KERN ICTERUS - Docx ELLA
KERN ICTERUS - Docx ELLA
PENDAHULUAN
Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen. Pada neonatus,
hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin tidak terjadi secara
maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi didalam
darah yang mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning pada sklera dan kulit.1 Bilirubin
dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan bilirubin indirek. Bilirubin direk
larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut
dalam air dan terikat pada albumin.Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan
indirek. 2,3
Pada kebanyakan neonatus baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan
fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa neonatus, terjadi peningkatan
bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan
kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan
menimbulkan sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap neonatus yang mengalami kuning
harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau
patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia berat.1
Ikterus terjadi selama usia minggu pertama pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan
80% pada bayi prematur. Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya,
sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari
beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di RSCM
selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk
kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada
minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan
sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas
13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0 , 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin
setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal
(8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait
hiperbilirubinemia.Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di
mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan
ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia
sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0%
dan bayi kurang bulan 22,8%. 2,4
Sebagian besar ikterus pada neonatus tidak memiliki penyebab dasar atau disebut
ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi
cukup bulan. Tetapi sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit
metabolik (ikterus patologik) sehingga menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian. Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum
yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan
gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan
sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. 2,4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 KLASIFIKASI
a. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir di
minggu pertama kehidupannya, transiet, murni disebabkan oleh peningkatan bilirubin
tak terkonyugasi akibat proses fisiologis pada neonates. Proses tersebut antara lain
karena penurunan level glukoronil transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) , belum matangnya fungsi hepar.
Jika ikterus fisiologis, maka harus:7
1. Tidak muncul pada hari pertama
2. Total bilirubin serum yang naik harus < 5 mg/dL dengan puncak < 12,9 mg/dL
pada hari ke 3 – 4 untuk bayi aterm dan < 15 mg/dL pada hari ke 5 – 7 untuk bayi
prematur
3. Bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL
4. Ikterus tidak menetap > 1 minggu pada bayi aterm dan > 2 minggu bagi bayi
prematur
b. Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut :6
1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menetek,
penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan
2.3 ETIOLOGI
Dasar Penyebab
Sumber : Blackburn ST
2.4 PATOFISIOLOGI
Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.Langkah oksidasi
yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain.
Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk pembentukan
haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian
akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut
dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase.
Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada
pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme
transport dan eliminasi bilirubin.1,5
Transportasi Bilirubin
Tabel 2.: Obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin
Asupan Bilirubin
Konjugasi Bilirubin
Eksresi Bilirubin
2.5 KERNIKTERUS
Sawar darah otak (blood brain barrier) adalah suatu lapisan yang terdiri dari
pembuluh darah kapiler yang mempunyai sel endotel dengan tight junction khas yang
berfungsi membatasi serta mengatur pergerakan molekul antara darah dan SSP. Pada kondisi
sawar darah otak normal yang dapat menembus barier ini adalah bilirubin indirek bebas
(yang tidak terikat albumin). Pada kondisi abnormal adanya brain injury (trauma serebral)
diperberat keadaan hipoksemia, acidemia, hiperkapnia, hipoalbumin, bilirubin yang terikat
pun dapat melewati/menembus sawar darah otak.1,7
Gambar. 2.5 . Mekanisme deposisi asam bilirubin pada lapisan lipid membran sel dan
mekanisme masuknya bilirubin menembus sawar darah otak ke dalam sel syaraf.1,7
Faktor Risiko
Johnson, Brown (1999) mengatakan bahwa faktor-faktor risiko ensefalopati bilirubin/ kern ikterus
diantaranya adalah prematuritas, penyakit hemolitik terutama Rhesus, ABO, defisiensi enzim G6PD,
galaktosemia, sindroma Crigler-Najjar, sepsis neonatorum.6 Menurut Hansen(2002) sebagai faktor
risiko ikterus neonatorum baik fisiologis maupun non fisiologis berhubungan dengan keadaan tertera
berikut ini.1
• Ras. Kejadian bilirubin ensefalopati tinggi pada bayi di Asia Timur dan Amerika Indian, daripada
Amerika Afrika.
• Geografi. Kejadian lebih tinggi pada bayi dan ibu yang tinggal di daerah pegunungan tinggi.
• Faktor genetik dan famili. Saudara kandung yang menderita ikterus neonatorum, mutasi gen (gen
UDPGT): Gilbert syndrome, dan homozygot/ heterozygot defisiensi G6PD.
• Nutrisi. Kejadian meningkat pada bayi yang diberikan ASI.
• Faktor ibu. Kejadian meningkat pada bayi dari ibu yang menderita diabetes mellitus(DM), ibu
pengguna obat-obatan.
• BKB, BBLR. Bayi kurang bulan dan berat bayi lahir rendah
1. Risiko mayor
• kadar TSB/TCB pada zona / daerah risiko tinggi
• uji antiglobulin direk positif, penyakit hemolitik lain (defisiensi G6PD), peningkatan ETCO.
• usia kehamilan 35-36 minggu.
• saudara sebelumnya mendapat terapi sama.
• sefalhematom atau memar hebat.
• ASI eksklusif, terutama bila perawatan tak baik dan terjadi penurunan berat badan.
• Ras Asia Timur.
2. Risiko minor
• kadar TSB atau TCB pada ”area high intermediate risk”.
• usia kehamilan 37-38 minggu.
• observasi ikterus sebelum pulang.
• saudara kandung sebelumnya ikterus.
• bayi makrosomia dari ibu DM.
• Usia ibu = 25 tahun.
• Bayi laki-laki.
Pada umumnya ikterus terjadi pada minggu pertama kehidupan, hal ini berhubungan dengan beberapa
faktor.11-12
1. Peningkatan produksi bilirubin sebagai akibat turn over cell darah merah yang lebih tinggi dan
penurunan rentang masa hidup eritrosit.
2. Penurunan ekskresi bilirubin sebagai akibat penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi
oleh hati, dan peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik.
Pada umumnya ekskresi bilirubin membaik setelah usia 1 minggu.
Keadaan-keadaan yang memperberat ensefalopati bilirubin adalah asidosis, obat-obatan yang melepas
ikatan albumin-bilirubin (sulfonamid), hipoalbumin, hipoglikemia, dan hipoterm
Tanda-tanda dan gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir
pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur. Tanda-tanda awal
bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia,
pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu
makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim.
Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo negatif dan
kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai
berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut
terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi
ke dalam serta tangannya menggenggam.9
2.6 Diagnosis
Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung pada
etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum bilirubin bertambah
akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan
langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.9
Anamnesis9
1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting
pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan etiologinya.
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
3. Usia gestasi
4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi
5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi
tukar pada bayi sebelumnya
6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)
7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi
susu, dan ketidakstabilan temperatur.
9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek
10. Gejala-gejala kernikterus
Pemeriksaan Fisik9
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,
terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan
untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan.Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Hal-hal yang perlu diperiksa pada ikterus ini antara lain:
Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis,
status hidrasi
Tanda-tanda kernikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch cry
Pallor, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik
Tanda-tanda infeksi intrauterin seperti pateki, splenomegali.
Progresi sefalo-kaudal pada ikterus berat
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi
terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi
sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serumbilirubin.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar
kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati
bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus.Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika
tidak berhasil transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total
dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang
sehat.Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin),
mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula
bahwa obat-obatan IVIG (Intra Venous Immuno Globulin) dan Metalloporphyrins dipakai dengan
maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. 1,10,11
Tata laksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan
usia postnatal, obatobatan (fenobarbital, tin-protoporphyrin), dan pemberian albumin
sebelum dilakukan transfusi tukar.
Tabel 6. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan yang sehat.10
< 24 - - -
24-48 15-18 25 20
49-72 18-20 30 25
> 72 20 30 25
Indikasi Fototerapi
Setiap neonatus yang tidak memenuhi kriteria terapi sinar sebagai berikut:
Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB setiap 2-3 jam / 4-24 jam
1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/ dl bayi sakit/BKB diperlukan transfusi
tukar.
2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat diperlukan
transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5 – 1 gr/kg > 2 jam, ulangi
dalam 12 jam bila perlu.
3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan intravena
(kristaloid).
4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar, atau rasio
TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.
5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan setelah pulang,
periksa TSB setelah 24 jam kemudian.
1. Spektrum cahaya
Karena bilirubin adalah pigmen kuning maka lebih mudah mengabsorbsi cahaya biru
(dengan panjang gelombang 450 nm). Oleh karena itu cahaya biru paling efektif
dalam menurunkan hiperbilirubinemia, tetapi ketegangan pada mata dan kesulitan
untuk mendeteksi adanya sianosis pada bayi membatasi rumah sakit untuk
menggunakannya. Gelombang yang lebih panjang (hijau) dapat menembus kulit lebih
dalam dan lebih efektif berinteraksi dengan bilirubin yang terikat albumin, tetapi
cahaya putih fluoresens adalah yang paling umum digunakan dalam fototerapi.
3. Efikasi terapi sinar meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak
efektif untuk menurunkan konsentrasi bilirubin di bawah 100 mmol/l. Penurunan
sebanyak 50% dapat dicapai dalam 24 jam dengan kadar bilirubin >15 mg/dL
menggunakan cahaya biru yang memiliki spektrum emisi yang sama dengan spektrum
absorpsi bilirubin.
4. Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus. Terapi
sinar paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan paling tidak efektif
untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat)
dengan peningkatan hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat
memulai fototerapi, makin efektif.
5. Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat,
sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat
jarak), lampu fluoresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara
cepat dan emisi spektrum dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang
perawatan perinatologi memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif.
Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar. Fototerapi
(penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai keperluan (feeding on demand) dengan
formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini,
banyak bayi mendapatkan fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal. Tetapi
terapi ini cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan area permukaan tubuh
yang terpapar dan intensitas dari sinar.1,12
Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan bohlam lampu
fluoresens) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata tertutup. Temperatur dan status
hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk
mempersilahkan keluarga berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat
untuk memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus, berat badan
lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi bilirubin serum
berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.12
Gambar 2.10 Petunjuk penggunaan fototerapi pada neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.9
Transfusi Tukar 1
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried, 1982). Pada pasien
hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah ensefalopati bilirubin dengan cara
mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena
isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat lebih karena akan membantu mengeluarkan
antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya
hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki kondisi anemianya.
9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis
dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan
polisitemia.
11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah
O rhesus positif.5
12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari
sampai stabil.7
Gambar 2.11 Pedoman transfusi tukar pada neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.12
Tabel 2.12 Pedoman fototerapi dan transfusi tukar neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu.12
Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase yang diperoleh
dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim bilirubin oksidase. Ketika darah
melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam
sekali langkah. Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia neonatorum,
tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat terjadi reaksi alergi pada
penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari fungus.1
2.9 Pencegahan
Bayi baru lahir yang tidak diberi asupan secara adekuat dapat meningkatkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin, karena keadaan puasa dapat meningkatkan akumulasi bilirubin. Peningkatan
jumlah asupan oral dapat mempercepat ekskresi bilirubin, sehingga pemberian ASI yang sering atau
asupan tambahan dengan susu formula efektif dalam menurunkan kadar bilirubin serum pada bayi
yang sedang menjalani fototerapi. Sebaliknya, asupan tambahan dengan air atau dekstrosa dapat
mengganggu produksi ASI, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi bilirubin.1
Tidak ada obat-obatan atau agen-agen lain yang dapat menurunkan sirkulasi enterohepatik
bilirubin. Pada tikus percobaan, karbon aktif dapat berikatan dengan bilirubin dan meningkatkan
ekskresinya, tetapi efikasi dari karbon aktif tersebut pada bayi belum pernah diujikan. Pada sebuah
penelitian, penggunaan agar pada bayi yang sedang menjalani fototerapi secara signifikan dapat
menurunkan durasi fototerapi dari 48 jam menjadi 38 jam. Cholestyramine yang digunakan untuk
terapi ikterus obstruktif, dapat meningkatkan ekskresi bilirubin melalui ikatan dengan asam empedu di
dalam intestinal dan membentuk suatu kompleks yang tidak dapat diabsorbsi.1,11
2.10 Prognosis
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan mengalami
kernikterus. Kernikterus didapatkan pada 8% bayi dengan hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi
bilirubin serum 19-24 mg/dl, 33% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada
bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.11
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75% atau
lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita
koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan kuadriplegia
sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus menjalani skrining pendengaran.10,11
BAB III
KESIMPULAN
Johnson, Brown (1999) mengatakan bahwa faktor-faktor risiko ensefalopati bilirubin/ kern
ikterus diantaranya adalah prematuritas, penyakit hemolitik terutama Rhesus, ABO, defisiensi enzim
G6PD, galaktosemia, sindroma Crigler-Najjar, sepsis neonatorum.Ada 2 jenis Ensefalopati Bilirubin
yaitu ada yang akut dan kronis.
Dalam mendiagnosis kern icterus dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus, Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar
sesegera mungkin. Transcutaneous bilirubinometer(TcB) atau ikterometer dapat digunakan untuk
menentukan kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel
darah.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar kadar
bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati
bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Bisa dilakukan terapi sinar (fototerapi ), bisa
dilakukan juga transfusi tukar jika foto terapi tidak membantu. Selain itu dapat dilakukan terapi
farmakologis dengan pemberian fenobarbital, namun fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk
mengobati ikterus pada neonatus karena beberapa alasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum.
Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
2. Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. “ Buku Ajar Neonatologi Edisi I “. Jakarta :
Perpustakaan Nasional
3. Clohety JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Manual of Neonatal Care, Edisi ke
3. Boston: Little Brown Company;1991:289-99.
4. Behrman,dkk. ”Ilmu Kesehatan Anak Vol 2 Nelson edisi 15”, Jakarta,Penerbit buku
kedokteran EGC,1999.hlm 1387-1392.
8. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-
103
9. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004.
Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of
Gestation. Pediatrics; 114;297-316.
10. Hasan, Rusepno. 1985. “Ilmu Kesehatan Anak 3 edisi ke 4“. Jakarta : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
11. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. 2004. Hiperbilirubinemia
Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr.
Soetomo – Surabaya
12. Maisels, M. J., & Mcdonagh,Antony F. 2008. Phototherapy For Neonatal Jaundice.
New England Journal of Medicine;358:920-8.
REFERAT
KERN ICTERUS
PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH:
Ela Anggraini
1161050216
RSUD TARAKAN
TARAKAN
2016