Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Implementasi Program EMAS

1. Pengertian program

kesehatan ibu dan anak. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi

keluarga berpengaruh terhadap masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4

Terlalu, yang pada akhirnya terkait dengan kematian ibu dan bayi

(Kemenkes, 2011).

2. EMAS

Program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) adalah

sebuah program kerjasama Kementrian Kesehatan RI dan USAID selama

lima tahun (2012-2016) dalam rangka menurunkan AKI dan AKB. Program

EMAS memediasi pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan puskesmas,

dalam membangun jejaring dengan organisasi masyarakat sipil, fasilitas

kesehatan publik dan swasta, asosiasi rumah sakit, organisasi profesi, sektor

swasta, dan lain-lain.

Program ini akan berkontribusi terhadap percepatan penurunan kematian

ibu dan bayi baru lahir sebesar 25% di Indonesia. Emas dilaksanakan di 30

kabupaten pada enam provinsi yang memiliki jumlah kematian ibu dan

neonatal besar. Pada tahun pertama intervensi direncanakan di 10 kabupaten,

enam provinsi antara lain Jawa Tengah dengan daerah intervensinya adalah

Kabupaten Tegal. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kota Tegal,


Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, dan Kota

Pekalongan. Daerah intervensi lain di Jawa tengah adalah Kabupaten

Banyumas. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kabupaten

Kebumen, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten

Banjarnegara (Alamsyah, 2012).

3. Pendekatan Program EMAS

Adapun pendekatan program EMAS dilakukan melalui :

a. Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan neonatal

minimal di 150 RS (PONEK) Pemerintah dan Swasta dan 300

Puskesmas (PONED) melalui penerapan tata kelola yang baik terkait

kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir.

b. Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar Puskesmas

dan RS

c. Pemanfaatan teknologi informasi mutakhir (SMS, hotline, media social)

untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan

kegawatdaruratan kesehatan ibu dan bayi baru lahir

d. Program dirancang agar dapat memberi dampak nasional (tidak hanya

sebatas area kerja).

4. Strategi Program EMAS adalah

Strategi Program EMAS adalah Laser Focus, yaitu:

a. Penanganan penyebab utama kematian ibu (perdarahan, eklamsi dan

infeksi) dan kematian neonatal (asfiksia, bayi berat lahir

rendah/prematuritas & sepsis).


b. Peningkatan clinical governance yaitu suatu rangka/ struktur melalui

organisasi pelayanan kesehatan nasional berupa tanggung jawab

peningkatan kualitas pelayanan yang berkelanjutan dan standar asuhan

dengan tingkat keamanan tinggi yang akan menciptakan asuhan klinis

berkualitas.

c. Penerapan good governance untuk meningkatkan pengawasan dari

masyarakat madani

d. Membangun jejaring fasilitas pelayanan kesehatan publik dan swasta

e. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk memperbaiki

rujukan

5. Pelaksanaan Program EMAS

Di daerah yang melaksanakan Program EMAS, dibentuk Vanguard

Network yaitu sistem rujukan antara 1 RSUD, 2-3 RS Swasta, dan 5-10

Puskesmas. Dalam sistem ini, dipilih RS dan Puskesmas yang sudah cukup

kuat agar membangun jejaring dan dapat membimbing jaringan Kabupaten

yang lain dengan melibatkan RS/RB swasta untuk memperkuat jejaring sistim

rujukan di daerah. Untuk itu diperlukan Kerjasama yang baik antara Dinas

Kesehatan dengan Rumah Sakit. Dengan pembentukan Vanguard Network,

maka daerah di sekitar wilayah intervensi pun akan mendapat kemudahan

dalam sistem rujukan. Dalam pelaksanaannya di lapangan, upaya tersebut

dilakukan dengan pendekatan “Vanguard”, yaitu:

a. Memilih dan memantapkan sekitar 30 RS dan 60 Puskesmas di daerah

intervensi yang sudah cukup kuat agar berjejaring dan dapat membimbing

jaringan Kabupaten yang lain


b. Melibatkan RS/RB swasta untuk memperkuat jejaring sistem rujukan di

daerah.

6. Implementasi Kebijakan Program EMAS

Implementasi program mengikutsertakan upaya policy makers (pembuat

kebijakan) untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia

memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.

Implementasi dan prinsip kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat

mencapai tujuannya. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh

banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan

proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik

variabel individual maupun variabel organisasional dan masing-masing

variabel pengaruh tersebut saling berinteraksi satu sama lain (Subarsono,

2012).

a. Tujuan Kebijakan Program EMAS

Setiap kebijakan publik harus mempunyai tujuan kebijakan yang jelas.

Tujuan kebijakan yang tidak jelas akan menimbulkan multiinterpretasi dan

kesalahpahaman serta konflik di antara para pelaksana implementasi

(Subarsono, 2012). Pelaksanaan program EMAS sudah memiliki tujuan

yang jelas yaitu meningkatkan kualitas pelayanan obstertri dan neonatal

esensial dasar (PONED) dan pelayanan obstertri dan neonatal esensial

komprehensif (PONEK) dengan memastikan intervensi medis prioritas

yang mempunyai dampak besar pada penurunan kematian diterapkan di

RS dan Puskesmas serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem

rujukan antar Puskesmas dan Rumah Sakit (Alamsyah, 2012). Hasil akhir
yang ingin dicapai dari Program EMAS ini ialah adanya penurunan AKI

dan AKB.

b. Standar Kebijakan Program EMAS

Setiap kebijakan publik harus mempunyai standar kebijakan yang jelas dan

terukur, supaya dapat tercapai semua tujuannya. Sebaliknya kebijakan

publik memiliki standar yang tidak jelas akan terjadi multiinterpretasi dan

mudah menimbulkan kesalahpahaman dan konflik di antara para pelaksana

implementasi (Subarsono, 2012).

Standar kebijakan Program EMAS diperlukan untuk mengarahkan

pelaksana kebijakan yang tertuang dalam dokumen resmi (Rekawati,

2011) misalnya buku panduan pelaksanaan EMAS yang berisi indikator

keberhasilan program EMAS, sasaran, maksud dan tujuan

dilaksanakannya Program EMAS pasca petugas dilatih agar sesuai dengan

program yang sudah direncanakan.

c. Sumberdaya Program EMAS

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan

memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Dalam implementasi kebijakan

perlu dukungan sumberdaya, baik sumberdaya manusia (human resources)

maupun sumberdaya materi (matrial resources) dan sumberdaya metoda

(method resources). Dari ketiga sumberdaya tersebut, yang paling penting

adalah sumberdaya manusia, karena disamping sebagai subjek

implementasi kebijakan juga termasuk objek kebijakan publik (Agustino,

2008).
Implementasi tidak akan berjalan efektif apabila implementor

kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan program. Sumberdaya

merupakan sumber energi, tenaga, kekuatan (power) yang diperlukan

untuk menciptakan daya, gerakan, aktivitas, kegiatan dan tindakan.

Sumber daya tersebut antara lain terdiri atas sumberdaya manusia (human

resources) maupun sumber daya materi (matrial resources) dan

sumberdaya metoda (method resources) (Agustino, 2008).

Bidan sebagai pelaksana program EMAS merupakan sumberdaya

yang paling penting, untuk itu kelancaran pelaksanaan Program EMAS

sangat ditentukan oleh kemampuan/kompetensi bidan untuk melaksanakan

tugas dan ditinjau dari keberadaan fasilitas yaitu berupa ketersediaan

sarana dan fasilitas, obat yang dibutuhkan, ketersediaan dana untuk

pelaksanaan program dan insentif.

d. Komunikasi Antar Organisasi Terkait Program EMAS

Dalam implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program kebijakan

perlu tercipta adanya hubungan yang baik antar instansi yang terkait, yaitu

dukungan komunikasi dan koordinasi. Untuk itu, diperlukan koordinasi

dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

Komunikasi dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi dari sebuah

organisasi agar program-program dapat direalisasikan sesuai tujuan dan

sasaran (Subarsono, 2012).

Implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme

prosedur program dari organisasi. Hal ini sebenarnya akan mendorong

kemungkinan yang lebih besar bagi pengambil kebijakan (pimpinan) untuk


mendorong bagi pelaksana (staf) untuk bertindak dalam suatu cara yang

konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan

(Winarno, 2008).

Semua kebijakan hendaknya dikomunikasikan oleh pengambil

kebijakan secara jelas dan disertai dengan petunjuk pelaksanaan

(Subarsono, 2012) sehingga pelaksanaan program EMAS hendaknya juga

dikomunikasikan oleh pengambil kebijakan secara jelas dan konsisten

disertai dengan petunjuk pelaksanaan (Rekawati, 2011).

Hasil pelatihan / sosialisasi berupa informasi tentang program dan

tujuan Program EMAS, siapa yang melakukan Program EMAS, kapan

melaksanakan Program EMAS, bagaimana pelaksanaan dan penerapan

Program EMAS diharapkan dapat disosialisasikan oleh pelaksana atau

perwakilan masing-masing fasilitas kesehatan kepada semua pelaksana di

fasilitas kesehatan. Namun komunikasi yang disampaikan kepada petugas

lainnya yang tidak mengikuti pelatihan seringkali tidak jelas dan tidak

secara detail sehingga mendorong terjadinya interpretasi yang salah.

e. Karakteristik Badan Pelaksana Program EMAS

Dalam implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal

harus diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen pelaksana,

meliputi struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang

terjadi dalam birokrasi, semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu

program kebijakan yang telah ditentukan (Subarsono, 2012).


Prosedur kerja dalam program EMAS dapat diartikan langkah-langkah

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan) dalam melakukan setiap

tindakan sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan.

f. Disposisi/ Sikap Pelaksana Program EMAS

Dalam implementasi kebijakan sikap atau disposisi pelaksana dibedakan

menjadi tiga hal, yaitu: respons pelaksana terhadap kebijakan yang terkait

dengan kemauan pelaksana untuk melaksanakan kebijakan publik, kondisi

yakni pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan, dan intens

disposisi pelaksana, yakni preferensi nilai yang dimiliki tersebut

(Subarsono, 2012).

Respon pelaksana terhadap kebijkan akan mempengaruhi kemauannya

untuk melaksanakan kebijakan (Subarsono, 2012). Apabila bidan

mempunyai komitmen yang kuat terhadap pelaksanaan program EMAS

maka pelayanan kepada semua ibu dan bayi akan menerapkan pedoman

pelaksanaan Program EMAS. Untuk itu pemahaman bidan terhadap

penerapan Program EMAS juga sangat dibutuhkan supaya dapat

menerapkan Program EMAS sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Komitmen bidan dapat dilihat dari sikap bidan dalam menerima program

tersebut, dan sikap bidan dapat positif dan negatif yang bisa diukur

melalui pertanyaan yang berupa pendapat bidan tentang pelaksanaan

Program EMAS.
g. Kondisi Lingkungan Sosial, Politik dan Ekonomi Program EMAS

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan (Subarsono, 2012).

Dalam Program EMAS terkait kondisi lingkungan sosial, politik dan

ekonomi antara lain dukungan dari kelompok-kelompok yang

berkepentingan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau

menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah

elit politik mendukung implementasi kebijaka

B. Penguatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Sistem Rujukan

1. Penguatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dalam Program

EMAS

Upaya yang dilakukan dalam program EMAS adalah dengan peningkatan

kualitas pelayanan emergensi obstetri dan neonatal dengan cara memastikan

intervensi medis prioritas yang mempunyai dampak besar pada penurunan

kematian dan tata kelola klinis (clinical governance) diterapkan di RS dan

Puskesmas.

Clinical governance adalah suatu rangka/struktur organisasi pelayanan

kesehatan nasional yang bertanggung jawab atas peningkatan kualitas

pelayanan yang berkelanjutan dan standar asuhan dengan tingkat keamanan

yang tinggi sehingga menciptakan asuhan klinis yang berkualitas. Clinical

governance ingin memastikan bahwa asuhan yang diberikan aman,

berkualitas tinggi dengan prioritas dan berfokus pada pasien. Tujuan Clinical

governance yaitu meningkatkan mutu pelayanan medis, menjamin dan


melindungi keselamatan pasien, mengatur penyelenggaraan komite medis di

RS dalam rangka meningkatkan profesionalisme.

Peran clinical governance dalam mempertahankan dan meningkatkan

mutu antara lain dengan audit nearmiss yaitu audit terhadap kasus kebidanan

yang ditangani oleh puskesmas dengan tidak menyalahkan dan tidak

menghakimi, dashboard yaitu sebuah alat yang digunakan untuk memantau

berjalanya prinsip – prinsip clinical governance di lapangan dan umpan balik.

Upaya lain dalam program EMAS adalah memperkuat sistem rujukan

yang efisien dan efektif mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan dasar di

Puskesmas sampai ke Rumah Sakit rujukan di tingkat kabupaten/kota.

Masyarakat pun dilibatkan dalam menjamin akuntabilitas dan kualitas

fasilitas kesehatan. Untuk itu, program ini juga akan mengembangkan

mekanisme umpan balik dari masyarakat ke pemerintah daerah dengan

menggunakan teknologi informasi seperti media sosial dan SMS gateway,

dan memperkuat forum masyarakat agar dapat menuntut pelayanan yang

lebih efektif dan efisien melalui maklumat pelayanan (service charter) dan

Citizen Report Card (Depkes, 2015).

2. Sistem Rujukan Program EMAS:

a. SIJARIEMAS (Sistem Informasi dan Komunikasi Jejaring Rujukan

Maternal dan Neonatal) adalah Sistem informasi dan komunikasi timbal

balik dengan menggunakan pesan singkat elektronik (SMS), telepon

dan atau Internet antara petugas pelayanan kesehatan dasar (Bidan

Praktek Mandiri, bidan/dokter Puskesmas PONED, bidan/dokter


Puskesmas Non-PONED, bidan Rumah Bersalin) dengan rumah sakit

dalam jejaring rujukan kegawatdaruratan maternal dan neonatal.

b. Petugas pelayanan kesehatan adalah staf fasilitas kesehatan yang

memberikan layanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Petugas

Pelayanan Kesehatan termasuk Bidan Desa, Bidan Puskesmas, Bidan

Praktek Swasta (BPS) dan Dokter Praktek Swasta (DPS).

c. Rumah Sakit Rujukan adalah rumah sakit yang siap memberikan

layanan 24 jam layanan rujukan ibu dan bayi baru lahir.

d. Operator SIJARIEMAS adalah staf di Rumah Sakit Rujukan yang

bertanggung jawab dan atau diberi tugas menjawab dan mengelola

informasi rujukan melalui SIJARIEMAS.

3. Tujuan

a. Tujuan Umum :

Terlaksananya komunikasi untuk meningkatkan akurasi informasi,

kelengkapan data dan mempercepat penyampaian informasi rujukan pasien

gawat darurat maternal neonatal ke rumah sakit rujukan ibu hamil dan bayi

baru lahir.

b. Tujuan Khusus :

1) Meningkatkan waktu respon penanganan terhadap pasien

gawatdarurat materna dan neonatal;

2) Memperoleh informasi rujukan yang lengkap dan akurat secara

mudah dan cepat;

3) Menerapkan pertukaran informasi rujukan gawatdarurat maternal

dan neonatal sesuai kondisi rumah sakit rujukan dalam jejaring.


4. Kebijakan

a. Pasien harus dirujuk apabila pasien tersebut penatalaksanaannya sudah

tidak menjadi kewenangan bagi fasilitas kesehatan yang bersangkutan;

b. Petugas kesehatan/Dokter/Bidan harus melakukan stabilisasi pasien

terlebih dahulu sebelum merujuk pasiennya;

c. Semua pasien maternal dan neonatal yang merupakan pasien gawat

darurat harus mendapat pertolongan segera.

5. Prosedur

a. Status kegawatdaruratan pasien dikomunikasikan dengan dokter

puskesmas. Kasus gawat darurat yang tidak bisa ditangani di tempat

pelayanan kesehatan dasar segera dirujuk ke tempat pelayanan

kesehatan yang lebih tinggi;

b. Informasi rujukan kegawatdaruratan segera dikirim oleh petugas

pelayanan kesehatan yang sudah terdaftar pada database aplikasi

SIJARIEMAS melalui SMS (pesan singkat) ke nomor pusat SMS

SIJARIEMAS Kabupaten Cilacap nomor 082-220-155-234 dengan

format berikut:

1) Rujukan Gawat-darurat Ibu Hamil:

r#kodepraktek#namaibu#umur#namasuami#asuransi#golongandarah

#transportasi#diagnosa#tindakanprarujukan

2) Rujukan Gawat-darurat Bayi:

rb#kodepraktek#namaibu#umur#namasuami#asuransi#golongandara

h#transportasi#diagnosa#tindakanprarujukan atau dengan menginput


informasi rujukan melalui website SIJARIEMAS di alamat

http://cilacap.rujukan.net

c. Apabila dalam waktu maksimal 10 menit petugas kesehatan yang

merujuk (selanjutnya disebut Petugas Kesehatan Perujuk) tidak

mendapat SMS pemberitahuan secara otomatis mengenai lokasi rumah

sakit rujukan, maka Petugas Kesehatan Perujuk wajib melakukan

panggilan telepon ke Instalasi gawat Darurat (IGD) rumah sakit

rujukan, sebagai berikut:

1) RSUD Cilacap dengan nomor 085747820507

2) RSI Fatimah dengan nomor 0282547707

3) RSU Majenang dengan nomor 0280621770

d. Apabila tidak berhasil melakukan panggilan telepon ke IGD Rumah

Sakit Rujukan, maka Petugas Kesehatan Perujuk segera mengirim

pasien ke rumah sakit rujukan prioritas pertama.

e. Petugas IGD Rumah Sakit Rujukan yang menerima informasi rujukan

segera meneruskan informasi rujukan tersebut baik secara elektronik

atau manual kepada dokter Jaga IGD untuk mendapatkan saran umpan

balik.

f. Petugas IGD Rumah Sakit Rujukan wajib mengirimkan umpan balik

mengenai tindak lanjut (advis) penanganan pasien tersebut melalui

formulir SIJARIEMAS dalam waktu maksimal 10 menit. Umpan balik

yang dikirim berisi informasi tata laksana stabilisasi yang disarankan

dan atau konfirmasi terkait kesiapan menerima rujukan gawat darurat.


g. Petugas IGD Rumah Sakit Rujukan yang membantu dokter jaga wajib

melakukan komunikasi dengan Petugas Kesehatan Perujuk guna

mendapat informasi lebih rinci terkait jenis dan status komplikasi

pasien beserta arahan penanganan stabilisasi yang dibutuhkan sampai

pasien dan tenaga kesehatan perujuk sampai di rumah sakit tujuan

rujukan.

h. Petugas Kesehatan Perujuk berkewajiban untuk terus melakukan

komunikasi dengan Petugas IGD PONEK/IGD sepanjang perjalanan

menuju RS rujukan.

i. Petugas IGD Rumah Sakit Rujukan melakukan koordinasi dengan unit

terkait dalam memastikan kesiapan dalam menerima pasien rujukan

gawat darurat.

j. Petugas IGD Rumah Sakit Rujukan menerima, melakukan tindakan

penanganan pasien dan mencatat status penanganan pasien dengan

aplikasi SIJARIEMAS. Setelah selesai penanganan pasien, Petugas

IGD PONEK/IGD mencatat resume medis tindakan penanganan yang

dilakukan di IGD sesuai standar kelengkapan rekam medis.

k. Petugas bagian perawatan rumah sakit rujukan melakukan tindakan

perawatan pasien. Operator SIJARIEMAS mencatat status perawatan

pasien dengan aplikasi SIJARIEMAS. Setelah selesai perawatan pasien,

Operator SIJARIEMAS mencatat resume medis tindakan perawatan

yang dilakukan sesuai standar kelengkapan rekam medis.


l. Petugas bagian perawatan atau Operator SIJARIEMAS Rumah Sakit

Rujukan mencatat rujukan balik di fomulir yang disediakan pada

aplikasi SIJARIEMAS.

m. Petugas Kesehatan Perujuk melakukan tindak lanjut pasca perawatan di

rumah sakit kepada pasien yang telah selesai perawatan sesuai arahan

rujukan balik.

6. Unit Terkait

Beberapa unit pelayanan kesehatan yang terkait dalam pelaksanaan

program EMAS antara lain Bidan Praktek Mandiri (BPM), Puskesmas

mampu PONED, Puskesmas Non-PONED, Rumah Bersalin, Rumah Sakit,

Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap dan Dinas Komunikasi dan Informasi

Kabupaten Cilacap.

7. Dokumen Terkait

Beberapa dokumen terkait dalam pelaksanaan program EMAS antara lain

Panduan Operasional Pelayanan Jejaring Sistem Rujukan Kegawat Daruratan

Maternal dan Neonatal Puskesmas – Rumah Sakit, Standar Prosedur

Operasional Pelayanan Kebidanan, Standar Prosedur Operasional Pelayanan

Neonatal dan Dokumen administrasi pasien gawat darurat, yang meliputi

Kartu Status (Kartu Ibu), Buku KIA, Kartu Identitas, Kartu Keluarga, Kartu

Kepesertaan Asuransi, Surat Rujukan, Kartu Bayi, Kartu Identitas Orang Tua,

Data P4K, Rekam Medis Rumah Sakit dan Buku Panduan Penggunaan

Sistem Informasi Jejaring Rujukan Maternal dan Neonatal (SIJARIEMAS)

(Dinkes Kabupaten Cilacap, 2012).


C. Kematian Ibu

1. Pengertian Kematian Ibu

Kematian ibu menurut World Health Organization (WHO) adalah

kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya

kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh

kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh

kecelakaan/cedera. Sedangkan menurut International Statistical

Classification of Disease, Edition X (ICD-X) (2009) kematian ibu

didefinisikan sebagai kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil atau

dalam 42 hari setelah akhir kehamilannya, tanpa memperhatikan lama dan

tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh kehamilan atau

penanganan kehamilan, tetapi bukan karena kecelakaan.

Definisi tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa kematian ibu

menunjukkan lingkup yang luas, tidak hanya terkait dengan kematian yang

terjadi saat proses persalinan, tetapi mencakup kematian ibu yang sedang

dalam masa hamil dan nifas (Kemenkes RI, 2013).

AKI merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan

perempuan. AKI mencerminkan risiko yang dihadapi ibu-ibu selama

kehamilan dan melahirkan yang dipengaruhi oleh status gizi ibu, keadaan

sosial ekonomi, keadaan kesehatan yang kurang baik menjelang kehamilan,

kejadian berbagai komplikasi pada kehamilan dan kelahiran, tersedianya dan

penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan ternasuk pelayanan prenatal dan

obstetri. AKI menunjukkan keadaan sosial ekonomi yang rendah dan fasilitas
pelayanan kesehatan termasuk pelayanan prenatal dan obstetri yang rendah

pula ( DKK Cilacap, 2012 ).

2. Cara Perhitungan/Rumus :

Jumlah kematian ibu


AKI = XK

Jumlah kelahiran hidup

Yaitu:

Jumlah kematian ibu yang dimaksud adalah banyaknya kematian ibu

yang disebabkan karena kehamilan, persalinan sampai 42 hari setelah

melahirkan, pada tahun tertentu, di daerah tertentu.

Jumlah kelahiran hidup adalah banyaknya bayi yang lahir hidup pada

tahun tertentu di daerah tertentu. Konstanta (K) =100.000 kelahiran hidup

(Profil Kesehatan Cilacap, 2014)

3. Penyebab Kematian Ibu

Penyebab kematian ibu dapat dikelompokkan menjadi sebab obstetri

langsung, sebab obstetri tidak langsung, dan sebab mendasar.

a. Sebab Obstetri Langsung

Sebab obstetri langsung adalah kematian ibu karena akibat langsung

dari penyakit penyulit pada kehamilan, persalinan, dan nifas; misalnya

karena infeksi, eklampsi, perdarahan, emboli air ketuban, trauma anastesi,

trauma operasi, dan sebagainya.

b. Sebab Obstetri Tidak Langsung

Sebab obstetri tidak langsung adalah kematian ibu akibat penyakit yang

timbul selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Misalnya anemia, penyakit


kardiovaskular, serebrovaskular, hepatitis infeksiosa, penyakit ginjal, dan

sebagainya. Termasuk juga penyakit yang sudah ada dan bertambah berat

selama kehamilan (Kemenkes RI, 2010).

c. Sebab mendasar

Sebab mendasar kematian ibu adalah faktor sosial ekonomi dan

demografi, terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan

ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi,

budaya, kondisi bias gender dalam masyarakat dan keluarga serta lokasi

tempat tinggal yang terpencil (Sinaga, 2007).

4. Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Ibu

Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu adalah sebagai berikut:

a. Faktor Umur

Perkawinan, kehamilan, dan persalinan di luar kurun waktu reproduksi

yang sehat, terutama pada usia muda. Risiko kematian pada kelompok

umur di bawah 20 tahun dan pada kelompok di atas 35 tahun adalah

tiga kali lebih tinggi dari kelompok umur reproduksi sehat, yaitu 20-34

tahun.

b. Faktor Paritas

Ibu dengan riwayat hamil dan bersalin lebih dari enam kali

(grandemultipara) berisiko delapan kali lebih tinggi mengalami

kematian.
c. Faktor Perawatan Antenatal

Kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kandungannya masih rendah.

Hal ini menyebabkan faktor risiko yang sebenarnya dapat dicegah

menjadi meningkat atau memperburuk keadaan ibu.

d. Faktor Penolong

Sekitar 70-80% persalinan masih ditolong oleh dukun beranak. Setelah

persalinan terlantar dan tidak dapat maju dengan disertai komplikasi

kemudian dikirim ke fasilitas kebidanan yang memadai.

e. Faktor Sarana dan Fasilitas

Sarana dan fasilitas rumah sakit, penyediaan darah dan obat-obatan

yang murah masih ada yang belum terjangkau oleh masyarakat.

f. Faktor Sistem Rujukan

Pemerintah telah menetapkan seorang ahli kebidanan di setiap ibu kota

kabupaten, namun belum sempurna.

g. Faktor Lainnya

Yaitu faktor sosial ekonomi, kepercayaan, budaya. Pendidikan,

ketidaktahuan, dan sebagainya. Faktor-faktor berpengaruh terhadap

akses pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi adalah geografi,

Ekonomi keluarga, Health seeking care behaviour , SDM kesehatan,

Ketersediaan obat & alat kesehatan, Kebijakan Pemda (Kemenkes RI,

2013).

Terjadinya kematian ibu terkait dengan faktor penyebab langsung dan

penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung kematian ibu di

Indonesia masih didominasi oleh perdarahan, eklampsia, dan infeksi.


Sedangkan faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena masih

banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang terkait dengan faktor akses,

sosial budaya, pendidikan, dan ekonomi. Menurut Kemenkes RI (2013) kasus

3 Terlambat meliputi:

a. Terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan.

Keterlambatan pengambilan keputusan di tingkat masyarakat dapat

disebabkan oleh beberapa hal berikut ini:

1) Ibu terlambat mencari pertolongan tenaga kesehatan walaupun akses

terhadap tenaga kesehatan tersedia 24/7 (24 jam dalam sehari dan 7 hari

dalam seminggu) oleh karena masalah tradisi/kepercayaan dalam

pengambilan keputusan di keluarga, dan ketidakmampuan menyediakan

biaya non-medis dan biaya medis lainnya (obat jenis tertentu,

pemeriksaan golongan darah, transport untuk mencari darah/obat, dll).

2) Keluarga terlambat merujuk karena tidak mengerti tanda bahaya yang

mengancam jiwa ibu.

3) Tenaga kesehatan terlambat melakukan pencegahan dan/atau

mengidentifikasi komplikasi secara dini - yang disebabkan oleh karena

kompetensi tenaga kesehatan tidak optimal, antara lain kemampuan

dalam melakukan APN (Asuhan Persalinan Normal) sesuai standar dan

penanganan pertama keadaan GDON (Gawat Darurat Obstetri dan

Neonatal).

4) Tenaga kesehatan tidak mampu meng”advokasi” pasien dan

keluarganya mengenai pentingnya merujuk tepat waktu untuk

menyelamatkan jiwa ibu.


b. Terlambat mencapai rumah sakit rujukan dan rujukan tidak efektif.

Dapat disebabkan oleh masalah geografis, ketersediaan alat transportasi,

stabilisasi pasien komplikasi (misalnya pre-syok) tidak terjadi/tidak efektif

karena keterampilan tenaga kesehatan yang kurang optimal dan/atau

obat/alat kurang lengkap, monitoring pasien selama rujukan tidak

dilakukan atau dilakukan tetapi tidak ditindak lanjuti.

c. Terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.

Disebabkan karena :

1) Sistem administratif pelayanan kasus gawat darurat di RS tidak efektif

2) Tenaga kesehatan yang dibutuhkan (SPOG, Anestesi, Anak, dll) tidak

tersedia

3) Tenaga kesehatan kurang terampil walaupun akses terhadap tenaga

tersedia

4) Sarana dan prasarana tidak lengkap/tidak tersedia, termasuk ruang

perawatan, ruang tindakan, peralatan dan obat

5) Darah tidak segera tersedia

6) Pasien tiba di RS dengan “kondisi medis yang sulit diselamatkan”

7) Kurang jelasnya Pengaturan penerimaan kasus darurat agar tidak terjadi

penolakan pasien atau agar pasien dialihkan ke RS lain secara efektif

8) Kurangnya informasi di masyarakat tentang kemampuan sarana

pelayanan kesehatan yang dirujuk dalam penanganan kegawatdaruratan

maternal dan bayi baru lahir, sehingga pelayanan adekuat tidak

diperoleh (Kemenkes RI, 2013).


Menurut Kemenkes RI (2013), masih cukup banyak ibu hamil dengan

faktor risiko 4 Terlalu, yaitu: Terlalu tua hamil (hamil di atas usia 35 tahun)

sebanyak 27%, Terlalu muda untuk hamil (hamil di bawah usia 20 tahun)

sebanyak 2,6%, Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4) sebanyak 11,8%,

Terlalu dekat (jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun).

Hasil Riskesdas (2011) menunjukkan bahwa cakupan program kesehatan

ibu dan reproduksi umumnya rendah pada ibu-ibu di pedesaan dengan tingkat

pendidikan dan ekonomi rendah. Secara umum, posisi perempuan juga masih

relatif kurang menguntungkan sebagai pengambil keputusan dalam mencari

pertolongan untuk dirinya sendiri dan anaknya. Ada budaya dan kepercayaan

di daerah tertentu yang tidak mendukung

5. Strategi Penurunan Kematian Ibu

Dalam rangka mempercepat upaya penurunan angka kesakitan, kematian

ibu dan bayi baru lahir di Indonesia, Kemenkes RI membuat Rencana Aksi

Nasional (RAN) yang dilaksanakan dalam konteks desentralisasi dalam

bentuk Rencana Aksi Daerah (RAD) yang menjamin integrasi yang mantap

dalam perencanaan pembangunan kesehatan serta proses alokasi anggaran,

dengan fokus sesuai standar, cost-effective dan berdasarkan bukti pada semua

tingkat pelayanan dan rujukan kesehatan baik di sektor pemerintah maupun

swasta.

Strategi yang digunakan dalam mencapai target AKI tahun 2016 adalah:

a. Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu

Bukti – bukti sangat kuat menunjukkan bahwa keselamatan nyawa ibu

hamil, bersalin dan nifas sangat dipengaruhi oleh aksesnya setiap saat
terhadap pelayanan kebidanan yang berkualitas, terutama karena setiap

kehamilan dan persalinan mempunyai resiko mengalami komplikasi yang

mengancam jiwa. Konsep pelayanan kebidanan berkesinambungan mendasari

sangat pentingnya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan, sedemikian

rupa sehingga setiap ibu hamil dan bersalin yang mengalami komplikasi

mempunyai akses ke pelayanan kesehatan berkualitas secara tepat waktu dan

tepat guna.

Pelayanan berkesinambungan ini terutama sangat penting pada periode

proses persalinan dan dalam 24 jam pertama pasca-salin oleh karena di dalam

waktu yang sangat pendek tersebut sebagian besar kematian ibu terjadi. Akses

terhadap pelayanan untuk kasus-kasus tertentu yang dapat memperburuk

kondisi ibu hamil, bersalin dan nifas, dan kasus-kasus yang mempunyai

implikasi kesehatan dan sosial yang luas di masa mendatang, yaitu Anemia,

Malaria di daerah endemis, HIV/AIDS, Asuhan Pasca Keguguran dan

kehamilan pada remaja, sangat perlu mendapatkan perhatian.

b. Peningkatan Peran Pemerintah Daerah terhadap Peraturan yang

dapat mendukung secara efektif pelaksanaan Program

Sistem pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sistem pelayanan

publik lainnya yang pengaturannya dalam beberapa aspek sangat ditentukan

oleh kebijakan dan peraturan daerah (PERDA), seperti penyediaan dan

penempatan tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kesehatan, serta

penyediaan sarana dan prasarana kesehatan.


Tenaga kesehatan merupakan ujung tombak dari pelaksanaan program

pelayanan kesehatan. Oleh karena itu kebijakan penempatan tenaga kesehatan

mempunyai posisi yang sangat strategis sehingga perlu diatur secara jelas dan

tegas. Kebijakan perlu dilengkapi dengan penerapan reward dan punishment

yang jelas, baik terhadap tenaga spesialis, dokter, bidan, dan tenaga terkait

kesehatan lainnya.

Oleh karena hasil pelayanan kesehatan yang optimal sangat dipengaruhi

oleh kualitas pelayanan, maka penjaminan kompetensi tenaga kesehatan perlu

mendapatkan perhatian, melalui berbagai upaya yang meliputi pendidikan

pre-service yang adekuat, pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tenaga

kesehatan yang telah bekerja (in-service training), penerapan kewenangan

tenaga kesehatan yang sesuai, sertifikasi tenaga dan fasilitas kesehatan,

pemberian ijin praktek tenaga kesehatan dan upaya audit pelayanan terhadap

tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan. Peran PEMDA dan Pemerintah

Pusat dalam pengaturan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan sangat

diharapkan untuk dapat berfungsi dengan efektif.

Ketersediaan tenaga yang kompeten saja tidak cukup tanpa didukung

oleh sarana dan prasarana yang memadai, termasuk ketersediaan darah 24/7.

Perlu dilakukan koordinasi yang baik antara RSUD dengan PMI, RS yang

lebih tinggi (provinsi) dan RS swasta dalam penyediaan darah untuk pasien.

Penguatan sistem rujukan perlu mendapatkan dukungan yang kuat dari

PEMDA dan pemangku kepentingan lainnya, sedemikian rupa, sehingga

pasien yang dirujuk segera mendapatkan pertolongan. Dukungan sangat

diperlukan mengingat proses rujukan memerlukan keterlibatan berbagai pihak


yaitu masyarakat, tenaga dan fasilitas kesehatan di tingkat pelayanan

kesehatan dasar, Rumah Sakit (pemerintah maupun swasta) termasuk RS, dan

PMI. Perlu dipertimbangkan upaya-upaya regionalisasi daerah yang

disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing, agar ada kejelasan dalam

tujuan tempat rujukan.

Upaya regionalisasi tersebut antara lain klaster pulau, klaster daerah

pantai, klaster wilayah kota dengan kabupaten terdekat, dsb. Untuk hal ini,

dukungan melalui Peraturan Gubernur mungkin dapat membantu

mempermudah upaya regionalisasi rujukan. Dalam pelaksanaannya untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat, peran sektor swasta tidak dapat

diabaikan mengingat kapasitas fasilitas kesehatan pemerintah yang terbatas

dan akhir akhir ini masyarakat sudah mulai cenderung memilih pelayanan

kesehatan swasta terutama di perkotaan. Oleh karena itu, sektor swasta harus

mempunyai peran aktif untuk bersama-sama secara terkoordinasi memberikan

pelayanan kesehatan terbaik sesuai kebutuhan masyarakat, dengan diatur oleh

PERDA.

Penjelasan di atas mengindikasikan peran kuat Pemerintah Daerah untuk

mengatur terselenggaranya pelayanan kesehatan secara optimal kepada

masyarakat sangat esensial, termasuk pengaturan peran berbagai sektor

pemerintah, peran organisasi masyarakat dan peran pihak swasta. Peran

sektor pemerintah tingkat Pusat perlu dikoordinasikan agar saling melengkapi

untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan yang baik di daerah.


6. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat

Pengaturan kehamilan dan persalinan seharusnya merupakan keputusan

yang dibuat bersama-sama antara seorang calon ibu dengan suami dan

keluarganya, bukan merupakan keputusan yang tidak diinginkan oleh ibu,

baik oleh karena alasan kesehatan ataupun alasan-alasan kesiapan lainnya.

Keluarga perlu mempunyai pengertian bahwa setiap kehamilan harus

merupakan kehamilan yang diinginkan oleh ibunya, termasuk kapan

kehamilan dikehendaki dan berapa jumlah anak yang diinginkan.

Selain itu perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan

sikap keluarga dan masyarakat pada umumnya mengenai pentingnya

memahami bahwa setiap kehamilan beresiko mengalami komplikasi yang

mengancam jiwa, oleh karenanya perlu melakukan perencanaan persalinan

dengan baik dan perencanaan untuk melakukan pencegahan dan pencarian

pertolongan segera bila komplikasi terjadi (kesiapan transportasi, dana, dan

calon donor darah) ( Kemenkes RI, 2013 ).

7. Program Utama

Program utama terpilih merupakan program yang dianggap akan

mempunyai daya ungkit yang besar dalam upaya percepatan penurunan AKI

oleh karena menjamin tersedianya pelayanan berkualitas yang dapat diakses

setiap saat, yang meliputi:

a. Penyediaan pelayanan KIA di tingkat desa sesuai standar;

b. Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan di tingkat dasar yang mampu

memberikan pertolongan persalinan sesuai standar selama 24 jam - 7 hari /

minggu;
c. Penjaminan seluruh Puskesmas Perawatan, PONED dan RS PONEK 24

jam - 7 hari / minggu berfungsi sesuai standar;

d. Pelaksanaan rujukan efektif pada kasus komplikasi;

e. Penguatan Pemda Kabupaten/ Kota dalam tata kelola desentralisasi

program kesehatan (regulasi, pembiayaan dll);

f. Pelaksanaan kemitraan lintas sektor dan swasta;

g. Peningkatan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui

pemahanan dan pelaksanaan P4K serta Posyandu (Kemenkes RI, 2013).

D. Kematian Bayi

1. Angka Kematian Bayi (AKB)

AKB merupakan jumlah kematian bayi (0-11 bulan) per 1000 KH dalam

kurun waktu satu tahun. AKB menggambarkan tingkat permasalahan

kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan faktor penyebab kematian bayi,

tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil, tingkat keberhasilan

program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. Apabila

AKB di suatu wilayah tinggi, berarti status kesehatan di wilayah tersebut

rendah (Kemenkes, 2013).

Menurut rumus perhitungan angka kematian bayi ialah :

Jumlah kematian bayi kurang dari 1 tahun


dalam 1 tahun
AKB = X 1000
Jumlah kelahiran hidup pada tahun tersebut

2. Penyebab Kematian Bayi

Dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan

eksogen. Kematian bayi endogen atau kematian neonatal disebabkan oleh

faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya
pada saat konsepsi. Sedangkan kematian bayi eksogen atau kematian post-

neonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh

lingkungan luar (Arinta, 2012).

Kematian bayi dapat pula diakibatkan dari kurangnya kesadaran akan

kesehatan ibu. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya, Ibu jarang

memeriksakan kandungannya ke bidan, hamil di usia muda, jarak yang terlalu

dekat, hamil di usia tua, kurangnya asupan gizi bagi ibu dan bayinya,

makanan yang dikonsumsi ibu tidak bersih, fasilitas sanitasi dan higienitas

yang tidak memadai (Fauziyah, 2011). Disamping itu, kondisi ibu saat hamil

yang tidak bagus dan sehat, juga dapat berakibat pada kandungannya, seperti

faktor fisik, faktor psikologis, faktor lingkungan, sosial, dan budaya

(Sulistyawati, 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arinta dan Rahmah (2012) tentang

faktor penyebab kematian bayi di Kabupaten Sidoarjo menyimpulkan bahwa

karakteristik demografi ibu yang disertai pula kondisi ibu saat hamil yang

diduga memang memiliki risiko terhadap kematian bayi. Selain itu kelahiran

prematur juga turut menyumbang tingginya kematian bayi, karena aktivitas

ibu yang berat saat hamil, nutrisi kurang, ibu mengkonsumsi obat, kandungan

lemah, hamil kembar, dan informasi yang didapat saat pelayanan antenatal

yang diberikan oleh tenaga kesehatan (bidan dan dokter) tidak jelas dan

kurang lengkap. Disisi lain umur ibu, paritas dan jarak juga berisiko untuk

melahirkan bayi prematur.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sarimawar dan Soeharsono

(2003) menyimpulkan proporsi kematian neonatal lebih besar pada laki-laki


dari pada perempuan yaitu 6 berbanding 4. Rasio kematian post neonatal dan

neonatal sebesar I,58, status quo dengan tahun 1995, hal ini harus diatasi

melalui manajemen penanggulangan bayi sakit. Bayi meninggal yang

ditolong oleh tenaga kesehatan sebesar 57% dan dilahirkan melalui cara

operasi Caesar mencapai 8%. Dari bayi yang meninggal, hanya sebesar 27%

sebelumnya pernah berobat, dan lebih dari separuh kasus kematian neonatal,

meninggal dirumah (54%). Penyakit penyebab kematian bayi berusia 0-7 hari

(early neonatal death) terbanyak adalah premature disertai berat badan lahir

rendah, dan asfiksia lahir. Penyebab kematian bayi berusia 8-28 hari

terbanyak adalah infeksi dan feeding problem.

3. Upaya Mencegah Kematian Bayi

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kematian bayi antara lain

melalui peningkatan kegiatan imunisasi pada bayi, peningkatan ASI

eksklusif, status gizi, deteksi dini, dan pemantauan tumbuh kembang,

pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi, program manajemen tumbuh

kembang balita sakit dan manajemen tumbuh kembang balita muda,

pertolongan persalinan dan penatalaksanaan bayi baru lahir dengan tepat,

diharapkan keluarga memiliki pengetahuan, pemahaman, dan perawatan

pasca salin sesuai standar kesehatan, Program ASUH, Keberadaan bidan

desa, serta perawatan neonatal dasar meliputi perawatan tali pusat,

pencegahan hipotermi dengan metode kangguru, menyusui dini, usaha

bernafas spontan, pencegahan infeksi, penanganan neonatal sakit (Sugiatrik,

2014).
E. Hasil Penelitian Relevan

1. Prosiding Carwoto dan Wijayanto (2013) yang berjudul Pengembangan

dan Implementasi Sistem Informasi Jejaring Rujukan Kegawatdaruratan

Maternal-Neonatal Berbasis Web Dan SMS (Short Message Service),

tulisan ini memaparkan pengembangan dan implementasi sistem informasi

untuk komunikasi dan pengelolaan informasi rujukan kegawatdaruratan

maternal dan neonatal di jejaring rujukan antar fasilitas kesehatan. Sebuah

sistem informasi jejaring rujukan kegawatdaruratan ibu dan bayi baru lahir

telah dibuat menggunakan teknologi web dan SMS (short message

service).

Dengan antar muka berbasis web yang mudah dioperasikan dan

mekanisme komunikasi menggunakan SMS yang sudah umum digunakan

oleh tenaga kesehatan, sistem informasi ini memudahkan komunikasi antar

tenaga dan fasilitas kesehatan dalam menangani permintaan rujukan

gawatdarurat. Setelah mengalami proses pengujian teknis dan diujicobakan

secara langsung pada jejaring rujukan kegawatdaruratan di dua kabupaten

di Jawa Tengah, sistem ini terbukti dapat mencegah terjadinya penolakan

permintaan rujukan oleh semua rumah sakit, meningkatkan kesiapan pihak

rumah sakit untuk menerima rujukan, serta mengurangi keterlambatan

penanganan rujukan dalam jejaring pelayanan rujukan kegawatdaruratan

maternal dan neonatal. Sistem informasi yang diimplementasikan juga

dapat menjadi basis data yang bermanfaat bagi kepentingan pengambilan

keputusan di rumah sakit maupun dinas kesehatan.


2. Penelitian Bhandari (2012) dengan judul “Effect of implementation of

Integrated Management of Neonatal and Childhood Illness (IMNCI)

programme on neonatal and infant mortality” dengan variabel independen

pengaruh penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit sedangkan variabel

dependennya kematian neonatal dan bayi, dengan menggunakan studi

epidemiologi menyimpulkan bahwa angka kematian bayi secara signifikan

lebih rendah pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol.

Angka kematian neonatal secara signifikan lebih rendah pada kelompok

intervensi dalam subkelompok lahir di rumah tetapi tidak dalam

subkelompok lahir di fasilitas kesehatan.

3. Penelitiian Anders et al. (2014) dengan judul “Pilot community-

mobilization program reduces maternal and perinatal mortality and

prevents obstetric fistula in Niger” meneliti tentang program percontohan

mobilisasi masyarakat pada kematian ibu dan perinatal dan fistula Obstetri,

dengan mengidentifikasi dan mengevakuasi wanita dan mengumpulkan

data pada kehamilan, kelahiran dan kematian. Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa mobilisasi masyarakat membantu untuk mencegah

fistula Obstetri dan kematian terkait kelahiran dan bayi besar, serta daerah

dengan sumber daya yang rendah.

4. Penelitian Haver et al. (2015) dengan judul “Experiences engaging

community health workers to provide maternal and newborn health

services: Implementation of four programs” dengan menggunakan

metode case study menyimpulkan bahwa ada perencanaan intervensi yang

dapat difasilitasi oleh Community Health Workers (CHWs) untuk


melengkapi maternal and newborn health (MNH)/ keluarga melalui

peningkatan akses ke MNH/ keluarga untuk mengurangi kematian ibu dan

bayi.

5. Penelitian Shimoda (2015) dengan judul “Midwives intrapartum

monitoring process and management resulting in emergency referrals in

Tanzania: a qualitative study”dengan menggunakan metode kualitatif dan

deskriptif, menyimpulkan bahwa berdasarkan data dari kegiatan pertemuan

awal, pemantauan, dan pelaksanaan, selama fase ini, bidan melihat tanda-

tanda bahaya, mengidentifikasi masalah, memperbaiki dan identifikasi

masalah awal dan diselenggarakan untuk intervensi medis. Waktu tindakan

berbeda untuk setiap bidan dan bergantung pada sifat kasus dan tenaga

kerja.

6. Penelitian Manuck et al. (2015) dengan judul Preterm neonatal morbidity

and mortality by gestational age: a contemporary cohort bertujuan

menggambarkan frekuensi kematian bayi kontemporer, bayi serebrospinal

dan usia hidup neonatal di seluruh spektrum usia kehamilan prematur.

Dengan menggunakan metode contemporary cohort, hasil penelitian ini

ialah terdapat penurunan kematian seiring dengan bertambahnya usia

kehamilan. Penurunan kematian ini disertai dengan peningkatan

morbiditas neonatal, 54,8% memuncak pada usia kehamilan 25 minggu.

Kematian neonatal menurun dan morbiditas neonatus kecil meningkat,

81.7% memuncak pada usia kehamilan 31 minggu. Frekuensi komorbid

menurun di usia kehamilan lebih dari 32 minggu.


Lama rawat inap neonatal di rumah sakit menurun secara signifikan

dengan bertambahnya minggu kehamilan; antara bayi dari 26-32 minggu

kehamilan, setiap minggu tambahan dalam rahim mengurangi panjang

berikutnya rawat inap neonatal minimal 8 hari. Usia rata-rata

postmenstrual di pembuangan nadired pada usia postmenstrual 35.7

minggu untuk bayi lahir pada 32-33 minggu kehamilan. Kesimpulan dari

penelitan ini ialah ada sebuah kontinum dari hasil, dengan setiap minggu

tambahan untuk memberikan manfaat kelangsungan hidup dan

mengurangi lama rawat inap awal kehamilan. Data kontemporer ini dapat

berguna untuk pasien konseling mengenai hasil kehamilan prematur.

7. Penelitan Moseson et al. (2014) dengan judul Estimation of maternal and

neonatal mortality at the subnational level in Liberia bertujuan untuk

mendirikan perwakilan di daerah-daerah sebagai dasar perkiraan kematian

ibu dan bayi dengan menggunakan sebuah novel yang disesuaikan dengan

metode persaudaraan. Metode penelitian yang digunakan ialah status

kesehatan ibu dan bayi di Bomi County, Liberia, diselidiki pada Juni 2013

menggunakan survei berdasarkan populasi (n = 1985). Metode standar

langsung persaudaraan diubah ke account untuk tempat dan waktu

kematian ibu untuk memungkinkan perhitungan perkiraan subnasional.

Hasil dari penelitian ini ialah dengan mengubah metode pengukuran

angka kematian ibu, meningkatkan keberhasilan perhitungan perkiraan

yang lebih spesifik. 71 melaporkan kematian Suster, 18 (25,4%) karena

penyebab terkait kehamilan dan telah terjadi di Bomi County selama 3

tahun. Rasio kematian ibu yang diperkirakan adalah kematian ibu 890
untuk setiap 100.000 kelahiran hidup (95% CI, 497-1301). Mortalitas

neonatal diperkirakan 47 kematian untuk setiap 1000 kelahiran hidup

(95% CI, 42-52). Kesimpulannya mengubah metode langsung dengan

persaudaraan mungkin berguna bagi negara-negara lain untuk mencari

pemahaman yang lebih regional bernuansa bidang di mana bayi dan

tingkat kematian ibu masih harus dikurangi untuk memenuhi tujuan

pembangunan Milenium.

8. Artikel Taylor (2015) dengan judul The role of health professional

organizations in improving maternal and newborn health berisi pimpinan

FIGO Obstetri dan Ginekologi berinisiatif membuat suatu perubahan yang

berdampak pada peningkatan kesehatan maternal dan neonatal dengan

meningkatkan kapasitas internal dan eksternal delapan lembaga nasional

Obstetri dan Ginekologi di 6 Negara Afrika dan 2 negara di Asia. Inisiatif

ini didanai oleh dana hibah dari Bill dan Melinda Gates Foundation dan

memiliki tiga tujuan utama yaitu untuk mendukung delapan lembaga

FIGO untuk memperkuat kapasitas mereka untuk bekerja secara efektif;

untuk mempengaruhi kebijakan nasional mengenai kesehatan ibu dan bayi

yang baru lahir; dan untuk meningkatkan praktek klinis di daerah ini.

Melalui peningkatan kapasitas, dan didukung oleh nota kesepakatan

dengan pemerintah, kebijakan nasional mempengaruhi kesehatan ibu dan

bayi yang baru lahir, perawatan klinis yang terkena dampak melalui

pengembangan lebih dari empat puluh panduan klinis nasional, kurikulum

nasional, pelatihan staf manajemen, dan perkembangan nasional kematian

ibu dipengaruhi oleh tinjauan program.


9. Penelitian Miller et al. (2012) dengan judul The effect of traditional birth

attendant training on maternal and neonatal care. Bertujuan menentukan

apakah dukun (TBAs) yang dilatih melalui metode "SMART Dai"

memiliki peningkatan pengetahuan dalam praktek perawatan ibu dan bayi.

Metode yang digunakan ialah cluster-acak, 120 masyarakat pedesaan

masing-masing dengan jumlah penduduk sekitar 5000 dilakukan

intervensi berbasis masyarakat (CBI) atau intervensi sistem kesehatan

(HSI). Dalam masyarakat CBI 288 TBAs menjalani pelatihan perawatan

ibu dan bayi yang baru lahir selama 8 hari, kemudian dievaluasi baik di

awal dan pasca pelatihan. Setelah rata-rata 19 bulan pasca pelatihan, TBAs

277, bersama dengan 257 comparably dipilih dari masyarakat HSI, diuji

dan diwawancarai.

Hasil dari penelitian ini ialah karakteristik dari TBAs dalam dua

kelompok adalah serupa. TBAs dievaluasi pengetahuanya, keterampilan

dan praktek (termasuk arahan), dengan membandingkan laporan pasien

dengan laporan TBA. Oleh sebagian besar langkah, TBAs terlatih

mengungguli yang terlatih, sering untuk signifikan derajat. Kesimpulannya

pelatihan Dai pintar tampaknya menjadi faktor penting dalam pengurangan

kematian perinatal di daerah CBI. TBAs terlatih secara substansial dapat

berkontribusi untuk meningkatkan pengiriman hasil.

10. Penelitian Lal et al. (2013) dengan judul Eclampsia: Maternal and

neonatal outcomes bertujuan untuk menentukan kualitas ibu dan bayi yang

terkait dengan pre-eclampsia. Dengan menggunakan metode studi kohort

retrospektif , analisis statistik yang dilakukan menggunakan SAS. Chi


persegi dan t-tes yang digunakan untuk variabel kategoris dan terus-

menerus, masing-masing. regresi logistik dan regresi linier yang umum

digunakan untuk menghitung peluang rasio dan 95% confidence interval.

Hasilnya secara signifikan lebih banyak perempuan eclamptic (49%)

dibandingkan dengan preeclamptic (36%), atau 1,7 (1,28-2.28). Wanita-

wanita ini lebih berpeluang masuk ICU atau 12,9 (7,0-23.7). Rata-rata usia

kehamilan dan birthweights yang lebih rendah pada neonatus kelompok

pre-eclampsia. Analisis multivariat mengungkapkan bahwa pH arteri tali

pusat rendah, rendah 5 min. Apgar Skor, pernapasan distress syndrome

atau 5.5, (1.11-27.66) dan kejang atau 10.3 (3,12-33.68), p < 0,05, yang

secara signifikan ditinggikan dalam kohort pre-eclampsia. Prevalensi pre-

eclampsia populasi kontemporer Obstetri kami adalah 0.08%. Kedua ibu

serta neonatus eclamptics berada pada risiko yang signifikan untuk

komplikasi karena penyakit mereka.

11. Penelitian English et al. (2013) dengan judul Causes and outcome of

young infant admissions to a Kenyan district hospital, dimana variabel

dalam penelitian ini ialah penanganan Manajemen Terpadu Balita Muda

(MTBM). Dengan metode kualitatif hasil penelitian menunjukan

penanganan dengan menggunakan MTBM sangat berguna bagi bayi umur

kurang dari tiga bulan terutama untuk menanggulangi infeksi.

Kebaruan penelitian ini adalah meneliti implementasi Program EMAS

dengan tujuh variabel yaitu standar kebijakan, tujuan kebijakan,

sumberdaya, komunikasi antar organisasi terkait, karakteristik badan

pelaksana, disposisi/ sikap pelaksana, kondisi lingkungan sosial, ekonomi,


politik dan perkembangan upaya penurunan AKI dan AKB di kabupaten

Cilacap.

F. Kerangka Pemikiran

Komunikasi antar organisasi dan


kegiatan pelaksanaan
Implemen
Ukuran dan tasi
G.
tujuan kebijakan Disposisi Program
Karakteristik Pelaksana
badan pelaksana EMAS

Sumber
H. daya

Lingkungan ekonomi,
sosial dan politik

Anda mungkin juga menyukai