Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% neonatus cukup bulan yang kembali dirawat
dalam minggu pertama kehidupan disebabkan keadaan ini. Angka kejadian
hiperbilirubinemia lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. 1

Sedangkan kernikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh


menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak. Bayi yang mempunyai kadar
bilirubin lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kernikterus. Insidensi pada otopsi bayi
prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. 1, 2, 3, 4

Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen. Pada neonatus,
hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin tidak terjadi secara
maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi didalam
darah yang mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning pada sklera dan kulit.1 Bilirubin
dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan bilirubin indirek. Bilirubin direk
larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut
dalam air dan terikat pada albumin.Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan
indirek. 2,3
Pada kebanyakan neonatus baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan
fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa neonatus, terjadi peningkatan
bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan
kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan
menimbulkan sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap neonatus yang mengalami kuning
harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau
patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia berat.1
Ikterus terjadi selama usia minggu pertama pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan
80% pada bayi prematur. Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya,
sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari
beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di RSCM
selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk
kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada
minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan
sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas
13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0 , 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin
setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal
(8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait
hiperbilirubinemia.Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di
mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan
ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia
sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0%
dan bayi kurang bulan 22,8%. 2,4

Sebagian besar ikterus pada neonatus tidak memiliki penyebab dasar atau disebut
ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi
cukup bulan. Tetapi sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit
metabolik (ikterus patologik) sehingga menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian. Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum
yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan
gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan
sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. 2,4,5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% neonatus cukup bulan yang kembali dirawat
dalam minggu pertama kehidupan disebabkan keadaan ini. Angka kejadian
hiperbilirubinemia lebih tinggi pada neonatus kurang bulan.1
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total >5 mg/dL (86
μmol/L). Hiperbilirubinemia tampak sebagai ikterus, yaitu warna kuning pada kulit dan
mukosa yang disebabkan karena deposisi produk akhir katabolisme heme. Hiperbilirubinemia
merupakan kejadian yang sering dijumpai pada minggu-minggu pertama setelah lahir. 6
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat
ASI, bayi kurang bulan dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia
terjadi karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering
terjadi pada bayi imatur.1,7
Bayi yang diberikan ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibanding
bayi yang diberikan susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain; frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat badan/dehidrasi .7

2.2 KLASIFIKASI

A. Pembagian derajat ikterus.7

Berdasarkan Kramer dapat dibagi :

Derajat ikterus Daerah Ikterus Perkiraan kadar Bilirubin


I Kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas (diatas 9,0 mg%
umbilicus)
III Sampai badan bawah 11,4 mg%
(dibawah umbilicus sampai
tungkai atas diatas lutut)
IV Seluruh tubuh kecuali 12,4 mg%
telapak tangan dan kaki
V Seluruh tubuh 16,0 mg%

a. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir di
minggu pertama kehidupannya, transiet, murni disebabkan oleh peningkatan bilirubin
tak terkonyugasi akibat proses fisiologis pada neonates. Proses tersebut antara lain
karena penurunan level glukoronil transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) , belum matangnya fungsi hepar.
Jika ikterus fisiologis, maka harus:7
1. Tidak muncul pada hari pertama
2. Total bilirubin serum yang naik harus < 5 mg/dL dengan puncak < 12,9 mg/dL
pada hari ke 3 – 4 untuk bayi aterm dan < 15 mg/dL pada hari ke 5 – 7 untuk bayi
prematur
3. Bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL
4. Ikterus tidak menetap > 1 minggu pada bayi aterm dan > 2 minggu bagi bayi
prematur
b. Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut :6
1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menetek,
penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan

2.3 ETIOLOGI

Hipebilirubin dapat disebabkan oleh bermacam-macam keaadaan. Penyebab yang


tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompibilitas golongan
darah ABO atau defesiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga timbul akibat perdarahan
tertutup (hematoma cefal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompibilitas darah Rh, infeksi
juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia . Keadaan ini terutama
terjadi pada penderita sepsis atau gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah
hipoksia/anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan polisitemia.1,4,5,7

Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan


karena peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada
periode ini hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih 10 mg/dL, Peningkatan
penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.,4,5

Tabel 1. Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirek.7

Dasar Penyebab

- Peningkatan produksi bilirubin Incomptabilitas darah fetomaternal (Rh, ABO)


-Peningkatan penghancuran hemoglobin - Defisiensi enzim kongenital (G6PD, galakrosemia)
Perdarahan tertutup (sefalhematom, memarl Sepsis
- Peningkatan jumlah hemoglobin - Polisitemia (twin-to-twin transfusion, SGA)
Keterlambatan klem tali pusat
- Peningkatan sirkulasi enterohepatik -Keterlambatan pasase mekonium, ileus mekonium,
Meconium plug syndrome
Puasa atau keterlambatan minum
Atresia atau stenosis intestinal
- Perubahan clearance bilirubin hati -Imaturitas
-Perubahan produksi atau aktivitas uridine - Gangguan metabolik/endokrin(Criglar-Najjar disease
Diphosphoglucoronyl transferase Hipotiroidisme, gangguan metaholismeasam amino)
- Perubahan fungsi dan perfusi hati Asfiksia, hipoksia, hipotermi, hipoglikemi.
(kemampuan konjugasi) Sepsis (juga proses imflamasi)
Obat-obatan dan hormon (novobiasin, pregnanediol)
- Obstruksi hepatik (berhubungan dengan - Anomali kongenital (atresia biliaris, fibrosis kistik)
hiperbilirubinemia direk) Stasis biliaris (hepatitis, sepsis)
Billirubin load berlebihan (sering pada hemolisis berat)

Sumber : Blackburn ST
2.4 PATOFISIOLOGI

Pembentukan Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.Langkah oksidasi
yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain.
Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk pembentukan
haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian
akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut
dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase.
Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada
pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme
transport dan eliminasi bilirubin.1,5
Transportasi Bilirubin

Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya


dilapaskan kesirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendahdan kapasitas ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum
ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi
kedalam sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna
syaraf pusat dan bersifat nontoksik. Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap obat – obatan yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat
tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat
competitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat- obat yang
dapat melepaskan ikatan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas albumin
adalah digoksin, gentamisin, furosemid dan seperti yg terlihat pada tabel berikut1,2,7

Tabel 2.: Obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin

Analgetik ,antipiretik Natrium Salisilat, Fenilbutazon


Antiseptik, desinfektan Metil, Isopropil, dll.
Antibiotik dengan kandungan sulfa Sulfadiazin,
Cefalosporin Sulfamethiazole,Sulfamoxazole
Penisilin Ceftriakson, Cefoperazon
Lain-lain Propicilin, Cloxacillin
Novabiosin, Tripthopan, Asam
mendelik, kontras x-ray

Asupan Bilirubin

Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma hepatosit,


albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel
membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan
sitosilik lainnya1,7

Konjugasi Bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut


dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl
transferase ( UDPG – T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul
bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi
berikutnya1,7

Eksresi Bilirubin

Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung


empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada
dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati
untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik1,7

2.5 KERNIKTERUS

Kernikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya


bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak. Bayi yang mempunyai kadar bilirubin lebih
dari 20 mg/dL, akan mengalami kernikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan
hiperbilirubinemia adalah 2-16 %.1,7,8,2
Ensefalopati bilirubin (EB) merupakan komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis
sebagai akibat efek toksis bilirubin tak terkonjugasi terhadap susunan syaraf pusat (SSP) yang
dapat mengakibatkan kematian atau apabila bertahan hidup menimbulkan gejala sisa yang
berat.1
Istilah lain adalah kern ikterus yang berarti yellow kern titik-titik warna kuning yang terjadi
mengenai sebagian besar struktur SSP, yang ditemukan pada autopsi bayi yang meninggal
karena ensefalopati bilirubin. Ensefalopati bilirubin lebih sering terjadi pada bayi kurang
bulan (BKB) dan pada bayi cukup bulan (BCB) kadar bilirubinnya sangat tinggi.1,2,7

Sawar darah otak (blood brain barrier) adalah suatu lapisan yang terdiri dari
pembuluh darah kapiler yang mempunyai sel endotel dengan tight junction khas yang
berfungsi membatasi serta mengatur pergerakan molekul antara darah dan SSP. Pada kondisi
sawar darah otak normal yang dapat menembus barier ini adalah bilirubin indirek bebas
(yang tidak terikat albumin). Pada kondisi abnormal adanya brain injury (trauma serebral)
diperberat keadaan hipoksemia, acidemia, hiperkapnia, hipoalbumin, bilirubin yang terikat
pun dapat melewati/menembus sawar darah otak.1,7
Gambar. 2.5 . Mekanisme deposisi asam bilirubin pada lapisan lipid membran sel dan
mekanisme masuknya bilirubin menembus sawar darah otak ke dalam sel syaraf.1,7

Mekanisme Bilirubin masuk ke dalam Susunan Syaraf Pusat (SSP)1,4,7

1. Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik


Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik dapat menembus sawar darah otak dan masuk
ke sel neuron otak, selanjutnya terjadi presipitasi dalam memran sel syaraf. Keadaan asidosis,
hipoalbulminemia akan meningkatkan jumlah bilirubin bebas ke dalam jaringan otak.

2. Bilirubin indirek dalam bentuk monoanion


Bilirubin indirek dalam plasma berikatan dengan albumin dalam bentuk di-anion setelah
disosiasi dengan 2 ion H (hidrogen). Suasana asam bilirubin indirek cenderung membentuk mono-
anion (bilirubin acid) serta menyebabkan penurunan afinitas albumin-bilirubin indirek. Pada bentuk
tersebut akan meningkatkan presipitasi didalam jaringan serta dapat menembus sawar otak.

3. Kerusakan sawar otak


Kadar P-glikoprotein (P-gp) adalah suatu substrat dalam sawar darah otak yang dapat
membatasi masuknya bilirubin ke dalam SSP. Pada kerusakan sawar otak, zat tersebut mengalami
penurunan sehingga bilirubin indirek bebas dapat menembus sawar otak yang mengakibatkan
presipitasi bilirubin indirek di dalam SSP. (Gambar 2.5)

Faktor Risiko
Johnson, Brown (1999) mengatakan bahwa faktor-faktor risiko ensefalopati bilirubin/ kern ikterus
diantaranya adalah prematuritas, penyakit hemolitik terutama Rhesus, ABO, defisiensi enzim G6PD,
galaktosemia, sindroma Crigler-Najjar, sepsis neonatorum.6 Menurut Hansen(2002) sebagai faktor
risiko ikterus neonatorum baik fisiologis maupun non fisiologis berhubungan dengan keadaan tertera
berikut ini.1
• Ras. Kejadian bilirubin ensefalopati tinggi pada bayi di Asia Timur dan Amerika Indian, daripada
Amerika Afrika.
• Geografi. Kejadian lebih tinggi pada bayi dan ibu yang tinggal di daerah pegunungan tinggi.
• Faktor genetik dan famili. Saudara kandung yang menderita ikterus neonatorum, mutasi gen (gen
UDPGT): Gilbert syndrome, dan homozygot/ heterozygot defisiensi G6PD.
• Nutrisi. Kejadian meningkat pada bayi yang diberikan ASI.
• Faktor ibu. Kejadian meningkat pada bayi dari ibu yang menderita diabetes mellitus(DM), ibu
pengguna obat-obatan.
• BKB, BBLR. Bayi kurang bulan dan berat bayi lahir rendah

American Academic of Pediatric (AAP) 2004 mengelompokkan faktor risiko menjadi 3


kelompok.10

1. Risiko mayor
• kadar TSB/TCB pada zona / daerah risiko tinggi
• uji antiglobulin direk positif, penyakit hemolitik lain (defisiensi G6PD), peningkatan ETCO.
• usia kehamilan 35-36 minggu.
• saudara sebelumnya mendapat terapi sama.
• sefalhematom atau memar hebat.
• ASI eksklusif, terutama bila perawatan tak baik dan terjadi penurunan berat badan.
• Ras Asia Timur.

2. Risiko minor
• kadar TSB atau TCB pada ”area high intermediate risk”.
• usia kehamilan 37-38 minggu.
• observasi ikterus sebelum pulang.
• saudara kandung sebelumnya ikterus.
• bayi makrosomia dari ibu DM.
• Usia ibu = 25 tahun.
• Bayi laki-laki.

3. Faktor risiko yang menurun (rendah):


Faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya risiko ikterus yang bermakna.
• Kadar TSB/TCB pada tingkat area zona low risk.
• Kehamilan = 41 minggu.
• PASI/formula
• Ras kulit hitam
• Pulang dari RS setelah usia 3 hari.

Pada umumnya ikterus terjadi pada minggu pertama kehidupan, hal ini berhubungan dengan beberapa
faktor.11-12
1. Peningkatan produksi bilirubin sebagai akibat turn over cell darah merah yang lebih tinggi dan
penurunan rentang masa hidup eritrosit.

2. Penurunan ekskresi bilirubin sebagai akibat penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi
oleh hati, dan peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik.
Pada umumnya ekskresi bilirubin membaik setelah usia 1 minggu.
Keadaan-keadaan yang memperberat ensefalopati bilirubin adalah asidosis, obat-obatan yang melepas
ikatan albumin-bilirubin (sulfonamid), hipoalbumin, hipoglikemia, dan hipoterm

Table 3 : Patofisiologi kernikterus (saripediatri IDAI).1

Tabel 4 : Manifestasi klinis kernikterus (New England Journal Of Medicine9) 4


Manifestasi klinis ensefalopati bilirubin terdiri dari 2 tahapan sesuai dengan proses perjalanan
penyakit. fase akut yang diikuti ensefalopati bilirubin akut, dan fase kronis yaitu ensefalopati
bilirubin kronis yang disebut juga kern ikterus.

Gambar 2.6. Autopsi ensefalopati bilirubin

Neuropatologi Kern Ikterus


Kern ikterus adalah diagnosis patologis hasil autopsi pada kasus ensefalopati bilirubin yang
meninggal yaitu pewarnaan kuning pada struktur syaraf yang mengenai sebagian besar jaringan otak
meliputi ganglia basalis (globus pallidus dan nukleus subthalamik), hippocampus, geniculate bodies,
nukleus syaraf cranial (vestibulokokhlearis, okulomotorius, dan fasialis), nukleus cerebralis,
serebelum.

1. Ensefalopati bilirubin akut.


a. Fase awal (early phase) Timbulnya beberapa hari pertama kehidupan. Klinis BBL tampak
ikterus berat (lebih dari Kramer 3). Terjadi penurunan kesadaran, letargi, mengisap lemah
dan hipotonia. Terapi dini dan tepat akan memberikan prognosis lebih baik.
b. Fase intermediate (intermediate phase) Merupakan lanjutan dari fase awal, tindakan
terapi transfusi tukar emergensi dapat mengembalikan perubahan susunan syaraf pusat
dengan cepat. Fase ini ditandai stupor yang moderat/sedang, ireversibel, hipertonia
dengan retrocollis otot-otot leher serta opistotonus otot-otot punggung, panas, tangis
melengking (high-pitched cry) yang berlanjut berubah menjadi mengantuk dan hipotonia.
c.
Fase lanjut (advanced phase) Fase ini terjadi pada BBL setelah usia 1 minggu kehidupan
yang ditandai dengan retrocollis dan opistotonus yang lebih berat, tangisnya melengking,
tak mau minum/ menetek, apnea, panas, stupor dalam sampai koma, kadang-kadang
kejang dan meninggal. Dalam fase ini kemungkinan kerusakan SSP ireversibel/menetap.2
2. Ensefalopati bilirubin kronis (chronic bilirubin encephalopathy/kern icterus)
Ensefalopati bilirubin kronis disebut juga kernikterus. Perjalanan penyakit
berlangsung lamban setelah bentuk akut terjadi awal tahun pertama kehidupan. Secara
klinis dibedakan dalam 2 fase.
Fase awal, terjadi dalam tahun pertama kehidupan dengan gejala klinis hipotonia,
hiperefleksi, keterlambatan perkembangan motorik milestone dan timbulnya refleks tonik
leher.
Fase setelah tahun pertama kehidupan. Gejala klinis refleks tonik leher (tonic-neck reflex)
menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal, gangguan
visual, pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual minor
dapat terjadi.
 Gangguan ekstrapiramidal, koreoathetosis merupakan kelainan umum yang nampak.
Ekstremitas atas biasanya lebih berat daripada ekstremitas bawah. Keadaan tersebut
disebab- kan adanya kerusakan pada ganglia basalis yang mana merupakan gambaran
klasik/khas dari ensefalopati bilirubin kronis.
 Gangguan penglihatan, gerakan bola mata terganggu, paralisis dari upward gaze.
Kelainan tersebut sebagai akibat dari kerusakan nukleus nervus kranialis di batang otak.
 Gangguan pendengaran, kelainan pendengaran merupakan kelainan yang menetap dan
paling berat ditemukan, tuli pendengaran terhadap frekuensi tinggi, baik derajat ringan
sampai berat. Kelainan ini disebabkan kerusakan nukleus kokhlearis di batang otak serta
nervus auditorius yang sangat peka terhadap toksisitas bilirubin indirek walaupun pada
kadar yang relatif rendah. Tampak secara klinis keterlambatan perkembangan bicara, oleh
sebab itu pemeriksaan fungsi pendengaran harus dilakukan secepat mungkin pada bayi
berisiko tinggi terhadap ensefalopati bilirubin kronis. Pada anak dengan gangguan ini
sering diberikan alat bantu dengar atau implant koklea dan memberikan hasil yang baik.
 Gangguan pada gigi, dapat dijumpai adanya displasia dental-enamel setelah usia bayi
bulan ke-9.
 Gangguan/defek kognitif, pada kernikterus tidak mencolok atetosis atau korea dengan
defek pendengaran yang terjadi dapat memberikan impresi salah dari gangguan mental
(mental retardasi).2,4,5

Tanda-tanda dan gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir
pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur. Tanda-tanda awal
bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia,
pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu
makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim.
Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo negatif dan
kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai
berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut
terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi
ke dalam serta tangannya menggenggam.9

2.6 Diagnosis
Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung pada
etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum bilirubin bertambah
akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan
langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.9

Anamnesis9

1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting
pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan etiologinya.
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
3. Usia gestasi
4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi
5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi
tukar pada bayi sebelumnya
6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)
7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi
susu, dan ketidakstabilan temperatur.
9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek
10. Gejala-gejala kernikterus

Pemeriksaan Fisik9

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,
terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan
untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan.Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Hal-hal yang perlu diperiksa pada ikterus ini antara lain:
 Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis,
status hidrasi
 Tanda-tanda kernikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch cry
 Pallor, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik
 Tanda-tanda infeksi intrauterin seperti pateki, splenomegali.
 Progresi sefalo-kaudal pada ikterus berat

Pemeriksaan Laboratorium 9,10,11

Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi
terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi
sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serumbilirubin.

Transcutaneous bilirubinometer(TcB) atau ikterometer dapat digunakan untuk menentukan


kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel darah.
Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’
pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Alat ini digunakan untuk menskrining
bayi.Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :

• Golongan darah dan Coombs test

• Darah lengkap dan hapusan darah tepi

• Hitung retikulosit, skrining G6PD

• Bilirubin total, direk, dan indirek


Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya
kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur.

Gambar 2.7 Bagan Diagnosis Ikterus.

2.7 Penatalaksanaan 1,2,5,7,10,11

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar
kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati
bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus.Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika
tidak berhasil transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total
dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang
sehat.Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin),
mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula
bahwa obat-obatan IVIG (Intra Venous Immuno Globulin) dan Metalloporphyrins dipakai dengan
maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. 1,10,11

Tata laksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan
usia postnatal, obatobatan (fenobarbital, tin-protoporphyrin), dan pemberian albumin
sebelum dilakukan transfusi tukar.

Tabel 5. Kadar bilirubin indirek maksimum (bayi preterm)10

BB lahir (g) Tidak ada komplikasi Ada komplikasi


< 1000 12-13 10-12
1000-1250 12-14 10-12
1251-1499 14-16 12-14
1500-1999 16-20 15-17
2000-2500 20-22 18-20

Komplikasi: Asfiksia, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia,meningitis, PIV,


hemolisis, hipoglikemia atau tanda-tanda kernikterus.

Tabel 6. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan yang sehat.10

Umur (jam) Fototerapi Fototerapi&persiapan Transfusi tukar jika


transfusi tukar fototerapi gagal

< 24 - - -

24-48 15-18 25 20

49-72 18-20 30 25

> 72 20 30 25

> 2 Minggu Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar

Prevensi terhadap ensefalopati bilirubin.


Terapi terhadap ancaman ensefalopati bilirubin adalah fototerapi (intensif ), apabila
tidak memenuhi kriteria/ indikasi fototerapi.

Mekanisme kerja fototerapi


Baik sinar biru (δ 400-550 nm), sinar hijau (550-800 nm) maupun sinar putih (300-
800 nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk
diekskresikan melalui empedu atau urine dan tinja. Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya,
terjadi reaksi kimia yaitu isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi
isomer kimia lainnya yang disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari plasma
saluran empedu. Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat
terapi sinar (fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya
menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar
dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa diekskresikan melalui empedu. Hanya
produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin.

Indikasi Fototerapi
Setiap neonatus yang tidak memenuhi kriteria terapi sinar sebagai berikut:
Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB setiap 2-3 jam / 4-24 jam

1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/ dl bayi sakit/BKB diperlukan transfusi
tukar.

2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat diperlukan
transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5 – 1 gr/kg > 2 jam, ulangi
dalam 12 jam bila perlu.

3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan intravena
(kristaloid).

4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar, atau rasio
TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.

5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan setelah pulang,
periksa TSB setelah 24 jam kemudian.

Gambar 2.8 Prinsip Fototerapi.12


Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi. Fototerapi yang efisien
dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat. Pembentukan lumirubin, komponen yang
larut air merupakan prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Dua faktor yang menentukan rata-
rata pembentukan lumirubin antara lain:11,12

1. Spektrum cahaya
Karena bilirubin adalah pigmen kuning maka lebih mudah mengabsorbsi cahaya biru
(dengan panjang gelombang 450 nm). Oleh karena itu cahaya biru paling efektif
dalam menurunkan hiperbilirubinemia, tetapi ketegangan pada mata dan kesulitan
untuk mendeteksi adanya sianosis pada bayi membatasi rumah sakit untuk
menggunakannya. Gelombang yang lebih panjang (hijau) dapat menembus kulit lebih
dalam dan lebih efektif berinteraksi dengan bilirubin yang terikat albumin, tetapi
cahaya putih fluoresens adalah yang paling umum digunakan dalam fototerapi.

2. Dosis total cahaya


Dosis cahaya yang masuk atau penyinaran tergantung pada kekuatan cahaya dan jaraknya dari
bayi. Untuk fototerapi standar, delapan bohlam lampu putih fluoresens digunakan untuk
menghantarkan 6 -12 μW/cm2 luas permukaan tubuh yang terpapar tiap nanometer (nm)
panjang gelombang. Terdapat hubungan antara dosis dengan degradasi bilirubin sampai dosis
saturasi tercapai. Hal ini bisa dicapai dengan memberikan paparan pada permukaan kulit
secara maksimum dari 40 mW/cm2 per nm cahaya yang sesuai. Di atas titik saturasi,
peningkatan intensitas tidak memberikan efek tambahan apa-apa.

3. Efikasi terapi sinar meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak
efektif untuk menurunkan konsentrasi bilirubin di bawah 100 mmol/l. Penurunan
sebanyak 50% dapat dicapai dalam 24 jam dengan kadar bilirubin >15 mg/dL
menggunakan cahaya biru yang memiliki spektrum emisi yang sama dengan spektrum
absorpsi bilirubin.

4. Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus. Terapi
sinar paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan paling tidak efektif
untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat)
dengan peningkatan hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat
memulai fototerapi, makin efektif.

5. Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat,
sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat
jarak), lampu fluoresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara
cepat dan emisi spektrum dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang
perawatan perinatologi memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif.

Gambar 2.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas fototerapi.12

Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar. Fototerapi
(penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai keperluan (feeding on demand) dengan
formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini,
banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal. Tetapi
terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan area permukaan tubuh
yang terpapar dan intensitas dari sinar.1,12

Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan bohlam lampu
fluoresens) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata tertutup. Temperatur dan status
hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk
mempersilahkan keluarga berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat
untuk memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus, berat badan
lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi bilirubin serum
berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.12
Gambar 2.10 Petunjuk penggunaan fototerapi pada neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.9

Transfusi Tukar 1

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried, 1982). Pada pasien
hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah ensefalopati bilirubin dengan cara
mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena
isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat lebih karena akan membantu mengeluarkan
antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya
hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki kondisi anemianya.

Indikasi transfusi tukar

• Gagal dengan intensif fototerapi.


• Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang ditandai gejala
hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis melengking.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar.2


1. Darah yang digunakan harus golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan
Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah
antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB,
untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) yaitu sekitar 160
ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah 80 ml/kgBB, sehingga
diperoleh darah baru sekitar 87%.
8. Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.
Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena magna. Darah
dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis
dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan
polisitemia.
11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah
O rhesus positif.5
12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari
sampai stabil.7

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi: 1,2


- Emboli, trombosis
- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
- Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
- Perforasi pembuluh darah(1).

Komplikasi tranfusi tukar 1,2


- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
- Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
- Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
- Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia(1).

Perawatan pasca tranfusi tukar


- Lanjutkan dengan terapi sinar
- Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi(1)

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar :


1. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari
orang tua penderita
2. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan
isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya.
3. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan
NaCl fisiologis
4. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin <
2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin-bilirubin di dalam darah meningkat sebelum
tranfusi tukar sehingga resiko kernikterus menurun, kecuali ada kontraindikasi atau tranfusi
tukar harus segera dilakukan.
5. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, GDS, hemoglobin,
hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan darah, rhesus,
uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta kultur darah.
6. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar.
7. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label darah).1

Jumlah Darah Donor yang Dipakai


Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50 ml/kgBB, 100 ml/kgBB, 150 ml/kgBB dan
200 ml/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-turut adalah 45%, 70%, 85-85% dan
90%.1

Pelaksanaan Tranfusi Tukar


1. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10–20 mL atau tergantung berat badan bayi, jangan
melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi
2. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way stopcock.
Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena belum bercampur
dengan darah donor
3. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan
menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 ml/kgBB/menit
4. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar dalam sirkulasi
5. Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai target transfusi tukar
selesai
6. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada lembaran observasi transfusi
tukar
7. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACD/PCD) setiap
tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena perlahan-lahan. Pemberian
tersebut terutama bila kadar kalsium sebelum tranfusi < 7,5 mg/dL. Bila kadarnya di atas
normal maka kalsium glukonas tidak perlu diberikan. Pemberian larutan kalsium glukonas
harus dilakukan secara perlahan-lahan karena bila terlalu cepat dapat mengakibatkan
timbulnya bradikardi atau cardiac arest. Beberapa peneliti menganjurkan untuk tidak
memberikan kalsium kecuali pada pemeriksaan fisik dan elektrokardiografi menunjukkan
adanya tanda-tanda hipokalsemia
8. Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus diawasi dengan neonatal monitoring
9. Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan pasca transfusi tukar
10. Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang, lakukan jahitan silk purse string atau ikatan
kantung melingkari vena umbilikalis. Ketika kateter dicabut, jahitan yang mengelilingi tali
pusat dikencangkan1.

Gambar 2.11 Pedoman transfusi tukar pada neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.12
Tabel 2.12 Pedoman fototerapi dan transfusi tukar neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu.12

2.8 Terapi farmakologis

Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk meningkatkan


konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim glukoronil-transferase, tetapi
penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang dilakukan pada mencit menunjukkan
fenobarbital mengurangi metabolisme oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga
meningkatkan resiko efek neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi
perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90
mg/24 jam sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam.
Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada
neonatus karena:1,11
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase yang diperoleh
dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim bilirubin oksidase. Ketika darah
melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam
sekali langkah. Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia neonatorum,
tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat terjadi reaksi alergi pada
penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari fungus.1

Indikasi untuk merujuk ke RS 9

 Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan


 Ikterus hingga di bawah umbilikus
 Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena kemungkinan
membutuhkan transfusi tukar.
 Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau kernikterus
 Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik
 Ikterus memanjang > 14 hari.

2.9 Pencegahan

Reduksi bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik

Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan akumulasi bilirubin. Peningkatan
jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi bilirubin, sehingga pemberian ASI yang sering atau
asupan tambahan dengan susu formula efektif dalam menurunkan kadar bilirubin serum pada bayi
yang sedang menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan dengan air atau dekstrosa dapat
mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi bilirubin.1

Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi enterohepatik
bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan bilirubin dan meningkatkan
ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut pada bayi belum pernah diujikan. Pada sebuah
penelitian, penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani fototerapi secara signifikan dapat
menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam. Cholestyramine yang digunakan untuk
terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di
dalam intestinal dan membentuk suatu kompleks yang tidak dapat diabsorbsi.1,11

Inhibisi produksi bilirubin

Metalloporfirin sintetis dapat menghambat produksi bilirubin dengan menjadi inhibitor


kompetitif enzim heme-oksigenase. Pada bayi prematur dengan berat lahir 1500-2500 gram, dosis
tunggal mesoporfirin timah intramuskular (6 μmol/kg) yang diberikan dalam 24 jam pertama
kelahiran dapat menurunkan kebutuhan fototerapi sebesar 76%, dan menurunkan konsentrasi puncak
bilirubin serum sebesar 41%. Satu-satunya efek yang merugikan adalah eritema sementara akibat
fototerapi. Walaupun tampak sangat menjanjikan, metalloporfirin saat ini belum disetujui
penggunaannya pada bayi baru lahir.1

Pencegahan ensefalopati bilirubin

Sekali bilirubin terakumulasi, peningkatan pH otak dapat membantu mencegah ensefalopati,


karena bilirubin lebih mudah larut dalam suasana alkali. Pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia berat, alkalinisasi yang cukup (pH 7,45 – 7,55) dapat diperoleh dengan infus
bikarbonat atau dengan menggunakan strategi ventilator untuk menurunkan tekanan parsial karbon
dioksida sehingga pH meningkat.1

2.10 Prognosis

Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan mengalami
kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi dengan hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi
bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada
bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.11

Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75% atau
lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita
koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan kuadriplegia
sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus menjalani skrining pendengaran.10,11
BAB III

KESIMPULAN

Kernikterus atau Ensefalopati bilirubin adalah sindroma neurologik yang disebabkan


oleh menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak. Bayi yang mempunyai
kadar bilirubin lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kernikterus. Ensefalopati bilirubin (EB)
merupakan komplikasi ikterus neonatorum non fisiologis sebagai akibat efek toksis bilirubin
tak terkonjugasi terhadap susunan syaraf pusat (SSP) yang dapat mengakibatkan kematian
atau apabila bertahan hidup menimbulkan gejala sisa yang berat.

Johnson, Brown (1999) mengatakan bahwa faktor-faktor risiko ensefalopati bilirubin/ kern
ikterus diantaranya adalah prematuritas, penyakit hemolitik terutama Rhesus, ABO, defisiensi enzim
G6PD, galaktosemia, sindroma Crigler-Najjar, sepsis neonatorum.Ada 2 jenis Ensefalopati Bilirubin
yaitu ada yang akut dan kronis.

Dalam mendiagnosis kern icterus dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus, Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar
sesegera mungkin. Transcutaneous bilirubinometer(TcB) atau ikterometer dapat digunakan untuk
menentukan kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel
darah.

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar kadar
bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati
bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Bisa dilakukan terapi sinar (fototerapi ), bisa
dilakukan juga transfusi tukar jika foto terapi tidak membantu. Selain itu dapat dilakukan terapi
farmakologis dengan pemberian fenobarbital, namun fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk
mengobati ikterus pada neonatus karena beberapa alasan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum.
Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
2. Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. “ Buku Ajar Neonatologi Edisi I “. Jakarta :
Perpustakaan Nasional
3. Clohety JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Manual of Neonatal Care, Edisi ke
3. Boston: Little Brown Company;1991:289-99.
4. Behrman,dkk. ”Ilmu Kesehatan Anak Vol 2 Nelson edisi 15”, Jakarta,Penerbit buku
kedokteran EGC,1999.hlm 1387-1392.

5. Ereschenko, V. Atlas Histologi di Fiore. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta .


2003.

6. Baginda P. Gangguan Perkembangan Neurologis Pada Bayi dengan Riwayat


Hiperbilirubinemia. Universitas Diponogoro. Semarang. 2007.h.1-95.

7. Kliegman, Robert M. 2004. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia, kernicterus


Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HBEditors. Nelson Textbook Of
Pediatrics. 17ThEdition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders.

8. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-
103
9. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004.
Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of
Gestation. Pediatrics; 114;297-316.

10. Hasan, Rusepno. 1985. “Ilmu Kesehatan Anak 3 edisi ke 4“. Jakarta : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
11. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. 2004. Hiperbilirubinemia
Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr.
Soetomo – Surabaya

12. Maisels, M. J., & Mcdonagh,Antony F. 2008. Phototherapy For Neonatal Jaundice.
New England Journal of Medicine;358:920-8.
REFERAT

KERN ICTERUS

PEMBIMBING:

dr. Sigit Prastyanto, Sp.A

DISUSUN OLEH:

Ela Anggraini

1161050216

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD TARAKAN

PERIODE 09 MEI 2016 – 23 JULI 2016

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

TARAKAN

2016

Anda mungkin juga menyukai