Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

IKTERUS NEONATORUM

Pembimbing :
dr. Shelvi Herwati, Sp.A

Disusun oleh :
ANNISA APRILIA ATHIRA
1102014029

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
RS Umum dr. Dradjat Prawiranegara Serang
Periode 2 Juli – 9 September 2018

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena


berkat rahmat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada tauladan sepanjang masa,
Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarganya, sahabatnya, dan umatnya hingga
akhir zaman, aamiin. Penulisan referat yang berjudul “Ikterus Neonatorum“ ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh kepanitraan klinik di bagian
ilmu kesehatan anak di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara.

Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu, terutama kepada dr. Shelvi Herwati, Sp.A, yang telah
memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas
beliau.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,
oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna
perbaikan di kemudian hari. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Serang, Agustus 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... ii

Daftar Isi ............................................................................................................ iii

Daftar Gambar.................................................................................................... iv

BAB I Pendahuluan ........................................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi ................................................................................................ 3

2.2 Epidemiologi ....................................................................................... 3

2.3 Etiologi ................................................................................................ 4

2.4 Klasifikasi ........................................................................................... 6

2.5 Metabolisme Bilirubin ........................................................................ 8

2.6 Patofisiologi ........................................................................................ 11

2.7 Diagnosis ............................................................................................. 12

2.8 Penatalaksanaan .................................................................................. 16

2.9 Pencegahan ......................................................................................... 23

2.10 Komplikasi ........................................................................................ 24

2.11 Prognosis ........................................................................................... 25

BAB III Kesimpulan .......................................................................................... 26

Daftar Pustaka .................................................................................................... 27

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Metabolisme bilirubin ................................................................... 10


Gambar 2. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer ...................................... 14
Gambar 3.Alur diagnosis icterus ...................................................................... 15
Gambar 4.Prinsip Fototerapi ............................................................................ 17
Gambar 5.Normogram ikterus neonatorum untuk neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu
.......................................................................................................................... 18

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan masa transisi dimana bayi
memulai kehidupan diluar rahim ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami mulai dari organ fisik
maupun fungsi organ tubuhnya. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya, ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Ikterus
terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen
bilirubin yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit.

Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan
bilirubin, sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum
yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin
tidak dikendalikan. Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru
lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir.1
Ikterus neonatorum selama usia minggu pertama terdapat pada sekitar 60% bayi cukup
bulan dan 80% bayi preterm. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap
tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia,
hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah
Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu
pertama kehidupannya.2

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit


pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir tahun 2003
sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar bilirubin ≥12 mg/dL pada
minggu pertama kehidupan, RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan
mempunyai kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8% mempunyai kadar bilitubin ≥13 mg/dL, RS
Dr. Kariadi Semarang dengan prevalensi ikterus neonatorum sebesar 13,7%, RS Dr.Soetomo
Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002.2

Dari survey awal yang peneliti lakukan di RSUD Raden Mattaher, kejadian ikterus
neonatorum yang tercatat di bagian perinatologi sejak Agustus 2012 sampai Januari 2013
sebanyak 100 kasus. Faktor risiko yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum di

1
wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain, inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD,
BBLR, sepsis neonatorum, dan prematuritas.2

Ikterus neonatorum dapat menimbulkan ensefalopati bilirubin (kernikterus) yaitu


manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf pusat di ganglia
basalis dan beberapa nuklei batang otak. Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia
diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000
kelahiran hidup dengan ikterus neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%.2

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning. Ikterus
adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang
menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi
darah dan jaringan (> 2 mg/ 100 ml serum).1
Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning dalam
plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak
aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk jika produksinya dari heme
melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan
pembersihan dapat terjadi akibat pelepasan prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam
aliran darah atau akibat proses fisiologi yang mengganggu ambilan hepar, metabolisme
ataupun ekskresi metabolit ini.1
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar
bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43 mmol/L) atau sekitar 2 kali batas atas
kisaran normal. Kadar bilirubin direk normal adalah : 0-0,3 mg/dL, dan kadar normal bilirubin
total: 0,3-1,0 mg/dL.2
Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap
bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk
menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa
untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang terjadi akibat ekskresi bilirubin
lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid.1

2.2 Epidemiologi
Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir hingga
usia 2 bulan setelah lahir.1
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan
80% bayi kurang bulan.1
Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi, di RSCM persentase ikterus
neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%,

3
sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus,
lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi
10 mg.1
Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per
tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup dengan ikterus
neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%.13

2.3 Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor/ keadaan,
antara lain: 3,4
1. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus(Rh), defisiensi Glukosa
6 phosphate dehidrogenase (G6PD), sferositosis herediter dan pengaruh obat.
2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
3. Polisitemia.
4. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
5. Ibu diabetes.
6. Asidosis.
7. Hipoksia/asfiksia.
8. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan
ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanik.
9. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Etiologi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek:17


Hemolisis (+) Hemolisis (-)
Umum  Inkompatibilitas golongan darah:  Ikterus fisiologis
ABO, Rh, Kell, Infeksi Duffy  Breast milk jaundice
 Perdarahan organ dalam
 Polisitemia
 Bayi dari ibu diabetes
Jarang  Defek enzim sel darah merah:  Mutasi enzim glukoronil
glucose-6-phosphate dehydrogenase transferase (sindrom Crigler-
(G6PD), piruvat kinase Najjar, penyakit Gilbert)
 Stenosis pilorus

4
 Kelainan membran sel darah merah:  Hipotiroidisme
sferositosis, ovalositosis  Trombositopenia imun
 Hemoglobinopati: thalassemia

Etiologi hiperbilirubinemia terkonjugasi/direk:17


Umum Jarang
 Kolestasis hiperalimentasi  Infark hati
 Infeksi CMV  Kelainan metabolik bawaan (galaktosemia,
 Infeksi TORCH tirosinemia)
 Inspissated bile akibat  Fibrosis kistik
hemolisis berkepanjangan  Atresia bilier
 Hepatitis pada neonatus  Kista koledokal
 Sepsis  Defisiensi alfa-1-antitripsin
 Penyakit cadangan besi pada neonatus
 Sindrom Alagille (displasia arteriohepatik)
 Penyakit Byler

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:3


1. Faktor Maternal
 Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
 Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
 Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
 ASI
 Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
 Obat yang menghambat daya kerja enzim glukoronil transferase (misalnya novobiosin)

2. Faktor Perinatal
 Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
 Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

3. Faktor Neonatus
 Prematuritas

5
 Berat lahir yang rendah
 Faktor genetik
 Polisitemia
 Rendahnya asupan ASI
 Hipoglikemia
 Hipoalbuminemia

Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat pada bayi:15

2.4 Klasifikasi Ikterus Neonatorum


1. Ikterus Fisiologis
Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena berikut:4,5,6
a. Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit janin
(hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin dan massa eritrosit
yang lebih tinggi pada neonatus (kadar hemoglobin/ Hb neonatus cukup bulan sekitar 16,8
gr/dl).
b. Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari ligan protein
pengikat di hepatosit (rendahnya ambilan) dan karena aktivitas yang rendah dari glukuronil
transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonjugasikan bilirubin dengan
asam glukuronat sehingga bilirubin menjadi larut dalam air (konjugasi).
c. Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di usus dan
gerakan usus yang tertunda akibat belum ada ambilan nutrisi.

6
Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik
dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari
ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-
103 μmol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara
umum karakteristik ikterus fisiologis adalah sebagai berikut: 4
a. Timbul pada hari kedua – ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan
dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
e. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar orang dewasa
(1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.
f. Tidak mempunyai dasar patologis.

Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih lambat
daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya lebih lama, biasanya
menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan ke-7.4,6

2. Ikterus Patologis
Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong dalam ikterus
patologis, antara lain:4,7
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Bilirubin indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
c. Peningkatan bilirubin total> 5 mg/dL/24 jam.
d. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau
sepsis)
f. Ikterus yang disertai oleh: berat lahir <2000 gram, masa gestasi 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus,infeksi, trauma lahir pada kepala,
hipoglikemia
g. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada
prematur).

7
Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu
sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning.
Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah atau Rh
(biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD.8

2.5 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi
dari heme bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Perbedaan utama metabolisme pada
neonatus adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut: 4
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai hasil degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari
pada bayi yang lebih tua. 1 gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg bilirubin indirek.
Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi
hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.4
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara yang
selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel
ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada
ligandin (protein g, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase
lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan
afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang
masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar,
ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital mempertinggi
konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. 4

3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukosonide.
Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase
merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di fosfat
glukoronide transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin
monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanalikulus. Isomer

8
bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat
diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi
sesudah terapi sinar (isomer foto). 4
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi
dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak
diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Pada neonatus karena aktivitas enzim β

9
glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin.
Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi
sehingga siklus enterohepatis pun meningkat. 4
Gambar 1. Metabolisme bilirubin5

Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus yaitu pada liquor amnion yang normal
dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan
36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat
dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada
obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan
jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi
bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil
bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. 4
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir
semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke
sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada
hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini

10
menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus.
Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini
berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. 4
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan
dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil
transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam
serum. 4
Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti
bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena
bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar
pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek
mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang
mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. 4

2.6 Patofisiologi Ikterus


Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang
terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.3
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan
proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau
bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu intra/ekstra hepatik.3
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi
mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada
susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20

11
mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas,
berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang
terjadi karena trauma atau infeksi.3

Ikterus non fisiologi dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu :3

a. Ikterus Prahepatik
Karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadu pada hemolisis sel darah merah.
Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah. Infeksi seperti
malaria,sepsis. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat-obatan, maupun berasal dari dalam
tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis fetalis.

b. Ikterus pascahepatik
Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peningkatan bilirubin konjugasi yang
larut dalam air. Akibatnya bilirubin meningkat akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati
dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan
bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran
pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin.

c. Ikterus Hepatoselular
Kerusakan sel hati dapat menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan
meningkat dan juga menyebabkan bendungan ke dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan
regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di
dalam darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis,sirosis hepatis,tmor,bahan kimia dan
lainya.

2.7 Diagnosis
Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung pada
etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum bilirubin
bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk menegakkan
diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium.9
Hal – hal penting yang menunjang diagnosis meliputi: 10

12
1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan etiologinya.
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra
uterin, infeksi intranatal)
3. Usia gestasi
4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi
5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi tukar
pada bayi sebelumnya
6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)
7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi susu,
dan ketidakstabilan temperatur.
9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek
10. Gejala-gejala kernikterus

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat
lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama
pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk
memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar. 8

Pemeriksaan fisis penting yang menunjang diagnosis meliputi:8


1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis, status
hidrasi.
2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch cry.
3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik.
4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali.
5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.

13
1

4 4
2

Gambar 2. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer 8

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu: 8


1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan
kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)

Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong
risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus
berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa menunggu hasil pemeriksaan kadar serum
bilirubin.4,8,11
Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar serum
bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat
ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada
kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Alat ini digunakan untuk menyaring bayi
yang berisiko. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain : 4,8,11

14
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah tepi
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD
4. Bilirubin total, direk, dan indirek. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap
4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar albumin serum juga
perlu diukur.

Gambar 3.Alur diagnosis ikterus

15
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan
agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern ikterus atau
ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Pemberian fototerapi, dan
jika tidak berhasil dilanjut dengan transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan
kadar maksimum bilirubin total dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup
bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma
atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar
bilirubin.5,12

Tabel 2.Tatalaksana kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan yang sehat.4
Umur (jam) Fototerapi Fototerapi & persiapan Transfusi tukar jika
transfusi tukar fototerapi gagal
< 24 - - -
24-48 15-18 25 20
49-72 18-20 30 25
> 72 20 30 25
> 2 Minggu Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar

1. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak
teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan
bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah
senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang
merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah
diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik
usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.9,12

16
Gambar 4.Prinsip Fototerapi.9

Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi. Fototerapi yang
efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat. Pembentukan lumirubin
yang merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air merupakan prinsip eliminasi
bilirubin dengan fototerapi. Faktor yang menentukan pembentukan lumirubin antara lain:
spektrum dan jumlah dosis cahaya yang diberikan9
Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar. Fototerapi
(penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai kebutuhan (feeding on demand)
dengan formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-
5 jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik
yang optimal. Tetapi terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan
meningkatkan area permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar.9

17
Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan bohlam
lampu fluoresense) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata tertutup. Temperatur
dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat sementara dihentikan selama 1 – 2 jam
untuk mempersilahkan keluarga berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu
yang tepat untuk memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab
ikterus, berat badan lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika
konsentrasi bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.9

Gambar 5.Normogram ikterus neonatorum untuk neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu.8

2. Terapi sinar konvensional dan intensif


Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan intensif. Terapi
sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang
biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas
bayi. Sedangkan fototerapi intensif menggunakan intensitas penyinaran >12 μW/cm2/nm
dengan area paparan maksimal.12
Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12),
cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki
kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini

18
secara umum tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya
biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua tabung daylight fluorescent
pada setiap bagian samping unit.12
Tabel 3. Komplikasi terapi sinar.12
Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil
penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat lactase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi
eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-
100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast
kulit dengan pelepasan histamine

3. Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini secara
cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang menjadi target
eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami
hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil
darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah
dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat volume darah
telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara periodik.
Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan
yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa
kasus, prosedur ini perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah
cukup. Infus albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat
meningkatkan jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan
kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.12

19
Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain trombositopenia,
trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan keseimbangan elektrolit, graft-
versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi
dengan kriteria sebagai berikut:
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
c. Gagal fototerapi intensif
d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama
e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hemoglobin < 12 gr/dl
g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada kadar bilirubin
berapapun.

Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan prosedur


fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi penggunaannya.12

Transfusi pengganti digunakan untuk: 12


1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi.

2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi

3. Menghilangkan serum bilirubin

4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang terikat albumin.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar 12

1. Darah yang digunakan harus golongan O.


2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan
dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan
tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan
O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.

20
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer
rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan
plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) yaitu sekitar
160 ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah 80 ml/kgBB, sehingga
diperoleh darah baru sekitar 87%.
8. Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.
Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena magna. Darah
dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri


umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi
dengan polisitemia.
11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan
darah O rhesus positif.
12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai
stabil.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi: 12

- Emboli, trombosis

- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

- Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

- Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar 12

- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

21
- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

- Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

- Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

- Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia.

4. Terapi farmakologis

Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk meningkatkan


konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim glukoronil-transferase, tetapi
penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang dilakukan pada mencit menunjukkan
fenobarbital mengurangi metabolisme oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga
meningkatkan resiko efek neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan
ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam
sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun
demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada neonatus
karena:11,12
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase yang
diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim bilirubin oksidase.
Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase tersebut maka > 90% bilirubin
didegradasi dalam sekali langkah. Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi
hiperbilirubinemia neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan
dapat terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari
fungus.11

Indikasi untuk merujuk ke RS 8

 Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan

22
 Ikterus hingga di bawah umbilikus
 Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena kemungkinan
membutuhkan transfusi tukar.
 Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau kernikterus
 Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik
 Ikterus memanjang > 14 hari.

2.9 Pencegahan
Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik
Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan akumulasi bilirubin.
Peningkatan jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi bilirubin, sehingga pemberian
ASI yang sering atau asupan tambahan dengan susu formula efektif dalam menurunkan kadar
bilirubin serum pada bayi yang sedang menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan
dengan air atau dekstrosa dapat mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi bilirubin.1

Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan bilirubin
dan meningkatkan ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut pada bayi belum pernah
diujikan. Pada sebuah penelitian, penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani fototerapi
secara signifikan dapat menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam.
Cholestyramine yang digunakan untuk terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi
bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di dalam intestinal dan membentuk suatu
kompleks yang tidak dapat diabsorbsi.11,12

Inhibisi produksi bilirubin

Metalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan menjadi inhibitor


kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan berat lahir 1500-2500 gram,
dosis tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6 μmol/kg) yang diberikan dalam 24 jam
pertama kelahiran dapat menurunkan kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan
konsentrasi puncak bilirubin serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah
eritema sementara akibat fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin
saat ini belum disetujui penggunaannya pada bayi baru lahir.11

23
Pencegahan ensefalopati bilirubin

Sekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah ensefalopati,


karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 – 7,55) dapat diperoleh dengan infus
bikarbonat atau dengan menggunakan strategi ventilator untuk menurunkan tekanan parsial
karbon dioksida sehingga pH meningkat.11

2.10 Komplikasi
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan
kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin
dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga
dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius)
sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf. 11
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi
bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh
konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.11
Komplikasi ikterus neonatorum adalah Ensefalopati bilirubin atau kernikterus, yaitu
ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditatalaksana dengan benar dan dapat menimbulkan
komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan
lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebellum yang menyebabkan
kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada
sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk
ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum
dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai
spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik
yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik
yang disebabkannya.11
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat
kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin
serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel
otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang
tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang
sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena

24
ensefalopati bilirubin. Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan
mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa cerebral palsy, epilepsi dan
keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor
disorder.11

2.11 Prognosis
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan
mengalami kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi dengan hemolisis Rh yang
memiliki konsentrasi bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin
25-29 mg/dl, dan 73% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.12

Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75% atau
lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita
koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan kuadriplegia
sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisiko harus menjalani skrining pendengaran.4,11

25
BAB III

KESIMPULAN

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Pada kebanyakan kasus ikterus
neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian
besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada
akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab
seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologis).

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan


agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus atau
ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan
fototerapi, dan jika tidak berhasil transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar
maksimum bilirubin total dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi
cukup bulan yang sehat.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ritarwan, Kiking. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam


Malik. 2011. Sumatra Utara. USU digital library.
2. David C. Dugdale. Medline plus. Oct 2013; [diakses Agustus 2018] Available
fromhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htm
3. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,Sarosa GI, Usman
A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI. 2008.h.147-69.
4. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Esensial Edisi Keenam. Singapore: Elsevier, 2014 :h. 274-277
5. Hansen, Thor W.R. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews.2010. vol. 11.
p.316-22.
6. Gartner, Lawrence M. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review;1994.Vol. 15. p. 422-32
7. Depkes RI. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode
Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI; 2001.
8. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. In : Management
Of Hyperbilirubinemia The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics;
2004. p.114, 297-316.
9. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F.Phototherapy For Neonatal Jaundice. New England
Journal of Medicine;2008p.358:920-8.
10. Hassan R.Ikterus Neonatorum dalam :Hassan R, Alatas H, editors Ilmu kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UI. Jilid ke-2. Jakarta. 2007. h.519-22,1101-23.
11. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. Dalam : Hiperbilirubinemia Pada
Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya; 2004.
12. Ennery P, Eidman A, Tevenson D. Neonatal Hyperbilirubinemia. New England Journal of
Medicine,2001. Vol. 344, No. 8.
13. Reisa Maulidya Tazami, Mustarim, Shalahudden Syah. Gambaran Faktor Risiko Ikterus
Neonatorum pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun
2013. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi.
14. Thor WR Hansen. Neonatal Jaundice. Diakses melalui alamat web:
http://emedicine.medscape.com/article/974786
15. IDAI. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid I Cetakan Pertama. Jakarta: UKK-
GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI IDAI : 2010. H. 273

27
16. IDAI. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid I Cetakan Pertama. Jakarta: UKK-
GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI IDAI : 2010. H. 273
17. Garna, H, Nataprawira, HM. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak, ed 5.
Bandung: Departemen/SMF ilmu kesehatan anak fakultas kedokteran Universitas
Padjajaran/RSUP dr. Hasan Sadikin, 2014 :h.102-108

28

Anda mungkin juga menyukai