrisi, dan perawatan untuk
pasien. Manajemen yang tepat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien
PPOK, serta sangat berperan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK
Unair. Surabaya.

2. Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, Didapat dari :
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp

3. Corwin EJ 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

4. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
National Institutes of Health. National Heart, Lung and Blood Institute, Update 2009.

5. PDPI. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: 1997-
2003.

6. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi Saluran
Pernapasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, 2006. P. 984-5.

51

Anda mungkin juga menyukai