Anda di halaman 1dari 14

GANGGUAN SARAF FASIALIS

Robert H. Maisel, M.D., dan Sam.uel C. Levine, M.D.

Paralisis otot-otot wajah urenimbulkan kelainan ekspresi wajah, kesulitan makan dan gangguan
dalam mempertahankan penglihatan yang jelas. Penderita gangguan ini segera menyadari adanya de-
formitas kosmetik dan fungsional yang berat. Seringkali, ruereka tidak dapat mengingat alasan yang
jelas hingga terjadi awitan gangguan. Bell's palsy adalah paralisis saraf ketujuh perifer tanpa adanya
alasan yang jelas. Istilah itu berarti bahwa telah dilakukan suatu evaluasi menyeluruh terhadap ber-
bagai penyebab paralisis wajah yang diketahui. Dokter yang pertama merneriksa harus mengevaluasi
pasien, menilai fungsi saraf fasialis dan ureurinta pemeriksaan laboratorium yang tepat. Bab ini akan
membahas anatomi dan patofisiologi saraf fasialis. Uji diagnostik yang diperlukan urltuk penilaian
fungsi saraffasialis juga dibahas dernikian pula tinjauan diagnosis banding.

ANATOMI UMUM SARAF FASIALIS


Untuk dapat n-renilai sebab-sebab paralisis wajah, perlu dimengerti anatomi dan fungsi saraf. Saraf
kranialis ketujuh berasal dari batang otak, bcrjalan rnelalui tulaug ternporal, dan berakhir pada otot-
otot wajah. Sedikitnya ada lima cabang utama. Selain mengurus persarafan otot wajah, saraf kranialis
ketujuh juga mengurus lakrirnasi, salivasi, pengaturan impedansi dalam telinga tengah, dan sensasi
nyeri, raba, suhu dan kecap (Gbr. 8-1).

inti saraf ketujuh terletak pada daerah pons. Inti ini rnendapat informasi
Saruf fasialis membual
dua belokan tajam (genu
dari girus presentralis dari korteks motorik yaug lnengurus persarafan dahi ip-
pertama dan kedua ) berjalan silateral dan kontralateral. Traktus k<lrtikalis serebrurn juga rnensarafi belahan
melalu i tu lang tc mpo ral.
kontralateral bagian wajah lainnya. Nukleus n:rotorik hanya rnengurus saraf
fasialis ipsilateral. Saat saraf rneninggalkan batang otak, suatu cabang saraf
kedelapan yang dikenal sebagai saraf internedius ruemisahkan diri dan bergabung dengan saraf
ketujuh untuk memasuki kanalis akustikus internus. Saraf membelok ke depan dan rnasuk ke ganglion
genikulaturn. Ganglion mengandung badan sel untuk pengecapan lidah anterior dan untuk sensasi raba,
nyeri, dan suhu kanalis akustikus internus. Sejumlah serabut saraf lnelewati ganglion dan membentuk
saraf petrosus superfisialis mayor (parasimpatis). Saraf ini berialan sepanjang dasar fosa media dan
masuk ke dalam kanalis pterigoideus. Selanjutnya melintas menuju ganglion sfenopalatinurn dan
beranastomosis dengan serabut yallg lnengurus aparatus lakrimalis. Serabut-serabut fasialis membuat
belokan tajam ke posterior pada ganglion genikulaturn dan berjalan turun lewat segnen labirin menuju
segrnen timpani dari saraf. Saraf meurasuki segmen timpani dan menrbuat genu (putaran) kedua. Di
sini, di dekat fenestra ovalis, saraf menjadi te4rapar dan dapat diraba dalarn telinga tergah. Saraf ber-
jalan turun dari genu secara vertikal dan tnengeluarkau cabang unfuk otot stapedius. Di bawah tingkat
ini, muncul cabang kedua dan kembali masuk ke dalarn telinga sebagai saraf korda tinpani. Korda
membawa serabut-serabut nyeri, raba, dan suhu, serta pengecapan untuk duapertiga anterior lidah.
I4 BAGIAN DUA-TELINGA

GtltlDUl-A
MEAruS SARAF PETROSUS
AI(USTIKUS SUPERFISIAIS MAYOR
INTERNUS
GAI.IGUON

GAAIGUON
SFENOPAIITINUM ft.,t2':
GENIKUIATUM.
TEUNGA TENGA}I

TAPES
s SARAF FAS|ALIS (VtD

2;,'/l )
'q \ l)
iEiP
KELENJAR
FoRnMeru TEMPORAUS SUBUNGUAUS
,4-,r:,touestoroevuQlfu
srLoMASro
-i4\- ZIGOMATIKUS

7'\ / 1
BUI(ALls

MARGINAL
MANDIBUI.ARIS
(,-"
KEI.ET{'AR
SU8IIANDIzuI.ARIS

)/ AURTKUnRTS'z

PI.ATISiliA
SERVIIGLIS

GAMBAR 8-1. Anatomi topografi dari saraf fasialis. Uji fisiologik memungkinkan penentuan letak cedera. I-esi di medial
ganglion genikulatum akan mengakibatkan berkurangnya air mata. Suatu lesi dalam telinga tengah dapat berakibat hilangnya
refleks stapedius. Cedera korda timpani akan mengurangi sensasi kecap dan salivasi.

Saraf ini juga mengurus salivasi kelenjar submandibularis. Korda berjalan di


Tulang yang ncrutu{
antara maleus dan inkus (Gbr. 8-2), kemudian keluar dari tulang temporal
saral lasialis di dthm
tclingatcngah dapat melalui iter anterior. Bagian utama dari saraf fasialis membawa serabut-sera-
menjadi rcnggang.
but motorik dan keluar dari foramen stilomastoideum tepat di medial prosesus
mastoideus. Tujuh puluh persen serabut pada tempat ini merupakan serabut
motorik untuk wajah. Selanjutnya saraf membelok ke anterior dan memecah menjadi lima cabang
utama-temporalis, zigomatikus, bukalis, mandibularis dan servikalis. Cabang-cabang ini dapat saling
beranastomosis satu dengan lainnya ketika saraf melalui kelenjar parotis (Gbr. 8-3).

FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Gerakan wajah merupakan hasil akhir dari gerakan hampir 7.000 serabut motorik secara sinlron
yang mengawali kontraksi otot. Masing-masing akson beninaps dengan beberapa serat otot. Neuro-
transmiter kimiawi (asetilkolin) dan enzim-enzim (golongan kolintransferase) dibentuk oleh badan sel
saraf pada pons dan diangkut sepanjang saraf menuju lamina akhir motorik (motor end plate) melalui
sistem mikrotubular. Diduga neurometabolit juga diangkut ke proksimal dengan mekanisme yang sa-
ma dari masing-masing akson. Saraf fasialis mempunyai neuron rnotorik tunggal yang terletak dalam
sistem sarafpusat (SSP). Nuklei neuron sensorik bipolar terletak di luar sistem saraf pusat, dengan satu
akson dari perifer menuju badan sel dan yang lain dari badan sel menuju sistem sarafpusat. Akson sel
motorik dibungkus oleh sel Schwann yang membentrik tubulus neuralis untuk saraf-saraf yang tak ber-
mielin, tetapi juga membentuk suatu mielin penyekat untuk saraf bermielin. Nodus Ranvier yang
merupakan batas antar sel Schwann, dapat terlihat tiap satu milimeter. Namun membrana basalis yang
terletak di sebelah luar sel Schwann tampak kontinu, sehingga akson tidak pernah berkontak dengan
8--4ANGGUA}I SAIL{I' FASIALIS I41

Ganglion genikulalum

Saraf pelrosus superior


mayor dan minor

7t ;;; # ::11;::
LtIl::,1

SEGMEN
:, - ,\!i .:-,::!:;t :1
TIMPANI
"'.,
a;iiii,i11r.
,.1:.:;.,,i
i;11. :
1:r
.:a:+ 1:t :::';:::'+',t.; :
tt:3 -.; .: ::: lt:. .{,,

..i.;l),::".: lia

GAMBAR E-2. Perjalanan


saraf fasialis dalam tulang
temporal. (Dari Shambaugh
GE, Clemis JD: Facial nerve
paralysis. Dalam Paparella
MM, Shumrick DA (eds):
Otolaryngology. Vol 2. Phila-
delphia, WB Saunders Co,
L973,h265.) Foramen .*;! r
stilomasloideum
€'-1.:-......*",.

Saraf
aurikularis
posletior

Saraf digastrikus

-z;tz,4wz(2/o.

Saraf TRUNKUS FASIALIS


digaslrikus
Divisisuperior
Saraf aurikularis Dahi
posterior Orbikularis okuli

GAMBAR 8-3. Distribusr


perifer saraf fasialis. (Dari Divisi
Shambaugh GE, Clemis JD: inferior
Facial nerve paralysis. Dalam
Paparella MM, Shumrick DA Orbikularis
(eds): Otolaryngology. Vol 2, ' oris
Philadelphia, WB Saunders
Co,1973,h266.) P;pi

Mulut

Platisma
leher
I42 BAGIAN DUA-TELINGA

ruang ekstraselular (bahkan pada nodus Ranvier). Akson menerima oksigen dari sel Schwann dan
memperrnuda aksoplasmanya dari neuron induk. Kecepatan metabolisme aksoplasma demikian pula
kecepatan gerakannya diperkirakan sekitar 1 mm per hari. Perkembangannya dimulai dari sel sistem
sarafpusatke arah distal; ini adalah kecepatan regenerasi suatu aksonbilamana suatu sarafterpotong
lengkap.

NEUROFISIOLOGI-NEUROPATOLOGI CEDERA

Bilamana suatu akson cedera baik akibat trauma langsung ataupun peris-
Hanbgrf'nkondukl
tlngkat pcthnu dicc&4t tiwa metabolik, dapat terjadi perubahan histologik yang nyata atau perubahan
ncunprlrkda biokimiawi yang dapat diukur secara menyeluruh hingga ke badan sel. Tekan-
an pada suatu sarafdapat berakibat hambatan aliran aksoplasma. Cedera saraf
telah diklasifikasi dalam suatu sistem lima tingkat dengan kerumitan yang semakin meningkat dan ke-
mungkinan penyernbuhan tanpa komplikasi yang makin menurun. Cedera tingkat pertama, atau blok
konduksi, juga disebut neurapraksia. Terjadi bila konduksi impuls terhambat, membendung aliran
transpor aksoplasma (dalam dua arah) namun sebagian transpor aksoplasma tetap berlanjut (Gbr.
8-44).
Jarak antara lokasi cedera dengan badan sel di pons ikut menenfukan besarnya cedera terhadap
keseluruhan saraf. Jika cedera terjadi pada kanalis akustikus internus dengan akson yang terputus,
maka aksoplasma yang hilang akan cukup panjang dan kerusakan permanen lebih besar bila diban-
dingkan bila cedera terjadi lebih ke"distal, dekat motor end plate. Orang yang lebih muda akan sembuh
lebih lengkap dari cedera saraf yang sama (ika diperbaiki) bila dibandingkan orang yang lebih tua dan
penderita penyakit kronik (mis., diabetes) atau gangguan metabolik. Jika besarnya tekanan pada saraf
cukup untuk menyebabkan hambatan total gerakan aksoplasma melampaui lokasi cedera selama bebe-
rapa hari, maka dapat terjadi aksonotmesis (cedera tingkat kedua) dengan hilangnya kontinuitas akson
(Gbr. 8-aB). Hal ini berakibat degenerasi walleri pada bagian distal. Selama beberapa hari akson
masih dapat responsif secara elektrik terhadap rangsangan eksternal (di sebelah distal) namun tidak
ada gerakan motorik voluntar ataupun hantaran listrik melintasi tempat cedera. Secara histologis, saraf
proksimal masih normal namun telah terjadi perubahan biokimiawi. Aksonotmesis dan neurotmesis
mempunyai beberapa kaitan histologis. Sel Schwann menjadi bengkak dan bersifat fagositik. Selanjut-
nya sel-sel ini membelah hingga mengisi penuh tubulus jaringan penyambung yang mengelilingi ma-

CEDERA TINGKAT PERTAMA


(Hambatan Konduksi)

CEDERATINGKAT
KEDUA

GAMBAR 8-4. A, Ceden tingkat pertama. Serabut saraf terpuntir atau tertekan sedemikian rupa sehingga mengganggu anatomi
intraneural namun masih memungkinkap aliran aksoplasma ke dua arah. Perhatikan bahwa lapisan mielinjuga dipertahankan
pada cedera ini. B, Cedera tingkat kedua. Dengan berlanjutnya tekanan, torsi, atau keduanya, kontinuitas toksoplasma menjadi
terganggu. Pengaruh trofik akson distal terhadap lapisan mielin menjadi hilang, akibatnya terjadi degenerasi lapisan mielin dis-
tal. Sel Schwann dan endoneurium yang bersama-sama menyusun tabung endoneurial, tetap utuh. (Dari Johns ME, Crumley RL:
Facial nerve injury, repair, and rehabilitation [a self instructional package]. Washington, DC, American Academy of Otolary-
ngolo gy, 197 9, hal 19 -2O.)
8--4ANGGUA}I SAIL{I] FASIALIS I43

Tcrdapd !{tw tco/clh yang sing-masing serabut saraf. Neuron yang mengalami kekurangan nutrien, akan
mcruaiurkan [ehwa kembali ke ukuran semula setelah akson kehilangan suhtansi Mssl dengan
wdu ttrrl lasiatit
yang tcrpototq agaknya pembengkakan sitoplasma (kromatolisis). Saraf yang jauh terus mengalami
lcblh ciaHil HIa dilakukan perubahan, yang biasanya tidak nyata hingga tiga atau empat hari setelah ce-
2l lrr,rl sctchh cc&ra.
dera. Juga terjadi pembentukan pita Biingner. Pita-pita ini diduga rnenyedia-
kan suatu daya tarik biokimia untuk saraf-saraf baru. Bila serabut saraf terpo-
tong, saraf yang dalam perbaikan membentuk suatu kerucut pertumbuhan pada ujung proksimal akson.
Selanjutnya akan berfumbuh menuju ujung distal di mana terletak motor end plate yang baru. Terdapat
proses protoplasma multipel pada kerucut pertumbuhan, dan suatu akson regenerasi tunggal akan men-
cabangkan diri dan memasuki sel-sel Schwann berbagai tubulus, sementara suatu sel Schwann tunggal
dapat dimasuki berbagai akson kecil. Dengan cara yang sama, pertumbuhan dapat terjadi ke arah saraf
yang lain. Analisis histokimiawi dari suatu neuron regenerasi memperlihatkan peningkatan kadar sin-
tetase RNA dan dehidrogenase glukosa-6-fosfat, yang mencapai puncaknya sekitar 21 hari' Beberapa
teoriwan mengemukakan berdasarkan informasi ini, bahwa saraf yang terpotong akan sembuh paling
baik bilamana diperbaiki pada saat ini, namun perbaikan segera masih merupakan pengobatan terpilih.
Penundaan tidak dianjurkan dikarenakan dapat terjadi perubahan fisik dan pembentukan parut pada
luka.
Otot-otot wajah merupakan otot brankiomerik, dan pengecilan otot-otot lebih nyata pada kelompok
otot somatik dibandingkan otot brankiomerik setelah hilangnya saraf motorik. Pada manusia telah
diamati bahwa ada sedikit penyusutan ukuran serat-serat otot wajah yang progresif dalam dua minggu
menyusul denervasi lengkap. Pengamatan belum membuktikan degenerasi lengkap serat-serat otot
wajah setelah denervasi. Untuk alasan ini, diyakini bahwa rehabilitasi otot wajah dengan cara transfer
saraf atau reanastomosis saraf yang cedera cukup rasional setidaknya dalam jangka waktu 24 bulan
setelah cedera. Saraf fasialis sungguh melewati tiga tahapan setelah cedera. Tahap 1, yang berlangsung
hingga 7lhai, melibatkan peristiwa fisiologik yang dijelaskan di atas, di mana badan sel mengalami
transformasi metabolik dan mulai beregenerasi guna membentuk aksoplasma yang akan menempati
neurotubulus yang kini kosong.

Tahap 2, berlangsung hingga dua tahun, adalah suafu masa di mana badan
9qal lasiatia ,ntsih
nur1g'kln dipubki lttqga sel dan segmen proksimal dapat beregenerasi menggunakan pita Biingner atau
du tahun sctoldt cd.n.
cadangan tuba endoneural, yang mana lewat akson yang beregenerasi dapat
mencapai otot-otot wajah. Oleh sebab itu, sampai dengan dua tahun setelah
cedera, masih dapat dipertimbangkan reanastomosis saraf yang terputus, menempatkan suatu canglrok-
an penghubung antara kedua titik yang terpisah, atau mentransfer suatu saraf motorik fungsional pada
segmen saraf disal. Tahap 3, yang biasanya ditandai oleh pembentukan parut pada saraf distal dan
degenerasi otot, jelas rnenyingkirkan pertimbangan untuk memulihkan kontinuitas neuromuskular'

UJI DIAGNOSTIK

Sejumlah uji diagnostik dapat digunakan untuk menilai fungsi saraf fasialis. Karena sebagian besar
saraf fasialis terletak dalam tulang temporal, maka uji-uji pendengaran seringkali digunakan untuk
mengevaluasi struktur-struktur di dekatnya. Tujuan pengujian adalah menentukan lokasi lesi dan mem-
proyeksikan hasil akhir paralisis.

UJI AUDIOLOGIK

Setiap pasien yang menderia paralisis saraf fasialis perlu menjalani pemeriksaan audiogram leng-
kap. Pengujian barus termasuk ambang hantaran udara dan hantaran tulang, demikian pula timpano-
metri dan refleks stapes. Fungsi saraf kranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji respons
L4 BAGIAN DUA-TELINGA

auditorik yang dibangkitkan dari batang otak (ABR). Uji ini terutama berman-
Jikatcrid pardisistalld
kctujrh pa&vCttuotilicfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduk-
ncdia*ut, rmkaarat
mungkinmcngdari tif memberi kesan suatu kelainan dalam rongga telinga tengah, dan dengan
dchisctsipad,a memandang saraf fasialis yang terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbang-
tclingatcngah.
kan suatu sumber infeksi. Pengujian refleks jauh lebih kompleks. Pada telinga
ipsilateral atau.kontralateral dihadirkan suatu nada yang keras, yang akan
membangkitkan respons suafu gerakan refleks dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan
membrana timpani dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebuf diper-
dengarkan pada telinga satunya dengan pendengaran normal, dan refleks tenebut dapat dibangkitkan,
maka diduga saraf ketujuh masih ufuh pada titik ini. Hilangnya refleks ini pada perangsangan kedua
telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen sarafkranial ketujuh.

UJI LAKRIMASI
Dengan uji Schirmer, fungsi lakrimasi dari mata dapat dinilai. Strip untuk
UjiSchimcr mcmbn-
d ingk an lu ng si I ak rin asi uji ini tersedia secara komersial dan strip ditempatkan pada kelopak mata ba-
padakcdutisi. wah dalam sakus konjungtivus kedua sisi (Gbr. 8-5). Setelah tiga menit, pan-
jang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya.
k*urangrryalakrimasi
pada ujiSchhmcr lrrail Suatu perbedaan lebih darj 25 persen mengesankan suatu keterlibatan saraf
ccdcn p'da s,ral pctrosut kranial ketujuh yang potensial. Sisi dengan lakrimasi mengalami interpretasi
eupcrli si al is mayor, atau
sa ral lni al i s, proksirntl
aktivitas saraf petrosus superfisial mayor akibat hilangnya kerja saraf parasim-
d ai g angliot g cn i kuhtum. patik dari Wrisberg Clabel 8-1).

GAMBAR &s. Uji


Schirmer memperli-
hatkan berkurangnya
&..
lakrimasi mata kanan
bila dibandingkan de-
ngan mata kiri.

;w/4b---*--..
't%
8-GANGGUAN SARAF FASIALIS L45

TABEL E-1. HAS IL-HASIL PENGUJIAN SARAF FAS IALIS


UJI
UJI UJI IMPEDANSI
T-AKRJMASI ALIRAN REFLEKS UJI
LOKASI LESI SCHIRMER LUDAH STAPEDIUS PENGECAPAN
Hemisfer serebri
Batang otak i * , i
Angulus serebelopontin hing- + + + +
ga ganglion genikulatum
Ganglion genikulatum hingga
otot stapedius
Otot stapedius hingga foramen
stilomastoideum
Wajah
Kunci: - biasanya normal
t mungkin abnormal
+ seringkali abnormal

PENGECAPAN

Pemeriksaan pengecapan merupakan suatu indikator yang dapat diandalkan dalam mendeteksi ter-
putusnya fungsi saraf korda timpani. Garam dan jus lemon adalah uji rasa pengecapan yang dapat
diperoleh. Sakarin atau gula dapat digunakan. Hilangnya pengecapan akibat cedera, terbatas pada dua-
pertiga anterior lidah danberakhirpada garis tengah.

SALIVASI
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan kanulasi kelenjar submandibularis. Sepotong kecil
tabung polietilen No. 50 diselipkan ke dalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan
ke dalam jus lemon ditempatkan dalam mulut, dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua
tabung. Volume dapat dibandingkan dalam satu menit. Berkunngnya aliran ludah sehsar 25 penen di
anggap abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena
keduanya ditransmisi oleh saraf korda timpani.
Pemeriksaan seperti uji Schirmer, refleks akustik, pengecapan dan aliran ludah dahulu dianggap
mempunyai nilai lokalisasi. Yaitu, dapat menunjukkan lokasi spesifik dari suatu lesi. Namun pemerik-
saan tersebut bukanlah suatu fenomena yang dapat diandalkan meskipun dapat bernilai topognostik.

UJI FUNGSI SARAF


Terdapat beberapa uji frrngsi saraf yang tersedia. Antara lain elektromiografi (EMG), elektroneu-
ronografi (FNOG), dan uji stimulasi maksimal. EMG seringkali dilakukan oleh bagian neurologi. Pe-
meriksaan ini kelak bermanfaat dalam menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG
dapat diklasifikasi sebagai respons nornal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau
yang mengesankan suatu miopati atau neuropati (Gbr. 8-6). Hanya disayangkan, nilai suatu EMG sa-
ngat terbatas kurang dari'2l hari setelah paralisis akut. Sebelum 2Lhai, jika wajah tidak bergerak,
EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang
menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini tidak terlihat sebelum 2lhai.
I4 BAGIAN DUA-TELINGA

BLOK BLOK DEGE. DEGE.


NERA.S-I NFRAs-l
NoRMAL Jr%, J"",*, (awal) (lanlul)
PENYEMBUHAN
(ringan) (berat)
ql
IST1RAHAT r^i- -drr .w Fi,-*. +{AJtf, F|r|' 8l
2 soms

KoNTRAKSI ;^,+ +1l 'AiF," ,.*-r iL{,lJ4,'f -f{L


ql
8l
p soms
GAMBAR 8{. Gambaran skematik dad rekamza elektromiografik paralisis wajah. (Dari Mathog RH, Hudson WR: Elec-
trodiagrrosis in facial paralysis. South Med J 63:37-40,1970.)

ENOG memberi informasi lebih pada wakfu yang lebih awal. ENOG melakukan stimulasi pada
satu titik dan pengukunn EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf
dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90 penen pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi'lain-
nya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch dan
Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 penen berakibat penyembuhan tidak lengkap
pada 88 persen pasien meleka, sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons di
atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.
Yang terakhir, uji stimulasi maksimal, merupakan suatu uji yang mudah dan menyenangkan. Pada
uji ini suatu sonde ditekankan pada wajah di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-
lahan hingga 5 ma, atau sampai pasien merasa tidak nyaman (Gbr. SJ). Dahi, alis, daerah periorbital,
pipi, ala nasi, dan bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan di
daerah-daerah ini menunjukkan suatu respons normal. Suatu perbedaan respons yang kecil antara sisi
yang lumpuh dengan sisi normal dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata
adalah bila terjadi kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25 persen dari arus yang
digunakan pada sisi normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari, 92 penen penderita Bell's palsy kem-
bali dapat melakukan beberapa firngsi. Bila respons elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami
pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Pada pasien-pasien dengan penurunan ftrnpi yang nyata, 73 per-
sen akan mengalami pemulihan ftrngsi wajah yang tak lengkap. Statistik lnenganjurkan bahwa bentuk
pengujian yang paling dapat diandalkan adalah uji fungsi sarafsecara langsung.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari paralisis saraf fasialis amat panjang. Di antaranya termasuk penyebab kon-
genital, infelsi, traumatik, neoplastik, vaskular, dan akhirnya idiopatik. Daftar b€rikut ini hanya men-
cakup penyebab-penyebab utama, namun tidak mernberi uraian lengkap.

LESI KONGENITAL

Paralisis saraf fasialis amat jarang disebabkan kelainan kongenital. Salah


Sindronll6Hus:
(1) satu penyebab yang agak sering dalam kategori ini adalah sindrom M6bius.
kclainn tclinga largdr
dar luar, (2) ketcdhatur Pada kasus ini, saraf fasialis memang terbentuk, namun merupakan suatu ber-
cadk{*dll,VV\
WdarXL kas fibrotik. Dan meskipun pada beberapa kasus terjadi perkembangan otot,
namun biasanya segera berdegenerasi menjadi fibrosis. Sangat disayangkan,
anak-anak ini tidak berespons terhadap pengujian elektris pada saat lahir dan tidak akan mengalami
gerakan wajah akibat kelainan ini.
s-GANGGT]AN SARAI- FASIALIS 147

GAMBR S-7. Uji eksitabilihs saraf fasialis mendemonstrasikan rangsdngan pada divisi inferior saraf fasialis, tepat di depan
foramen stilomastoideum.

Paralisis fasialis, lebih sering disebabkan trauma persalinan. Dalam proses persalinan, dapat terjadi
fraktur tulang temporal. Pemakaian forsep telah ditunjuk sebagai penyebab potensial banyak lesi se-
perti ini. Setiap neonatus yang dikenali dengan suatu paralisis saraf ketujuh harus menjalani pemerik-
saan sesegera mungkin. Stimulasi wajah setelah lahir dapat membedakan penyebab kongenital dengan
trauma lahir. Bila cedera terjadi pada proses persalinan, stimulasi elektris masih dimungkinkan selama
beberapa hari. Hal ini merupakan temuan yang penting baik dalam diagnosis maupun prognosis para-
lisisfasialis.

INFEKSI
Infeksi sepanjang perjalanan saraf fasialis dapat menimbulkan paralisis. Jarang sekali, penderita
meningitis akan datang dengan paralisis saraf fasialis. Abses pada daerah korteks parietalis juga dapat
menyebabkan suatu paralisis sentral. Keadaan ini terdiagnosis dari kemampuan pasien untuk mengge-
rakkan dahi sisi yang terkena, namun gagal dalam menggerakkan bagian wajah lainnya pada sisi ter-
sebut. Sindrom Ramsay-Hunt, atau herpes zoster otikus, melibatkan saraf fasialis dan menimbulkan
suatu ruam pada liang telinga dan pinna. Pustula-pustula kecil terbentuk dalam liang telinga dan sangat
nyeri (Gbr.8-3).
Infeksi bakteri pada telinga tengah dapat rnelumpuhkan wajah. Infeksi dapat akut atau kronik. Da-
pat hanya berupa bahan-bahan radang, namun dapat pula disertai kolesteatoma. Suatu penyakit yang
ditularkan sengkenit yang disebut penyakit Lyme, juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis
samping saraf kranialis.
148 BAGIAN DUA-TELINGA

GAMBAR 8-8. Sindrom Ramsay Hunt memperlihatkan suatu ruam vesikular


pada pinna. (Dari Becker W, et al: Atlas of Otorhinolaryngology. Philadelphia,
WB Saunders Co, 1969, h 11.)

TRAUMA

Evaluasi saral lasialis harus


Trauma pada tulang tcmporal merupakan sualu penycbab lazim paralisis
segera dilakukan pada sctiap fasialis. Fnktur dapat transversal atau longitudinal (lihat Bab 2). Sementara
pasien dengan fraktur basis
fraktur longitudinal lebih urnum terjadi, fraktur transversal lebih sering men-
kr an iu n. P ro g no si s a kan
lebih baik bila saral masih cederai saraf. Energi yang dibutuhkan untuk fraktur tulang temporal harus
beiung si sebagia n, bahkan cukup besar, dan paralisis scperti ini seringkali tidak diketahui sebelum pasien
bila kelak ternyata
menjadi paretik.
sadar dari koma setelah suatu kecelakaan kendaraan bermotor.

LESI VASKULAR
Peranan lesi vaskular terhadap fungsi saraf fasialis masih sering ditolak. Meskipun keberadaan
aneurisma atau trombosis pembuluh-pembuluh utama tidak lazim menyebabkan paralisis fasialis, na-
rnun kenyataan ini tidak dapat dibantah. Akhir-akhir ini dibicarakan mengenai ansa abnormal dari
pelltbuluh-penlbuluh darah normal yang terlelak di dekat kanalis akustikus ilrternus. Ansa-arsa ini
telah dituduh mcnyebabkan spasme fasialis dan ticg namun tidak untuk paralisis yang nyata. Kepen-
tingan ansa vaskular ini masih be lum jelas.

NEOPLASMA

Tumor-tumor sudut serebelopontin, terutama neuroma akustik dan meni-


P er kemb an g an paral i si s
saral lasialis pda pasien ngioma, nerupakan neoplasma tcrsering yang menyebabkan paralisis fasialis.
dcngan otitis cksbrna Neuroma saraf fasialis jelas amat jarang. Neoplasrna telinga tengah lainnya
mcmbri kesan suatu
keganasan.
juga dapat menyebabkan paralisis fasialis. Antara lain adalah pcnyebab jinak
seperti glomus jugulare, atau penyebab yang lebih ganas seperti histiositosis,
rabdomiosarkoma, dan karsinonra sel skua mosa.

PENYEBAB IDIOPATIK
Sebagian penyebab paralisis fasialis sulit ditentukan. Beberapa penyebab metabolik termasuk dia-
betes melitus dan suatu gangguan genetik yang dikenal sebagai sindrom Melkerson-Rosenthal. Namun
8-GANGGI]AN SARAF FASIALIS I49

pada sejumlah besar pasien dengan kelunrpuhan saraf fasialis, penyebabnya tidak pcrnah ditemukal.
Meski telah diajukan virus sebagai penyebab dan telah dicari scbab-sebab vaskulAr, nanrun belum per-
nah ditentukan ctiologi yang sebenarnya pada banyak kasus paralisis saraf fasialis. Maka, walaupun
Sir Charles Bell mula-mula mengcmukakan paralisis saraf fasialis yang berasal traumatik, namun kita
kini menghubungkan namanya dcngan paralisis [asialis idiopatik.

Penyebab paralisis wajah unilateral yang paling scring masih tctap Bel/'s
Bell's palsy beradi paralisis
palsy.Patogenesis gangguan ini nrasih belum jelas, mungkin karena mewakili
saral lasialis periler, unilt
banyak agen pcncetus. Beberapa kasus timbul akibat radang virus, sencntan
teral dan idiopatik. Sebelum
didiagnosis sebagai Be ll's
yang lain dapat nrerupakan suatu polincuropati akibat gangguan sistemik atau
pal sy, etiologi paral i si s
sistem saraf pusat. ,Bel/'s palsy adalah suatu kelemahan atau paralisis wajab
saraf fasialis lainnya perlu
disingkhkan,
unilateral tanpa adanya penyebab yang dapat segera diketahui, dan biasanya
mengalami pemulihan sebagian fungsi dalam enan.r bulan. Telah dihipotesis
bahwa faktor iskenrik dan imunologik nrungkin tcrkait langsung dengan patogencsis gangguan ini.
Selalu ada disfungsi saraf fasialis perifer dengan ketcrlibatan kclinta cabang utamanya. Awilan akut,
dcngan perjalanan progresif mencapai stadiuur kcleurahan otot lcrbcsar dalaur waktu tiga rninggu. Ge-
jala-gejala radang saluran napas atas dapat mendahului awilan paralisis. Nyeri telinga hcbat dapat tim-
bul dini; disakusis dan tanda-landa lain scpcrti disgcusia sehubungan dengan paresis sarafpansimpatik
yang menyertai hipofungsi motorik wajah, konsisten dengan diagnosis.
Anatnnesis dan pemeriksaan fisik yang cerrnat termasuk peureriksaan otoneurologik diperlukan
untuk dapat menyingkirkan gangguan- gangguan, yang pada kesan pertama menyerupai Bell's palsy
rnimil, namun menrpunyai diagnosis tcrsendiri. Setclah diagnosis dipastikan dengan tidak adanya riwa-
yat seperti suatu paralisis wajah yangprogrcsif lambat atau berulang, serta tidak adanya penyakit teli-
nga yang aktif atau nlassa yang dapat diraba pada kelenjar parolis, rnaka suatu rencana pengobatan
perlu disusun dan dijelaskan pada pasien-..- -

PENGOBATAN

Manfaat uji topognostik-prognostik serta pengobatan masih rnerupakan


Ketul ia n sen so ri ne ur al +

paralisis saraf tasialis = masalah yang diperdebatkan. Sebagian dokter tidak melakukan apa-apa, dan
tumor kanali s aku stikus hanya mengamati pasien secara berkala. Namun, seringkali didapat suatu
inlernus.
audiogram yang mcngesankan suatu lesi massa retrokoklcar (neuroma akus-
tik). Jika terjadi kelcmahan wajah dengan ketulian sensorincural ipsilatenl,
terdapat indikasi untuk evaluasi neuroradiografik fosa postcrior dan basis kranium agar dapat sepenuh-
nya menyingkirkan suatu neuroma akustik yang kccil. Pcrbaikan paralisis wajah dengan temuan lain-
nya tidak cukup sebagai alasan untuk menghindari perlunya pembuatan radiogram.
Uji topognostik telah digunakan seiama 20 tahun terakhir dalam menentukan lokasi lesi. Uji ini
khususnya bermanfaat untuk ahli bedah yang menrpertirnbangkan dekompresi bedah saraf fasialis.
Robekan utuh menunjukkan bahwa dekompresi di proksimal dari tonjolan pembentuk udara koklea
mungkin memadai. Demikian pula, suatu refleks stapedius yang utuh mengesankan keterlibatan seg-
men vertikal saraf fasialis sementara segmBn horizontal dalam telinga tengah tidak terkena.

Bila uji-uji clektris


Ahli bedah yang mempertimbangkan dekornpresi bedah berdasarkan teori
bahwa saraf tersebut tertekan baik oleh selubung serabut atau akibat edema
mcm pe rl ih atk an rc spo n s
idcntik pada kcdua sisi, saraf dalam kanalis tulang, telah nrenggunakan uji stirnulasi saraf fasialis. Pa-
prognosis kesembuhan
lungsi saraf adalah baik. da uji ini, belahan wajah yang nonnal dibandingkan dengan belahan yang
lurnpuh; dengan menggunakan uji stimulasi maksimal atau minimal seperti
yang dijelaskan di atas, dari perneriksaan ini dapat diputuskan apakah terdapat aksonotrnesis, y'ang bila
ada, dapat menyokong kegunaan dekompresi bedah. Jika uji-uji eleklris tetap seimbang antara kedua
sisi, diagnosisnya adalah neurapraksia dan keseurbuhan spontan baik sekali dapat diharapkan. Banyak
150 BAGIAN DUA-TELINGA

PFOGNOSIS
.Hilangnya Respons yang Dipereprit
oTingkat absolut (o-1 o%) dalam 1 o hari.
o MUAP bertahan atau timbul kembali

u*oo, to

(Berdasarkan Karya Fisch)


t"*u
GAMBAR &9. Prognosis kesembuhan setelah mengikuti respons elektromiografi yang dibangkitkan, diamati dalam 10 hari
pertama. Prognosis adalah buruk bilamana respons terhadap elektromiografi yang dibangkitkan menghilang dalam 5 hari per-
lama dan cukup baik bila respons dapat bertahan melampaui 10 hari, dan khususnya 14 hari. Pemulihan dini potensial aksi unit
motorik voluntar yang terekam dengan EMG dalam 14 had pertama menunjukkan bahwa saraf sedang dalam penyembuhan dan
memberikan prognosis yang baik. (Dicetak ulang atas ijin dari May M: Office medical management of acute facial palsies.
DalamMay M (ed): The Facial Nerve. New York, Thieme Medical Publishers, Inc, 1986, h 334.)

klinisi menggunakan uji prognostik ENOG mengikuti pedoman yang diajukan Esslen dan Fisch (Gbr.
8-9). Pasien-pasien yang mengalami reduksi amplitudo sebesar 90 persen atau lebih dalam 10 hari
awitan, mempunyai kemungkinan prognosis buruk sebesar 50 persen. Untuk pasien-pasien demikian,
pembedahan dapat dipertimba ngkan.
Pasien-pasien dengan paralisis saraf fasialis mengalami komplikasi pada fase awal akibat paralisis
itu sendiri. Terdapat pula masalah-nasalah dalam pengendalian sekresi mulut sehingga pasien meng-
iler, tak mampu berqiul,. mengalarni gangguan bicara jelas, menggigit mukosa pipi akibat hilangnya to-
nus motorik, dan penonjolan makahan pada kantong pipi yang lumpuh. Hal ini memerlukan manipula-
si dengan tangan atau lidah agar makanan mudah ditelan. Ada anjuran dari ahli terapi fisik bahwa pen-
ting melakukan stimulasi otot-otot guna mempertahankan tonus selama fase kelumpuhan dalam meng-
antisipasi penyembuhan spontan atau dengan pembedahan. Hal ini masih dalam perdebatan sengit, dan
akhir-akhir ini kami tidak lagi menganjurkan tindakan tersebut pada pasien-pasien kami, meskipun
kami juga tidak menyalahkan bila mereka memutuskan sendiri untuk miinjalankan terapi seperti itu.

Bilamana cangkok saraf fasialis tidak dimungkinkan, maka dapat diguna-


Cangkokan dai saral
kranial f,l dan Xlldigunakn kan saraf kranial lain di daerah tersebut. Saraf asesorius spinalis dapat diguna-
untuk saraf W ipsilaleral. kan untuk menginervasi saraf fasialis dan terkadang digunakan pada keadaan-
keadaan di mana diseksi leher ndikal perlu dilakukan, namun saraf kesebelas
di sebelah proksimal bebas dari tumor. Akan tetapi, karena morbiditas pada bahu, angkokan ini jarang
digunakan. C-angkok saraf yang lebih lazim adalah saraf hipoglosus untuk saraf fasialis. Saraf ini, bah-
kan bila dibelah dan digunakan benama oleh otot lidah dan otot wajah, dapat menyebabkan paralisis
otot lidah; sebelum reanimasi terjadi, hilangnya fungsi gabungan kedua saraf akan menyulitkan bicara
dernikian pula sulit mengunyah dan menelan. Pada pasien dgngan neuropati saraf kranial multipel
seperti 10 dan L2, anastomosis antara 7 danL2 tidak begiru pasti.
Kelopak mata yang lumpuh perlu diperhatkan pada Bell's palsy yang diterapi secara nedis. Keba-
nyakan pasien akan mengalami kekeringan pada mata, dan kornea perlu dilindungi memakai obat tetes
atau salep mata. Ruang lembab atau kacamata perlu dipakai bilarnana pasien terpapar angin atau debu.
Bila paralisis diperkirakan akan berlangsung lama atau perr.nanen, maka pembedahan mata diper-
lukan. Di masa lalu dilakukan tarsorafi, namun prosedur ini cukup rumit dan menimbulkan morbiditas
yang cukup bermakna serta dapat sangat sulit dipulihkan bilamana dikehendaki pasien, atau bila fungsi
8-GANGGUAN SARAF FASIALIS 151

GAMBAR E-10. Pengalihan otot maseter dan temporalis pada otot-otot


wajah. (Dari Freeman BS: Facial palsy. Dalam Converse JM (ed): Recon-
structive Plastic Surgery. Vol III. Philadelphia, WB Saunders Co, 1964, h
\
1151.)

Parologi bedah utama (M ) O"o" 12 kasus Bell's patsy

perjalanan saraf fasialis


intralemporal
lokasi lesi

I SEGMEN MEATUS
PORUS AKUSTIKUS
INTERNUS
8 kasus

B SEGMEN
LABIRIN
lamanya paralisis
7,10,11,16,17,
30,30,38 hari
N SEGMEN TIMPANI
(HORTZoNTAL)

ffi SEGMEN MASTOID


(VERTII(AL)

AWALKANALIS
FALLOPII

//'- -
L

GAMBAR 8-11. Lokalisasi perubahan patologik yang diamati pada segmen labirin dan meatus saraf fasialis setelah suatu
paparan intratemporal total tntukBell's palsy. Perhatikan bahwa pada 8 dari 1.1. kasus, perubahan patologik serabut-serabut saraf
fasialis terutama nyata pada bagian distal kanalis akustikus internus. (Dari Fisch U, Esslen E: Total intratemporal exposure of the
facial nerve: Pathological findings in Bell's palsy. Arch Otolaryngol Q5:37- CopyrightL9T2, American Medical Association.)
I52 BAGIAN DTIA-TELINGA

saraf fasialis kembali pulih. Alternatif yang rasional adalah menempatkan suatu kumparan emas di da-
lam kelopak mata. Dengan cafir yang sama, ambin fasia (fascia s/lng) dapat pula membentuk tonus wa-
jah istirahat yang simetris, dan dalam perjalanan pengobatan, suatu pembedahan pengencangan wajah
guna mengencangkan kulit sisi yang lumpuh akan memberi penampilan yang lebih menyelangkan
(Gbr.8-10).
Sebagian klinisi menganjurkan prednison dalam dosis 1 mgkghari hingga 14 hari sebagai terapi
medis untuk Bell's palsy. Tidak banyak kesepakatan dalam kepustakaan mengenai efek steroid dalam
mencegah denewasi, sinkinesis, gerakan massa otonom, dan air mata buaya (crocodile tearing); dan
hanya ada sedikit bukti bahwa steroid dapat mengubah perjalanan paralisis atau paresis. Steroid dapat
menghentikan otalgia, dan untuk pasien dengan otalgia berat memang merupakan terapi medis yang
baik. Semua medikasi lainnya tidak terbukti bermanfaat pada penyakit ini. Dari tahun 1970 hingga
1985 terapi bedah terbaik adalah suatu dekompresi saraffasialis transmastoid dari ganglion genikula-
tum di sebelah distal hingga foramen stilomastoideum, atau suatu dekompresi fosa ruedia yang dipe-
lopori Fisch. Gambar 8-L1" memperlihatkan lokasi patologi bcdah pada 12kasus Bell's palsy.
Akhir-akhir ini makin banyak ahli THT menolak rnenganjurkan pernbedahan transnrastoid; bilarna-
na uji elektris dan evaluasi klinis menganjurkanpembedahan, maka seringkali dipilih suatu pendekatan
neuro-otologik lewat fosa kranii media.

Kepustakaan

Adour KK Bell DM, Wingord J: Bell's palsy: Dilemma of diabetes mellitus. Arch Otolaryngol gg:ll4-ll'7,1974.
Alford BR, Jerger JF, Coats AC, et al: Neurophysiology of facial nerue testing. Arch OtolaryngolgT:2L4-219,1973.
Cannon CR, Jahrsdoerfer RA: Temporal bone fractures, review of 90 cases. Arch Otolaryngol 109:285-288, 1983.
Fisch U: Surgery for Bell's palsy. Arch Otolaryngol 107:1-11, 1981.
Harner SG, Daube JR, Ebenold MJ, Bealty CW: Improved preservation of facial nerve funciion with the use of electric monitor-
ing during removal of acoustic neuromas. [-aryngoscope 96:65-59, 1986.
Kettel K: Peripheral facial paralysis in fractures of the temporal bone. Arch Otolaryngol 5l:2541, L960.
Malone B, Maisel RH: Anatomy of the facial nerve. Am J Otolaryngol 9(6):497-504, 1988.
May M, Hughes GB: Facial nerve disorders, update 1987. Am J Otolaryngol 8:167-180, 1987.

Anda mungkin juga menyukai