Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

MALUNION FRAKTUR RADIUS 1/3

OLEH :

NAMA : Halisna Wati

NIM : 16.11.4066.E.A.0012

TINGKAT : III

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM KALIMANTAN TIMUR


AKADEMI KEPERAWATAN YARSI SAMARINDA
TAHUN
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
1. Definisi
a. Fraktur adalah gangguan pada kontinuitas tulang normal yang terjadi
karena adanya tekanan yang besar, dimana tulang tidak dapat menahan
tekanan tersebut dan disertai dengan perlukaan jaringan sekitarnya
(Brunner dan Suddrat).
b. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh cedera (Masjoer 2000)
c. Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bias
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan dll) dan biasanya lebih banyak
dialami oleh laki laki dewasa. Patah pada daerah ini menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak menyebabkan penderitaan (FKUI,1995 :
543)
2. Etiologi
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan
kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
b. Akibat kelelahan atau tekanan.
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon
tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.
3. Manifestasi Klinis
a. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atu
kerusakan jaringan sekitarnya.

b. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
c. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
f. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan.
g. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
h. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang (Black, J.M, et al,
1993).
Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena
kecelakaan bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau
putusnya kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan patologik tulang
seperti Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang menurun, tulang
rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian tulang dan kedua
penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan tulang yang
dapat merobek periosteum dimana pada dinding kompartemen tulang tersebut
terdapat saraf-saraf sehingga dapat timbul rasa nyeri yang bertambah bila
digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut kerusakan jaringan tulang. Grade I
menyebabkan kerusakan kulit, Grade II fraktur terbuka yang disertai dengan
kontusio kulit dan otot terjadi edema pada jaringan. Grade III kerusakan pada
kulit, otot, jaringan saraf dan pembuluh darah.
Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat
menimbulkan nyeri yang hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan
jaringan yang luas pada kulit otot periosteum dan sumsum tulang yang
menyebabkan keluarnya sumsum kuning yang dapat masuk ke dalam
pembuluh darah sehingga mengakibatkan emboli lemak yang kemudian dapat
menyumbat pembuluh darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila mengenai
organ-organ vital seperti otak jantung dan paru-paru, ginjal dan dapat
menyebabkan infeksi. Gejala sangat cepat biasanya terjadi 24 sampai 72 jam.
Setelah cidera gambaran khas berupa hipoksia, takipnea, takikardi.
Peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan,
mengakibatkan kehilangan fungsi permanen, iskemik dan nekrosis otot saraf
sehingga menimbulkan kesemutan (baal), kulit pucat, nyeri dan kelumpuhan.
Bila terjadi perdarahan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan syok
hipovolemik. Tindakan pembedahan penting untuk mengembalikan fragmen
yang hilang kembali ke posisi semula dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Selain itu bila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau beraturan
maka akan lebih cepat terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan
sesuai letak anatominya dengan gips.
Trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi
plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi fraktur :
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dariyang mendadak dari tungkai bawah,
dibagi dalam :
1) Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)
2) Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)
a. Fraktur subtrochanter femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot –
otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh
trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan
stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi. fraktur dimana garis
patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor, dibagi dalam beberapa
klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah
klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
1) tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
2) tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor
tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas
trochanterminor
b. Fraktur batang femur (dewasa)
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah
pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur
batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. Dibagi menjadi :
– tertutup
– terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan
antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat,
yaitu ;
1) Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka
kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam
menembus keluar.
2) Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena
benturan dari luar.
3) Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan
lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
c. Fraktur batang femur (anak – anak)
d. Fraktur supracondyler femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot –
otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh
trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan
stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
e. Fraktur intercondylair
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
f. Fraktur condyler femur
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan
adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul
dan Melalui kepala femur (capital fraktur)
a. Hanya di bawah kepala femur
b. Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
a. Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
b. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokhanter kecil.
5. Gambaran Klinis
Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan
normal serta fragmen distal dalam posisi eksorotasi dan aduksi karena empat
penyebab:
1) Tanpa stabilitas longitudinal femur, otot yang melekat pada fragmen
atas dan bawah berkontraksi dan paha memendek, yang menyebabkan
bagian paha yang patah membengkak.
2) Aduktor melekat pada fragmen distal dan abduktor pada fragmen atas.
Fraktur memisahkan dua kelompok otot tersebut, yang selanjutnya
bekerja tanpa ada aksi antagonis.
3) Beban berat kaki memutarkan fragmen distal ke rotasi eksterna.
4) Femur dikelilingi oleh otot yang mengalami laserasi oleh ujung tulang
fraktur yang tajam dan paha terisi dengan darah, sehingga terjadi
pembengkakan (1,2,3).
Selain itu, adapun tanda dan gejalanya adalah :
a. Nyeri hebat di tempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c. Rotasi luar dari kaki lebih pendek
d. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi
berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka,
deformitas.
6. Komplikasi
Menurut Sylvia and Price (2001), komplikasi yang biasanya ditemukan antara
lain :
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
7. Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges dalam Jitowiyono (2010:21). Beberapa pemeriksaan yang
dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai
persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna
akibat cedera atau tindakan pembedahan.
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :
a. Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
b. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
c. Pemberian antibiotika.
d. Debridement dan irigasi sempurna.
e. Stabilisasi.
f. Penutup luka.
g. Rehabilitasi.
h. Life Saving
i. Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat
lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk
terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat
yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi
organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and
circulation.
j. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang
tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui
bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi
masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu
penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden
periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang
terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas
penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas
ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,
penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
k. Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian
antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai
pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas
untuk kuman gram positif maupun negatif.
l. Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah
patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang
mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara
mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik
dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
m. Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi
fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat
patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2
dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara primer.
Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini
harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari
rahabilitasi penderita. (Pedoman diagnosis dan terapi, UPF, 1994:
133)

2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur
(setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya
dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.
Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang
benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek
reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme
otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur
dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi
terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat
ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum
tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang.
c. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan
cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and
external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang
baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi
fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa
penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka
dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa
latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan
utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan
tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik
organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara
fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan
gerakan).
d. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and
internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila
dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa
dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler,
pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat,
bila diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external
fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan
lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada
politrauma, fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada
daerah lempeng pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau
pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang disertai
defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan
malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang
digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin,
Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk
fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar
uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan
fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi
yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan
irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu,
memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status
neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur.
Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi
fraktur saat melepas fiksator, dan kurang baik dari segi
estetikPenanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan
pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan
radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi
antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur
pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi
protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan
setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang
dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama follow-up
ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis
pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan
osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan
radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan imobilisasi untuk
menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan
radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan
12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur. Selain
itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin.
e. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
f. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status
neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada
tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan
berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting
otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai
batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan
mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas
fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada
ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas
dan beban berat badan.

ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Menurut hidayat (2004:98), pengkajian merupakan langkah pertama dari
proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien
sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada. Adapun pengkajian
pada pasien post operasi menurut Suratun (2008:66) adalah :
a. Lanjutkan perawatan pra operatif
b. Kaji ulang kebutuhan pasien berkaitan dengan kebutuhan rasa nyeri,
perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas dan konsep diri
c. Kaji dan pantau potensial masalah yang berkaitan dengan pembedahan:
tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar dari luka, suara nafas,
bising usus, keseimbangan cairan, dan nyeri.
d. Observasi resiko syok hipovolemia akibat kehilangan darah akibat
pembedahan mayor (frekuensi nadi meningkat, tekanan darah turun,
konfusi dan gelisah).
e. Kaji peningkatan komplikasi paru dan jantung: observasi perubahan
frekuensi nadi, pernafasan, warna kulit, suhu tubuh, riwayat penyakit
paru, dan jantung sebelumnya.
f. Sistem perkemihan: pantau pengeluaran urin, apakah terjadi retensi
urin. Retensi dapat disebabkan oleh posisi berkemih tidak alamiah,
pembesaran prostat, dan adanya infeksi saluran kemih.
g. Observasi tanda infeksi ( infeksi luka terjadi 5-9 hari, flebitis biasanya
timbul selama minggu kedua), dan tanda vital.
h. Kaji komplikasi tromboembolik: kaji tungkai untuk tandai nyeri tekan,
panas, kemerahan, dan edema pada betis.
i. Kaji komplikasi embolik lemak: perubahan pola panas, tingkah laku
dan perubahan kesadaran.
Sedangkan menurut Doenges (2000:761), data dasar pengkajian pada
pasien dengan post op fraktur femur berhubungan dengan intervensi bedah umum
yang mengacu pada pengkajian fraktur, yaitu:
a. Aktivitas/istirahat:keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang
terkena.
b. Sirkulasi: hipertensi, hipotensi, takikardia, pengisian kapiler lambat,
pucat pada bagian yang tekena, pembengkakan jaringan.
c. Neurosensori: hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kebas, deformitas
local.
d. Nyeri/kenyamanan: nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera,
spasme/keram otot.
e. Keamanan: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan
warna, pembengkakan local.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Sumijantun (2010:189), diagnosa keperawatan merupakan
langkah kedua dari proses keperawatan yang menggambarkan penilaian klinis
tentang respon individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat terhadap
permasalahan kesehatan baik aktual maupun potensial. Adapun diagnosa
keperawatan pada kasus post op fraktur menurut Suratun (2008:67) adalah :
a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan dan
imobilisasi.
b. Potensi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang mengikat, dan ganguan peredaran darah.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan,
prosedur pembedahan, serta adanya imobilisasi, bidai, traksi, gips.
e. Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak
muskuloskeletal.
f. Resiko tinggi syok hipovolemik.
g. Resiko tinggi infeksi
Sedangkan menurut Wilkinson dalam jitowiyono (2010:24), Diagnosa
keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur meliputi:
a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat
traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan,
ketidak adekuatan oksigenisasi.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi,
dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, tyerdapat jaringan nekrotik.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukan,
luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
3. Intervensi Keperawatan
Menurut Sumijantun (2010:203), perencanaan adalah fase proses
keperawatan yang sistematik mencakup pembuatan keputusan dan pemecahan
masalah. Adapun perencanaan keperawatan pada klien dengan post op fraktur
femur menurut Suratun dkk, (2008:66) adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan dan
imobilisasi.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
- Nyeri berkurang/hilang
- Klien tampak tenang
Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri pasien.
b. Tinggikan ekstremitas yang dioperasi.
c. Kompres dingin bila perlu.
d. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.
e. Kolaborasi dalam pemberian obat analgesic.
Rasional :
a. Mengetahui skala nyeri pada pasien.
b. Membantu mengontrol edema agar nyeri berkurang.
c. Untuk mengontrol nyeri dan edema.
d. Hal ini dapat mengurangi dan mengontrol nyeri.
e. Untuk mengontrol nyeri.
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat
yang mengikat, gangguan peredaran darah.
Tujuan : Memelihara perfusi jaringan adekuat
Kriteria Hasil :Tidak ada sianosis
Intervensi :
a. Rencana pra operatif dilanjutkan.
b. Pantau status neurovaskular, warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut
nadi, nyeri, edema.
c. Anjurkan latihan otot.
d. Anjurkan latihan pergelangan kaki dan otot betis setiap jam.
Rasional :
a. Meneruskan tindakan keperawatan.
b. parastesi pada bagian yang dioperasi, dan laporkan segera pada dokter bila
ada temuan yang mengarah pada gangguan.
c. untuk mencegah atrofi otot.
d. untuk memperbaiki peredaran darah.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kehilangan kemandirian.
Tujuan : Memelihara kesehatan
Kriteria Hasil: Klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
a. Rencana pra operatif dilanjutkan.
b. Anjurkan pasien berpartisipasi dalam program penanganan pasca operatif.
c. Diet seimbang dengan protein dan vitamin adekuat sangat diperlukan.
d. Anjurkan banyak minum minimal 2 sampai 3 liter perhari.
e. Observasi adanya gangguan integritas kulit pada daerah yang tertekan.
f. Ubah posisi tidur dalam setiap 2-3 jam sekali.
g. Bantu klien dalam pelaksanaan hyegien personal.
h. Libatkan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan.
Rasional :
a. Melanjutkan tindakan keperawatan.
b. Membantu dalam proses keperawatan.
c. Untuk keshatan jaringan dan penyembuhan luka.
d. Memenuhi kebutuhan cairan.
e. Untuk mengetahui sedini mungkin adanya gangguan.
f. Untuk mencegah adanya penekanan pada kulit.
g. Untuk menghindari adanya kerusakan pada kulit.
h. Membantu dalam pemeliharaan kesehatan pasien.
4. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, pembengkakan,
prosedur pembedahan, adanya imobilisasi, (bidai, gips, traksi).
Tujuan : Memperbaiki mobilitas fisik normal
Kriteria Hasil: Melakukan pergerakan dan pemindahan
Intervensi :
a. Kaji tingkat kemampuan mobilitas fisik.
b. Bantu pasien melakukan aktivitas selama pasien mengalami
ketidaknyamanan.
c. Tinggikan ektremitas yang bengkakanjurka latihan ROM sesuai kemampuan.
d. Anjurkan pasien berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan.
e. Pantau daerah yang terpasang pen, skrup batang dan logam yang digunakan
sebagai fiksasi interna.
f. Anjurkan menggunakan alat bantu saat sedang pasca operasi, sebagai tongkat.
g. Pantau cara berjalan pasien. Perhatikan apakah benar-benar aman.
Rasional :
a. Mengetahui tingkat kemampuan mobilitas klien.
b. Menambah kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
c. Untuk memperlancar peredaran darah sehingga mengurangi pembengkakan.
d. Untuk mencegah kekakuan sendi.
e. Untuk memperbaiki tingkat mobilitas fisik.
f. Ini dilakukan untuk mempertahankan posisi tulang sampai terjadi penulangan,
tetapi tidak dirancang untuk mempertahankan berat badan.
g. Untuk mengurangi stres yang berlebihan pada tulang.
Perubahan citra diri dan harga diri berhubungan dengan dampak masalah
musculoskeletal.
Tujuan : Terjadi peningkatan konsep diri
Kriteria Hasil: Klien dapat bersosialisasi
Intervensi :
a. Rencana perawatan pra operatif dilanjutkan.
b. Libatkan pasien dalam menyusun rencana kegiatan yang dilakukan.
c. Bantu pasien menerima citra dirinya serta beri dukungan, baik dari perawat,
keluarga maupun teman dekat.
Rasional :
a. Melanjutkan rencana tindakan keperawatan.
b. Mempercepat rencana tindakan keperawatan.
c. Stres,dan menarik diri akan mengurangi motivasi untuk proses
penyembuhan.
6. Resiko tinggi komplikasi (syok hipovolemik)
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria Hasil : Klien tampak tenang
Intervensi :
a. Pantau dan catat kehilangan darah pada pasien ( jumlah,warna).
b. Pantau adanya peningkatan denyut nadi dan penurunan tekanan darah.
c. Pantau jumlah urin.
d. Pantau terjadinya gelisah, penurunan kesadaran dan haus.
e. Pantau pemeriksaan laboratorium, terutama penutunan HB dan HT. Segera
lapor ke ahli bedah ortopedi untuk penanganan selanjutnya.
Rasional :
a. Memantau jumlah kehilangan cairan.
b. Ini merupakan tanda awal syok.
c. Jika urin kurang dari 30 cc/ jam, itu merupakan tanda syok.
d. Rasa haus merupakan tanda awal syok.
e. Mengetahui terjadinya hemokosentrasi dan terjadinya syok hipovolemik.
7. Resiko tinggi infeksi
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
Intervensi :
a. Pemberian antibiotik intra vena jangka panjang.
b. Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotic.
c. Ganti balutan luka dengan teknik aseptik, sesuai dengan program.
d. Pantau tanda vital.
e. Pantau luka operasi dan catat cairan yang keluar.
f. Pantau adanya infeksi saluran kemih.
Rasional :
a. Untuk mencegah osteomielitis.
b. Menilai adanya alegi dengan pemberian antibiotic.
c. Mencegah kontaminasi dan infeksi nasokomial.
d. Peningkatan suhu tubuh diatas normal menunjukan adanya tanda infeksi.
e. Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukan adanya infeksi pada luka.
f. Laporkan ke dokter bila ada infeksi yang ditemukan, hal ini sering terjadi
setelah pembedahan ortopedik.
Perencanaan keperawatan menurut wilkinson dalam jitowiyono (2010:25)
pada klien dengan post op fraktur femur meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress,
ansietas.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang
Kriteria Hasil:
1. Nyeri berkurang atau hilang
2. Klien tampak tenang
Intervensi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
b. Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
c. Jelaskan pada klien penyebab nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
e. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalm pemberian analgesic.
Rasional :
a. Hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif.
b. Tingkat intensitas nyeri dan frekuensi menunjukan nyeri.
c. Memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Untuk mengetahui perkembangan klien.
e. Merupakan tindakan dependent perawat. Dimana analgesik berfungsi untuk
memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleran aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan,
ketidak adekuatan oksigenisasi.
Tujuan : Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
Kriteria Hasil :
a. Prilaku merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri
b. Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa
dibantu
c. Koordinasi otot,tulang dan anggota gerak lainya baik
Intervensi:
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respon pasien.
Rasional :
a. Mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat
digunakan untuk aktivitas seperlunya secara optimal.
b. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secar perlahan
dapat menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mbilisasi dini.
c. Mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai akibat dari
latihan.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi, dan penurunan sirkulasi, dibuktikan oleh
terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk,
terdapat jaringan nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Kriteria Hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
2. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
3. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi
Intervensi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kassa
kering dan steril, gunakan plester kertas.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement.
f. Setelah debridement, ganti baluta sesuai kebutuhan.
g. Kolaborasi pemberian antibiotic.
Rasional :
a. Mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam
meltindakan yang tepat.
b. Mengidentifikasi tingkat keparahan akan mempermudah intervensi
c. Suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasi sebagai adanya proses
peradangan.
d. Tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah
terjadinya infeksi.
e. Agar benda asing atau jaringan yang teriinfeksi tidak menyebar luas pada
area kulit normal lainya.
f. Balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung pada kondisi
parah/tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Antibiotik berguna untuk memetikan mikroorganisme pathogen pada daerah
yang terjadi infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidaknyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
Tujuan : Pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
Kriteria Hasil :
1. Penampilan yang seimbang
2. Melakukan pergerakan dan pemindahan
3. Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan
karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan darinorang lain untuk bantuan, pengawasan,
dan pengajaran
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantungan tidak berpartisipasi dalam aktivitas
Intervensi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
c. Ajarkan dan pantau dalam hal pengguanaan alat bantu.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
e. Kolaborasi dalam hal ahli terapi fisik.
Rasional :
a. Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Menilai batasan kemempuan aktivitas optimal.
d. Mempertahankan/keningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/ meningkatkan mobilitas pasien.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan statis cairan tubuh, respon inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
Tujuan : Infeksi tidak terjaadi/ terkontrol
Kriteria Hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
2. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
b. Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptic.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase
luka, dll.
d. Jika ditemukan tanda-tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah,
seperti Hb dan leukosit.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotic.
Rasional :
a. Mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh
meningkat.
b. Mengendalikan penyebaran mikroorganisme pathogen.
c. Untuk mengurangi resiko infeksi nasokomial.
d. Panurunan Hb dan peningkatan leukosit dari normal bisa terjadi akibat
terjadinya proses infeksi.
e. Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme pathogen.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
Tujuan : Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan
proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
1. Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu
tindakan.
2. Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan kut serta dalam regimen
perawatan.
Intervensi :
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berika penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makananya
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang dilakukan.
Rasional :
a. Mengetahui seberapa jauh penglaman dan pengetahuan klien dan keluarga
tentang penyakitnya.
b. Dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya
akan merasa tenang dan mengurangi cemas.
c. Diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai
keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan
ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan (Nursalam, 2001:63).
Pelaksanaan tindakan kepewaratan pada klien fraktur femur dilakukan
sesuai dengan perencanaan keperawatan yang letah ditentukan, dengan tujuan
unutk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah intelektual untuk melengkapi proses asuhan keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaanya yang berhasil dicapai. Meskipun evaluasi diletakkan pada akhir
asuhan keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap asuhan
keperawatan (Nursalam, 2001:71).
Setelah data dikumpulkan tentang status keadaan klien maka perawat
memebandingkan data dengan outcomes. Tahap selanjutnya adalah membuat
keputusan tentang pencapaian klien outcomes, ada 3 kemungkinan keputusan
tahap ini :
1) Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan.
2) Klien masih dalam catatan hasil yang ditentukan.
3) Klien tidak dapat mencapai hasil yang ditentukan (Nursalam, 2001:73)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2010, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8
volume 2, EGC, Jakarta.

Budiyanto, Aris. 2010. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pasca Operasi


Pemasangan Orif Pada Fraktur. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Retrived from :http://www.scribd.com/doc/20058202/fraktur. Diakses pada 06
Februari 2012.

Johnson, M. Maas, M and Moorhead, S. 2011. Nursing Outcomes Classifications


(NOC).Second Edition. IOWA Outcomes Project. Mosby-Year Book,
Inc. St.Louis, Missouri.

North American Nursing Diagnosis Association. 2012. Nursing Diagnosis :


Definition and Classification 2012-2014. NANDA International. Philadelphia.

McCloskey, J.C and Bulechek, G.M. 2011. Nursing Intervention Classifications


(NIC). Second Edition. IOWA Interventions Project. Mosby-Year Book,
Inc. St.Louis, Missouri.

Anda mungkin juga menyukai