PENDAHULUAN
1
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri
bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan
saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses
penghantaran impuls saraf. Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi
morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan.1,2
Praktik manajemen nyeri tidak terbatas oleh ahli anestesi, namun juga
termasuk praktisi yang lain seperti dokter (umum, penyakit dalam, ahli onkologi,
dan ahli saraf), dan termasuk non-dokter (psikolog, ahli akupuntur, dan ahli
hipnoterapi). Jelaslah, pendekatan yang paling efektif dalam menangani nyeri
adalah multidisiplin ilmu.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Mekanoreseptor
Mekanoreseptor dengan ambang rangsang rendah di kulit,
mengirimkan informasi sensoris menuju kornu dorsalis melalui serat
bermielin berdiameter kecil dan besar ( Aα, β, Aδ ) serta serat saraf
tak bermielin berdiameter kecil.
b. Reseptor khusus yang disebut nociceptors
Pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas
dan tipe stimulus noxious (orde 1). Informasi sensoris dihantarkan
3
oleh serat saraf bermielin berdiameter kecil Aδ dan serat saraf tak
bermielin diameter kecil C (nosiseptor polimodal) menuju medula
spinalis pada lamina I, II, V dan X. Oleh karena itu, daerah lamina I,
II, V dan X pada kornu dorsalis medula spinalis ini diyakini
merupakan daerah utama yang terlibat dalam transmisi informasi
nyeri.
Nosiseptor adalah suatu ujung saraf bebas yang tersebar di
kulit, otot, sendi, organ visceral, dan pembuluh darah. Nosiseptor ini
berfungsi untuk mendeteksi hadirnya suatu rangsang nyeri yang
dapat berasal dari zat kimiawi, suhu (panas ataupun dingin) atau
perubahan mekanis.
Neuron nosiseptif bersinaps di daerah medula spinalis kornu
dorsal dengan interneuron local dan neuron proyeksi yang
menghantarkan informasi nyeri ke pusat yang lebih tinggi di batang
otak dan thalamus.
Kornu Dorsalis Medula Spinalis
a. Serabut aferen nosiseptif memasuki medulla spinalis melalui kornu
dorsalis. Kornu dorsalis ini dibagi menjadi beberapa lapisan berdasarkan
morfologi dan tatanan neuronnya. Secara spesifik, substansia grisea kornu
dorsalis dibagi menjadi 10 lapisan yang disebut dengan laminae Rexed.
Serabut C berakhir pada lamina II (substansia gelatinosa); sedangkan
serabut A-delta berakhir pada lamina I dan V. Serabut-serabut ini
kemudian akan melakukan sinapsis menjadi interneuron dan neuron orde
2; dimana neuron orde 2 ini akan membentuk traktus asendens.
Akson-akson dari neuron orde 2 akan menyilang medula spinalis
menuju segmen anterolateral dan menuju struktur otak yang lebih tinggi.
Traktus yang klasik adalah traktus spinotalamikus; akan tetapi juga
terdapat beberapa traktus seperti traktus spinohipotalamus, spinoretikuler,
dan spinopontoamigdala.
4
c. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai
pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.
(orde 3).
5
Gambar 1. Lintasan sensibilitas
6
Gambar 2 Fisiologi nyeri
7
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi
menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih
viseral dan nyeri alih parietal.
Nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:8
a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan
ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel
kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri
neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin
terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang
kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP
merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering
menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
c. Nyeri psikogenik
Nyri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
2. Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah:
menyeringai atau menangis.
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang
8
tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri
ini disebabkan oleh :
Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
3. Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri onkologik
b. Nyeri non onkologik
4. Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari
hari dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang
bila penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal,
reguler, kontinyu)
Aksis IV : waktu mula/onset terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
9
zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit
eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan
efek melalui mekanisme spesifik.2,12
Tabel 1 Zat-zat yang timbul akibat nyeri 12
10
Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk)
dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis
kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron
nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-
delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-
lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior medulla
spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan
peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat
ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla
spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan
segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis
medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk
dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel
nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang
sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya
menghasilkan sensibel nyeri.
11
Gambar 3 Patofisiologi nyeri
12
Sel-sel neuron kornu dorsalis medula spinalis dikelompokkan tiga
golongan atas dasar kepekaannya terhadap intensitas rangsang suatu stimulus,
yaitu :1,12
1. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang tinggi.
Stimulus nyeri adalah stimulus dengan intensitas rangsang yang tinggi.
2. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang rendah.
Rasa raba dan rasa tekan termasuk stimulus berintensitas rangsang
rendah
3. Sel-sel neuron dengan ambang rangsang yang dapat berubah
(bervariasi).
Pada keadaan tertentu sel-sel neuron dapat dirangsang oleh stimulus
dengan intensitas rangsang yang berbeda.
Penderita akan merasakan sensibilitas nyeri akibat suatu stimulus yang
sebenarnya dalam keadaan normal tidak akan menimbulkan rasa nyeri dimana
keadaan ini disebut Allodynia. Terjadi perubahan dimana stimulus yang dalam
keadaan normal memang menimbulkan nyeri, tetapi kenyataannya akan
menimbulkan sensibilitas nyeri yang dirasakan lebih berat dimana keadaan ini
disebut Hiperalgesia.
13
terjadinya vasodilatasi, serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
terjadi ekstravasasi protein plasma.
14
Stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan
atau inflamasi akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medula
spinalis. Aktifitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama lamanya
stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam
proses transmisi dan modulasi stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis,
terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen
pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron
pertama.
Second-order neuron memainkan peran modulasi yang dapat
memfasilitasi atau menghambat stimulus noksius. Nosiseptif second-
order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama
nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif
terhadap impuls dari serat A-delta dan serat C. Neuron kedua disebut
wide-dynamic range neuron (WDR) responsif terhadap stimulus noksius
maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon
treshold, serta meningkatnya reseptive field sehingga terjadi peningkatan
sinyal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya
perubahan kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan atau
inflamasi. Perubahan ini disebut sensitisasi sentral (wind up). “Wind up”
menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap
stimulus lain dan menjadi bagian sensitisasi sentral. Ini menunjukkan
bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired”
yang kaku tetapi seperti plastik yang dapat berubah sifatnya akibat
adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep
nyeri. Dewasa ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang
berkepanjangan pada serabut C dari serabut aferen primer akan
menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis
yang sulit dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang
sulit disembuhkan.
15
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan
dengan sensitisasi sentral ; (1) Perluasan reseptor field size sehingga
neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak
merupakan stimulus nosiseptif, (2) Peningkatan besaran dan durasi
respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang, dan (3)
Pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak
bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif.
Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut, seperti nyeri
pasca bedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini
bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah
nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan
perubahan pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi
jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin akan terjadi
perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti
bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah
kornu dorsalis superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi
nyeri. Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-
terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan
neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif, maka
akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitifitas terhadap sentuhan
ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.
16
Fenomena “wind-up” merupakan dasar analgesia pre-emptif dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan
respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah
atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya “wind-up”.
Idealnya pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma adalah
terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu,
prinsip dasar pengelolaan nyeri adalah mencegah (meminimalisasi)
terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX1
atau COX2). Sedangkan untuk mencegah terjadinya sensitisasi sentral
dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya
jika diberikan secara sentral.
17
mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh
endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara
eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3. Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor
zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri
di substansia gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis
medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan
mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di
substansia gelatinosa.
18
intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi
hipoventilasi.12,13
b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan
perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap
kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II,
dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik
tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh
darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat
tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami
penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya.
Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard,
sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.12,13
c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi
asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan
motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia
aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen
memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction.12
d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih
dan menurunkan motilitas saluran kemih yang menyebabkan retensi urin.12
e. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen
meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-
hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan
menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron.
Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada
kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan
metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong
19
pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses
glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan
keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan
meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan
peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari
ruangan ekstraseluler.12,13
f. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan
fibrinolisis, dan hiperkoagulopati.12
g. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat
mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan
pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.12
h. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.12
i. Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon
aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH
berupa retensi cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin
dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit
lainnya.12
Impuls nyeri yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterior medulla
spinalis menimbulkan aktifasi motorik, sehingga tonus otot didaerah cedera
meningkat. Bila ini terjadi didaerah torak atau abdomen, dapat menimbulkan
gangguan fungsi pernafasan. Keadaan ini dapat menimbulkan hipoksia dengan
gejala-gejala : sulit bernafas dalam,-sulit batuk, sulit mengeluarkan reak.
Sebagian impuls yang diteruskan oleh traktus spinotalamikus akan menuju
hipotalamus. Hipotalamus merupakan pusat pengatur simpatis dan sistem kelenjar
endokrin. Aktifasi simpatis menjadi lebih meningkat. Peningkatan tonus simpatis
20
sudah diuraikan diatas. Hipotalamus menghasilkan hormon yang dapat
mengaktifkan kelenjar hipofise. Aktifasi hipofise menghasilkan pelepasan
hormone- hormone GH, ADH serta hormone yang dapat mengaktifkan kelenjar
endokrin yang lain seperti kelenjar tiroid serta kelenjar anak ginjal. Kelenjar anak
ginjal melepaskan hormon kortisol dari bagian kortex serta adrenalin dari bagian
medulla. Juga akan dilepaskan aldosteron. Katekolamin, kortisol dan glukagon
merupakan hormon-hormon yang sering disebut counter regulatory hormon yang
mempunyai efek berlawanan dengan insulin. Peningkatan kadar gula darah
akibatnya. ADH dan Aldosteron dapat menimbulkan retensi air.7
21
pasien anak-anak. Beberapa mitos tentang nyeri dan manajemen nyeri yang salah
antara lain:
Anak-anak dianggap mudah menjadi ketergantungan terhadap opioid.
Faktanya tidak lebih dari 1% anak-anak yang menjadi ketergantungan
terhadap opioid dan penggunaan pada anak-anak tidak lebih bahaya
dibandingkan penggunaan pada orang dewasa
Bayi yang masih kecil dikatakan tidak merasakan nyeri. Pada jaman
dahulu prosedur pembedahan seperti penjahitan, sirkumsisi maupun
bedah minor pada bayi dilakukan tanpa anestesi ataupun analgetik.
Faktanya fetus berumur 26 minggu secara anatomis maupun nurokimia
memiliki kapabilitas untuk menerima rangsangan nosiseptif.
Anak-anak lebih toleransi terhadap nyeri dibandingkan orang dewasa.
Faktanya anak-anak lebih merasakan tingkat nyeri yang lebih tinggi
untuk stimulus yang sama dibandingkan orang dewasa. Toleransi nyeri
meningkat seiring dengan bertambahnya umur.
Anak-anak menjadi lebih tahan terhadap nyeri apabila stimulus
dilakukan berulang. Faktanya anak-anak yang mengalami stimulus
nyeri yang berulang akan mengalami peningkatan kecemasan dan
persepsi terhadap nyeri terhadap prosedur yang dilakukan berulang.
Anak-anak akan menyampaikan ketika merasakan nyeri. Faktanya
anak-anak takut untuk menyampaikan rasa nyerinya selain karena
ketakutan anak-anak tersebut karena akan dibawa ke rumah sakit dan
ketakutan akan cara pemberian obat analgesik yang cenderung invasif.
Perilaku anak-anak menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan.
Faktanya terkadang anak-anak tetap aktif bermain dan berusaha
bersikap normal untuk mengalihkan nyeri yang dirasakannya.
Sementara beberapa faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi tenaga
kesehatan maupun keluarga pasien sehingga pemberian opioid dibatasi antara lain:
Ketakutan keluarga maupun tenaga kesehatan menjadi ketergantungan
terhadap opioid. Kesalahan persepsi keluarga terhadap opioid
menyebabkan keluarga takut untuk melaporkan nyeri yang dirasakan
anak sehingga pengobatan nyeri pada pasien tidak maksimal.
22
Ketakutan akan depresi pusat nafas. Depresi pusat nafas merupakan
salah satu efek samping yang serius yang mengancam jiwa akan tetapi
keadaan ini jarang terjadi pada anak-anak. Efek samping yang paling
sering adalah konstipasi.
Salah persepsi dimasyarakat tentang penggunaan opioid pada anak-
anak yang dikaitkan dengan perjalanan penyakit yang semakin
memberat dan prognosis yang buruk sehingga untuk menolak
kenyataan tersebut pasien maupun keluarga pasien cenderung tidak
menyampaikan nyeri yang dirasakan.
Kurangnya alat untuk mengevaluasi nyeri yang dirasakan oleh anak-
anak cenderung menyebabkan tenaga kesehatan menganggap nyeri
yang dirasakan cenderung ringan.
Tenaga kesehatan yang kurang paham tentang farmakokinetik obat-
obatan menyebabkan dosis yang diberikan cenderung lebih rendah dari
dosis yang diperbolehkan sehingga terapi yang diberikan tidak adekuat
untuk penanganan nyeri.
23
Beberapa metode digunakan saat ini untuk menilai intensitas nyeri pada anak
dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain umur anak, kemampuan
kognitif dan kemampuan komunikasi anak.15
Keterbatasan anak-anak untuk mengungkapkan rasa nyeri yang dialaminya
menyebabkan penilaian terhadap nyeri yang dirasakannya menjadi lebih sulit
dibandingkan kita menilai pasien-pasien dewasa. Faktor kognitif, emosional,
perkembangan mental anak, faktor psikososial dan jenis kelamin mempengaruhi
anak dalam mengungkapkan rasa nyeri yang dialaminya. Untuk itulah dibuat
beberapa alat untuk menilai nyeri sehingga penilaian yang diberikan bisa lebih
objektif dengan demikian terapi yang diberikan lebih tepat. 10,13
Ada beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menilai intensitas nyeri
pada neonatus dan anak, antara lain :
1 Neonatal Infant Pain Scale
Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) adalah alat penilai perilaku untuk
menghitung derajat nyeri pada neonatus kurang bulan dan cukup bulan. Ini dapat
digunakan untuk memantau neonatus selama atau setelah diberikan prosedur yang
menyakitkan seperti suntikan ke vena.15
24
2. Premature Infant Pain Profile
Premature Infant Pain Profile (PIPP) adalah penilaian perilaku nyeri pada
bayi prematur.15
3. Behavioral Scale
Behavioral scale digunakan untuk anak yang belum mampu untuk
berbicara. Pada anak tersebut, intensitas nyeri dinilai oleh tenaga kesehatan
dengan berpatokan kepada tingkah laku dari anak, posisi tubuh tertentu, tangisan
sampai kepada tekanan darah dari anak. Dari setiap tingkah laku yang diobservasi
tersebut dibagi lagi menjadi poin-poin lainnya yang masing-masing poin memiliki
nilai tertentu, yang pada akhirnya nilai tersebut dijumlahkan dan diinterpretasikan
untuk mendapatkan intensitas nyeri yang dirasakan oleh anak. Contoh behavioral
scale adalah FLACC (Face Leg Activity Cry and Consolability) dan Riley Infant
Paint Scale Assessment Tool. Skala Face, Legs, Arms, Cry, Consolability atau
skala FLACC adalah perhitungan untuk menilai nyeri pada anak dengan usia
25
antara 2–7 tahun atau pada individu yang tidak dapat mengkomunikasikan
nyerinya.Skala ini mempunyai nilai antara 0-10. Dimana 10 adalah nilai tertinggi
yang mengindikasikan nyeri hebat dan nilai < 2 secara umum mengindikasikan
tidak adanya nyeri.15
Tabel 4. FLACC (Face Leg Activity Cry and Consolability) dan Riley Infant Paint
Scale Assessment Tool
26
Metode ini menggunakan garis dengan panjang 10 cm yang
menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien
menandai garis dalam rentang skala tersebut untuk kemudian, diukur jarak
tersebut dalam milimeter untuk menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. 3
Keuntungan menggunakan metode ini adalah sangat mudah dikerjakan, dan tidak
membatasi intensitas nyeri dalam skala 1 sampai 10 sehingga sensitif untuk
mengetahui perubahan intensitas nyeri.12
27
6. The Face Pain Rating Scale
Metode ini menampilkan 6 buah gambar muka digabungkan dengan skala
angka yang jumlahnya 0-5, dari tersenyum yang menunjukan pasien tidak
mengalami nyeri sampai kepada gambar muka dengan penuh air mata yang
menunjukkan rasa nyeri yang sangat berat. Metode ini direkomendasikan untuk
digunakan pada anak dengan umur kurang dari 3 tahun maupun orang dewasa
dengan kemampuan kognitif yang kurang dan yang memiliki kendala bahasa. 10,15
28
Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya
demikian. Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana, yaitu
nilai nyeri, atasi dengan obat dan teknik yang sudah ada, nilai kembali nyeri
setelah terapi dan bersiap untuk memodifikasi pengobatan jika perlu. Nyeri akut
akibat trauma ataupun akibat penyakitnya sendiri bersifat sementara dan
cenderung mudah diterapi akan tetapi nyeri ini tidak dapat disepelekan karena
nyeri yang tidak teratasi akan cenderung menimbulkan efek yang buruk pada
perkembangan psikologis dan tingkah laku anak. Selain itu dengan pengelolaan
nyeri yang tepat berhubungan dengan mobilitas anak pasca pembedahan bisa lebih
cepat, waktu tinggal di rumah sakit yang lebih singkat dengan demikian segi biaya
berobat dapat dikurangi. 5,6
Penanganan nyeri akut dapat dilakukan dengan dua metode pendekatan,
antara lain (1) metode farmakologi, dan (2) metode non farmakologi.
1. Metode Farmakologi
Berdasarkan mekanisme dan lintasan nyeri, penanggulangan nyeri akut
secara garis besar dapat dilaksanakan sebagai berikut:
Proses transduksi
Stimulasi noksius akan menimbulkan efek pelepasan zat-zat algesik.
Diantara zat-zat algesik itu adalah prostaglandin. Prostaglandin disintesis
dari arachidonic acid di bawah pengaruh enzim siklooksigenase. Kerja
enzim ini dapat dihambat oleh obat-obatan golongan anti inflamasi non
steroid (NSAID).
Reseptor nyeri adalah kumparan ujung-ujung bebas serat saraf aferen
A delta dan C dalam kaitan hal ini, obat anastesi lokal dapat
mempengaruhi fungsi reseptor nyeri tersebut sehingga tidak dapat
berinteraksi dengan zat-zat algesik.
Proses transmisi
Impuls nyeri di transmisikan dari perifer ke sentral (sel neuron
nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis) oleh serat saraf aferen A delta
dan C. Obat anestesi lokal dapat mempengaruhi fungsi transmisi serat-
serat aferen tersebut. Dengan menyuntikkan obat anestesi lokal di daerah
29
perjalanan suatu serat saraf, maka fungsi transmisi serat saraf itu akan
terpengaruh.
Proses Modulasi
Proses ini terjadi di sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula
spinalis. Secara eksogen proses modulasi ini dapat dipengaruhi oleh
opioid. Opioid dapat disuntikkan ke dalam ruang epidural atau ruang
subarachnoid di dalam kanalis vertebralis, akan memblok proses modulasi
di tingkat medula spinalis.
Proses Persepsi
Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls
nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf
sensoris, informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional
(hipokampus dan amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri
yang dirasakan. Proses komplek yang terjadi di daerah somatosensorik
korteks serebri dapat diberikan obat-obatan opioids, α2 agonist ataupun
inhibitor COX-2 spesifik.
30
Analgesia yang ideal adalah aman, efektif, onset cepat, efek samping
minimal, murah, mudah disimpan, mudah digunakan dan tidak berbahaya. Secara
umum dalam penanganan nyeri akut ada tiga kelompok obat yang memiliki efek
analgesia, yaitu non-opioid analgetik, opioid analgetik dan adjuvant analgetik.12
Secara garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti ”WHO Three-Step
Analgesic Ladder”. WHO Three-Step Analgesic Ladder salah satu panduan yang
saat ini masih digunakan oleh para tenaga kesehatan untuk memberikan terapi
yang tepat sesuai dengan intensitas nyeri yang dialami oleh pasien tak terkecuali
pada anak. Penting sekali bagi kita untuk memberikan terapi sesuai dengan
intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien sebagai contoh apabila anak
mengeluhkan mengalami nyeri yang berat maka terapi yang kita berikan dimulai
dengan opioid potensi kuat seperti morphine.7
31
asam asetil salisilat merupakan step 1 untuk ”WHO analgesic ladder” untuk
penatalaksanaan nyeri ringan.12
2. Step II
Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang, atau yang
gagal mendapat perbaikan setelah percobaan dengan analgesia non opioid
harus diobati dengan opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri sedang
(opiod lemah). Termasuk dalam golongan ini adalah Codein, Hydrocodone
dan Tramadol. Obat-obatan ini umumnya dikombinasi dengan non opioid dan
dapat diberikan bersama-sama dengan analgesia adjuvant.12
3. Step III
Pada tingkat ini, penderita yang menderita nyeri yang berat atau gagal
mendapatkan perbaikan yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga
kedua, harus menerima opioid konvensional untuk nyeri berat (opioid kuat).
Yang termasuk obat-obatan yaitu morfin, fentanil, hidromorfon, levorfanol,
metadon, oksikodon, dan oksimorfon. Dengan petunjuk dosis yang sesuai,
pengobatan ini dapat memberikan kesembuhan pada 70-90% penderita.12
Pada dasarnya prinsip Three-Step Analgesic Ladder dapat diterapkan
untuk nyeri kronik maupun nyeri akut yaitu:2
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3 (WHO Three-
Step Analgesic Ladder).
a. Non-opioid analgetik
Parasetamol ( acetaminophen )
Parasetamol merupakan analgesia yang paling sering digunakan untuk
penanganan nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang pada pasien anak.
Sementara untuk nyeri yang berat, parasetamol sering dikombinasikan dengan
opiod untuk penanganan. Selain memiliki efek analgetik parasetamol juga
memiliki efek antipiretik. Obat ini merupakan inhibitor COX-1 dan COX-2 yang
lemah di jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti inflamasi. Bukti-bukti
terbaru mendukung bahwa acetaminophen bisa menghambat enzim ke tiga yaitu
COX-3 pada sentral nervus system. Mekanisme kerja obat ini belum jelas
32
diketahui, tapi diperkirakan mekanismenya adalah menghambat produksi
prostaglandin secara sentral. Tidak seperti NSAIDs, paracetamol memiliki sedikit
efek pada aktivitas siklooksigenase perifer, selain itu paracetamol tidak memiliki
efek anti-inflamasi seperti NSAIDs. Parasetamol tersedia dalam bentuk tablet,
sirup dan suppositoria. Dosis terapi parasetamol per oral yang dianjurkan untuk
anak-anak berkisar antara 10-15 mg/kgBB tiap kali pemberian. Dosis maksimal
perharinya dianjurkan tidak melebihi 90 mg/kgBB untuk anak-anak, 60 mg/kgBB
untuk neonatus yang berumur kurang dari 10 hari dan 45 mg/kgBB untuk bayi
prematur. Parasetamol memiliki pengaruh yang sedikit pada fungsi platelet
maupun iritasi lambung akan tetapi toksikisitas terhadap hepar sering muncul
pada pemberian parasetamol dengan dosis tinggi. Untuk itu apabila
dikombinasikan dengan golongan opioid, apabila dosis yang digunakan telah
mencapai dosis maksimum paracetamol maka sebaiknya opioid yang digunakan
sebagai kombinasi diganti dengan opioid lain yang lebih poten.10,14
33
menurunkan inflamasi yang diinduksi oleh prostaglandin dan mensensitisasi
neuron sensorik aferen primer. COX-1 terdapat pada ginjal, saluran cerna dan
pada platelet sementara COX-2 terdapat sedikit di jaringan, akan tetapi meningkat
ketika terjadi inflamasi. Sehingga dengan menghambat COX-2 secara selektif,
proses inflamasi yang dimediasi oleh prostaglandin dapat ditekan dan sekaligus
menghindari toksiksitas akibat hambatan pada COX-1. Akan tetapi sedikit sekali
data tentang dosis penggunaan selektif COX-2 inhibitor yang aman pada anak.10,14
34
Diclofenac memiliki efek antiinflamasi yang lebih kuat dibandingkan
acetaminophen dan ibuprofen. Akan tetapi insiden nephrotoxicity dan komplikasi
pada saluran cerna cukup tinggi akibat penggunaan obat ini. Obat ini tersedia
dalam sediaan tablet, sirup dan supositoria dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB per 12
jam.
Ketorolac contoh lain dari NSAIDs, sering digunakan dengan
dikombinasikan dengan opioid sebagai analgesia pasca pembedahan pada anak
maupun pada orang dewasa. Pemberiannya yang dikombinasikan dengan opioid
dikatakan dapat menurunkan keperluan opioid sampai 30% dalam 12 jam pertama
pasca pembedahan. Dosis penggunaan ketorolac yang direkomendasikan 0,25-0,5
mg/kg BB.10
Efek samping yang sering dijumpai pada penggunaan NSAID adalah
peningkatan resiko perdarahan, trombositopenia, pemicu serangan asma,
peningkatan denyut jantung, retensi natrium dan air, ulkus pada saluran
pencernaan, hepatotoksik dan nephrotoksik, mual dan muntah. 10
b. Opioid analgetik
35
Opioid merupakan semua zat sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor opioid. Diketahui bahwa opium banyak mengandung alkaloid. Kodein
merupakan bentuk komersial dari morfin7
Terdapat 5 macam reseptor opioid yaitu Mu, Kappa, Sigma, Delta dan
Epsilon pada sistem saraf pusat maupun perifer untuk menghasilkan efek
analgesia. (cancer). Reseptor mu (µ) banyak terdapat pada sistem saraf pusat,
berpengaruh terhadap terjadinya depresi pernafasan, dan ketergantugan obat.
Reseptor kappa dan delta banyak terdapat di korteks serebri dan substansia
gelatinosa dorsal horn sehingga mempengaruhi rangsang nyeri pada tingkat
spinal.7
Tabel 7. Kalsifikasi reseptor opioid
Reseptor Efek Klinis Agonis Antagonis
Mu ) Analgesia(suprspinal,spinal), Morfin,Endorfin(metenkepha Nalokson,Naltrexon
eforia,miosis,bradikardi, lin, Β endorphin), opioid Nalmefen
hipotermi,retensi urin sintetik
Mu Analgesia(spinal),depresi Morfin,Endorfin Nalokson,Naltrexon
pernafasan,ketergantunganfisi (metenkephalin, Nalmefen
k, konstipasi Β endorphin), opioid sintetik
Kappa SedasiAnalgesia ( supraspinal, Morfin, Nalbuphine, Nalokson,Naltrexon
spinal), disforia, low abuse Butorphanol, Dynorphin, Nalmefen
potensial, miosis, dieresis Oxycodone
Delta Analgesia(supraspinal, Endorfine(Leu-enkhapalin,β Nalokson,Naltrexon
spinal), depresi pernafasan, endorphin) Nalmefen
ketergantungan fisik,
konstipasi minimal,retensi
urin, epileptogen, behavioral
Sigma( Disforia,halusinasi,stimulasi Pentazocain
pernafasan Nalorphine
Ketamine
Epsilon Respon hormonal
(
36
b. Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis
merangsang reseptor
Contoh: nalokson, naltrekson
c. Agonis-Antagonis
Merupakan opioid yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor
dan sebagai antagonis pada beberapa reseptor lain. Contoh: Buprenorfin
Efek samping opioid yang sering adalah konstipasi, sedatif, gatal, mual
dan muntah. Depresi pernafasan yang selalu menjadi alasan ketakutan tenaga
kesehatan memberikan opioid dari beberapa penilitian dikatakan jarang terjadi.
Resiko depresi pernafasan semakin menurun secara signifikan apabila anak
menggunakan opioid dalam jangka waktu yang lama.6 Disaat terjadi depresi
pernafasan yang ringan, pertolongan yang bisa diberikan adalah dengan
membangunkan anak dan segera memberikan oksigen dan selanjutnya dosis
opioid diturunkan sebanyak 25 %, namun apabila terjadi depresi pernafasan yang
cukup berat pemberian antidote diperlukan yaitu naloxone dengan dosis 0,2
mcg/kg IV setiap dua menit sampai klinis pasien membaik. Naloxone adalah
antagonis selektif relatif reseptor mu. Respon yang dihasilkan oleh pemberian
naloxone ini cukup cepat dan spesifik.14
Semua opioid mempunyai resiko untuk mengalami toleransi dan adiksi.
Toleransi merupakan salah satu efek samping akibat penggunaan opioid dalam
jangka waktu yang lama. Pada toleransi terjadi penurunan efek opioid sebagai
analgesia walaupun dosis yang diberikan sama seperti sebelumnya sehingga
diperlukan peningkatan dosis opioid yang digunakan untuk mencapai efek yang
sama seperti sebelumnya. Selain penambahan dosis, cara lain yang bisa dilakukan
adalah dengan mengkombinasikan opioid dengan adjuvant maupun mengganti
dengan opioid lain.14
Pasien yang telah menggunakan opioid selama lebih dari 3 minggu dan
telah siap untuk menghentikan penggunaan opioid disarankan untuk mengalami
penurunan dosis (tapering of) terlebih dahulu sebelum menghentikan opioid
sepenuhnya. Hal ini dilakukan dengan menurunkan dosis sebanyak 20 % setiap
dua hari namun apabila terdapat gejala-gejala withdrawl (flu like symptoms,
37
abdominal cramping dan diare) dosis diturunkan lebih kecil dalam waktu yang
lebih panjang.14
Penggunaan opioid pada anak usia kurang dari dua bulan harus dengan
pengawasan yang ketat karena eliminasi yang cenderung lebih lama sehingga
kemungkinan efek samping depresi pernafasan lebih tinggi dibandingkan usia
lebih tua.13,14
Morfin
Morfin dapat dibuat dari bahan getah papaver somniferum atau dibuat
secara sintetik. Morfin memiliki durasi kerja yang cukup panjang. Terhadap
sistem saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan
depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosional, hipoventilasi alveolar.
Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatik, miosis, mual, muntah, hiperaktif
refleks spinal, konvulsi, dan sekresi hormon antidiuretik (ADH) Morphine masih
menjadi pilihan analgesia pada anak dengan dosis pemberian secara bolus 0,1
mg/kgBB. Morfin dapat diberikan secara subkutan, intramuskular, intravena,
epidural atau intratekal 2,4
Morfin tidak menimbulkan depresi sistem sirkulasi, namun pada dosis
besar merangsang vagus dan berakibat bradikardi walaupun tidak mendepresi
miokardium
Terhadap sistem respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan
histamin, sehingga menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh karena itu
dikontraindikasikan pada kasus asma dan bronkitis kronis. Terhadap sistem
saluran cerna morfin menyebabkan kejang otot usus sehingga terjadi konstipasi.
Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik. Terhadap sistem ekskresi
ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-buli yang berakibat
retensio urine.2,4
Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin namun memiliki efek klinis dan efek samping yang
hampir sama dengan morfin. Perbedaan dengan morfin sebagai berikut:2
a. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air.
38
b. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin,
asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah
metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi 2 kali lipat petidin,
tetapi efek analgesiknya sudah berkurang 50%.
c. Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek pada
sfingter Oddi lebih ringan.
d. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Dosis petidin secara bolus 0,8-1 mg/kgBB intramuskular 1mg/kgBB
(morfin 10x lebih kuat).
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik agonis opioid yang berasal dari
phenylpiperidin yang secara struktural berhubungan dengan petidin dengan
kekuatan 100 kali morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan
menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena, ambilan dan
distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar
dirusak paru ketika pertama melewatinya. Fentanil diberikan secara intravena
yang paling tepat diberikan pada anak yang diberikan ventilasi preoperative dan
tetap diventilasi postoperasi. Obat ini diberikan secara bolus IV 0,5-1 mcg/kg.2,4
39
Tabel 9. Dosis equivalensi opioid
Keterangan :
40
1
+++, ++, + agonis kuat; + agonis parsial; -, - -, antagonis
2
Tersedia dalam bentuk sustained-release
3
Digunakan sebagai infus dengan dosis 0,025 – 0,2 mcg/kg/menit
4
Tersedia dalam bentuk tablet mengandung asetaminofen
5
Tersedia dalam bentuk tablet mengandung asetaminofen atau aspirin
6
Efikasi pada dosis ini tidak setara dengan 10 mg morfin.
41
rangsang atau sensasi tidak sampai ke susunan saraf pusat. Keadaan ini
menimbulkan keadaan parastesia sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan
vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok.2,3
Tabel 10. Jenis Obat anesthesia lokal
Obat Spinal Caudal/Lumbar Perip Subkut
(mg/kg) Epidural (mg/kg) heral an
(mg/
kg0
Ester
-Chloroprocaine NR 8-10 8-10 8-10
-Procaine NR NR 8-10 8-10
-Tetracaine(0,5-1%) 0,2-0,6 NR NR NR
Amida
-Lidocaine (0,5-2%) 1-2,5 5-7 5-7 5-7
-Bupivacaine (0,0625-0,5%) 0,3-0,5 2-3 2-3 2-3
-Etidocaine (0,5-1%) NR 3-4 3-4 3-4
-Prilocaine NR 5-7 5-7 5-7
42
Tabel 12. Dosis dan indikasi penggunaan obat-obatan adjuvant untuk mengontrol
efek samping opioid analgesia
43
44
2. Metode Non Farmakologi14
Keefektifannya dalam mengeliminasi nyeri jarang mencapai 100% oleh
karena itu metode non farmakologi ini lebih sering digunakan dengan
mengkombinasikan dengan pendekatan farmakologi. Pendekatan non farmakologi
yang digunakan lain hypnosis, terapi behavioral dan akupuntur. Selain itu dengan
pengalihan perhatian anak dari rasa nyeri yang dirasakannya dengan melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu yang membuat anak nyaman dan melupakan nyeri yang
45
yang dirasakannya. Pengalihan perhatian pada anak dikatakan efektif untuk
mengurangi nyeri yang dialami. Pengalihan perhatian secara sederhana dapat
dilakukan dengan menyuruh anak untuk membaca buku, meniup balon,
mendengarkan musik dan berhitung. Untuk anak yang lebih kecil hal ini bisa
dilakukan dengan menyentuh dan menggendongnya sambil mengajak anak
bermain. Disini diperlukan peran dari orang tua untuk memahami perasaan anak
sehingga anak dapat lebih nyaman dan dapat mengalihkan perhatiannya terhadap
rasa nyeri yang dirasakannya.
46
BAB III
PENUTUP
47
memiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri-sendiri sehingga dapat
dipilih penggunaanya berdasarkan indikasi-indikasi tertentu.
2. Metode non farmakologi dengan pengalihan perhatian anak dari rasa nyeri
yang dirasakannya dengan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang
membuat anak nyaman dan melupakan nyeri yang yang dirasakannya.
48