Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu sarana dalam
memberikan bantuan hidup dasar dan lanjutan kepada pasien yang
mengalami henti jantung atau henti nafas. RJP diberikan untuk pasien yang
tidak sadar ,tidak nafas dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
sirkulasi peredaran darah.
1. RJP merupkan prosedur emergency dan dilakukan di rumah sakit
dengan tim ahli kegawatdaruratan yang telah ada.
2. Dari pasien yang telah dilakukan RJP sebanyaknya 1/3 (sepertiga) nya
berhasil dan 1/3 (sepertiga) dari yang berhasil tersebut dapat bertahan
hidup hingga keluar dari rumah sakit.
3. Tingkat keberhasilan RJP tergantung pada sifat dan derajat penyakit
pasien.
4. Pada suatu studi sekitar 11% (sebelas persen) pasien yang berhasil RJP
akan mengalami RJP ulang minimal 1 kali selama masa perawatan di
rumah sakit. Dan pasien yang mengalami RJP tetapi meninggal
sebelum keluar rumah sakit biasanya di rawat di Instalasi Pelayanan
Intensif atau Cardio Vasculer Care Unit (CVCU)
5. Pasien yang pernah mengalami RJP dan bertahan hidup tidak akan
mengalami gangguan atau disfungsi yang berat serta memiliki orientasi
yang baik.
6. Tingkat keberhasilan RJP tergantung :
6.1. Penyebab terjadinya henti jantung dan henti nafas pada pasien
6.2. Penyakit medis yang mendasari.
6.3. Kondisi kesehatan pasien secara umum.
7. Penting untuk mengidentifikasi pasien dimana terjadinya henti nafas
atau henti jantung menandakan kondisi terminal penyakit dan dimana
usaha RJP tidak akan memberikan hasil atau sia-sia

1
8. Dari sebuah studi di Boston pasien dengan kanker tingkat lanjut
metastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup keluar rumah
sakit,sedangkan pasien gagal ginjal sekitar 2% (dua persen)yang bisa
hidup keluar dari rumah sakit.
9. Seringnya pasien yang pernah mengalami RJP tetap dalam kondisi sakit
dan membutuhkan perawatan lanjutan di Instalasi Pelayanan Intensif.
10. Merupakan hak pasien untuk menolak dilakukan RJP harus dihargai,hal
ini mungkin karena pasien berpendapat bahwa dengan melakukan usaha
RJP hanya akan memperpanjang kualitas yang buruk.
11. Angka kelangsungan hidup pasien dewasa yang dilakukan RJP akan
lebih baik apabila :
11.1. Akses ke Instalasi Gawat Darurat terdekat segera dilakukan.
11.2. Pemberian bantuan hidup dasar lebih awal
11.3. Pemberian bantuan hidup lanjut lebih awal.
12. Beberapa pasien tingkat kelangsungan hidupnya rendah misalnya
pasien yang gagal ginjal atau gagal jantung yang berat, atau keganasan
yang menyebar (metastase)
13. Angka kelangsungan hidup pasien anak dengan gagal jantung adalah
rendah.

B. Tujuan
1. Untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan DNR tidak disalah
artikan atau disalah interprestasikan.
2. Untuk memastikan terjadinya komunikasi, pencatatan dan
terstandarisasi tentang pengambilan keputusan DNR.
C. Pengertian
1. Henti jantung adalah keadaan ketika jantung dengan alasan apapun
tidak memompa dengan efektif atau bahkan tidak memompa sama
sekali disertai tidak adanya denyut nadi yang teraba.
1.1. Hal ini dapat disebabkan karena adanya fibrilasi ventrikel atau
PEA

2
1.2. Untuk memperoleh hasil RJP efektif maka resusitasi harus
dilakukan sesegera mungkin setelah kejadian henti jantung.
1.3. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak ada denyut jantung,
pupil midriasis maksimal hal ini bukanlah henti jantung dan tidak
perlu dilakukan resusitasi.
2. Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah salah satu rangkaian tindakan
penyelamatan nyawa untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien
henti jantung mendadak. RJP dapat diberikan pada pasien yang tiba-tiba
terjatuh atau yang tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas tidak
normal (gasping) meskipun tidak ada tulisan DNR di atas status rekam
medis.
3. Tindakan DNR adalah suatu tindakan dimana apabila pasien mengalami
henti jantung dan atau henti napas para medis tidak akan dipanggil dan
tidak akan melakukan usaha tindakan resusitasi jantung paru dasar
maupun lanjut.
3.1. Jika pasien mengalami henti jantung atau henti nafas lakukan
segera asesmen untuk mengidentifikasi penyebab,patensi jalan
nafas ,memeriksa kondisi pasien dan sebagainya.Tidak perlu
melakukan usaha tindakan resusitasi dasar dan lanjut.
3.2. DNR tidak berarti semua tata laksana atau penanganan aktif
pasien diberhentikan (misalnya pemberian terapi intra vena,
pemberian obat-obatan) harus tetap dilakukan pada pasien
meskipun dengan DNR
3.3. Semua perawatan mendasar tetap dilakukan tanpa kecuali
4. Fase atau penyakit terminal adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
cidera atau penyakit yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis
lainnya tidak dapat disembuhkan dan bersifat ireversibel dan pada
akhirnya akan menyebabkan kematian dalam rentang waktu yang sikat,
pengaplikasian terapi untuk memperpanjang atau mempertahankan
hidup hanya akan berefek dalam memperlama proses penderitaan atau
sekarat pasien.

3
BAB II
TATA LAKSANA

A. Prinsip
1. Harus tetap ada anggapan untuk tetap melakukan resusitasi kecuali
sudah keputusan baik secara lisan dan tulisan untuk tidak melakukan
resusitasi.
2. Keputusan tindakan DNR harus dicatat di status rekam medis pasien
3. Keputusan DNR ditentukan oleh 3 orang dokter, yaitu:
3.1. DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan)
3.2. Dokter Anestesiologi
3.3. 1 dokter lainnya, bisa juga dokter yang telah ditunjuk oleh komite
medik
4. Pasien harus diberikan informasi sejelas-jelasnya tentang kondisi dan
penyakit serta keungkinan terjadi henti nafas atau henti jantung dan
kemungkinan adanya tindakan DNR yang akan dilakukan.
5. Informasi diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien dengan
menggunakan tehnik komunikasi yang baik.
6. RJP sebaiknya tidak dilakukan apabila:
6.1. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan
pernafasan pasien
6.2. Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki
kapasitas untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan
usaha RJP.
6.3. Terdapat alasan yang valid, kuat dan dapat diterima mengenai
pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP
6.4. Terdapat formulir DNR sebelumnya yang valid, lengkap dan
dengan alasan kuat.
6.5. Pada pasien-pasien yang berada pada fase terminal penyakitnya
atau sekarat, dimana tindakan RJP tidak dapat menunda fase
terminal atau kondisi sekarat pasien dan tidak memberikan

4
keuntungan terapeutik (risiko dan bahayanya melebihi
keuntungannya)
7. Keputusan melakukan DNR harus merupakan langkah terbaik bagi
pasien dan sudah didiskusikan dengan pasien dan atau keluarga.
8. Di status rekam medis pasien harus tercantum data-data:
8.1. Tulisan “Pasien ini tidak dilakukan resusitasi” ditulis di lembar
8.2. Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
8.3. Indikasi atau alasan tindakan DNR
8.4. Batas waktu berlakunya instruksi DNR
8.5. Nama dokter penanggung jawab pasien
8.6. Ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien (yang
mengambil keputusan)
9. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan
instruksi DNR, misalnya: keganasan fase terminal.
10. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas dimana
terdapat kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan
penerjemah yang kompeten.
11. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan tata
laksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.

B. Keputusan Dini atau Awal


1. Terdapat kebijakan dari pihak rumah sakit mengenai keputuan dini akan
penolakan tindakan penyelamatan hidup atau nyawa oleh pasien
2. Dokter sebaiknya menghargai keputusan yang diambil oleh pasien
(autonomy)
3. Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi atau penaganan
lainnya, seperti pemberian obat-obatan, cairan infus dan lain-lain.
4. Putuskanlah apakah diskusi mengenai keputusan DNR ini perlu
dilakukan
5. Berikut adalah beberapa kondisi dimana perlu dilakukan diskusi dengan
pasien:

5
5.1. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka
ingin mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya
5.2. Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat
mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien
5.3. Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya
keuntungan dalam hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk
membuat pasien menyadari, memahami dan menerima kondisi
penyakitnya serta menerima hasil keputusan yang telah
didiskusikan. Diskusi juga membahas mengenai manajemen
paliatif dan prognosis secara keseluruhan.
6. Berikut adalah beberapa kondisi dimana tidak perlu dilakukan diskusi
dengan pasien:
6.1. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya atau sia-sia
6.2. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya
pasien menjadi depresi
6.3. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka
tidak ingin mendiskusikan hal tersebut
6.4. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase
sekarat atau terminal dari penyakitnya
6.5. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk
mengambil keputusan
7. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan
tindakan penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratan
di bawah ini:
7.1. Usia pasien 21 tahun ke atas atau sudah menikah
7.2. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara
mental untuk mengambil keputusan
7.3. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien
sendiri atau keluarga atau kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan
harus dicatat di rekam medis
7.4. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:

6
7.4.1. Penulis atau pembuat keputusan atau oleh orang lain atas
nama pasien sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak
mampu menandatanganinya sendiri)
7.4.2. 1 orang lain sebagai saksi
7.5. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh
pembuat keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain atau
terpisah, yang menyatakan bahwa keputusan dini ini diaplikasikan
untuk tindakan atau penanganan spesifik, bahkan jika terdapat
risiko kematian.
7.6. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus
ditandatangani dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien)
8. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini
harus atas izin pasien
9. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan
dengan keluarga atau wali sah pasien dengan mempertimbangkan
kondisi dan keinginan pasien. Jika tidak terdapat keluarga atau wali
yang sah, keputusan dapat diambil oleh dokter penanggung jawab
pasien.
10. Jika terdapat situasi dimana pasien kehilangan kompetensinya untuk
mengambil keputusan tetapi telah membuat “keputusan dini DNR”
sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.
11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh
pasien, jika terdapat hal-hal berikut ini:
11.1. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap
keputusan dini atau awal yang dibuat, yng mempengaruhi
validitas keputusan tersebut (misalnya: pasien pindah agama)
11.2. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi
tersebut dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya:
perkembangan terkini dalam tata laksana pasien yang secara
drastis mengubah prospek kondisi tertentu pasien)

7
11.3. Situasi atau kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat
diprediksi
11.4. Terdapat perdebatan atau perselisihan mengenai validitas
keputusan dini atau awal dan kasus tersebut telah dibawa ke
pengadilan.
12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan atau
maksudkan, tenaga medis harus bertindak sesuai dengan kepentingan
atau hal yang terbaik untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter
senior juga.
13. Tata laksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada
tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa
instruksi tersebut ada.
14. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.
15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang
nyaman dan hangat, pengurang rasa sakit atau analgesik, manajemen
gejala-gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak nafas,muntah,
inkontinensia), dan manajemen hygiene atau kebersihan diri pasien.
16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas
sebaiknya meminta saran dari dokter senior dan masalah ini dapat juga
dibawa ke komisi etik.
17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal
mengambil keputusan DNR .
C. Keputusan DNR Pada Pasien Dewasa Peri-Operatif
1. Tindakan pembedahan dan anestesi turut berkontribusi dalam
perubahan kondisi medis pasien dengan keputusan DNR sebelumnya
dikarenakan adanya perubahan fisiologis yang dapat meningkatkan
risiko pasien.
2. Tindakan anestesi sendiri (baik regional maupun umum), akan
menimbulkan instabilitas kardiopulmoner yang akan membutuhkan
dukungan atau penaganan medis

8
3. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan di ruang rawat inap (dimana keputusan DNR ditetapkan).
4. Menilik dari hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan peninjauan ulang
keputusan DNR sebelum melakukan prosedur anestesi dan
pembedahan.
5. Rekomendasi:
5.1. Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan
prosedur pembedahan harus dikonsultasikan kepada tim bedah
dan anestesiologis.
5.2. Lakukan peninjauan ulang keputusan DNR oleh Anestesiologis
dan dokter bedah dengan pasien, wali, keluarga atau dokter
penanggung jawab pasien (Jika diindikasikan) sebelum
melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
5.3. Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk memperoleh
kesepakatan mengenai penanganan apa saja yang boleh dilakukan
selama prosedur anestesi dan pembedahan.
5.4. Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR, yaitu:
5.4.1. Pilihan pertama: keputusan DNR saat menjalani
pembedahan dan anestesi, lakukan RJP jika terdapat henti
jantung atau nafas.
5.4.2. Pilihan Kedua: keputusan DNR dimodifikasi, dengan
mengizinkan pemberian obat-obatan dan tehnik anestesi
yang sejalan atau sesuai dengan pemberian anestesi
Hal ini termasuk:
5.4.2.1. Monitor EKG, tekanan darah, olsigenasi dan
monitor intraoperatif lainnya
5.4.2.2. Manipulasi sementara dalam menjaga jalan nafas
dan pernafasan dengan intubasi dan ventilasi, jika
diperlukan; dan dengan pemahaman bahwa pasien
akan bernafas secara spontan di akhir prosedur

9
5.4.2.3. Penggunaan vasopressor atau obat anti-aritmia
untuk mengkoreksi stabilitas kardiovaskuler yang
berhubungan dengan pemberian anestesi dan
pembedahan.
5.4.2.4. Penggunaan kardioversi atau defibrilator untuk
mengkoreksi aritmia harus didiskusikan
sebelumnya dengan pasien atau wali sahnya.
Lakukan juga diskusi mengenai pemberian
kompresi dada.
5.4.3. Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada
perubahan).
5.4.3.1. Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai
dengan pemberian anestesi umum dalam
pembedahan.
5.4.3.2. Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan
minor dengan tetap mempertahankan keputsan
DNR-nya.
5.4.3.3. Anestesiologis harus berdiskusi dan membuat
kesepakatan dengan pasien atau wali sah mengenai
intervensi apa saja yang diperbolehkan, seperti:
kanulasi intravena, pemberian cairan intravena,
sedasi, analgesik, monitor, aobat vasopressor, obat
anti-aritmia, oksigenasi atau intervensi lainnya.
5.4.3.4. Pilihan yang telah disepakati harus dicatat di rekam
medis pasien.
5.4.3.5. Pilihan DNR ini harus dikomunikasikan kepada
semua petugas medis yang terlibat dalam
perawatan pasien di dalam kamar operasi dan
ruang pemulihan.
5.4.3.6. Secara hukum, yang berwenang untuk membuat
keputusan DNR ini adalah:

10
5.4.3.6.1. Pasien dewasa yang kompeten secara
mental yang berusia 21 tahun ke atas
atau sudah menikah
5.4.3.6.2. Wali sah pasien (jika pasien tidak
kompeten secara mental)
5.4.3.6.3. Dokter penanggung jawab pasien, yang
bertindak dengan mempertimbangkan tin
dakan terbaik untuk pasien (jika belum
ada keputusan DNR dini atau awal yang
telah dibuat oleh pasien atau wali
sahnya)
5.4.3.7. Jika setelah diskusi, masih belum terdapat
kesepakatanmengenai pilihan DNR mana yang
akan digunakan, pemegang keputusan tetaplah
diberikan ke pasien atau wali sahnya.
5.4.3.8. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan
mengenai siapa yang berwenang untuk membuat
keputusan DNR, atau terdapat keraguan mengenai
validitas suatu keputusan DNR dini atau awal, atau
terdapat keraguan mengenai tindakan apa yang
terbaik untuk pasien; segeralah mencari saran
kepada komisi etik atau lembaga hukum setempat.
5.4.3.9. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus
membuat keputusan yang menurutnya terbaik
untuk pasien dengan menggunakan semua
informasi yang tersedia.
5.4.3.10. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan
selama pasien berada di kamar operasi dan ruang
pemulihan
5.4.3.11. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat
pasien kembali ke ruang rawat nap.

11
6. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi
operatif pada pasien dengan DNR adalah:
6.1. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan
dengan penyakit kronis pasien (misalnya: Appendicitis akut)
6.2. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan
penyakit kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian
dari proses terminal penyakitnya (misalnya: ileus obstruktif).
6.3. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur
column femur)
6.4. Prosedur untuk menyediakan akses vaskuler
7. Pada situasi emergensi:
7.1. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang
mengenai keputusan DNR sebelum melakukan anestesi,
pembedahan atau resusitasi.
7.2. Akan tetapi harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi
adanya keputusan DNR dini atau awal yang telah dibuat
sebelumnya (jika memungkinkan).
8. Fase Pre-operatif
8.1. Lakukan diskusi antara pasien atau wali sah, keluarga,
anestesiologis, dokter bedah, dokter penanggung jawab pasien
dan perawat.
8.2. Lakukan asesmen mengenai:
8.2.1 Kondisi medis pasien
8.2.2 Intervensi pembedahan yang diperlukan
8.2.3. Riwayat keptusan DNR sebelumnya, termasuk:
8.2.3.1. Durasi atau batas waktu berlakunya keputusan
tersebut
8.2.3.2. Siapa yang bertanggung jawab menetapkan
keputusan tersebut
8.2.3.3. Alasan keputusan tersebut dibuat

12
8.2.4. Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah
pasien ini perlu menjalani anestesi dan pembedahan
(pertimbangkan dari sudut pandang pasien, keluarga, dokter
bedah dan anestesiologi)
8.2.5. Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasn – batasan
tindakan resusitasi apa saja yang dapat dilakukan difase
peri-operatif , lakukan komunikasi yang efektif, detail dan
terbuka dengan pasien,keluarga atau wali sah pasien
8.2.6. Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati,harus
dicatat direkam medis pasien,ditanda tangani oleh pihak –
pihak yang terlibat dan dicantumkan tanggal keputusan
dibuat
8.2.7. Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan
dibuat dan kondisi medis pasien memungkinkan menjalani
pembedahan.
9. Fase Intra-operatif
9.1. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar
operasi.
9.2. Jika dilakukan pemberian premedikasi,haruslah sangat berhati-
hati.
9.3. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan
keputusan DNR yang diambil
9.4. Dokter bedah dan anestesiologis yang terlibat dalam konsultasi
pre –operatif harus hadir selama prosedur berlangsung
10. Fase pasca operatif
10.1. Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikan dengan petugas di
ruang pemulihan
10.2. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan atau
dipindahkan dari ruang pemulihan.

13
10.3. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih
rawat pasien dari ruang pemulihan ke perawatan di ruang rawat
inap.
10.4. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas
waktunya hingga pasien telah ditransfer ke ruang rawat inap
pasca–operasi .Misalnya jika penggunaan infus epidural atau alat
analgesik akan tetap dipakai oleh pasien pasca – operasi.
10.5. Harus ada audit rutin mengenai menejemen pasien dengan
keputusan DNR yang dijadwalkan untuk menjalani operasi.

D. Keputusan DNR pada Pediatrik


1. Pada pasien Pediatri, keputusan DNR didiskusikan dengan orang tua
pasien.
2. Orang tua harus mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya
mengenai kondisi dan penyakit pasien, prosedur RJP, rekomendasi
mengenai RJP dan DNR.
3. Pertimbangkan juga kondisi emosional dan tumbuh kembang pasien
anak
4. Instruksi DNR harus diberitahukan kepada orang tua pasien ,kecuali
pada kondisi dimana RJP dianggap membahayakan pasien atau bersifat
terapiutik
5. Di rekam medis harus tertulis hasil diskusi dokter dengan orang tua
pasien. Keputusan harus ditanda tangani oleh dokter, perawat yang
terlibat dan orang tua pasien.
6. Pada kasus tertentu ,dimana orang tua tetap meminta dilakukan RJP
meskipun tim medis telah memberitahukan bahwa tindakan RJP ini
membahayakan pasien atau bersifat non-terapiutik, orang tua
diperbolehkan mencari pendapat lainnya (second Opinion ) atau jika
orang tua meminta diperbolehkan melakukan tranfer pasien jika kondisi
pasien memungkinkan untuk ditransfer.
7. Jika masih belum ditemukan kesepakan antara tim medis dengan orang
taua pasien , lakukanlah proses peninjuan ulang (review) oleh tim medis

14
untuk menetukan apakah DNR perluh dilakukan atau tudak, seperti
tercamtum dibawah ini:
7.1. Tim medis mengkonfirmasi bahwa terdapat kesepakatan diantara
timnya mengenai keputusan DNR pada pasien.
7.2. Minta pendapat dokter lain di luar tim medis pasien (second
Opinion) mengenai apakah RJP pada pasien ini bersifat non
terapiotik atau membahayakan.
7.3. Jika secion opinion mendukung keputusan DNR, salah seorang
anggota tim medis harus menghubungi komisi etik untuk
menjadwalkan konsultasi etik.
7.4. Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNR , tim
medis harus memberi tahukan atau melaporkannya kepada kepala
pelayanan medis dan lembaga hukum.
7.5. Jika kepala pelayanan msetuju dan lembaga hukum menyatakan
bahwa keterlibatan secara hukum tidak di perlukan , orang tua
harus di beri tahu bahwa keputusan DNR akan dituliskan di
Rekam Medis Pasien.
7.6. Jika orang tua masih tidak setuju dengan keputusan DNR ini,
orang tua sebaiknya di berikan kesempatan dan bantuan untuk
mentransfer pasien ke fasilitas lainnya yang bersedia untuk
menerima pasien.
7.7. Jika tidak memungkinkan untuk mentransfer pasien, intruksi
DNR akan di tuliskan di rekam medis pasien.
8. Re-assesment wajib terhadap keputusan DNR sebelum menjalani
prosedur anestesi dan pembedahan.
8.1. Pasien dengan intruksi DNR biasanya sering menjalani prosedur
anestesi dan pembedahan, terutama prosedur dengan tujuan
memfasilitasi perawatan atau mengurangi nyeri.
8.2. Etiologi dan kejadian henti jantung selama anestesi berbeda secra
siknifikan dengan situasi di luar ruang operasi sehngga perlu di
lakukan reevaluasi mengenai intruksi DNR

15
8.3. Faktanya, angka keberhasilan resusitasi lebih tinggi di dalam
kamar operasi atau selama anestesi berlangsung .
8.4. Pada beberapa kasus, pasien atau orang tua mengingingkan
adanya pembatasan usaha resusitasi yang di gunakan sepanjang
periode peri operatif.
8.5. Pemberian anestesi sendiri melibatkan beberapa prosedur yang
dapat dianggap sebagai salah satu bagian dari resusitasi misalnya
pemasangan kateter intra vena , pemberian cairan dan obat-obatan
intra vena dan menejemen jalan napas dan ventilasi pasien.
8.6. Anestesiologis harus berdiskusi dengan pasien dan atau orang tua
menilai ulang status DNR sebelum dilakukan prosedur
pembedahan dan mengkomunikasikan hasil diskusi ini pda
seluruh petugas rumah sakit yang terlibat denga perawatan pasien
selama intra opperatif.
8.7. Terdapat 3 pilihan intruksi DNR sebelum prosedur anesteasi atau
pembedahan.
8.7.1.Pilihan pertama intruksi DNR di batalkan untuk sementara
(jika terjadi henti napas atau jantung , di lakukan usaha
resusitasi sepenuhnya)
8.7.2.Pilihan kedua terbatas ( Spesifik terhadap prosedur) pasien
dilakuka usaha resusitasi sepenuhnya kecuali prosedur
spesifik yaitu kompresi dada kardio versi.
8.7.3.Pilihan ketiga resusitasi teerbatas (spesifik terhadap tujuan)
pasien dilakukan usaha resusitasi hanya jika efek samping
terjadi dianggap bersifat sementara dan reversible,
berdasarkan pertimbangan dokter bedah dan anestisiologis.
8.8. Harus dicatat di rekam medis pasien.
8.9. Saat pasien keluar atau di pindahkan dari ruang pemulihan ,
intruksi DNR ini harus ditinjau ulang.
8.10. Jika orang tua memutuskan untuk tetap memberlakukan intruksi
DNR selama menjalani prosedur ansestesi atau pembedahan, dan

16
dokter bedah menolak untuk berpartisipasi dalam kasus ini maka
keluarga harus mencari dokter lain yang bersedia untuk merawat
pasien

E. Peninjauan Ulang Mengenai Keputusan DNR


1. Keputusan mengenai DNR ini harus ditinjau ulang secara teratr\tur dan
rutinterutama jika terjadi perubahan apapun terhadap kondisi dan
keinginan pasien.
2. Frekuensi peninjauan ulang ini harus ditentukan oleh dokter senior yang
saat itu sedang bertugas atau oleh konsultan penanggung jawab pasien.
3. Peninjauan ini dilakukan setiap 7 (tujuh) hari sekali, tetapi dapat juga
dilakukan setiap hari pada kasus-kasus tertentu.
4. Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi
perbaikan kondisi dan respons pasien terhadap terapi pengobatan.

F. Pembatalan Keputusan DNR


Jika keputusan DNR tidak lagi berlaku/dibatalkan, maka perawat mengisi di
Form RM 05, perawat menulis “pembatalan DNR” pada kolom SOAP dan
ditandatangani oleh pasien atau keluarga. Pada kolom instruksi perawat
menuliskan “melepas stiker DNR” dan “menghancurkan atau menyobek
instruksi tertulis DNR”, dengan ditandatangani perawat dan verifikasi DPJP.

G. Keputusan DNR Dan Rujuk Pasien


1. Jika pasien dirujuk ke rumah sakit lain dengan instruksi DNR, DPJP
harus bertanggung jawab untuk melakukan assesmen ulang dan
mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat saat itu
mengenai: “Apakah instruksi DNR masih berlaku atau tidak?”.
Sebelum assemen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap
sebagai DNR. Jika DPJP tidak ada maka assesmen ulang dilakukan oleh
dokter jaga IGD yang saat itu sedang bertugas.
2. Jika pasien dirujuk ke pelayanan primer lain dengan instruksi DNR,
dokter umum di layanan primer tersebut bertanggung jawab melakukan
assesmen ulang dan pengambilan keputusan harus dikomunikasikan

17
dengan semua petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Sebelum
assesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap sebagai
DNR.
3. Saat melakukan rujuk pasien, formulir DNR dilampirkan bersama
lembar rujuk pasien.

H. Pemasangan Stiker DNR


1. Stiker DNR merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi
pasien yang memiliki instruksi DNR yang valid.
2. Stiker ini harus dihargai dan ditaati oleh tim kegawatdaruratan medis
dengan atau tanpa adanya formulir instruksi DNR tertulis
3. Stiker ini ditempelkan di gelang identitas pasien
4. Stiker DNR berwarna ungu bertuliskan DNR
5. Stiker DNR tidak boleh rusak atau sobek
6. Pasien atau wali sahnya dapat meminta Stiker DNR dan formulir DNR
yang didapat dari dokter dan rumah sakit tempat pasien berobat
sebelumnya.
7. Rumah sakit akan bertanggung jawab dalam memberikan Label DNR
kepada pasien berdasarkan formulir tertulis DNR yang ada.
8. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai tujuan
dan maksud dari instruksi DNR ini dan menekankan bahwa instruksi
DNR ini hanya berlaku untuk usaha RJP, penanganan lainnya tetap
dilakukan.
9. Instruksi DNR dapat dibatalkan dengan cara:
10.1. Pernyataan secara tertulis mengenai pembatalan instruksi DNR
10.2.Melepas stiker DNR
10.3. Menghancurkan atau menyobek instruksi tertulis DNR
10. Pembatalan DNR ini harus dilaporkan kepada dokter pembuat formulir
dan rumah sakit tempat pasien berobat sehingga dapat dicatat ke rekam
medis pasien.

18
I. Kriteria Pasien yang tidak memiliki Kapasitas Adekuat dan tidak
Kompeten dalam Mengambil Keputusan:
1. Pasien memiliki gangguan fungsi kognitif atau mental yang
membuatnya tidak dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
2. Pasien tidak dapat mengerti mengenai informasi yang relevan dengan
pengambilan keputusan yang diberikan oleh dokter ataupetugas medis
lainnya.
3. Pasien memiliki gangguan dalam hal mengingat informasi yang harus
diberikan
4. Pasien tidak dapat mengolah atau mempertimbangkan informasi
tersebut sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan
5. Pasien tidak dapat mengkomunikasikan keputusannya, baik dengan
berbicara, bahasa tubuh atau cara lainnya.

19
BAB III
DOKUMENTASI

1. Keperluan untuk tidak melakukan RJP harus dicatat di Rekam Medis pasien
dan di formulir Do Not Resuscitate (DNR). Formulir DNR harus diisi
dengan lengkap dan disimpan di rekam medis pasien.
2. Alasan diputuskannya tindakan DNR dan orang yang terlibat dalam
pengambilan keputusan harus dicatat di rekam medis pasien dan formulir
DNR. Keputusan harus dikomunikasikan kepada semua orang yang terlibat
dalam aspek perawatan pasien, termasuk dokter gigi dan sebagainya.
3. Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas atau
pengoperan pasien ke petugas atau unit lain.
4. Dokumentasi dan komunikasi yang efektif akan memastikan bahwa petugas
atau unit lain mengetahui instruksi DNR ini (jika pasien di transfer ke unit
lain).
5. Petugas Ambulans yang terlibat dalam transfer juga harus mengetahui akan
memakai DNR ini.

20
BAB IV
PENUTUP

Dengan ditetapkannya Panduan DNR (Do Not Resuscitate) maka setiap


penyelenggara kesehatan di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Sidoarjo dapat
melaksanakan prosedur DNR sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh rumah
sakit.

21
KERANGKA KONSEP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DO NOT
RESUSCITATE (DNR)

Apakah pasien kemungkinan Tidak 1. Tidak perlu menginisiasi diskusi tentang RJP
akan mengalami henti dengan pasien atau keluarganya
jantung/nafas? 2. Diskusi dilakukan jika pasien meminta atau
menginginkannya
Ya
1. Jika telah diputuskan tindakan DNR secara
medis, informasikanlah kepada pasien (jika
Apakah ada kemungkinan memungkinkan).
secara realistis bahwa RJP Tidak 2. Pada pasien yang tidak kompeten secara
dapat berhasil? mental, beritahukanlah mengenai keputusan
DNR ini berikut alasannya kepada pengacara
pribadi/wali yang telah ditunjuk pasien.
Ya 3. Dapat meminta pendapat dokter lain (second
opinion), jika diperlukan.
Ya
Apakah pasien telah membuat 1. Jika pasien telah membuat keputusan DNR dan
keputusan dini/awal mengenai kriteria validitas telah terpenuhi, haruslah
DNR dihargai dan dipatuhi
2. Keputusan ini harus diberitahukan juga dengan
Tidak pengacara/wali yang telah ditunjuk pasien

1. Jika terdapat kemungkinan yang sangat kecil


Apakah potensi risiko dan
Ya akan tingkat keberhasilan RJP, dan terdapat
beban RJP dianggap lebih pertanyaan apakah resikonya lebih besar dari
besar daripada keuntungan pada keuntngan dilakukan RJP: keterlibatan
yang didapat? pasien atau walinya (jika pasien tidak
kompeten) dalam membuat keputusan
merupakan hal yang krusial.
2. pada pasien anak/ remaja orang tua harus
Tidak diberikan dalam diskusi ini (jika memngkinkan)
3. pada pasien dewasa yang kompeten secara
RJP harus dilakukan kecuali mental pertimbangan pendapat/ pandangan
pasien (kompeten secara pasien terhadap keputusan DNR ini.
mental) menolak tindakan RJP

1. Keputusan tindakan RJP ini adalah hal yang sensitif dan kompleks, sehingga harus dilakukan oleh
personel medis yang kompeten dan berpengalaman, dan dilakukan dokumentasi dengan jelas dan
lengkap.
2. Keputusan harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, minimal setiap 7 hari sekali dan setiap kali
terdapat perubahan kondisi
3. Jika terdapat keraguan/ketidakpastian, mintalah saran dari dokter senior.

22

Anda mungkin juga menyukai