Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

UNDESENSUS TESTIS

Disusun Oleh:
Sarah Savitri 170070201011099
Thalia Virgina Putri Suharli 170070201011107
Rizqi Bagus Setyo Prawiro 170070201011170

Pembimbing:
Pembimbing I: Dr. dr. Besut Daryanto, Sp.B, Sp.U (K)
Pembimbing II: dr. Aditya Airlangga Ekaputra

LABORATORIUM/SMF ILMU BEDAH


RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN
UNDESCENDED TESTIS

Disusun Oleh:
Sarah Savitri 170070201011099
Thalia Virgina Putri Suharli 170070201011107
Rizqi Bagus Setyo Prawiro 170070201011170

Disetujui untuk dibacakan pada :


Hari : Senin
Tanggal : 17 Juni 2019

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. dr. Besut Daryanto, Sp.B,Sp.U(K) dr. Aditya Airlangga E.

2
DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan................................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. 4

DAFTAR TABEL…………………………………………………………………...........5
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 6

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………. ................ 6

1.2 Tujuan……………………………………………………………………. ................7

1.3 Manfaat............................................................................................. .............. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 9

2.1 Definisi……………………………………………………………………. .............. 9

2.2 Epidemiologi………………………………………………….………….. .............. 9

2.3 Etiologi………………………………………………….......................... ............ 10

2.4 Klasifikasi………………………………………………………….……… ........... 13

2.5 Diagnosis…………………………………………………….……........................14

2.6 Diagnosis Banding…………………………………………………… ............... .17

2.7 Tatalaksana ................................................................................................. 17

2.8 Komplikasi………………………………………………………………………….22

2.9 Prognosis………………………………………………………............................22

BAB III HASIL PENELITIAN.................................................................................25


BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................29
BAB V KESIMPULAN......……………………………………………........................31

DAFTAR PUSTAKA......……………………………………………..........................32

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema penurunan testis……………………...……………………….….13


Gambar 2. Proses penurunan testis………………………………………………….13
Gambar 3. Prinsip dasar orkidopeksi………………….…………………………..…20
Gambar 4. Algoritma manajemen UDT oleh American Urological Association ....21

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data prevalensi UDT berdasarkan umur oleh Scorer dan Farrington…10
Tabel 2. Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelainan UDT ……….………………21

5
BAB I
PENDAHULUAN

Undesensus Testis (UDT) atau cryptorchidism didefinisikan sebagai gagalnya

proses penurunan testis ke dalam skrotum dimana testis berada pada posisi

ekstraskrotal sehingga tidak dapat diidentifikasi keadaannya pada awal setelah

kelahiran. Kondisi dimana testis tidak berada pada skrotum sesaat setelah bayi

lahir disebut sebagai congenital cryptorchidism dan acquired cryptorchidism

kondisi dimana testis pada awal kelahiran testis pada intraskrotal dan pada

pemeriksaan lanjutan beberapa saat setelah lahir teridentifikasi pada ekstraskrotal

(AUA, 2014).

Insiden undesensus testis terkait erat dengan umur kehamilan, dan maturasi

bayi. Insidennya 3-6% pada bayi laki-laki yang lahir cukup bulan dan meningkat

menjadi 30 % pada bayi prematur. Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral

dan UDT bilateral (Kaplan, 2003). Berdasarkan data rekam medik di RSUD Dr.

Saiful Anwar sepanjang tahun 2015 - 2019, didapatkan 41 kasus UDT pada laki-

laki, dengan 20% pada usia diatas 15 tahun dan 80% diketahui pada anak – anak

usia dibawah 18 tahun. Berdasarkan data rekam medik tersebut didapatkan bahwa

kasus yang paling banyak ditemukan ialah undesensus testis unilateral sebanyak

31 kasus. Usia pasien saat mendapatkan terapi sangat penting dikarenakan dapat

mempengaruhi prognosis dan komplikasi dari UDT tersebut.

Penyebab pasti UDT masih belum banyak diketahui. Penyebab UDT adalah

multifaktorial, yakni melibatkan faktor mekanik, hormon, serta genito femoral

nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP) (Kolon et al, 2004). Masih banyak

aspek UDT yang perlu dipelajari, termasuk diantaranya fisiologi penurunan testis,

etiologi, petanda molekuler tentang fertilitas, potensi keganasannya, diagnosis,

hingga terapi UDT. Penegakan diagnosis UDT dilakukan dengan melakukan

6
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang seperti radiologis

untuk menentukan letak testis yang tidak teraba. Diagnosis dan terapi dini

diperlukan pada kasus-kasus UDT mengingat terjadinya peningkatan risiko

infertilitas dan keganasan (Kolon et al, 2004; Schneck FX, 2000).

Karena kejadian UDT merupakan salah satu kelainan kongenital yang sering

ditemukan, terjadi pada 1% hingga 4% pada kelahiran cukup bulan dan 1% hingga

45% pada kelahiran neonates laki - laki premature (Sijstermans et al, 2008), serta

mekanisme kejadian UDT yang masih belum banyak diketahui, maka diperlukan

pengetahuan yang baik untuk mendiagnosis dan memahami penatalaksanaan

yang tepat untuk anak dengan UDT sehingga tidak terjadi komplikasi di kemudian

hari. Sebagai dokter umum yang bekerja di pelayanan primer harus menyadari

pentingnya mempelajari segala penyakit yang menjadi kompetensinya, termasuk

UDT.

1.1 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari undesensus testis?

2. Apa faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya undesensus testis?

3. Bagaimana manifestasi klinis dari undesensus testis?

4. Bagaimana cara menegakan diagnosis dan manajemen dari undesensus

testis ?

5. Apa komplikasi dan prognosis dari undesensus testis?

1.2 Tujuan

1. Mengetahui definisi undesensus testis

2. Mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya undesensus

testis

7
3. Mengetahui manifestasi klinis dari undesensus testis

4. Mengetahui menegakan diagnosis dan manajemen undesensus testis

5. Mengetahui komplikasi dan prognosis dari undesensus testis

1.3 Manfaat Penulisan

1. Memberikan tambahan informasi bagi peserta didik mengenai UDT pada anak.

2. Menjadi referensi pada penulisan selanjutnya untuk menyempurnakan

penulisan yang sebelumnya ada.

3. Memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai UDT pada anak.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Undesensus testis (UDT) atau cryptorchidism didefinisikan sebagai gagalnya

proses penurunan testis ke dalam skrotum dimana testis berada pada posisi

ekstraskrotal sehingga tidak dapat diidentifikasi keadaannya pada awal setelah

kelahiran. Kondisi dimana testis tidak berada pada skrotum sesaat setelah bayi

lahir disebut sebagai congenital cryptorchidism dan acquired cryptorchidism

kondisi dimana testis pada awal kelahiran testis pada intraskrotal dan pada

pemeriksaan lanjutan beberapa saat setelah lahir teridentifikasi pada ekstraskrotal

(AUA, 2014).

2.2 Epidemiologi

Dari penelitian yang dilakukan oleh Kolon pada tahun 2010, insiden UDT pada

bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi dan tingkat kematangan atau

umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup

bulan. Bayi dengan berat lahir <900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan

dengan berat lahir <1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur

menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama

dengan populasi dewasa yang digambarkan pada Tabel 1 sebagai berikut (Kolon,

2010):

9
Tabel 1: Data prevalensi UDT berdasarkan umur oleh (Kolon, 2010)
Usia Berat Lahir Insiden (%)
Prematur 451-910 100.0

911-1810 62.0

1811-2040 25.0

2041-2490 17.0

Cukup bulan 2491-2720 12.0

2721-3630 3.3

3631-5210 0.7

1 tahun 0.7 - 0.8


Usia sekolah 0.76 - 0.95
Usia dewasa 0.7 - 1.0

2.3 Etiologi

Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor yaitu

(Tanagho, 2000):

1. Sekunder paska operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat

2. Kelainan kanalis inguinalis

3. Perlekatan gubernakular

4. Peningkatan tekanan abdomen

5. Hormonal: testosteron, MIS, dan extrinsic estrogen

6. Genito femoral nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP)

UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated anomaly),

ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex, dan kelainan

bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia

kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12 ± 25 %).

Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated, di

samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT. Sekitar 4,0 % anak-

anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2 ± 9,8% mempunyai saudara laki-

laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki-laki yang

10
mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum (Tanagho,

2000).

2.3.1 Embriologi

Pada minggu keenam umur kehamilan primordial germ cells mengalami

migrasi dari yolk sac ke genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining

region Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yang

berisi prekursor sel-sel sertoli besar yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan

sel-sel leydig kecil dengan stimulasi FSH yang dihasilkan oleh pituitary mulai aktif

berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müllerian

Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF

juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel leydig. Pada minggu ke-

10 dan 11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan

plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang

sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimis, vas deferens,

dan vesika seminalis (Sadler, 2000).

Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Terjadi dalam 2 fase yang

dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual.

Fase transabdominal dan fase inguinoskrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol

hormonal yang berbeda (Kolon, 2002).

Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, dimana

testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi

karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh

androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernakulum (ligamen yang

melekatkan bagian inferior testis ke segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh

MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari region abdominopelvic maka testis

akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan

terbentuk prosesus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum.

11
Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan yang

dijelaskan pada Gambar 1 (Kolon, 2002).

Gambar 1. A: Skema penurunan testis pada minggu ke- 8–15 gubernaculum (G)
berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium
cranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke-skrotum terjadi pada
minggu ke- 28-35. B: Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual
rodent. Pada jantan CSL mengalami regresi dan gubernaculum mengalami
perkembangan; sebaliknya pada betina CSL menetap, dan gubernaculum menipis
dan memanjang (Hutson &Hasthorpe, 2005).

Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan

minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari region inguinal ke

dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum

diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin

generelated peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral

untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari

gubernakulum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan

abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari kavum

abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya

ujung dari prosesus vaginalis melalui kanalis inguinalis menuju skrotum. Proses

penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan (Sadler,

2000).

12
2.4 Klasifikasi

Klasifikasi dari UDT dibedakan menjadi (Niedzielski et al., 2016):

1. Kongenital dan acquired

2. Teraba dan tidak teraba

3. Unilateral atau bilateral

Sekitar 80% dari UDT dapat diraba dan 20% tidak teraba. UDT teraba

terletak di sepanjang rute inguino-skrotum. Jika pada pemeriksaan tidak

ditemukan testis pada perabaan maka kemungkinan testis berada di dalam perut

atau testis hilang (anorchia). Anorchia ialah hasil dari agenesis testis atau atrofi

testis. Klasifikasi testis mengenai posisi testis digambarkan pada Gambar 2,

sebagai berikut:

1. Perut tinggi atau perut rendah

2. Inguinal

3. Supra skrotum atau skrotum tinggi

Gambar 2. Proses penurunan testis normal dimulai dari rongga abdomen ke


skrotum melalui kanalis inguinalis (Niedzielski et al., 2016).

13
2.5 Diagnosis
Pada penegakkan diagnosis dari undesensus testis dapat berdasarkan

anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesa, ditentukan dengan posisi testis

apakah teraba atau tidak di dalam skrotum, riwayat operasi pada daerah inguinal,

riwayat terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, riwayat kehamilan kembar,

riwayat kelahiran prematur, dan riwayat keluarga dengan UDT, hipospadia,

infertilitas, serta pubertas dini (Pratignyo, 2011).

Kemudian, pada pemeriksaan fisik tentukan lokasi testis. Ada beberapa posisi

anak saat diperiksa yaitu supine, squatting, sitting. Pemeriksaan testis harus dilakukan

dengan tangan hangat. Pada posisi duduk dengan tungkai dilipat atau keadaan

relaks pada posisi tidur. Kemudian testis diraba dari inguinal ke arah

skrotum dengan cara milking. Bisa juga dengan satu tangan di skrotum sedangkan

tangan yang lain memeriksa mulai dari daerah spina iliaka anterior

superior menyusuri inguinal sampai kantong skrotum. Hal ini mencegah testis

retraksi karena pada anak refleks muskulus kremaster cukup aktif yang

menyebabkan testis bergerak ke atas / retraktil sehingga menyulitkan penilaian.

Selanjutnya jika testis palpable maka ada beberapa kemungkinan yaitu

testis retraktil, UDT, testis ektopik, ascending testis syndroma.

Ascending testis syndroma ialah testis dalam skrotum atau retraktil, tetapi menjadi

lebih tinggi karena pendeknya funikulus spermatikus. Biasanya baru diketahui

pada usia 8 -10 tahun. Bila testis teraba maka tentukan posisi, ukuran, dan

konsistensi. Bandingkan dengan testis kontralateralnya. Bila testis tidak teraba

maka kemungkinannya ialah : (1) Intrakanalikuler, (2) Intraabdominal, (3) atrofi

testis , (4) agenesis. Kadang di dalam skrotum terasa massa seperti testis atrofi.

Jaringan ini biasanya gubernakulum atau epididimis dan vas deferens yang bisa

bersamaan dengan testis intraabdominal. Impalpable testis biasanya disertai

14
hernia inguinal. Pada bilateral impalpable testis sering berkaitan dengan anomali

lain seperti interseksual, prone belly syndrome.

Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti

supraskrotal (20%), dan intraabdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang

baik dapat menentukan lokasi UDT tersebut (Schneck & Bellinger, 2000; Tanagho

& Nguyen, 2000; Sadler, 2000).

c. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan

laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis

dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis

kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17-hydroxy progesterone)

untuk menyingkirkan kemungkinan intersex (Pratignyo, 2011; Sjamjuhidayat

& De Jong, 2005; Schwartz, 2000). Setelah menyingkirkan kemungkinan

intersex, pada penderita UDT bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba

testis, pemeriksaan LH, FSH,dan testosteron akan dapat membantu

menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di

atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan

melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin

hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan

LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorkia (Schneck &

Bellinger, 2000 ;Tanagho & Nguyen, 2000; Sadler, 2000).

 Pemeriksaan Radiologi

USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama didaerah

inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan

tangan.Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba

15
testis, USG hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan

tidak dapat mendeteksi testis intraabdomen (Schneck and Bellinger, 2000;

Kolon, 2002).

Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kualitas alat yang

digunakan. CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi

dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba

testis). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada

anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI juga dapat mendeteksi

kecurigaan risiko keganasan testis (Kolon, 2002).

Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan

angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi

semakin berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan

vanishing testis ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi

pleksus pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis

(pada anorchia). Kelemahannya selain invasif, juga terbatas pada umur anak-

anak yang lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad (Schneck

&Bellinger, 2000;Tanagho & Nguyen, 2000; Kolon et al., 2004).

 Laparoskopi Diagnostik

Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak

teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang

cukup aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak

yang lebih besar dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya

testis diinguinal (Schneck & Bellinger, 2000;Kolon, 2002). Beberapa hal yang

dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin inguinalis interna,

prosesus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan vaskularisasinya (Kolon,

2002). Tiga hal yang sering dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-ending

pembuluh darah testis yang mengindikasikan anorkia (44%), testis

16
intraabdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas deferens) yang keluar ke-

dalam cincin inguinalis interna (Snodgrass et al, 2011; Kolon et al., 2004).

2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding meliputi testis letak ektopik dan seringkali dijumpai testis

yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba berada di daerah inguinal dan

pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan ini terjadi karena reflek

otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan

aktivitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau kriptorkismus fisiologis

dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu UDT perlu dibedakan dengan

anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini dapat terjadi secara kongenital

memang tidak terbentuk testis, atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in

utero atau torsio pada saat neonates (Schneck & Bellinger, 2000; Tanagho &

Nguyen, 2000).

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan terapi UDT yang utama hingga saat ini adalah memperkecil risiko

terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam

skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara

pembedahan (orkidopeksi). Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan

menimbulkan efek pada testis di kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika

dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah

usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat

untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun. Pada prinsipnya testis yang

tidak berada di skrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara

medikamentosa maupun pembedahan (Tanagho & Nguyen, 2000; Kolonet al.,

2004).

17
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel

germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan

tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi

testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih

dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan

pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41%

dan 20% (Schneck &Bellinger, 2000; Tanagho & Nguyen, 2000).

 Terapi Hormonal

Terapi hormonal telah dilakukan di Eropa sejak tahun 1930. Hormon yang

digunakan berupa androgen (testosteron), human chorionic gonadotropin (HCG),

gonadotropin releasing hormone (GnRH), dan human menopausal gonadotropin.

Hormon yang paling banyak digunakan adalah HCG (keberhasilan 0-55%) dan

GnRh (keberhasilan 9%-78%) (Henna et al., 2004). Keberhasilan terapi HCG di

RSCM yang dilaporkan pada tahun 2003 adalah 75% pada UDT yang teraba dan

50% pada yang tidak teraba (Suryawan et al., 2003). Sampai saat ini, di Indonesia

masih merekomendasikan pemberian terapi hormonal pada bayi usia kurang dari

1 tahun (Tridjaja, 2010).

Di sisi lain, Consensus Report of Nordic Countries menyatakan bahwa terapi

lini pertama untuk UDT adalah operasi dan harus dilakukan pada usia 6-12 bulan.

Sedangkan pemberian HCG tidak direkomendasikan lagi. Terapi hormonal

dianggap menginduksi apoptosis sel germinal sehingga memengaruhi fertilitas di

kemudian hari.

Terapi hormonal pada UDT dapat meningkatkan risiko infertilitas di kemudian

hari oleh karena itu terapi hormonal sebaiknya tidak dianjurkan. Pasien dengan

UDT berisiko menderita keganasan testis di usia dewasa dan orkidopeksi dini

(sebelum usia 12 bulan) terbukti menurunkan risiko tersebut.

18
 Pembedahan

Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT

adalah orkidopeksi. Keputusan untuk melakukan orkidopeksi harus

mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis

anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda. Tujuan operasi adalah: (1)

mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi maligna, (3)

mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan

(5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak

mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan

testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantung sub dartos

(Docimo, Silver, and Cromie, 2000).

Prinsip dasar orkidopeksi menurut (Schneck and Bellinger, 2000) adalah:

1. Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah

2. Ligasi kantong hernia

3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum

Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch skrotum yang

digambarkan pada Gambar 3 sebagai berikut:

19
Gambar 3. Orkidopeksi digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu insisi
dibuat pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada skrotum
(A). Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari insisi abdomen
menempel pada spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan turun ke dalam skrotum
(D) dan dijahit (E) (Docimo, 2000; Schneck & Bellinger, 2000).

Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2 tahun, bahkan

beberapa penelitian menyarankan pada usia 6 – 12 bulan. Penelitian melaporkan

spermatogonia akan menurun setelah usia 2 tahun. Berikut algoritma dari

penatalaksanaan UDT yang digambarkan pada Gambar 4 sebagai berikut:

20
Gambar 4: Algoritma untuk manajemen UDT oleh The American Urological
Association (Kolon et al., 2004).

Indikasi absolut dilakukan operasi pembedahan primer adalah (Schneck &

Bellinger, 2000):

1. Kegagalan terapi hormonal

2. Testis ektopik

3. Terdapat kelainan lain seperti hernia dengan atau tanpa prosesus vaginalis

yang terbuka.

Berbagai teknik operasi pada testis yang tidak teraba dapat dilakukan yang

digambarkan pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelainan UDT dan Tingkat Keberhasilannya
(Docimo, 2000; Schneck &Bellinger, 2000)

Teknik Operasi Angka Keberhasilan


Orkidopeksi abdominal standard 82%
Orkidopeksi 2 tahap 73%
Fowler – Stephens : 1 tahap 67%
Fowler – Stephens : 2 tahap 77%
Orkidopeksi per laparoskopi 100%
Mikrovaskular orkidopeksi 84%

21
2.8 Komplikasi
Komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT adalah keganasan testis dan

infertilitas akibat degenerasi testis. Disamping itu disebut juga terjadinya torsio

testis, dan hernia inguinalis (Sumfest, 2018; Kolon et al., 2004; Wilcox et al., 2001;

Styne, 2002; Danon & Friedman, 1996).

a) Hernia Inguinalis

Sekitar 90% penderita UDT mengalami hernia inguinalis lateralis ipsilateral

yang disebabkan oleh kegagalan penutupan processus vaginalis. Hernia repair

dikerjakan saat orkidopeksi . Hernia inguinal yang menyertai UDT segera

dioperasi untuk mencegah komplikasi.

b) Torsio Testis

Kejadian torsio meningkat pada UDT, diduga dipengaruhi oleh dimensi testis

yang bertambah sesuai volume testis. Juga dipengaruhi abnormalitas jaringan

penyangga testis sehingga testis lebih mobil.

c) Trauma testis

Testis yang terletak di superfisial tuberkulum pubik sering terkena trauma.

d) Keganasan

Insiden tumor testis pada populasi normal 1 : 100.000, dan pada UDT 1 : 2550.

Testis yang mengalami UDT pada dekade 3-4 mempunyai kemungkinan

keganasan 35-48 kali lebih besar . UDT intraabdominal 6 kali lebih besar terjadi

keganasan dibanding letak intrakanalikuler. Jenis neoplasma pada umumnya ialah

seminoma. Jenis ini jarang muncul sebelum usia 10 tahun. Karena alasan ini maka

ada pendapat yang mengatakan UDT usia diatas 10 tahun lebih baik dilakukan

orchydectomy dibandingkan orkidopeksi.

e) Infertilitas

Penyebabnya ialah gangguan antara germ cell. Infertilitas UDT bilateral 90%,

sedangkan UDT unilateral 50%. Hal ini menunjukkan adanya spermatogenesis

22
yang abnormal post orkidopeksi pada laki-laki umur 21-35 tahun UDT unilateral.

Dan menduga bahwa ada abnormalitas bilateral testis pada UDT unilateral.

f) Psikologis

Timbul perasaan rendah diri fisik atau seksual akibat body image yang muncul.

Biasanya terjadi saat menginjak usia remaja (adolescence) orang tua biasanya

mencemaskan akan fertilitas anaknya.

2.9 Prognosis

Tingkat keberhasilan dari terapi hormon (posisi testis di skrotum) bervariasi dari

8% hingga 60%, tergantung dari posisi awal testis dan tipenya. Keberhasilan dari

tatalaksana operatif dari UDT didefinisikan sebagai posisi skrotal dan tidak adanya

atrofi testis, hal ini dipengaruhi oleh tipe UDT, prosedur operasi, dan usia saat

dilakukan operasi. Orkidopeksi yang dilakukan pada testis abdominal memiliki

tingkat kesuksesan 85-90%, sedangkan pada testis inguinal >95% (Ong et al.,

2005; Thorup et al., 2007).

Resiko terjadinya keganasan meningkat sebanyak 5-10 kali lebih tinggi pada

laki-laki dengan riwayat unilateral UDT. Tidak diketahui apakah prognosis akan

membaik jika orkidopeksi dilakukan saat anak berusia jauh lebih muda

daripada saat anak berusia lebih lanjut. Namun, suatu meta analisis

menunjukkan bahwa orkidopeksi yang dilakukan saat anak berusia lebih dari 10

tahun memiliki resiko 6 kali lebih tinggi untuk mengalami keganasan, daripada

orkidopeksi yang dilakukan saat anak berusia kurang dari 10 tahun (Hutson, 2009;

Foresta et al., 2008).

Menurut Docimo (2000), kesuksesan operasi UDT letak distal anulus inguinalis

internus sebesar 92%, orchidopexy teknik mikrovaskuler (84%), orchidopexy

abdominal standar (81%), staged Fowler-Stephens orchidopexy (77%), Fowler-

Stephens orchidopexy standar (67%). UDT biasanya turun spontan tanpa

23
intervensi pada tahun pertama kehidupan. Resiko terjadinya keganasan lebih

tinggi di banding testis normal. Fertilitas pada UDT bilateral: 50% punya

anak, sedang UDT unilateral 80%.

24
BAB III
HASIL PENELITIAN

a. Data Kasus Urologi

180

158
160

139
140

120

100

78
80

60 53
42 45
41 41
40
27
23
16 18
20 12
10 87 8
524 457 2234 57 5
113 21 114 4 2445
7
1
7

25
b. Data Kasus Kelainan pada Testis

Testis
5% 11%
1%
2%
1%
ORCHITIS
24% TESTICULAR CANCER
PYOCELE
32% TESTICULAR TORSION
HYDROCELE
24% UDT
VARICOCELE
TESTICULAR TRAUMA

c. Data Penderita Undesensus Testis Berdasarkan Usia

14

12

10

0
<1 tahun 1-5tahun 6-10 tahun 11-15 > 15 tahun
tahun

26
d. Data Penderita Undesensus Testis Berdasarkan Tindakan Terapi
Pertama

35

30

25

20

15

10

0
Lahir-11 tahun 12-17 tahun 18-24 tahun 24-36 tahun >36 tahun

e. Data Penderita Undescended Testis Berdasarkan Lokasi

20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Unilateral Kanan Bilateral Unilateral Kiri

27
f. Data Penderita Undescended Testis dengan Penyakit Penyerta

25

20

15

10

g. Data Pasien Berdasarkan Tindakan

30

25

20

15

10

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan data rekam medik di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar tahun 2015-

2019 yang digambarkan pada Grafik 3.1 menunjukkan bahwa undesensus testis

menempati penyakit urutan ke 7 dengan jumlah 41 pasien dari total 139 pasien.

Pada Grafik 3.2 menunjukkan bahwa beberapa kasus kelainan pada testis

diantaranya yang terbanyak yaitu torsio testis sebesar 32%, Undesensus testis

merupakan penyebab kedua terbesar dengan jumlah 24%. Kasus ketiga terbanyak

adalah orkitis dengan presentase sebesar 11%.

Pada Grafik 3.3 menunjukkan penderita undescended testis pada usia dibawah

1 tahun berjumlah 8 orang, usia 1-5 tahun yaitu berjumlah 12 orang. Sedangkan,

usia 6-10 tahun sebanyak 10 orang, usia 11-15 tahun berjumlah 3 orang dan usia

diatas 15 tahun berjumlah 8 orang.

Pada Grafik 3.4 menunjukkan tindakan terapi penderita undescended testis

pertama kali dilakukan pada saat lahir hingga usia 11 tahun berjumlah 30 orang,

pada usia 12-17 tahun sebanyak 3 pasien, usia 24-36 tahun berjumlah 5 pasien,

dan usia diatas 36 tahun sebanyak 3 pasien. Menurut European Society for

Paediatric Urology, usia ideal dilakukannya terapi adalah 12 bulan, dengan usia

paling lambat 18 bulan. Menurut penelitian Tanagho, pada 35,9% kasus

undesensus testis yang diketahui setelah usia 2 tahun, seperlima bagian dari sel

germinal testis mengalami kerusakan sehingga meningkatkan risiko infertilitas dan

tumor germinal

Pada Gambar 3.5 menunjukkan 10 dari 41 kasus merupakan undescensus

testis bilateral, sedangkan 31 kasus lainnya adalah unilateral dengan jumlah 13

kasus unilateral kiri dan 18 kasus unilateral kanan. Menurut penelitian yang

29
dilakukan oleh Abaci et al di Amsterdam pada tahun 2014, undescended testis

paling banyak terjadi pada sisi unilateral dibandingkan dengan bilateral dengan

perbandingan kiri dan kanan 3:7. Menurut penelitian yang dilakukan Jerzky pada

tahun 2015 di Lotz, Polandia, 89% undesensus testis bilateral dapat menyebabkan

azoospermia jika tidak diterapi dengan baik, sementara 50% undesensus testis

unilateral jika tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan azoospermia.

Berdasarkan Grafik 3.6, terdapat beberapa penyakit penyerta pada

undescended testis, terbanyak adalah fimosis dan parafimosis dengan masing-

masing 6 penderita. Selanjutnya urutan terbanyak kedua yaitu hipospadia, dengan

jumlah 2 pasien. Sedangkan pada hernia inguinalis, hidrokel kongenital,

malformasi testis, dan neoplasma maligna testis masing masing terdapat 1

pasien,sedangkan kasus undesensus testis tanpa penyakit penyerta sebanyak 23

pasien.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tanagho, bila undesensus testis

disertai hipospadia, kemungkinan disertai kelainan kromosom meningkat

sebanyak 25% dibandingkan undesensus testis tanpa penyerta.

Berdasarkan Gambar 3.7, 5 pasien (12%) dilakukan unilateral orchydectomy,

27 pasien (65%) dilakukan tindakan orchydopexy, 1 pasien (2,5%) dilakukan terapi

konservatif, 2 pasien (5%) dilakukan laparoskopi, 3 pasien (7,5%) dilakukan

bilateral orchidectomy, 3 pasien (7,5%) dilakukan tindakan herniotomi.

30
BAB V
KESIMPULAN

Undesensus testis atau cryptorchidism didefinisikan sebagai gagalnya proses

penurunan testis ke dalam skrotum dimana testis berada pada posisi ekstraskrotal

sehingga tidak dapat diidentifikasi keadaannya pada awal setelah kelahiran (AUA,

2014).

Berdasarkan data rekam medik pada tahun 2016-2019 di RSUD Dr. Saiful

Anwar, didapatkan 18 kasus undesensus testis pada laki- laki, 10% pada usia

diatas 18 tahun dan 90% diketahui pada anak dengan usia dibawah 18 tahun.

Sebanyak 6 dari 18 kasus merupakan undesensus testis bilateral, sedangkan 12

kasus lainnya adalah unilateral.

Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang

radiologis seperti USG, CT Scan, MRI dan laparoskopi dapat dilakukan untuk

mendiagnosis UDT. CT Scan dan MRI dilaporkan memiliki efektivitas lebih tinggi

dibandingkan USG.

Tatalaksana UDT yaitu dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik

dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan

(orkidopeksi). Pemberian terapi hormonal dianjurkan dimulai pada bayi usia

kurang dari 1 tahun, sedangkan terapi operasi biasanya harus dilakukan pada usia

6-12 bulan.

31
DAFTAR PUSTAKA

American Urological Association. 2014. Evaluation and treatment of


cryptorchidism: AUA Guidelines. American Urological Association Education
and Research, Inc.
Bertelloni, S., Baroncelli, G.I., Ghirri, P., Spinelli, C. and Saggese, G., 2001.
Hormonal treatment for unilateral inguinal testis: comparison of four different
treatments. Hormone Research in Paediatrics, 55(5), pp.236-239.
Batubara JRL, Tridjaja B, Pulungan AB. 2010. Testis dan gangguannya. Dalam:
Buku ajar endokrinologi anak. Jakarta: Badan penerbit IDAI; h.73- 82.
Danon, M. and Friedman, S.C., 1996. Ambiguous genitalia, micropenis,
hypospadias, and cryptorchidism. Pediatric Endocrinology: a clinical guide.
Fima Lifshitz. Third Edition, NY, 303.
Docimo, S.G., Silver, R.I. and Cromie, W., 2000. The undescended testicle:
diagnosis and management. American family physician, 62(9), pp.2037-44.
Foresta, C., Zuccarello, D., Garolla, A. and Ferlin, A., 2008. Role of hormones,
genes, and environment in human cryptorchidism. Endocrine reviews, 29(5),
pp.560-580.
Gill, B. and Kogan, S., 1997. Cryptorchidism: current concepts. Pediatric Clinics of
North America, 44(5), pp.1211-1227.
Henna, M.R., Del Nero, R.G., Sampaio, C.Z.S., Atallah, Á.N., Schettini, S.T.,
Castro, A.A. and de Oliveira Soares, B.G., 2004. Hormonal cryptorchidism
therapy: systematic review with metanalysis of randomized clinical trials.
Pediatric surgery international, 20(5), pp.357-359.
Huston, J.M. and Hasthorpe, S., 2005. Testicular descent and cryptorchidism: the
state of the art in 2004. Journal of pediatric surgery, 40(2), pp.297-302.
Kaplan, G.W., 2003. The undescended testis: changes over the past several
decades. BJU international, 92, pp.12-14.
Kolon, T.F., Patel, R.P. and Huff, D.S., 2010. Cryptorchidism: diagnosis, treatment,
and long-term prognosis. The Urologic clinics of North America, 31(3), pp.469-
80.
Moh. Adjie Pratignyo. 2011. Bedah Saluran Cerna Anak. Edisi 1. SAP Publish
Indonesia: Tangerang

32
Niedzielski, J. K., Oszukowska, E., & Słowikowska-Hilczer, J. 2016. Undescended
testis – current trends and guidelines: a review of the literature. Archives of
Medical Science, 3, 667–677.
Ong, C., Hasthorpe, S. and Huston, J.M., 2005. Germ cell development in the
descended and cryptorchid testis and the effects of hormonal manipulation.
Pediatric surgery international, 21(4), pp.240-254.
Penson, D., Krishnaswami, S., Jules, A. and McPheeters, M.L., 2013.
Effectiveness of hormonal and surgical therapies for cryptorchidism: a
systematic review. Pediatrics, 131(6), pp.e1897-e1907.
Sadler. 2000. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; h.280-310
Schneck FX, Bellinger MF. 2000. Abnormalities of the testes and scrotum and their
surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbell‘s Urology Vol 1. 8 th
edition. Philadelphia: WB Saunders Company.
Seymour, Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta :
EGC
Sijstermans K, Hack W. W, Meijer R. W, et al. The frequency of undescended testis
from birth to adulthood: a review. Int J Androl 2008;31:1-11.
Sjamjuhidayat dan De Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta : EGC
Sumfest JM. Cryptorchidism. 2018. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com. [terakhir diakses 5 Mei 2019]
Suryawan, W.B., Batubara, J.R., Tridjaja, B. and Pulungan, A.B., 2016. Gambaran
Klinis Kriptorkismus di Poliklinik Endokrinologi Anak RS Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, Tahun 1998-2002. Sari Pediatri, 5(3), pp.111-6.
Tanagho EA, Nguyen HT. 2000. Embriology of the Genitourinary System.
Dalam:Tanagho EA, McAninch JW.Smith’s General Urology . Edisi 17.
California:The McGraw Hill companies; h.23-45.
Thorup, J., Haugen, S., Kollin, C., Lindahl, S., Läckgren, G., Nordenskjold, A. and
Taskinen, S., 2007. Surgical treatment of undescended testes. Acta
paediatrica, 96(5), pp.631-637.

33

Anda mungkin juga menyukai