Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri, seperti yang telah banyak orang ketahui, merupakan suatu pengalaman yang
tidak mengenakkan yang melibatkan komponen sensorik dan emosional dari
seseorang.1 Hampir tidak ada orang di dunia ini yang tidak pernah mengalami nyeri
dalam hidupnya. Dari intensitas yang ringan hingga berat, nyeri memberikan
kontribusi yang besar dalam kehidupan manusia baik sebagai hal yang tidak
menyenangkan di satu sisi, dan di sisi lain sebagai suatu hal yang menyebabkan orang
lebih waspada terhadap ancaman di sekitarnya.1
Nyeri bersifat unik karena selain menimbulkan derita, nyeri juga memberikan
suatu manfaat bagi individu tersebut terutama untuk nyeri akut. Pertama, nyeri
berperan sebagai suatu mekanisme proteksi dimana dengan adanya nyeri sesorang
bisa bereaksi terhadap suatu trauma sehingga menghindari terjadinya kerusakan
jaringan tubuh.1 Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan imobilisasi organ yang
mengalami kerusakan sehingga bisa mempercepat penyembuhan dan yang terakhir
nyeri bisa berperan sebagai penunjang diagnostik seperti nyeri pada ibu hamil cukup
bulan yang menunjukkan persalinan sudah mulai. 1
Nyeri dapat terjadi secara akut maupun kronik. Nyeri akut merupakan nyeri
yang munculnya baru dan durasinya singkat. Penyebab nyeri ini biasanya
berhubungan dengan trauma atau penyakit (misalnya nyeri pasca operasi, apendisitis,
patah tulang).1,2 Nyeri akut disertai hiperaktivitas saraf otonom dan umumnya mereda
dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.10 Bila pengelolaan nyeri dan
penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri dapat berkembang
menjadi nyeri kronik. Nyeri kronik merupakan nyeri yang berkepanjangan dapat
berbulan-bulan tanpa tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut.10
Nyeri pasca pembedahan termasuk salah satu nyeri akut, dan biasanya
memiliki intensitas yang semakin berkurang semakin hari. Akan tetapi apabila terapi
yang tidak adekuat bisa merubah nyeri ini menjadi nyeri kronik. Pembedahan
menyebabkan terjadinya pemecahan protein, agregasi platelet dan penurunan sistem

1
imunitas tubuh. Selain itu pelepasan dari katekolamin menyebabkan takikardia dan
hipertensi yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia miokard. 11 Untuk mencegah
semua komplikasi yang mungkin timbul tersebut maka diperlukan penanganan yang
bauk terhadap nyeri pasca pembedahan tersebut.
Pada pasien yang dirawat di ICU dengan pulmonary dysfunction, gagal
jantung dan penggunaan ventilator merupakan sumber nyeri dari pasien-pasien
tersebut. Penatalaksanaan nyeri pada pasien di ICU sangat penting mengingat kondisi
kesehatan pasien yang dirawat di ICU tidak stabil. Menurut penelitian pasien
merasakan nyeri dengan pemakaian pipa endotrakeal sekitar 77%, rasa tidak nyaman
akan nyeri derajat sedang hingga berat sekitar 82% dan adanya recall pain sekitar
38%. 1
Respon individu terhadap suatu stimulus nyeri sangat bervariasi, dipengaruhi
oleh kultur budaya setempat, umur, jenis kelamin dan genetik.1 Pasien-pasien pediatri,
geriatri ataupun pasien dengan kesulitan komunikasi akibat kondisi penyakit yang
telah parah, gangguan kognitif maupun akibat perbedaan bahasa cenderung
mendapatkan terapi yang tidak adekuat sehingga tujuan terapi nyeri seperti
peningkatan kualitas hidup pasien dan mempercepat pemulihan sehingga bisa pasien
pulang lebih cepat dari rumah sakit tidak tercapai.10

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi, Patofisiologi dan Klasifikasi Nyeri


Nyeri didefinisikan sebagai bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan.1 Nyeri tidak hanya bisa menimbulkan penderitaan, namun nyeri
juga berfungsi sebagai mekanisme defensif, proteksi, dan penunjang diagnostik. 1
Nyeri timbul akibat adanya rangsangan pada nosiseptor – reseptor nyeri yang terdapat
pada ujung serabut saraf pada kulit, tulang, jaringan ikat, dan organ. Sensasi nyeri
ditransmisikan melalui serat saraf aferen A delta dan C. Serat saraf A delta merupakan
serat bermyelin yang mengantarkan impuls nyeri secara cepat. Serat saraf C
merupakan serat tanpa myelin yang mentransmisi impuls lebih lambat dari serat A
delta.2
Sensasi nyeri dimodulasi oleh berbagai jenis neurotransmiter di level sinap :
serotonin, noradrenaline, prostaglandin, substance P, endorphins dan enkephalins
merupakan beberapa diantaranya. Neurotransmitter tersebut aktif pada level
nosiseptor, medulla spinalis, dan otak. Beberapa neurotransmitter dapat
mengamplifikasi atau memperburuk stimulasi, contohnya adalah prostaglandin yang
diproduksi saat infeksi atau saat proses metastasis. Namun ada juga neurotransmitter
yang meredam stimulasi nyeri, contohnya opioid-like Endorphins. Strategi
manajemen nyeri secara farmakologis maupun non farmakologis bekerja pada atau
menyerupai neurotransmitter tersebut. Kortikosteroid dan NSAID (nonsteroidal anti-
inflammatory drugs) menghambat produksi prostaglandin dan mencegah aktivasinya
pada nosiseptor. Golongan Opioid (seperti morfin) bekerja mirip dengan endorfin dan
enkephalins yang meredam stimulasi nyeri. 2
Beberapa klasifikasi nyeri yang sering digunakan, antara lain:1
1. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar

3
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran
mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan
pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
c. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi
nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan
nyeri alih parietal.
2. Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:1
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai
dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi, hipertensi,
hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah: menyeringai atau
menangis.
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda aktivitas otonom
kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan
sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri
akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
 Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
 Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
3. Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri onkologik
b. Nyeri non onkologik
4. Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:1
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari
dan menjelang tidur.

4
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila
penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat
tidur dan dering terjaga akibat nyeri.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 1
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)
Aksis IV : waktu mula/onset terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
Menurut patofisiologinya nyeri dikategorikan dalam 2 kategori, nyeri nosiseptif dan
nyeri neuropati.
2.1.1 Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif diakibatkan oleh stimulasi nosiseptor pada sistem saraf
perifer. Nosiseptor tersebut mendeteksi adanya perlukaan jaringan yang diakibatkan
oleh stimulus mekanik (tekanan atau regangan), kimia, maupun thermal. Karakteristik
utama nyeri nosiseptif adalah : dimediasi oleh stimulasi langsung nosiseptor (yang
terletak di kulit, otot, sendi, dan organ – organ visera). Ditransmisikan melalui sistem
saraf (serat afferen A delta dan C) melewati kornu posterior medulla spinalis
dilanjutkan ke jalur asending menuju talamus dan pusat lain di otak. Nyeri nosiseptif
dapat berupa nyeri akut atau kronik. Nyeri akut biasanya disebabkan oleh kejadian
yang diketahui penyebabnya, contohnya operasi, dan membaik dalam waktu 6
minggu. Nyeri nosiseptif kronik bertahan lebih lama dari nyeri nosiseptif akut. Nyeri
nosiseptif kronik disebabkan oleh stimulasi berulang pada nosiseptor, seperti pada
kanker yang tidak bisa diangkat atau yang sudah menyebar. 3
Nyeri nosiseptif bisa dibagi menjadi nyeri somatik dan nyeri visera
berdasarkan lokasi dari nosiseptornya. Nyeri somatik berasal dari stimulasi nosiseptor
yang terdapat pada sistem saraf somatik dari kulit, otot, tulang, dan integumen. Pasien

5
yang mengalami nyeri somatik mampu mengidentifikasi lokasi pasti nyeri yang
dialaminya, karena lokasi sebaran sistem saraf somatik yang jelas. Pasien biasanya
dapat melokalisasi tempat nyeri secara tepat karena susunan saraf somatik yang
spesifik. Nyeri tersebut biasanya di deskripsikan sebagai nyeri tajam, seperti ditusuk
pisau, dan berdenyut. Sebagi contoh, pada kulit yang diinsisi, pada tulang tempat
terjadinya metastasis, atau pada luka bakar kulit akibat radiasi. 3
Nyeri visera berasal dari stimulasi nosiseptor pada organ – organ visera
seperti usus, lien, hati, dan lainnya. Nyeri tipe ini di modulasi oleh sistem saraf
otonom. Berbeda dengan nyeri somatik, pasien yang mengalami nyeri visera biasanya
susah melokalisir dan mendeskripsikan nyeri yang dialaminya. Hal tersebut
diakibatkan karena sistem saraf otonom memiliki serabut saraf yang tidak bermyelin
dan terjalin dalam banyak plexus saraf. Biasanya pasien mendeskripsikan nyeri tidak
terlokalisir melainkan menunjukkan sebuah regio pada tubuh, contohnya nyeri pada
seluruh abdomen. Deskripsi yang diberikan biasanya berbentuk keram yang
menyebar atau perih. Nyeri visera juga bisa berupa nyeri alih, contohnya pasien
dengan pembesaran hati akibat proses metastasis bisa mengalami nyeri pada
pundaknya. 3
Inflamasi lokal mempunyai peran penting dalam nyeri nosiseptif melalui
beberapa mekanisme; pelepasan prostaglandinds, substansi P, serotonin, histmain
,asetilkolin, dan bradikinin. Mediator & neurotransmitter ini menyebabkan
peningkatan sensitifitas nosiseptor dengan meningkatkan influks ion kalsium kedalam
nosiseptor. Neurotransmitter ini juga berikatan dengan reseptor post-sinap yang
menstimulasi peningkatan permeabilitas natrium dan kalium, dan menghasilkan
subthreshold depolarizaion. Dampaknya adalah, ambang depolarisasi post sinap
menurun, sehingga memudahkan transmisi impuls saat vesikel neurotransmitter
dilepaskan dari presinap. Dampak lainnya adalah teraktivasinya nosiseptor yang
awalnya inaktif. 7
Traktus spinothalamikus menerima input dari serabut saraf perifer dan
mentransmisikan stimulus noxious, raba non-diskriminatif, tekanan dan suhu. Traktus
spinothalamikus mempunyai neuron kedua yang terletak di di cornu posterior

6
kontralateral. Neuron traktus spinotalamikus naik menuju batang otak dekat dengan
lemniskus medialis sehingga disebut spinal lemniskus. Sebagian besar serat
terbentang hingga nukleus ventral posterior pada thalamus dimana dia bersinap
dengan neuron ketiga yang berlanjut menuju korteks somatosensoris di girus
postcentralis cerebrum. 3
Serat C yang tidak bermyelin terbentang hingga ke batang otak dan berakhir
di formasio retikularis, khususnya di medulla oblongata. Serat tersebut selanjutnya
terbentang menuju nukleus intralaminar di thalamus, bersambung dengan neuron
ketiga yang terhubung dengan korteks. Reflex withdrawal pada ekstremitas setelah
rangsang nyeri diakibatkan oleh neuron afferen primer yang mendeteksi nyeri
mengeksitasi interneuron di substantia grisea medulla spinalis. Interneuron tersebut
bersinap dengan neuron motorik alfa dari otot – otot fleksor, yang menyebabkan
kontraksi otot sehingga ekstrimitas menjauhi stimuli. Apabila fleksi melibatkan
banyak sendi, diperlukan koordinasi antara banyak segmen medula spinalis melalui
kolateralisasi aferen primer dan interneuron. Terdapat juga refleks silang ekstensor
yang memungkinkan fleksi dari kaki yang diseimbangi dengan refleks ekstensor kaki
yang berlawanan untuk menopang berat badannya sejenak. Contohnya adalah ketika
kita menginjak paku, terjadi fleksi pada kaki yang menginjak dan ekstensi kaki yang
lainnya untuk menopang berat tubuh. 7

Gambar 1 Gambar skematik transmisi sensasi nyeri melalui serabut saraf A delta dan C menuju
7
medulla spinalis, dimana terjadi penyilangan dan naik menuju thalamus untuk disebar
ke bagian – bagian di otak.7
2.1.2 Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik berasal dari perubahan patofisiologis yang terjadi pada
sistem saraf pusat atau perifer. Perubahan pada sistem saraf perifer bisa disebabkan
oleh trauma (misalnya akibat luka operasi), distorsi (akibat invasi struktur normal
oleh kanker), terapi kanker (seperti kemoterapi & radiasi), proses penyembuhan
serabut saraf perifer, dan bahkan pada nyeri yang tidak ditanggulangi. Perubahan
sistem saraf pusat mencakup sensitisasi dan central pain syndrome. Berbeda dengan
nyeri nosiseptif, penyebab nyeri neuropatik lebih sulit untuk diidentifikasi. 7 Properti
patofisiologi nyeri neuropatik dapat digolongkan kedalam 5 point : 1. Generasi
impuls ektopik pada serat aferen primer yang mengalami cidera, 2. Interaksi serat, 3.
Sensitisasi sentral, 4. Disinhibisi (kegagalan atau penurunan mekanisme inhibisi),
5.Plastisitas (perubahan degeneratif dan regeneratif sehingga mengganggu
transmisi).4
Perubahan pada sistem saraf perifer mencakup perubahan pada pompa
natrium sehingga memicu aktifitas ektopik. Perubahan tersebut juga diikuti oleh
stimulasi oleh jalur asam amino eksitatori pada medula spinalis, dengan glutamat
sebagai substans utamanya. Reseptor N-metil-D-Aspartat di stimulasi oleh glutamat
sehingga meningkatkan transmisi nyeri. Dengan kata lain, tidak semua bagian nervus
yang berperan dalam nyeri neuropatik mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan oleh
terganggunya mekanisme kompensasi pada seluruh sistem saraf sehingga
mengganggu fungsi normalnya. Patofisiologi nyeri dapat disimpulkan ke dalam
beberapa poin penting diantaranya:
1. Mekanisme nyeri neuropatik berbeda dengan nyeri nosiseptif
2. Munculnya generator impuls pada beberapa tempat yang tidak bergantung
pada stimulus.
3. Pada saraf perifer, generasi impuls ektopik terjadi akibat adanya pompa
natrium abnormal.
4. Sensitifitas kimia abnormal muncul pada neuron sensori primer yang
mengalami kerusakan, terutama pada katekolamin.

8
5. Perubahan degenratif yang diikuti oleh regeneratif pada medulla spinalis dapat
memicu transmisi abnormal, dan kemungkinan terjadi reorganisasi permanen
yang ireversibel.
6. Cidera pada salah satu bagian sistem saraf dapat menyebabkan perubahan
patofisiologis pada bagian yang lebih rostral. 4
Kualitas nyeri neuropatik biasanya sulit untuk dideskripsikan, karena biasanya
diluar pengalaman nyeri yang biasa mereka rasakan.

Tabel 1 Gejala klinis nyeri neuropatik4

2.2 Nyeri pada pasien di ICU


Berdasarkan guideline terbaru, dikatakan bahwa nyeri merupakan hal yang sering
terjadi pada pasien di ICU, dimana insidenya mencapai 50% pada pasien medik,
bedah, maupun trauma saat pasien istirahat, dan meningkat sampai 80% saat
menjalani prosedur perawatan umum. Suction dan drain removal dilaporkan sebagai
prosedur rutin yang menimbulkan keadaan sangat nyeri.5
Pada pasien yang dirawat di ICU dengan pulmonary dysfunction, dikatakan
bahwa gagal jantung dan penggunaan ventilator merupakan sumber nyeri dari pasien-
pasien tersebut. Penatalaksanaan nyeri pada pasien di ICU sangat penting mengingat
kondisi kesehatan pasien yang dirawat di ICU tidak stabil. Menurut penelitian pasien
merasakan nyeri dengan pemakaian pipa endotrakeal sekitar 77%, rasa tidak nyaman
akan nyeri derajat sedang hingga berat sekitar 82% dan adanya recall pain sekitar
38%. 1

9
Pelaksanaan pengobatan nyeri yang optimal ditentukan oleh 3 bagian, yaitu
pasien itu sendiri, tim pelayanan kesehatan, dan sistem pelayanan kesehatan. Hal
yang paling sering menyebabkan kegagalan dalam menilai adanya suatu nyeri adalah
defisit pengetahuan baik tentang penilaian nyeri dan prinsip penatalaksanaan, bias
personal dan bias kebudayaan, dan defisit komunikasi antara pasien dan tim
pelayanan kesehatan.6

Tabel 2. Faktor yang berperan dalam penilaian nyeri6

10
2.3 Evaluasi nyeri pasien di ICU
Evaluasi nyeri penting dilakukan untuk memastikan pasien mendapatkan terapi yang
aman, efektif dan terindividualisasi. Evaluasi dan penilaian nyeri merupakan hal yang
mendasar dalam proses mendiagnosis penyebab nyeri pada pasien, memilih terapi
analgesik yang sesuai dan re-evaluasi yang diikuti oleh modifikasi terapi sesuai
dengan respon masing – masing pasien. Nyeri harus dievaluasi dalam cakupan model
biopsikososial yang meliputi faktor – faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan
sosial sehingga evaluasi nyeri yang komprehensif dapat tercapai.
Penatalaksanaan nyeri pada pasien kritis tergantung dari kemampuan para
klinisi untuk melakukan penilaian nyeri dan memantau pasien setiap waktu untuk
memastikan intervensi terapi apa yang paling tepat untuk terapi nyerinya. Laporan
nyeri secara langsung dari pasien merupakan “gold standar” dan klinisi harus bisa
mengetahui nilai nyeri yang dialami pasien tersebut. Chanques dan koleganya
mendemonstrasikan metode penilaian nyeri dengan numeric rating scale (NRS), yaitu
dengan angka 0-10 merupakan cara penilaian intensitas nyeri yang paling valid pada
100 pasien ICU. Apabila pasien kritis tidak bisa melaporkan nyeri secara langsung
maka penilaian nyeri komprehensif diperlukan untuk mengevaluasi intensitas nyeri.
Perubahan variabel fisiologi (heart rate, tekanan darah, respiratory rate) sebagai
respon terhadap aksi nosiseptif merupakan penilaian tidak spesifik di ICU. Sehingga
para klinisi harus memakai alat penilaian nyeri yang terstruktur, valid, dan dapat
dipercaya. Alat untuk monitoring nyeri secara objektif tidak ada, namun alat penilaian
nyeri yang valid dan dapat dipercaya adalah perilaku pasien sendiri.5
Walaupun review tentang behavioral pain assessment (BPS) sudah
dipublikasikan, diskusi terbaru masih diperlukan tentang perkembangannya, validasi,
dan aplikasinya terhadap pasien-pasien di ICU. Beberapa studi terbaru mengatakan
bahwa dengan mengimplementasikan BPS dapat memperbaiki penatalaksanaan nyeri
di ICU dan efek klinis, termasuk penggunaan analgesik dan sedatif, serta
memperpendek durasi pemakaian ventilator serta lamanya di ICU. Guideline terbaru
menyebutkan beberapa poin dalam penilaian nyeri, yaitu:5
i. Nyeri harus dimonitor pada semua pasien dewasa di ICU

11
ii. Behavioral Pain Scale (BPS) dan Critical-Care Pain Observation Tool
(CPOT) merupakan alat yang paling valid dan dapat dipercaya untuk
memonitor nyeri pada pasien ICU dewasa medik, postoperative, atau
trauma (kecuali trauma otak) yang tidak bisa melaporkan nyeri secara
langsung.
iii. Tidak disarankan untuk hanya menggunakan penilaian tanda vital dalam
mengevaluasi nyeri pada pasien ICU dewasa.
iv. Direkomendasikan bahwa perubahan tanda vital merupakan tanda untuk
memulai penilaian nyeri pada pasien.

2.3.1 Non Verbal Pain Assessment


Sebagian besar pasien ICU merupakan pasien yang tidak sadar dan tidak
mampu untuk mengungkapkan rasa sakit ataupun nyeri. Pasien-pasien seperti ini
bergantung pada para klinisi dalam menilai nyeri dan menindak lanjutinya secara
tepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu alat penilaian yang benar-benar valid dan
dapat dipercaya, seperti BPS dan CCOT. Alat ukur ini dapat digunakan untuk pasien-
pasien yang tidak mampu berbicara atau tidak sadar dengan fungsi motorik yang
masih normal.

2.3.1.1 Behavioral Pain Scales (BPS)


BPS merupakan penilaian nyeri berdasarkan jumlah skor dari 3 item, yaitu:
ekspresi wajah, pergerakan anggota gerak atas, dan compliance terhadap ventilasi.
Ekspresi wajah diadopsi dari studi Prkachin, dimana pada studi itu disebutkan bahwa
informasi nyeri didapat dari 4 ekspresi, yaitu eyebrow lowering, orbit tightening,
penutupan kelopak mata, dan upper lip raising. Pergerakan anggota gerak atas dan
compliance terhadap ventilasi diadaptasi dari skala COMFORT dan skala Harris.
Pada penilaian ini terdapat skor yang menunjukkan indikator intensitas nyeri dari 1
(tidak berespon) sampai 4 (respon maksimal).8

Deskripsi Skor
Ekspresi wajah Rileks 1

12
Setengah tegang 2
(penurunan alis mata)
Seluruhnya tegang 3
(penutupan kelopak mata)
Menyeringai 4
Anggota gerak atas Tidak bergerak 1
Setengah bengkok 2
Seluruhnya bengkok 3
dengan fleksi jari-jari
Penarikan jari-jari secara 4
permanen
Pemenuhan dengan Terkontrol 1
ventilasi mekanik Batuk namun ventilasinya 2
masih terkontrol
Melawan ventilator 3
Ventilasi tak terkontrol 4

Tabel 3. Behavioral Pain Assessment8

2.3.1.2 Critical-Care Pain Observation Tool


CPOT terdiri dari 4 bagian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan tubuh, ketegangan otot,
dan compliance dengan ventilator. Setiap bagian mempunyai skor 0 sampai 2, dengan
maksimal skor 8. Alat ini dikatakan merupakan alat yang valid dan dapat dipercaya
sebagai alat untuk penilaian nyeri.9

Indikator Deskripsi Skor


Ekspresi wajah Tidak ada ketegangan otot Rileks, netral 0
Adanya dahi yang mengkerut, Tegang 1
penurunan alis mata, ketegangan
mata, dan kontraksi otot levator

13
Semua pergerakan wajah di atas, Menyeringai 2
ditambah penutupan kelopak mata
Pergerakan tubuh Tidak ada pergerakan Tidak ada pergerakan 0
Lambat, pergerakan secara hati- Proteksi 1
hati, menyentuh atau menggosok
bagian yang nyeri
Melepas tube, berusaha bangun, Gelisah 2
pergerakan angota gerak, tidak
mengikuti instruksi, menendang
staf
Ketegangan otot Tidak ada tahanan Rileks 0
(dievaluasi Ada tahanan Tegang, kaku 1
Ada tahanan yang kuat Sangat tegang, kaku 2
dengan fleksi
dan ektensi
ekstrimitas atas)
Pemenuhan Alarm tidak teraktivasi, ventilasi Tertoleransi dengan 0
dengan ventilator mudah Ventilator
(pasien Alarm berhenti secara spontan Batuk namun 1

terintubasi) Tertoleransi
Asinkroni: ventilasi terblok, alarm Melawan ventilator 2
sering teraktivasi
Atau,
Vokalisasi (pasien Berbicara dengan nada normal Berbicara dengan 0
terekstubasi) atau tidak berbicara nada normal atau
tidak berbicara
Merintih Merintih 1
Menangis dengan keras Menangis dengan 2
Keras
Total Jumlah semua katagori 0-8

Tabel 4. Critical-Care Pain Observation Tool

2.3.2 Verbal Pain Assessment

14
Evaluasi nyeri akut dimulai dengan skreening nyeri pada semua pasien saat evaluasi
awal, saat follow-up reguler, dan setiap terapi baru dimulai. Apabila pasien mengeluh
nyeri saat skrining, intensitas nyeri harus segera dievaluasi. Pengalaman nyeri dapat
dievaluasi menggunakan skala unidimensional dan multidimensional.7 Skala
unidimensional biasanya digunakan untuk skrining dan evaluasi intensitas nyeri
secara cepat, yang biasanya digunakan dalam evaluasi nyeri dengan onset baru yang
bersifat akut. Skala unidimensional dapat berupa NRS (numerical rating scale),
categorical scale atau pictorial scale (FPRS – Face Pain Rating Scale). Sedangkan
skala multidimensional digunakan untuk evaluasi pengalaman nyeri secara
keseluruhan, yang tidak hanya mencakup intensitas namun juga karakteristik hingga
dampak nyeri terhadap kehidupan sosial pasien. Contoh skala multidimensional
adalah Brief Pain Inventory dan McGill Pain Questionnaire. McGill Pain
Questionnaire dapat digunakan untuk mengevaluasi seseorang yang mengalami nyeri
yang signifikan. Alat ini bisa dipakai untuk memonitor nyeri dari waktu ke waktu dan
untuk mencari tau efektivitas dari semua pengobatan. 13 Brief Pain Inventory (BPI)
merupakan salah satu alat penilaian nyeri yang dapat diisi sendiri oleh pasien. Tujuan
utama dari BPI ini adalah menjelaskan intensitas dan derajat nyeri. Umumnya BPI
digunakan untuk menilai beberapa faktor, diantaranya derajat nyeri, efek nyeri
terhadap fungsi kehidupan sehari-hari, lokasi nyeri, pengobatan nyeri, dan jumlah
obat penghilang nyeri pada periode waktu yang spesifik.14
NRS dapat dievaluasi secara verbal maupun visual. VNRS (Verbal NRS)
biasanya dinilai menggunakan pertanyaan ‘antara skala 0 – 10, dengan 0 menyatakan
tidak adanya nyeri, dan 10 menyatakan nyeri terburuk yang pernah dialami, pada
skala manakah nyeri yang anda rasakan saat ini?’. Bentuk visual dari NRS berupa
garis atau kotak dengan garis – garis nomor dari 0 hingga 10. Bentuk visual NRS
yang lain adalah VAS (visual analogue scale) yang merupakan sebuah petak dengan
panjang 100mm (10cm) tanpa adanya garis – garis nomor dan disertai kata ‘tidak ada
nyeri’ disebelah kiri petak dan ‘nyeri terburuk yang pernah dialami’ di sebelah kanan
petak. Pasien biasanya diminta untuk menunjuk satu titik pada petak, dan hasil

15
‘skor’nya diukur dari kiri menggunakan penggaris sehingga jarak dalam mm/cm-nya
dapat ditentukan.7
Categorical scale menggunakan kata – kata untuk mendeskripsikan intesitas
nyeri. Contoh yang paling sering digunakan adalah VDS (verbal descriptor scale).
VDS menggunakan istilah seperti tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, dan
nyeri berat yang dideskripsikan oleh pasien. Istilah tersebut lalu di konversi kedalam
skor numerik (contohnya, 0, 1-3, 4-6, 7-10). Categorical scale digunakan untuk
evaluasi yang simpel dan cepat, dan dapat berguna pada pasien geriatri atau pasien
yang memiliki gangguan penglihatan dan pada anak – anak. Sedangkan FPRS dapat
digunakan pada pasien yang tidak bisa dievaluasi menggunakan skala yang lain
seperti pada anak – anak, pasien geriatri, atau pada pasien dengan kendala bahasa
atau budaya dan kendala komunikasi lainnya. 7
Selain intensitas dari nyeri, karakteristik dari nyeri pasien juga harus
dievaluasi. Apabila pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri, skrining ulang dilakukan
saat kunjungan ulang atau atas permintaan dari pasien. Identifikasi adanya nyeri
melalui skrining berulang penting untuk implementasi manajemen nyeri yang efektif.
Apabila skor skala nyeri lebih dari 0, evaluasi nyeri komprehensif dapat
dilaksanakan. Evaluasi nyeri komprehensif difokuskan pada tipe dan kualitas nyeri,
riwayat nyeri (seperti onset, durasi dan lamanya nyeri), intensitas nyeri (saat istirahat
atau saat beraktifitas), lokasi, pola nyeri alih (reffered pain), faktor asosiasi yang
memperburuk atau memperingan nyeri, rencana terapi nyeri saat evaluasi, respon
terhadap terapi, terapi nyeri sebelumnya, faktor psikososial (stress, dukungan dari
keluarga, riwayat kelainan psikiatri, riwayat faktor resiko penyalahgunaan analgesik,
riwayat undertreatment nyeri), isu – isu lain yang berhubungan dengan nyeri (arti dari
nyeri pada pasien dan keluarganya, budaya dan kepercayaan terhadap nyeri, dan
pertimbangan agama dan spiritual), dan tujuan dan harapan pasien terhadap
manajemen nyeri, termasuk level kenyamanan dan pemulihan fungsi sehari - hari. 7

16
Gambar 2 Poin Evaluasi Pengalaman Nyeri Komprehensif

Selain evaluasi terkait dengan nyeri yang dialami pasien, evaluasi


komprehensif juga harus mencakup pemeriksaan fisik yang menyeluruh serta analisis
lengkap hasil pemeriksaan penunjang pasien. Dengan dilakukannya evaluasi tersebut,
praktisi bisa menentukan korelasi antara nyeri yang dialami pasien dengan suatu
penyebab dasar sehingga bisa diberikan terapi yang spesifik. Hasil akhir evaluasi
komprehensif dari gejala nyeri dapat menentukan asal dan patofisiologi (somatic,
viseral, atau neuropatik) dari nyeri tersebut. Terapi yang diberikan sebaiknya

17
mengacu pada individu berdasarkan temuan klinis dan harapan pasien, dengan tujuan
untuk memaksimalkan fungsi sosial dan kualitas hidup pasien. 7

2.4 Penatalaksanaan Nyeri pada Pasien di ICU


Pada pasien dengan perawatan di ICU yang umurnya berkisar antara 60-69 tahun.
Pasien tersebut umunya dirawat denga berbagai penyakit seperti misalnya komplikasi
pasca operasi, penyakit paru-paru akut dengan disertai kegagalan organ yang
multiple, penyakit paru kronis dan penyakit neurologis. Nyeri dapat bersumber dari
luka pasca operasi, trauma, myocarditis, nyeri organ visceral, dan pemakaian
endotracheal tubes. 11
Penanganan nyeri pada pasien yang dirawat di ICU meliputi :
1. Metode Farmakologi
a. Opioid Analgetik
Opioid seperti fentanyl, hydromorphone, methadone, morphine dan
remifentayl merupakan pengobatan primer pada pasien-pasien yang dirawat di ICU.
Pemilihan opioid dan dosis regimen obat tergantng dari banyak faktor termasuk
farmakokintik dan farmakodinamik obat tersebut. 11
Istilah opioid digunakan untuk menyatakan segala substansi yang
menyebabkan morphine like effect. Opioid bekerja dengan bereaksi pada reseptor
opioid spesifik mu (µ), kappa (κ) dan delta (δ) pada sistem saraf pusat maupun perifer
untuk menghasilkan efek analgesia. Reseptor mu (µ) banyak terdapat pada sistem
saraf pusat, berpengaruh terhadap terjadinya depresi pernafasan, dan ketergantungan
obat. Reseptor kappa dan delta banyak terdapat di korteks serebri dan substansia
gelatinosa kornu dorsalis sehingga mempengaruhi rangsang nyeri pada tingkat spinal.
4,11

18
Tabel 5. Farmakologi dari Analgesik Opiat5

Opioid berdasarkan cara kerjanya bisa diklasifikasikan menjadi agonist kuat,


agonis lemah, parsial agonis dan antagonis. Agonis kuat memiliki potensi agonis
kuat pada satu reseptor yaitu reseptor dan lemah pada reseptor lain. Agonis lemah,
memiliki potensi yang lemah pada reseptor µ. Parsial agonis, bersifat agonis pada

19
satu reseptor dan antagonis pada reseptor lain sementara antagonis berarti opioid
11
tersebut bersifat antagonis pada pada satu atau lebih reseptor opioid. Naloxone
merupakan contoh opioid yang bersfat antagonis pada reseptor µ, κ dan δ. Obat ini
sering digunakan untuk mengatasi depresi pernafasan akibat pemberian opioid.
Pemberiannya secara intravena dan menghasilkan efek yang segera akan tetapi
memilik durasi kerja yang singkat (1-2 jam) akibat metabolisme yang cepat di hepar.
5,11

Obat-obatan opioid yang bekerja sebagai mu agonis merupakan opioid yang


paling sering digunakan dimana salah satu contohnya adalah morphine, fentanyl, dan
codeine. Meperidine umumnya jarang digunakan untuk nyeri pada pasien di ICU
karena berpotensial untuk menyebabkan toksisitas neurologi.11
Morphine dapat digunakan untuk nyeri pada kanker. Morphine merupakan
pengobatan yang standar dilakukan dibandingkan dengan opioid yang lainnya.
Morhine sama seperti pengobatan lain yang diekstraksi dari opium poppies yang
dapat merangsang keluarnya histamine sehingga terjadi alergi dan merangsang
terjadinya vasodilatasi yang menyebabkan instabilitas jantung. Bolus morphine secara
intravena dapat dimulai dengan dosis awal 2mg dan dimasukan secara pelan-pelan
sekitar 4-5 menit dan kemudian di titrasi dengan 1-2 mg setiap 10-15 menit sampai
efek analgesi tercapai. Kemudian dilanjutkan dengan morphine secara intravena
dengan dosis awal 2-5 mg bolus diikuti 1 mg/ jam. Morphine dimetabolisme di hati
dan diekskresikan di ginjal. Pemberian morphine di hindari pada pasien yang tidak
diketahui menderita penyakit ginjal. 5,11
Fentanyl merupakan opioid sintetik yang kerjanya 100 kali lebih kuat
daripada morphine fentanyl ini merupakan lipid soluble sehingga mudan masuk ke
system saraf pusat. Fentanyl tidak seperti morphine, fentanyl tidak merangsang
keluarnya histamine, tetapi dapat menyebabkan vasodilatasi sehingga berpotensi
menyebabkan hipotensi. Fentanyl pada pasien dengan nyeri yang dirawat di ICU
diberikan secara intravena dengan kerja cepat sekitar 30 menit sampai satu jam.untuk
nyeri yang sedang fentanyl dapat diberikan dalam dosis 25-100 mcg bolus secara
intravenalebih dari 1-2 menit dan dapat diulang setiap 10-15 menit sampai efek

20
analgesia tercapai. Untuk nyeri sedang- berat dapat diberikan loading dose 50-200
mcg secara intravena diikuti dengan 25-50 mcg/jam. Pemberian fentanyl lebih dari 5
hari dapat menyebabkan akumulasi pada jaringan lemak yang dapat menyebabkan
prolonged sedation.5,11
Hydromorphone merupakan semisintetik opioid yang kerjanya 5-6 kali lebih
potensial dibandingkan dengan morphine secara parenteral. Untuk pasien dengan
nyeri sedang-berat hydromorphone dapat diberikan dengan dosis awal 0,2-0,6 mg
secara intravena setiap 1 jam. Dan pemberian selanjutnya diberikan secara intravena
dengan dosis awal 0,5-1 mg/jam. Hydromorphone memiliki durasi kerja yang lebih
pajang dibandingkan dengan fentanyl.5,11
Meperidine biasanya pemberiannya dihindari untuk pasien nyeri yang dirawat
di ICU karena di metabolisme di normeperidine di liver dengan half-life 15-20 jam
dan diekskresi di ginjal. Akumulasi dari normeperidine tidak berespon dengan
pemberian naloxone. Meperidine memiliki efek langsung seperti neurotoksik yang
menyebabkan kejang, halusinasi, dan delirium. Pasien dengan gangguan ginjal
merupakan kontraindikasi terhadap pemberian meperidine.5,11
Efek samping opioid yang sering adalah konstipasi, sedatif, gatal, mual dan
muntah. Depresi pernafasan yang selalu menjadi alasan ketakutan tenaga kesehatan
memberikan opioid dari beberapa penilitian dikatakan jarang terjadi. Disaat terjadi
depresi pernafasan yang ringan, pertolongan yang bisa diberikan adalah dengan
membangunkan dan segera memberikan oksigen dan selanjutnya dosis opioid
diturunkan sebanyak 25 %, namun apabila terjadi depresi pernafasan yang cukup
berat pemberian antidote diperlukan yaitu naloxone dengan dosis 0,2 mcg/kg IV
setiap dua menit sampai klinis pasien membaik. 4 Naloxone adalah antagonis selektif
relatif reseptor mu. Respon yang dihasilkan oleh pemberian naloxone ini cukup cepat
dan spesifik.11
Semua opioid mempunyai resiko untuk mengalami toleransi dan adiksi.
Toleransi merupakan salah satu efek samping akibat penggunaan opioid dalam jangka
waktu yang lama.12 Pada toleransi terjadi penurunan efek opioid sebagai analgesia
walaupun dosis yang diberikan sama seperti sebelumnya sehingga diperlukan

21
peningkatan dosis opioid yang digunakan untuk mencapai efek yang sama seperti
sebelumnya. Selain penambahan dosis, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan
mengkombinasikan opioid dengan adjuvant maupun mengganti dengan opioid lain. 11
Pasien yang telah menggunakan opioid selama lebih dari 3 minggu dan telah
siap untuk menghentikan penggunaan opioid disarankan untuk mengalami penurunan
dosis (tapering of) terlebih dahulu sebelum menghentikan opioid sepenuhnya. Hal ini
dilakukan dengan menurunkan dosis sebanyak 20 % setiap dua hari namun apabila
terdapat gejala-gejala withdrawl (flu like symptoms, abdominal cramping dan diare)
dosis diturunkan lebih kecil dalam waktu yang lebih panjang. 11

Tabel 6. Beberapa jenis opioid beserta reseptor spesifik opioid dan efek

b. Nonsteroidyang ditimbulkan
anti-inflamatory (NSAIDs)

22
Secara umum tidak diberikan pada pasien dengan nyeri yang dirawat di ICU
karena memiliki banyak efek samping dan pemberiannya lebih banyak secara
oral. NSAID menghambat vasodilatori prostaglandin yang meregulasi aliran
darah di glomerular, dan dapat merangsang timbulnya hiperklemia. NSAID
parenteral seperti ketorolac dapat digunakan untuk menurunkan rasa nyeri untuk
pasien dengan usia < 65 tahun tanpa memiliki riwayat gangguan pada ginjal atau
perdarahan gastrointestinal. Dosis awal dapat diberikan 30 mg yang dapat diikuti
30 mg secara intravenasetiap 6 jam selama 5 hari. Penggunaan ketorolac lebih
dari 5 hari dapat menyebabkan gagal ginjal akut dan perdarahan
gastrointestinal.5,11

c. Analgetik Adjuvant
Sering digunakan untuk nyeri neuropatik, biasanya diberikan untuk anti-depresan
dan anti convulsant. Namun secara umum tidak tersedia dalam bentuk
intravena.5,11
Analgesia adjuvan digunakan untuk menambah efektivitas analgesia
opioid, mengatasi gejala yang menyertai nyeri atau memberikan efek analgesia
tersendiri untuk mengatasi jenis nyeri tertentu. Pemberian obat-obatan adjuvan
yang dikombinasikan dengan opioid maupun non opioid lebih sering digunakan
untuk mengontrol nyeri neuropatik. Secara umum adjuvant digolongkan menjadi
dua yaitu sebagai co analgesia dan obat yang mengontrol efek samping. Obat-
obatan antidepresan, antikonvulsi, kortikosteroid tergolong sebagai co-analgesia.
sedangkan obat yang mengontrol efek samping antara lain antihistamin, laxative,
neuroleptik dan antiemetik. Untuk dosis dan indikasi penggunaan dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:

23
Obat Dosis Indikasi Keterangan
Antidepresan
Amitriptyline 0,2-0,5mg/kgBB PO Nyeri neuropati Memblok reuptake
Titrasi 0,25mg/kg
yang terus menerus serotonin dan
setiap 5-7 hari jika
diperlukan. dengan rasa noreprineprin yang
Tersedia dalam
terbakar, gatal, dapat memperlambat
tablet 10 mg dan
25mg dystesia dengan transmisi dari sinyal
Dosis awal 10-25
insomnia nyeri
mg
Antikonvulsan
Gabapentin 5mg/kg BB PO Nyeri neuropati Mekanisme kerja
Max 300mg/hari tidak diketahui
ES: sedasi, ataxia,
nistagmus, dizzines
Kortikosteroid

Dexamethasone Dosis tergantung Nyeri dari ES: edema, iritasi


kondisi: peningkatan tekanan GI, acne.
Edema serebral :1-2 intracranial
mg/kg load
kemudian 1-1,5
mg/kg/hari
diberikan setiap 6
jam.
Max 4mg/dosis

Tabel 7. Dosis dan indikasi penggunaan obat-obatan adjuvant analgesia

d. Sedatif
Agitasi dan kecemasan sering terjadi pada pasien yang dirawat di ICU. Sedative
umumnya diberikan untuk mengobati agitasi. Agitasi dapat terjadi karena nyeri,
delirium, hipoksiadan hipotensi. Pemberian benzodiazepine dan propofol umumnya
diberikan pada pasien-pasien dengan nyeri di ICU. Benzodiazepine contohnya seperti
midazolam dan lorazepam. Midazolam digunakan untuk sedasi jangka pendek

24
sedangkan lorazepam dapat digunakan sedasi kerja panjang. Berdasarkan penelitian
midazolam dan propofol adalah sedasi yang dominan diberikan untuk pasien yang
dirawat di ICU. 5,11
Benzodiazepine dapat mengaktivasi reseptor ∂-aminobutyric acid A (GABA) di
otak. Benzodiazepine memiliki efek anxiolytic, amnesia, sedative, hypnosis dan anti-
kejang tetapi tidak memiliki efek anti nyeri. Midazolam dan diazepam lebih mudah
larut dalam lemak dibandingkan lorazepam, sehingga efek sedasi lebih cepat terjadi.
Benzodiazepine dapat menyebabkan depresi pernapasan dan sistemik hipotensi serta
dapat menyebabkan instabilitas cardiopulmonary. Toleransi benzodiazepine dapat
terjadi padapemberian dalam jangkan waktu yang lama. Benzodiazepine di
metabolism di hati. Benzodiacepine clearance menurun pada pasien dengan gangguan
hati serta pada pasien dengan umur tua. Lorazepam parenteral mengandung propylene
glycol yang dapat menyebabkan toksik pada pasien yang dirawat di ICU. Propylene
glycol dapat menyebabkan metabolic asidosis dan gagal ginjal akut. Dosis maksimal
yang disarankan adalah dibawah 1mg/kg .5,11
Propofol merupakan sedative intravena yang mengikat banyak reseptor pada
system saraf pusat yaitu pada transmisi neural termasuk GABA, glycine, nicotinic
dan reseptor muscarinic. Propofol memiliki efek sedative, hypnosis, anxiolytic,
amnestic, antiemesis serta anti-kejang. Tetapi tidak memiliki efek anti nyeri. Propofol
sangan mudah larut dalam lemak dan sangat cepat menembus sawar otak sehingga
efek sedatifnya sangat cepat terjadi. Efek samping propofol dapat menyebabkan
depresi pusat napas dan hipotensi karenan menyebabkan sistemik vasodilatasi. Efek
samping yang lainnya dapat menyebabkan hipertrigliserida, akut pancreatitis dan
myoklonus. Propofol mengandung 10% lipid emulsion yang berisi kandungan telur
serta minyak kedelai yang dapat memicu timbulnya alergi pada pasien dengan alergi
telur dan minyak kedelai. Pemberian propofol jarang diberikan karena dapat
menyebabkan propofol infusion syndrome (PRIS). Lama pemberian infuse dengan
propofol maksimal selama 2 hari di ICU apabila lebih lama dapat menyebabkan
PRIS. Tanda dan gejala PRIS adalah memburuknya metabolic asidosis,
hipertrigliserida, hipotensi dan aritmia. Gagal ginjal aut, hiperkalemia dan disfungsi

25
hati juga merupakan tanda dan gejala PRIS. PRIS kemungkinan dapat terjadi karena
adanya disfungsi mitokondrial, kegagalan oksidasi asam lemak dan akumulasi
metabolism propofol. PRIS juga karena pemberian propofol dengan dosis tinggi >
70µg/kg/min. angka kejadian PRIS dengan infuse prpopfol mendekati 1%. Angka
kematian PRIS cukup tinggi yaitu sekitar 33%. 11 Untuk menjaga agar dosis yang
diberikan tepat, dapat digunakan TCI propofol (Target Controlled Infusion). Istilah
TCI ini merupakan istilah umum untuk system yang digunakan di anestesi.
Penggunaan sedasi biasanya terdapat komplikasi yang berdapak pada system
respiratori, jatung, dan sistemik seperti laringspasme, hipoksemia, disapnea, mual
muntah aritmia hipotensi bahkan kematian. Penggunaan pompa TCI telah tersedia
dan propofol diberikan sebagai infuse berkelanjutan dengan intermitten dosis bolus.
Pompa ini menggunakan models parmakokinetik untuk menentukan target
konsentrasi obat didalam plasma atau otak. Model ini juga bergantung pada banyak
faktor seperti jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, status kesehatan
individu. Parmakokinetik propofol, propofol merupakan partikel lipopilik yang kecil
yang berikatan dengan kuat dengan protein dan terpenetrasi kedalam eritrosit. Di
plasma, lebih dari 98 % propofol terikat utamanya pada albumin, sel darah merah,
serta lipid fraction. Presentase fraksi bebas bergantung pada konsentrasi total
propofol didalam darah. Untuk totalkonsentrasi propofol di bawah 2µg/ml
meningkatkan fraksi bebas propofol. Jika konsentrasi propofol sangat rendah maka
100% propofol tidak terikat. Untuk konsentrasi di atas 2µg/ml fraksi bebas menjadi
konstan sekitar 2%. System TCI untuk mengoptimalkan dosis propofol telah tersedia.
System ini meliputi “Diprifusor”. Program ini menggunakan model parmakokinetik
Marsh untuk pasien dewasa. Dimulai dari dosis yang berdasarkan simulasi konsetrasi
obat dalam plasma. Diprifusor ini hanya untuk preparasi propofol adalah “Diprivan”
yang disebut juga system TCI terbuka.15
Dexmedetomidine merupakan selektif α2 agonis dengan efek sedative,
analgesic/opioid sparing tetapi tidak memiliki efek anti kejang. Pasien yang diberikan
dexmedetomidine mengalami efek minimal dari penekanan pusat napas. Onset
sedatifdapat terjadi 15 menit dan puncak sedative terjadi 1 jam setelah pemberian

26
secara intravena. Dexmedetomidine memiliki efek kerja pendek yaitu < 24 jam
dengan dosis maksimal 0,7 µg/kg/jam. Efek samping yang sering terjadi pada
pemberian dexmedetomidine adalah hipotensi dan bradikardia.5,11

Tabel 8. Farmakologi Obat Sedatif

BAB III

27
PENUTUP

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak


menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual.
Dengan kata lain nyeri merupakan sesuatu yang bersifat personal sehingga respon
yang diberikan terhadap rangsangan tertentu yang sama sekalipun belum tentu
menghasilkan respon yang sama antar individu.

Respon individu terhadap suatu stimulus nyeri sangat bervariasi, dipengaruhi


oleh kultur budaya setempat, umur, jenis kelamin dan genetik. Pasien-pasien pediatri,
geriatri ataupun pasien dengan kesulitan komunikasi akibat kondisi penyakit yang
telah parah, gangguan kognitif maupun akibat perbedaan bahasa cenderung
mendapatkan terapi yang tidak adekuat sehingga tujuan terapi nyeri seperti
peningkatan kualitas hidup pasien dan mempercepat pemulihan sehingga bisa pasien
pulang lebih cepat dari rumah sakit tidak tercapai. Selain itu, untuk memberikan
terapi yang adekuat diperlukan penilaian intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien
dengan tepat. Beberapa tipe penilaian intesitas nyeri telah dirancang oleh pusat-pusat
kesehatan untuk dapat menilai intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien, akan tetapi
tetap saja terapi yang diberikan tidak adekuat hal ini dimungkinkan karena setiap tipe
dari penilaian tersebut memiliki kelemahan dan faktor psikologis anak yang susah
untuk kita nilai. Penatalaksanaan nyeri untuk pasien yang dirawat di ICU
menggunakan obat jenis analgesic dan sedatif. Golongan obat analgesik yang utama
dipakai adalah golongan obat opioid.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Gde Mangku, Tjokorda Gde Agung Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Indeks 2009; 1 : 218 – 219.
2. Nilesh B. Patel. Physiology of Pain. International Association for the Study of
Pain. 2010; Chapter 13: 13-17.
3. Michael J Hudspith. Philip J Siddal, Rajesh M. Physiology of Pain. Chapter
23: 267-285
4. John Scadding. Neuropathic Pain. ACNR 2003; 3(1) : 8 - 14
5. Juliana Barr, MD et al. Clinical Practice Guidelines for the Management of
Pain, Agitation, and Delirium in Adult Patients in the Intensive Care Unit.
CCMJournal 2013; 41(1): 264-266.
6. Chris Pasero, MS et al. Structured Approaches to Pain Management in the
ICU. CHESTjournal 2009; 135(6): 1665-1672.
7. Pamela E Macintyre, David A Scott. Acute Pain Management: Scientific
Evidence. Australian and New Zealand College of Anaesthetists and Faculty
of Pain Medicine 2010 ; 3 : 284 – 289.
8. Jean F Payen,MD et al. Assessing pain in critically ill sedated patients by
using a behavioral pain scale. Critical Care Medicine 2001; 29(12): 2258-
2263.
9. Louise Rose,PhD et al. Behavioral Pain Assessmen Tool for Critically Ill
Adults Unable to Self-Report Pain. American Journal of Critical Care 2013;
22(3): 246-253.
10. G. Fine, MD et al. Pathophysiology of pain and pain assessment. American
Medical Asoociation. 2007.
11. Ronaldo et al. Managing Pain in Intensive Care Units. St Louis: Mosby,
2012: 1-9.
12. Lonnqvist P.A and Morton N.S. Postoperative analgesia in infants and
children. British Journal of Anesthesia. 2005; 95 (1): 59-68.
13. Ronald melzack, Ph.D. The McGill Pain Questionnaire. Anesthesiology 2005;
V 103(1): 199-202.
14. Charles S. Cleeland, Ph.D. The Brief Pain Inventory: User Guide. 2009

29
15. Glen. The Development of “Diprifusor”: a TCI system for propofol.
Anesthesiology.2005;53(1): 13-21

30

Anda mungkin juga menyukai