Anda di halaman 1dari 13

I.

Latar Belakang

Hukum Internasional adalah bagian yang mengatur aktivitas hukum berskala internasional.
Yang pada awlanya hanya berupa bentuk interaksi perilaku dan hubungan antar negara, tapi
seiring berjalannya waktu dan kompleksitas ilmu hubungan internasional, pengertian hukum
internasional ini meluas sehingga mengurusi struktur dan perilaku internasional, dan pada
batas tertentu juga megurusi tentang perusahaan multinasional dan individu negara.

Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang
khusus berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu : (1) Hukum Internasional regional :
Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum
Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf)
dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the
sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional
Umum. (2) Hukum Internasional Khusus : Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang
khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai
cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda
dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses
hukum kebiasaan.

Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri
atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri
yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi
antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
II. Pembahasan

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala
internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan
hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang
semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga
mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan
multinasional dan individu.

Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum


antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan
aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum
antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang
mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.

Selain pengertian diatas, berikut adalah Pengertian Hukum International menurut beberapa
ahli:

J.G. Starke merumuskan hukum internasional `sebagai sekumpulan hukum yang sebagian
besar terdiri dari asas-asas dan peraturan-peraturan tingkah laku yang mengikat negara-
negara dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antar negara satu sama lain yang juga
meliputi:
a. Peraturan-peraturan hukum mengenai pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi itu masing-masing serta hubungannya dengan negara-negara dan
individu¬individu; dan
b. Peraturan-peraturan hukum tertentu mengenai individu-individu dan kesatuan-kesatuan
bukan negara sepanjang hak-hak atau kewajiban-kewajiban individu dan kesatuan itu
merupakan masalah persekutuan internasional.

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM. merumuskan hukum internasional sebagai
berikut:
Hukum internasional adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara antara:
1) negara dengan negara;
2) negara dengan subyek hulcum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu
sama lain.

Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. mendefinisikan “Hukiun Publik Internasional” sebagai


hukum yang mengatur perhubungan hukum antara pelbagai bangsa di pelbagai negara
sebagai perbedaan daripada istilah “Hukum Perdata Internasional”.
Dari tiga definisi di atas menunjukkan bahwa hukum internasional merupakan sekumpulan
peraturan yang mengatur hubungan antar subyek hukum internasional yang satu dengan
subyek hukum internasioal yang lain.

Istilah Hukum Internasional

Dalam berbagai literatur Barat dan dalam bahasa Indonesia, istilah Hukum Internasional
dikenal dengan nama -Ius gentium (Latin), Volkerrech (Jerman), Volkenrech (Belanda), Ius
inter gen¬tes, Law of nations, Public international law, Transnational law, Common law of
mankind, Hukum bangsa-bangsa, dan Hukum antarnegara. Namun, dalam konteks Indonesia,
istilah ‘hukum internasional’ merupakan istilah yang paling lazim digunakan.

Alasan penggunaan hukum internasional dalam kajian keilmuan karena istilah hukum
intemasional adalah istilah yang paling mendekati kenyataan dan sifat daripada hubungan-
hubungan dan masalah-masalah yang menjadi obyek bidang hukum ini. Pada masa sekarang
persoalan yang dikaji oleh hukum intemasional tidak hanya terbatas pada hubungan
antarbangsa-bangsa atau antarnegara saja melainkan telah mencakup berbagai persoalan
hubungan antarsubyek hukum baik dalam suasana damai maupun suasana perang/konflik.

Dasar Hukum Internasional

Ada tiga dasar utama hukum internasional yang umumnya diakui oleh para penulis, yakni
rasa keadilan, hukum kodrat, dan positivisme.

1) Rasakeadilan

Hukum internasional sebagai bagian dari norma hukum pada umumnya memiliki dasar yang
sama dengan hukum lainnya. Menurut Wirjono (1967), rasa keadilan adalah dasar segala
hukum. Artinya, hukum internasional harus berdasar pada rasa keadilan yang hidup dan
terpelihara dalam berbagai bangsa di dunia.

2) Hukum Kodrat

Sudah lama bahkan pertama kali hukum internasional mendasarkan pada hukum kodrat
(natural law). Kelompok penulis hukum internasional yang mendasarkan pada hukum kodrat
disebut kaum naturalis. Kelompok naturalis berpendapat bahwa kaidah dan prinsip hukum
dalam semua sistem hukum tidak dibuat oleh manusia melainkan berasal dari kaidah dan
prinsip yang telah berlaku sepanjang masa dan bersifat universal. Beberapa asas hukum alam
yang berlaku universial di seluruh dunia antara lain: orang dilarang mengambil barang milik
orang lain dengan maksud untuk memiliki, kalau orang menguasai barang milik orang lain
maka barang tersebut harus dikembalikan, setiap orang harus memenuhi janji, orang harus
mengganti kerugian akibat kesalahannya, orang yang melakukan kejahatan harus dihukum,
dan masih banyak lagi ketentuan lainnya.
3) Positivisme

Positivisme merupakan dasar hukum intemasional yang bersumber pada kesepakatan


bersama antara negara berupa perjanjian dan kebiasaan internasional. Kelompok posivisme
beranggapan bahwa peraturan dalam hubungan antarnegara adalah kaidah atau prinsip yang
buat bersama sesuai dengan kepentingan dan kemauan negara-negara tersebut.
Dasar hukum ini bersumber pada kesepakatan atau perjanjian sebagaimana dinyalakan
Rousseau dalam bukunya Du Contract Social bahwa hukum adalah pernyataan kehendak
bersama.

Subjek Hukum Internasional

Subjek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan
pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan
pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum
internasional. Namuan, seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan pelaku-pelaku
subjek hukum internasional itu sendiri. Subjek hukum Internasional terdiri dari :
1. Negara
Negara adadalah subjek hukum internasional dalam arti klasik, yaitu sejak lahirnya
hukum internasional. Sampai saat ini masih ada anggapan bahwa hukum
internasional pada hakikatnya adalah hukum antar negara. Negara yang dimaksud
disini adalah negara merdeka, berdaulat, dan tidak merupakan bagian dari suatu
negara. Negara yang berdauat artinya negara yang mempunyai pemerintahan sendiri
secara penuh, yaitu kekuasaan penuh terhadap warga negara dalam lingkungan
kewenangan negara tersebut.

2. Individu
Individu dalam melakukan tindakan atau kegiatan akan memperoleh penilaian positif
atau negatif sesuai dengan kehendak demi kehidupan masyarakat dunia. Individu
telah lama dianggap sebagai subjek hukum internasional. Hal ini antara lain terdapat
dalam Perjanjian Versailes (1919) dan perjanjian antara Jerman dengan Polandia
(1922). Selain perjanjian tersebut, pengakuan individu sebagai subjek hukum
terdapat dalam Keputusan Mahkamah Internasional Permanen yang menyangkut
pegawai kerja api Danzig, serta keputusan organisasi regional dan transional seperti
PBB, ILO dan masyarakat Eropa.
3. Tahta Suci / vatican
Tahta suci merupakan salah satu subjek hukum internasional yang telah ada sejak
dahulu disamping negara. Tahta suci disini adalah gereja Katolik Roma yang
diwakili oleh Paus di Vatikan. Hal ini merupakan peninggalan sejarah ketika Paus
bukan hanya merupakan kepala gereja Roma, tetapi juga memiliki kekuasaan
duniawi. Tahta suci merupakan suatu subjek yang sejajar kedudukannya dalam
negara. Hal ini terjadi sejak diadakannya perjanjian antara Italia dengan Tahta Suci di
Vatikan tanggal 11 Juli 1929.

4. Palang Merah Internasional


Organisasi ini menjadi subjek hukum yang terbatas dan lahir karena sejarah. Palang
merah internasional kedudukannya diperkuat dalam perjanjian. Pada saat ini palang
merah internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasonal yang
memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional tersendiri.

5. Organisasi Internasional
Organisasi Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi
Buruh Internasional (ILO), mempunyai hak dan kewaiban yang ditetapkan dalam
konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya.
Artinya, kedudukan organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional
tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum adanya kepastian mengenai hal
ini.
Organisasi internasional mempunyai klasifikasi, yakni:

a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan


maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa
Bangsa ;

b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan


tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO,
International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;

c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan


global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe
Union.

6. Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan
hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta
yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi
perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan ini kemudian melahirkan hak-hak
dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensinya,
struktur, substansi, dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.
7. Pemberontak dan Pihak dalam sengketa.
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai
pihak yang bersengketa (beligerent) dalam beberapa keadaan tertentu. Hak-hak
tersebut meliputi hak untuk menentukan nasibnya sendiri, memilih sistem, serta
menguasai sumber kekayaan alam diwilayahnya.

Subyek hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai pihak yang dapat dibebani hak
dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional atau setiap negara, badan hukum
(internasional) atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan
internasional.

Sedangkan objek hukum internasional adalah pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan


atau dibahas dalam hukum internasional. Namun, kawasan geografis suatu Negara (difined
territory) juga dapat dikatakan sebagai objek hukum internasional dikarenakan sifat objek
hukum internasional hanya bisa dikenai kewajiban tanpa bisa menuntut haknya. Objek
hukum merupakan sesuatu yang dapat berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi suatu
pokok hubungan hukum yang dilakukan oleh subyek-subyek hukum, biasanya dinamakan
benda atau hak yang dapat dimiliki dan dikuasai oleh subyek hukum.

Objek Hukum Internasional

Objek hukum internasional terdiri dari:

1. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia


Hukum Internasional hak asasi manusia adalah semua norma hukum internasional yang
ditunjukkan untuk menjamin perlindungan terhadap pribadi (individu)

2. Hukum Humaniter Internasional


Hukum Humaniter Internasional adalah semua norma hokum internasional yang bertujuan
memberi perlindungan pada saat timbul konflik bersenjata bukan internasional, kepada
anggota pasukan tempur yang tidak bias lagi menjalankan tugasnya lagi, atau orang-orang
yang tidak terlibat dalam pertempuran.

3. Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan (massal)


Istilah ini dikeluakan oleh pengadilan Nurenberg untuk perbuatan kejam Nazi Jerman
terhadap warga negaranya sendiri. Namun, dewasa ini genosida (pembunuhan massal dilatar
belakangi kebencian terhadap etnis, suku tertentu) juga termasuk dalam hukum ini.
Subyek dan Objek hukum internasional dapat berubah. Seperti apa yang terjadi pada perang
Serbia-Bosnia (perang Balkan), dimana Mahkamah Internasional (ICJ) akhirnya menjatuhkan
hukuman secara individu terhadap petinggi militer Serbia karena dianggap sebagai orang-
orang yang paling bertanggung jawab terhadap pembantaian kaum muslim Bosnia. Mantan
petinggi militer Serbia yang diadili antara lain, Kepala Staff militer Serbia, Ljubisa Beara;
Vujadin Popovic, pejabat militer yang bertanggung jawab atas pengerahan polisi militer,
Ljubomir Borovcanon, Deputi Komandan Polisi Khusus Serbia; Vinko Pandurevic,
Komandan Brigade yang melakukan serangan dan Drago Nikolic, Kepala Brigade Keamanan
militer Serbia. Dari hal ini, saya dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan status
subyek hukum internasional itu sendiri yaitu, perang ini melibatkan negara (Serbia), namun
pada akhirnya mahkamah menjatuhkan hukuman terhadap individu.

Objek hukum internasional dapat berubah disebabkan dunia global dan internasional yang
bersifat dinamis (selalu berubah). Sehingga tindak lanjut dari hukum internasional itu sendiri
akan berubah mengikuti arus perkembangan zaman dan permasalahan baru yang akan timbul
dalam hubungan internasional kedepannya. Seperti permasalahan yang terbaru saya baca di
internet yakni kasus perompakan kapal-kapal laut di Somalia. Kasus ini menyebabkan PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi agar kejadian ini tidak terulang
kembali.

Objek hukum internasional dapat hilang. Objek hukum internasional telah saya sebutkan tadi
diatas bahwa wilayah geografis termasuk didalamnya. Dalam kaitan ini, saya mencoba
menghubungkan dengan kepulauan yang berada di sebelah timur laut Australia. Pulau-pulau
yang kebanyakan tak berpenghuni ini dijadikan Prancis (pulau ini dibawah kekuasaan
Prancis) dijadikan sebagai ajang uji coba Nuklir mereka. Sehingga, dampak dari uji coba ini
adalah hilangnya (tenggelam) pulau tersebut. Dalam hal lain, kasus perebutan pulau
Malvinas/Falkland (Inggris-Argentina) juga dapat dijadikan referensi sebagai hilangnya
objek internasional. Pulau Malvinas (penyebutan oleh orang Argentina dan Falkland oleh
orang Inggris) adalah pada mulanya milik Argentina. Namun, Inggris mengklaim pulau
tersebut sehingga menyebabkan tejadi perang dimana Argentina kalah dan harus merelakan
“hilang” nya pulau tersebut dari peta geografis wilayah Argentina.
Keterkaitan antara hukum internasional dengan Ilmu Hubungan Internasional

Terdapat relevansi yang sangat kuat antara Hubungan internasional dengan Hukum
Internasional. Hukum Internasional dan ilmu hubungan internasional seperti pepatah “dua sisi
mata uang”, dengan kata lain tidak dapat dipisahkan. Relevansinya adalah ada kaitan yang
sangan konkret yakni suatu hal(termasuk negara dan individu) yang melintasi batas wilayah
suatu negara yang ditandai dengan kerjasama-kerjasama internasional dan hal-hal lain seperti
regionalisme ekonomi. Hubungan internasional di era modern ini lebih diwarnai dengan
stabilitas dunia yang cukup baik. Meski tidak dapat pula dinafikan di beberapa belahan dunia
masih terjadi berbagai konflik yang belum usai. Hukum internasional yang disengajakan
sebagai pranata yang mengatur relasi antara satu subyek hukum internasional yang
melibatkan banyak negara ikut andil dan ambil peran yang sangat vital bagi kemajuan dan
perdamaian dunia saat ini. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting
dari hukum internasional.

Objek dari hukum internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi
internasional. Hubungan yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan
internasional dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar
negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara
yang hanya mengatur hubungan dalam negeri . Kaedah hukum internasional ialah kaedah
wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan antara hukum
internasional dengan kaedah internasional yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib
seperti life service dan adat kebiasaan internasional. Oleh karena itu, hukum internasional
harus senantiasa dikawal oleh semua Negara sehingga praktek hukum yang dilakukan oleh
semua Negara di dunia ini berlandaskan pada keadilan dan kemanusiaan.

Sumber Hukum Internasional

Sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :


1. Sumber hukum materil, yaitu segala sesuatu yang membahas dasar berlakunya hukum
suatu negara.
2. Sumber hukum formal, yaitu sumber darimana kita mendapatkan atau menemukan
ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Menurut pasal 38 Piagam mahkamah Internasional, sumber hukum formal terdiri dari :
• Perjanjian Internasional, (traktat/Treaty)
• Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai
hukum
• Asas-asas umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab
• Yurisprudency, yaitu keputusan hakim hukum internasional yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap
• Doktrin, yaitu pendapat para ahli hukum internasional.
Prinsip-prinsip umum hukum dalam perjanjian internasional

Prinsip-prinsip hukum umum sebagai salah satu sumber utama hukum internasional adalah
asas-asas hukum yang mendasari sistem hukum positif yang sudah melembaga.

Ketentuan Konvensi Wina mengakui beberapa prinsip-prinsip hukum umum tentunya


terutama terkait dengan perjanjian internasional, yaitu:
a) Prinsip “pacta sun servanda” : setiap perjanjian berlaku mengikat terhadap pihak-pihak
pada perjanjian dan harus dilaksanakan dengan itikat baik
b) Prinsip “free consent” : setiap pihak mempunyai kebebasan untuk melakukan kesepakatan
dengan pihak manapun
c) Prinsip “good faith” : setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik oleh para
pihak
d) Prinsip “non retroactive” : konvensi hanya berlaku terhadap perjanjian yang ditutup
sesudah berlakunya konvensi
e) Prinsip “pactaterties nee nosunnenprosunt” : perjanjian hanya berlaku pada pihak yang
membuat perjanjian
f) Prinsip “rebus sic stantibus/fundamental change of circumstances” : perjanjian
internasional akan batal bilamana ada perubahan yang mendasar apa yang menjadi obyek
perjanjian
g) Prinsip “et equo et bono” : prinsip kepatutan dan kewajaran menjadi dasar setiap
penerapan perjanjian internasional
h) Prinsip “jus cogen” : perjanjian batal bilamana muncul noma imperatif baru menggantikan
norma lama yang mendasari perjanjian

Disamping prinsip-prinsip di atas masih ada prinsip hukum umum yang termuat dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Charter) yang harus dipatuhi para pihak
dalam menutup dan melaksanakan perjanjian internasional seperti:
a) Prinsip persamaan hak (equality rights),
b) Penentuan nasib sendiri (self determination),
c) Prinsip persamaan kedaulatan dan kemerdekaan semua negara,
d) Prinsip tak mencampuri urusan dalam negeri (non-interference),
e) Prinsip larangan mengancam atau menggunakan kekerasan (refrain of the threat and use of
force) dan
f) Prinsip penghormatan universal dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (respecting
for human rights) dan kebebasan dasar manusia bagi semua orang (fundamental freedom).
Peranan dan Fungsi Hukum Internasional

Fungsi hukum internasional, yaitu sebagai suatu sistem, hukum internasional merupakan
sistem hukum yang otonom, mandiri dari politik internasional. Tetapi fungsi utamanya adalah
yaitu untuk melayani kebutuhan-kebutuhan komunitas internasional termasuk sistem Negara
yang otentik. Dan secara khusus Koskenniemi menyimpulkan bahwa fungsi dari Hukum
Internasional adalah menegaskan tugasnya sebagai suatu tehnik formal yang relative mandiri
(as a relatively autonomous formal technique), juga sebagai suatu instrument untuk
meningkatkan klaim khusus dan agenda-agenda dalam kaitannya dengan perjuangan
politik.dan yang terakhir hukum internasional dan lembaganya memiliki maksud dan tujuan
serta fungsi untuk memelihara terwujudnya gagasan tentang adanya keseimbangan
kepentingan, the idea of the harmony of interests. Hadirnya suatu kesepakatan yang berada di
bawah kesepakatan antara negara-negara yang sedang berbeda kepentingan.

Fungsi lain hukum internasional, mampu memperjungkan suatu keseimbangan terkait dengan
elaborasi ketergantungan antar negara. Karena akibat teori globalisasi, terutama terkait
dengan perdagangan internasional, keuangan internasional, komunikasi internasional, dan
seluruh faktor penting yang membuat suatu negara dapat hidup, dan seluruh persyaratan dari
system hukum internasioal dapat menyediakan suatu kerangka kerja yang stabil dalam
memperlihatakan adanya fungsi hukum internasional.

Dalam konteks dunia ketergantungan tersebut, maka lembaga-lembaga, prosedur dan


mekanisme, hingga teori- teori digunakan untuk suatu agumentasi, dapat mengartiukulasikan
berbaagai kepentingan negara-negara berdasarkan iternasionalisasi suatu istilah hukum
sepeti, kedaulatan “sovereignty”, perjanjian “treaty”, dan daya ikat (the binding force), tetapi
membatasi apa yang disebut dengan kepentingan negara atau identitas negara.
Analisa Kasus yang menyangkut Hukum Internasional

Serangan Amerika ke Suriah dan Hukum Internasional

Zaki Mubarok
Jakarta - "This developing international norm in favor of intervention to protect civilians
from wholesale slaughter will no doubt continue to pose profound challenges to the
international community." (Kofi Annan, 1999)

Serangan aliansi pasukan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis diluncurkan pada 13 April
2018 ke tiga target termasuk dua fasilitas yang dicurigai sebagai tempat untuk
mengembangkan senjata kimia di wilayah Suriah. Publik domestik dan komunitas
internasional terbelah dalam menyikapi serangan tersebut.

Banyak yang mendukung serangan pasukan aliansi, namun tidak sedikit yang menolak
serangan tersebut dengan dalih yang bervariasi. Bahkan ada yang mengaitkan dengan
pertarungan antara sunni dan syiah. Namun yang pasti serangan ini bukanlah pertama kali ke
wilayah berdaulat Suriah; sebelumnya pernah dilakukan pada 2017.

Pasukan aliansi berdalih serangan tersebut untuk menghukum Suriah yang dianggap
melakukan pelanggaran hukum internasional secara terus-menerus, dan memberikan
peringatan agar Rezim Assad berhenti menggunakan senjata yang dilarang penggunaannya
oleh The Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW). Situasi akan
menjadi tambah runyam apabila pasukan aliansi mengulang lagi serangan untuk kesekian
kalinya.

Hubungan Internasional dan Hukum Internasional

Konflik Suriah bisa dianalisis dengan pendekatan hubungan internasional, hukum


internasional, ataupun kombinasi keduanya. Meskipun kedua disiplin ilmu tersebut terkait
namun tulisan ini lebih ke hukum internasional.

Dalam perspektif hubungan internasional, serangan ke wilayah Suriah mewakili warisan lama
perang dingin dan menjadikan lahan subur bagi proxy war. Namun sumber utama konflik
sejatinya berasal dari perseteruan dalam negeri yang sangat rumit dari 4 (empat) pihak yaitu
Rezim Assad, Kurdi, ISIS, dan para pemberontak. Masing-masing didukung oleh negara
asing termasuk negara besar dan negara tetangga kecuali ISIS.

Sumbu utama konflik adalah sikap represif Pemerintah Suriah terhadap para demonstran pada
2011 sebagai rentetan dari Arab Spring yang menimbulkan perlawanan yang konsisten dari
para demonstran atau oposan untuk menggulingkan Rezim Assad.
Perebutan kekuasaan di Suriah memasuki babak baru ketika Rezim Assad diduga kuat
menggunakan gas kimia sarin terhadap penduduk sipil sehingga menimbulkan kegeraman
dari para penduduk negeri dan komunitas internasional.

Belajar dari Kasus Irak

Serangan aliansi Amerika Serikat merupakan hasil dari sidang DK PBB yang gagal
menghasilkan resolusi akibat di-veto oleh Rusia. Serangan unilateral ini sekarang menjadi hal
yang lumrah karena telah sering terjadi.

Ingatan kita kembali ke masa penggulingan Rezim Saddam Hussein yang dianggap
menyimpan hulu ledak nuklir yang akhirnya tidak terbukti. Saat itu, DK PBB tidak berhasil
menyepakati keluarnya "any necessary means" sebagai frasa pamungkas yang memberikan
otorisasi negara anggota PBB untuk melucuti senjata nuklir rezim Saddam Hussein dengan
berbagai cara termasuk dengan kekuatan militer. Pada akhirnya benar atau salah menjadi hal
yang tidak terlalu penting bagi sekutu.

Apa Kabar Hukum Internasional?

Sifat alamiah hukum internasional sangatlah berbeda dengan hukum nasional. Hukum
internasional tidak memiliki penegak hukum yang memiliki otoritas untuk memaksa agar
pihak yang bersalah dapat mematuhi aturan yang telah disepakati karena ada prinsip consent
to be bound dan kedaulatan.

Sebagai ilustrasi, apabila suatu negara yang bukan state party terhadap suatu perjanjian, maka
negara tersebut tidak terikat terhadap perjanjian dimaksud. Namun, banyak juga kasus di
mana negara tidak mematuhi hukum internasional meskipun terikat oleh putusan tersebut.
Salah satu contoh adalah Kasus Laut Cina Selatan.

Dalam kasus Suriah, hukum internasional hanya berfungsi sebagai "toolbox" para pemimpin
dunia untuk melakukan justifikasi atas tindakannya. Para pemimpin tersebut akan
menggunakan hukum internasional ketika dibutuhkan, namun akan meninggalkannya ketika
dirasa tidak sesuai selera dan kepentingan.

Ketidakpatuhan Suriah atas OPCW memantik Amerika Serikat untuk melakukan


penyerangan meskipun tindakan tersebut ilegal. Di sisi lain, Suriah juga melanggar konvensi
internasional tentang penggunaan senjata kimia.

Unilateral Action dan Norma Baru

Serangan unilateral merupakan doktrin yang berbahaya. Tanpa otorisasi PBB, negara besar
bisa menyerang negara lain apabila dirasa berlawanan dengan kepentingan nasional negara
tersebut. Apabila terjadi demikian, tidak ada rujukan yang jelas dan pasti kapan dan seberapa
besar serangan tersebut dilakukan. Ibarat di ring tinju, ketiadaan wasit dan aturan main akan
cenderung membuat pertandingan berlangsung secara brutal dan tidak terukur.
UN Charter secara jelas mensyaratkan dua kondisi yang harus dipatuhi agar serangan
menjadi legal menurut hukum internasional yaitu self-defence baik secara kolektif atau
individu (Artikel 51) dan melalui otoritas DK PBB (Artikel 42) atas dasar humanitarian
intervention. Amerika Serikat telah terikat klausula ini dalam konstitusinya dan memasukkan
sebagai "Law of the Land".

Alasan humanitarian intervention juga tidak terpenuhi dalam serangan tersebut karena tiga
syarat tidak terpenuhi. Yaitu, bukti kuat yang diakui oleh komunitas internasional, tidak ada
alternatif lain selain menggunakan kekuatan, serta ketiadaan parameter necessary and
proportionate saat melakukan serangan.

Apakah Amerika Serikat dan sekutu merupakan satu satunya yang melanggar hukum
internasional? Negara besar lain seperti Rusia telah melakukan pelanggaran hukum
internasional ketika menganeksasi Crimea. Adigum "more power more corrupt" berlaku.
Meskipun secara jelas melanggar hukum internasional, tidak ada negara yang melakukan
penyerangan ke Rusia. Upaya untuk mendapatkan otorisasi DK PBB juga menjadi mustahil
karena di-veto oleh Rusia.

Penggunaan unilateral action tidak akan menyelesaikan masalah. Sebagaimana kasus Irak,
apabila rezim Assad tumbang, potensi distabilitas di depan mata karena perebutan kekuasaan
telah menunggu. Hal ini bisa dilihat dari proliferasi jumlah pihak yang berkonflik di Suriah.
Masing-masing memiliki wilayah kekuasaan dan agenda tersendiri.

Ada dua hal yang bisa disimpulkan. Pertama, hak veto yang dimiliki 5 (lima) negara besar
mengebiri hukum internasional. Apabila The Big 5 tidak mencapai kesepakatan, maka
unilateral action menjadi pilihan. Hampir tidak mungkin DK PBB mencapai kesepakatan
karena hak veto tersebut. Sejarah juga mencatat bahwa penggunaan kekuatan militer
unilateral terhadap suatu negara hanya dilakukan oleh The Big 5 atau koalisi yang dipimpin
oleh mereka.

Kedua, kasus Suriah merupakan dilema nyata dalam hukum internasional. Suriah dan
Amerika Serikat telah melanggar hukum internasional. Pertentangan antara kedaulatan
sebuah negara dan korban masyarakat sipil menjadi pilihan yang sulit.

Persoalan mendasarnya adalah sifat hukum internasional yang tidak memiliki penegak
hukum sehingga perlu norma hukum baru tentang perlindungan masyarakat sipil dengan
kekuatan bersenjata sesuai dengan perkembangan di hubungan internasional. Pilihan lain,
negara besar akan dengan mudah menyerang negara lain dengan legal argument yang
mengada-ada. Semoga ini tidak terjadi lagi.

Zaki Mubarok mahasiswa Program Doktoral di University of Wollongong; Master of


International Law and International Relations of University of New South Wales, Australia
dan United Nations Nippon Fellow 2016

Anda mungkin juga menyukai