Anda di halaman 1dari 25

SGD LBM 6 TUMBANG

STEP 1

1. Sistem ekstrapiramidal = sistem motorik multineuron yang berasal dari batang otak dan
terutama berkaitan dengan penyesuaian postur dan gerakan involunter badan dan anggota
badan.
2. Sucking reflex (+) = refleks menghisap.
3. Palmomental reflex (+) = refleks berupa kontraksi ipsilateral dari otot mentalis dan orbikularis
oris sebagai respon terhadap stimulasi area tenar tangan. Terdapat kerutan di dagu dan retraksi
ringan dan kadang elevasi pada sudut mulut. Tanda ini kadang tampak pada penyakit traktus
kortikospinal, tetapi dapat juga ditemukan pada lesi lobus frontal dan keterlibatan kortikal yang
difus. Reflek ini kadang juga ditemui pada orang normal, terutama orang yang cemas dan
gelisah.
4. MMSE Skor 20 = Mini Mental State Examinition (MMSE) merupakan test untuk menilai
gangguan kognitif pada lansia. Untuk skor 24-30 tidak ada gangguan kognitif, 18-23 gangguan
kognitif ringan, 0-17 gangguan kognitif berat.
STEP 4 / KONSEP MAPPING

Manifestasi Klinis
Faktor Resiko -Gelisah, marah tanpa sebab, sulit tidur
Etiologi -Usia, ras, genetik, jenis kelamin, gaya -Penurunan daya ingat/memori secara
Kerusakan pada hidup episodik
korteks / subkorteks -Trauma kepala, hipertensi, stroke, -Gangguan aktivitas/perilaku
akibat B-amyloid DM, gagal ginjal, gagal hati -Tidak ada gangguan motorik

Patogenesis dan Patofisiologi


Pembentukan B-amyloid, hiperfoforilasi protein tau,
plak senilis, defisit neurotransmiter dan kognitif

DD Demensia
-Penyakit Alzheimer
-Demensia vaskuler
PENYAKIT ALZHEIMER
-Demensia frontotemporal
-Demensia tipe campuran

-Anamnesis : riw.neurobehavioral
-Pemeriksaan Fisik dan
Neurologis : refleks palmomental,
refleks primitif, MMSE, CDT, MCA
-Pemeriksaan Penunjang : Lab
(hema rutin, biokimia), CT SCAN,
MRI, EEG, PET, SPECT, Biomarka DD Selain Demensia
-Delirium
-Depresi
STEP 7

1. Mengapa pasien sering marah malam hari, gelisah dan sulit tidur?
Bagian yang terkena adalah isokorteks area asosiasi lobus temporal, parietal, frontal sehingga
muncul tingkah laku/ kepribadian yang berupa agitasi, apatis, suasana hati berubah-ubah,
obsesif-kompulsif.
- Marah malam hari dan gelisah = terjadi akibat perubahan fungsi intelektual yang disebabkan
penyakit otak difus sehingga timbul kemampuan perencanaan yang jelek seperti
pengambilan keputusan dan pendapat berkurang, negativisme, kekanak-kanakan,
kehilangan toleransi. Perubahan afeks menyebabkan depresi (campuran apatis dan mudah
tersinggung), cemas berlebihan, dan emosi labil.
- Sulit tidur = terjadi akibat perubahan fungsi vegetatif sehingga terjadi gangguan pola tidur
dan disorientasi pada malam hari.
(Soedomo. 2000. Diagnosis dan Diagnosis Banding Demensia. Berkala NeuroSains Vol.2
No.1)
(Santoso, H.T.A.L. 2014. Diagnosis Dini Pada Penyakit Alzheimer. Majalah Biomorfologi
Vol.27 No.1)

2. Mengapa pada pemeriksaan didapatkan reflex sucking dan palmomental (+)?


- Refleks sucking (+) = refleks menghisap (+) merupakan refleks primitif. Munculnya refleks
primitif bukan merupakan bukti disfungsi kognitif tetapi dapat terjadi pada lansia normal.
Selain itu refleks primitif dapat timbul pada perkembangan gejala demensia akibat
perubahan fungsi motorik menyeluruh yang diawali dengan kecenderungan mawas diri,
kurang percaya diri, sulit menguasai pekerjaan, kehilangan pengetahuan, perubahan tingkah
laku, dan hilangnya kemampuan inhibisi. Refleks primitif lainnya adalah grasp reflex (palmar,
plantar), snout reflex, rooting reflex, dan Myerson’s sign.
- Refleks palmomental (+) = Reflek dapat ditimbulkan dengan menggores dengan ujung
tumpul dari pergelangan 13 tangan sampai falang proksimal atau ke arah berlawanan, atau
dengan mengetuk area tersebut. Manifestasi reflek ini berupa kontraksi ipsilateral dari otot
mentalis dan orbikularis oris sebagai respon terhadap stimulasi area tenar tangan. Terdapat
kerutan di dagu dan retraksi ringan dan kadang elevasi pada sudut mulut. Tanda ini kadang
tampak pada penyakit traktus kortikospinal, tetapi dapat juga ditemukan pada lesi lobus
frontal dan keterlibatan kortikal yang difus. Reflek ini kadang juga ditemui pada orang
normal, terutama orang yang cemas dan gelisah ; reflek ini hilang pada kelemahan fasial
perifer dan dapat meluas pada paresis fasial sentral. Bila respon ditemukan, mungkin
terdapat zona yang luas untuk stimulasi efektif, termasuk area hipotenar tangan. Kontraksi
otot mentalis merespon pada sentuhan permukaan palmar ibu jari disebut sebagai reflek
policomental. Nilai lokalisasi dan signifikansi kliniknya terbatas.

(Trisnasanti,L.N.A. 2016. Respon Traktus Kortikospinalis (Piramidal), Reflek Automatisasi Spinal,


Reflek Postural Dan Righting Reflex (Dejong’s The Neurologic Examination. FK UNUD)
(Soedomo. 2000. Diagnosis dan Diagnosis Banding Demensia. Berkala NeuroSains Vol.2 No.1)
3. Apa hubungan pasien tidak pernah mengalami trauma kepala dan stroke ataupun riwayat
gangguan ginjal, hepar, DM dengan keluhan pasien?

- Trauma kepala = Pasca trauma kepala dapat ditemukan deposisi beta-amyloid meningkat
(pada cairan cerebrospinal) serta adanya inklusi neurofilamen akibat proses patologi.
APOE*E4 juga ditemukan setelah trauma kepala apabila perbaikan neurologis tidak terjadi
dengan baik bahkan memburuk.
- Stroke = Pada umumnya setelah stroke, pasien menderita gangguan kognitif dan fungsi
aktivitas sehari-hari yang menurun dibandingkan sebelum sakit. Gangguan ini disebabkan
efek dari lesi pada otak yang mengenai bagian korteks atau subkorteks. Setelah fase akut
stroke biasanya gangguan ini akan berkurang setelah 3-6 bulan. Demensia sering terjadi
pada sumbatan di sisi hemisfer kiri dibandingkan sisi kanan atau pada daerah batang
otakserebelum, disertai juga dengan afasia. Pada lesi stroke hemisfer kiri, demensia terjadi
pada sumbatan di sistem limbik. Lokasi pembuluh darah yang terkena yang menyebabkan
demensia biasanya pada arteri serebri posterior dan anterior sisi kiri. Atrofi otak juga
berkaitan dengan demensia. Sumbatan kecil namun dengan jumlah yang banyak dapat
menyebabkan demensia dalam jangka waktu tertentu (multi infarct dementia). Terdapat lesi
di otak bagian subkorteks yang menimbulkan gejala demensia yang semakin memberat
yaitu pada basal ganglia, white matter, lobus frontal.
- Gangguan ginjal = Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis dengan berbagai etiologi yang mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal
merupakan suatu keadaan klinis ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.
Gangguan fungsi kognitif seperti demensia dapat terjadi pada pasien gagal ginjal akibat
tingginya prevalensi faktor resiko kardiovaskular yang menyebabkan kerusakan subklinis,
uremia, anemia, depresi, penggunaan obat tertentu, dan hubungannya dengan kelainan
metabolik yang mengikutinya. Perubahan neuropatologis pada otak yang terjadi secara
paralel pada ginjal disebabkan atheroskeloris, penyakit mikrovaskular, stroke, silent stroke,
oksidative stress dan white matter lesions.
Proses hemodialisis yang lama umumnya akan menyebabkan penurunan perfusi serebral
dan penurunan kecepatan aliran darah sehingga terjadi penurunan metabolisme oksigen ke
otak, edema serebral, dan penurunan tekanan darah intraserebral yang menyebabkan
penurunan fungsi kognitif. Kemudian pada penurunan fungsi ginjal, peningkatan asimetris
dimetil-Larginine menekan sintesis nitrat oksida. Nitrat oksida adalah inhibitor proliferasi sel
otot polos pembuluh darah, agregasi platelet, dan vasodilator kuat. Disfungsi endotel akibat
berkurangnya produksi oksida nitrat dalam pembuluh kecil otak dapat berkontribusi pada
perkembangan kerusakan iskemik kronis struktur subkortikal. Pada pasien yang menerima
hemodialisis, berulangnya episode hipotensi selama pengobatan dapat menyebabkan
kerusakan lebih lanjut ke iskemia sirkuit sensitif frontal-subkortikal karena arteriosklerosis
pembuluh kecil, kalsifikasi, dan kekurangan nitrat oksida yang mungkin cenderung
mengganggu mekanisme normal autoregulasi dan aliran darah ke struktur anterior otak.
- Gangguan hati = Penyakit hati kronis mungkin merupakan faktor risiko penting untuk
kerusakan neuropsikologis. Pasien dengan sirosis hati memiliki gangguan kognitif yang
signifikan dan kecenderungan untuk melakukan lebih banyak kesalahan memori, mungkin
karena kerusakan pada fungsi eksekutif. Kemudian, pada penyakit hepaitis C dengan infeksi
langsung di otak mungkin terjadi karena RNA HCV telah terdeteksi di jaringan otak pasien
dan viral-evolution independen dalam sistem saraf pusat.
Infeksi virus dapat melewati sawar darah otak dan menginfeksi monosit / makrofag yang
kemudian mengeluarkan kelebihan sitokin dan menyebabkan eksitotoksisitas pada sistem
saraf pusat dengan metabolisme otak yang berubah. Akhirnya, ensefalopati hati subklinis
muncul pada kebanyakan pasien dengan sirosis terkait HCV. Amonia yang diproduksi di usus
besar oleh bakteri usus adalah zat toksik utama yang terlibat dalam patogenesis
ensefalopati hepatik, yang kemudian muncul demensia yaitu sindrom gangguan kognitif
progresif kronis dengan kondisi ireversibel dan neuropatologi spesifik yang mendasari.
- DM = Diabetes mellitus memicu pembentukan produk akhir glikasi lanjutan, peradangan,
dan formasi neurofibrillary. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang dihasilkan juga
dapat meningkatkan risiko DA. Jalur genetik yang umum dapat menyebabkan
perkembangan DM dan DA, salah satu contohnya, mutasi pada enzim pendegradasi insulin
yang menyebabkan DM41 juga mengganggu degradasi protein-amiloid.

(Kumalasari,Anisa N. Et al. 2018. Diagnosis dan Pencegahan Perburukan Demensia Vaskular


pada Pasien Pasca Stroke. MEDULA Vol.8 No.1)
(Imbimbo, B.P. et al. 2005. Patophysiology of Alzheimer’s Disease. Neuroimaging Clinics of North
America 15(4))
(Beiser,A. et al. 2006. Diabetes Mellitus and Risk of Developing Alzheimer Disease. JAMA
Neurology 63(11))
(Chiu,W.C.et al. 2014. Hepatitis C viral infection and the risk of dementia. European Journal of
Neurology 2014,21)
(Herman,I. Et Al. 2017. Hubungan Lama Hemodialisis Dengan Fungsi Kognitif Pasien Penyakit
Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. Medula
Vol.7 No.5)

4. Apa hubungan memiliki riwayat hipertensi dan tidak diobati dengan keluhan pasien?
Faktor resiko vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya resiko DV dan PA. Secara khusus,
hipertensi usia pertengahan, hiperkolesterolemia pada usia pertengahan, diabetes dan stroke
semuanya telah terbukti berhubungan dengan peningkatan resiko kejadian dementia.
Salah satu komplikasi hipertensi pada sistem saraf pusat selain stroke juga dapat menyebabkan
penurunan fungsi kognitif, salah satunya fungsi memori yang bila dibiarkan secara kronis dapat
menyebabkan dementia (vascular cognitive impairment).
Hipertensi dapat mengganggu sirkulasi aliran darah otak yang dapat menyebabkan gangguan
fungsi, salah satunya dapat timbul gangguan fungsi kognitif. Komponen fungsi kognitif atensi
adalah kemampuan individu dalam kegiatan memusatkan perhatian pada suatu hal dan
mengabaikan hal lain yang tidak sedang dipikirkan, dimana atensi ini dikontrol oleh kortek
frontal yang berhubungan dengan penglihatan, kemudian pada kortek parietal, dan pada
kolikulus superior, dimana bila didapatkan lesi pada regio ini maka akan timbul gangguan fungsi
atensi. Pasien yang memiliki hipertensi esensial cenderung untuk mengalami terjadinya
abnormalitas pada susunan saraf pusat, terutama integritas lobus frontalis (kerusakan korteks
prefrontal, hiperintensitas substansia alba) sehingga didapatkan hasil fungsi kognitif yang lebih
buruk.
Pasien yang menggunakan pengobatan β-bloker untuk mengontrol tekanan darah memiliki lesi
otak tipe alzheimer lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak mengonsumsi obat tersebut
atau yang mengonsumsi obat lain.
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi, maka perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk mendeteksi adanya silent infarct, microbleed atau white
matter lesion.
(Sari, Rose V. 2019. Et Al. Hubungan Hipertensi Terhadap Gangguan Kognitif Pada Lanjut Usia Di
Panti Werdha Wana Seraya Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam Udayana Vol.3 No.1)
(Ong, Paulus A. et al. 2015. Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia.
PDSSI)
(Nisa, KanditaMahran. Et al. 2016. Faktor Risiko Demensia Alzheimer. MAJORITY Vol.5 No.4)

5. Mengapa pasien mulai mengalami penurunan daya ingat sejak setahun yang lalu?
Penurunan daya ingat tanpa gangguan kesadaran terjadi akibat gangguan difus hemisfer
serebral, terutama korteks serebral dan hipokampus. Perubahan neuropatologik yang
mempengaruhi berupa neuronal loss, peningkatan jumlah plak senilis berisi protein amyloid dan
timbul neurofibrillary tangles.
Protein Tau adalah komponen dari mikrotubulus yang berfungsi sebagai pendukung struktur
dari sel yang berguna untuk transport bahan makanan dan bahan-bahan yang lain, juga untuk
transport bahan-bahan dari mitokondria dan kromosom di dalam sel, juga berfungsi untuk
menstabilkan pertumbuhan akson-akson yang sangat penting untuk perkembangan dan
pertumbuhan saraf. Pada penyakit Alzheimer, protein Tau menjadi abnormal
(hyperphosphorylated) dan membentuk fibril yang tidak menyerap air (insoluble), fibril tersebut
mengendap di dalam sel. Protein Tau akan terkumpul di dalam neuron, lalu masuk di antara sel-
sel normal dan bersifat mematikan sel-sel tersebut, terutama pada area-area yang bertanggung
jawab terhadap fungsi memori, bahasa, dan kemampuan berpikir
(Santoso, H.T.A.L. 2014. Diagnosis Dini Pada Penyakit Alzheimer. Majalah Biomorfologi Vol.27
No.1)
(Soedomo. 2000. Diagnosis dan Diagnosis Banding Demensia. Berkala NeuroSains Vol.2 No.1)

6. Bagaimana neuroanatomi dari kasus di skenario?


Neuroanatomi demensia :
Sistem Limbik
Terdiri atas struktur kortikal dan subkortikal, yang menjadi dasar fundamental neuralis terhadap
aspek naluri, emosi, perilaku, fungsi ingatan. Terdapat interkoneksi dengan hipotalamus dimana
kondisi emosi dipengaruhi dan diperantarai oleh perubahan kondisi fisiologis dan biokimia.
- Motivasi/Emosi

Amigdala  letak berdekatan dg polus temporalis diantara kornu inferior ventrikel lateralis dan
kompleks lentiformis. Amigdala menerima aferen dari korteks asosiasi temporalis inferor,
talamus, septum, dan traktus olfaktorius. Proyeksi eferen utamanya adalah stria terminalis
berjalan pada dinding ventrikel lateralis mengikuti kecembungan nukleus kaudatus dan berakhir
di hipotalamus. Proyeksi eferen ke nukleus akumbens memungkinkan respons perilaku motorik.

Septum  terletak di bagian bawah rostral korpus kalosum. Merupakan penghubung antara
amigdala dengan proyeksi ke hipotalamus melalui fasikulus media telensefalus. Septum juga
berhubungan dengan nukleus monoaminergis di batang otak.

Korteks Orbitalis Frontalis  bersama dengan konveksitas frontalis dibentuk oleh neokorteks
frontalis. Terhubung lebih kuat dg sistem limbik. Berhubungan erat dengan struktur yang
memperantarai insting naluriah, dorongan emosi, motivasi yang mempengaruhi perilaku. Pada
orang yang sehat, aspek kognitif dan afektif bekerjasama dalam memecahkan masalah dan
berhubungan dengan hasil pengalaman terdahulu (ingatan dari sistem limbik).

- Ingatan/Memori

Formasi Hipokampal  terdiri atas hipokampus, girus dentatus, bagian girus parahipokampalis.
Menerima aferen utama dari korteks temporalis inferior dan eferen hipokampus berproyeksi ke
nukleus akumbens memungkinkan adanya respons motorik.
Girus Singuli  atau girus parahipokampalis, saling menyambung disekitar splenium korpus
kalosum.

- Emosi/Memori

Aspek dorsolateral neokorteks asosiasi frontalis = penyelesaian masalah, fungsi eksekutif, aspek
kognitif.

Aspek orbitalis neokorteks frontalis = proses status motivasi dan emosi.

Area asosiasi neokorteks (fungsi kognitif)  informasi sensorik  talamus  sistem limbik =
respons perilaku otomatik (melawan/menghindar/melarikan diri).

Sistem Olfaktorius

Reseptor olfaktorius merupakan sel khusus berupa sel saraf bersilia dalam epitel olfaktorius
rongga hidung. Serabut saraf olfaktorius berakhir pada bulbus olfaktorius. Serabut derajat kedua
berjalan didalam traktus olfaktorius dan berakhir pada korteks olfaktorius primer pada unkus di
lobus temporalis. Bagian anterior girus parahipokampalis / korteks enterokinal membentuk
korteks olfaktorius asosiasi dengan struktur disampingnya.

Jenis-jenis Demensia dan Bentuk Kelainan Neuroanatomi

A. Dementia Frontotemporalis = pada FTD terdapat atrofi neokorteks prefrontalis dan


amigdala. Penderita memiliki defisit kognitif eksekutif yang menyebabkan gangguan
perencanaan dan organisasi dan juga perubahan kepribadian dengan gangguan personal,
okupasional, dan sosial karena kerusakan korteks prefrontalis. Emosi utama, sosial,
perasaan takut akan bahaya hilang karena kerusakan amigdala. Penderita sangat apatis bila
kerusakan menyebar sampai melewati regio dorsolateral frontalis. Apabila terdapat kelainan
selektif pada neokorteks orbitalis frontalis maka fungsi kognitif eksekutif relatif utuh tetapi
penderita akan mengalami disinhibisi (lebih aktif dan tak terkontrol).
B. Penyakit Alzheimer = pada Penyakit Alzheimer terdapat atrofi berat dari formasi
hipokampal yang menyebabkan amnesia terhadap kejadian yang relatif baru dan
kemampuan mempelajari informasi baru yang bersifat otobiografis, misalnya hilang ingatan
secara episodik. Terdapat atrofi unkus sehingga penderita dapat mendeteksi bau namun
tidak dapat mengenali dan membedakan bau tersebut (agnosia apresiasi penghiduan).
C. Demensia Semantik = terdapat atrofi girus neokorteks temporalis media et inferior
sehingga penderita secara progresif kehilangan makna kata dan persepsi, seperti
pengetahuan tentang dunia (ingatan semantik). Penderita menjadi tidak tahu arti nama
suatu objek dan mengenali wajah (agnosia asosiasi). Namun penderita dapat
mempertahankan ingatan otobiografis dari pengalamannya sendiri karena formasi
hipokampal tidak terkena secara langsung pada DS. Atrofi amigdala dan neokorteks
temporalis inferior menyebabkan penderita dapat mendeteksi, mengenali, dan
membedakan bau tapi tidak dapat menyebutkan nama, deskripsi, identitas dengan tepat
untuk bau tersebut (agnosia asosiasi penghiduan).

(Crossman,A.R. et al. 2015. Buku Ajar Ilustrasi Berwarna Neuroanatomi Edsi Kelima. Singapra :
Churchill Livingstone)

7. Mengapa pasien mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari hari?


Demensia dibagi menjadi 3 tahap yaitu preklinik dementia, mild cognitive impairment, dan
simptomatic dementia. Pada tahap kesulitan dalam kegiatan sehari-hari, kelainan patologi
menyebar pada korteks entorhinal di daerah parahipokampus dan ke hipokampus, lobus
temporal daerah mesial yang berefek pada proyeksi neural di formasi hipokampalis dan daerah
entorhinal.
Pasien mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari akibat perubahan fungsi
vegetatif dan higiene pribadi. Pasien mengalami perubahan daya ingat dan perilaku seperti
disorientasi tempat, kesulitan mengemudi, dan kemampuan fungsional lain (berpakaian, toilet,
makan-minum, mengatur keuangan, latah, mudah tersinggung, agitasi). Pasien tampak
kotor/ceroboh dengan inkontinensia urine/alvi, nafsu makan turun, dan gangguan pola tidur.
Terdapat tanda dan gejala neurologis seperti perubahan bicara (disartria), perubahan cara
berjalan (langkah kecil-kecil, apraksia dengan penurunan kemampuan menengadah), semua
aktvitas gerak melambat, peningkatan sikap fleksi seperti kembali ke neonatus, penurunan
fungsi visual, perubahan sensasi mengalami anosmia, dan presbiakusis.

(Soedomo. 2000. Diagnosis dan Diagnosis Banding Demensia. Berkala NeuroSains Vol.2 No.1)

8. Mengapa pasien kesulitan mengingat tanggal dan anggota keluarga?


Penderita demensia menderita degenerasi fungsi kognitif, daya ingat, kemampuan berpikir dan
berbahasa secara bertahap. Demensia umumnya diklasifikasikan menjadi tiga stadium utama.
Stadium awal bisa berlangsung sekitar 3 tahun dan stadium menengah bisa berlangsung selama
3 tahun lagi. Adanya disorientasi waktu dan tempat sehingga pasien bingung tentang waktu,
tanggal, tempat, tidak bisa mengenali anggota keluarga, dan tidak bisa melakukan kegiatan biasa
sehari-hari, seperti makan dan mandi termasuk demensia berat.
(Santoso, H.T.A.L. 2014. Diagnosis Dini Pada Penyakit Alzheimer. Majalah Biomorfologi Vol.27
No.1)

9. Apa etiologi dan faktor resiko dari skenario?

Etiologi = Gen yang mengkode APP/Amyloid Precursor Protein pada kromosom 21  deposisi
beta-amyloid di korteks serebri plak senilis dan neuritik (ada kandungan beta-amiloid),
neurofibrillary tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano
bodies. Disertai defisit neurotransmiter utama sistem kolinergik (defisit asetilkolin).
Kondisi Reversibel yang Mengakibatkan Demensia,
Faktor Resiko =
- Tidak dapat dimodifikasi
a. Usia, risiko terjadinya PA meningkat secara nyata dengan meningkatnya usia, meningkat
dua kali lipat setiap 5 tahun pada individu diatas 65 tahun dan 50% individu diatas 85
tahun mengalami demensia.
b. Jenis kelamin, PA lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Angka harapan hidup yang
lebih tinggi dan tingginya prevalensi PA pada wanita yang tua dan sangat tua dibanding
pria. Kejadian DV lebih tinggi pada pria secara umum walaupun menjadi seimbang pada
wanita yang lebih tua.
c. Riw.Keluarga dan Faktor Genetik, Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early onset Alzheimer
Disease/EOAD) terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini menyumbang 6-7% dari
kasus PA. Sekitar 13% dari EOAD ini memperlihatkan transmisi otosomal dominan. Tiga
mutasi gen yang teridentifkasi untuk kelompok ini adalah amiloid ß protein precursor
(AßPP) pada kromosom 21 ditemukan pada 10-15% kasus, presenelin 1 (PS1) pada
kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus dan presenilin 2 (PS) pada kromosom 1
ditemukan kurang dari 5% kasus. APOE e4 signifikan meningkatkan risiko demensia PA
teruma pada wanita dan populasi antara 55-65 tahun.
- Dapat dimodifikasi
a. Hipertensi, hipertensi usia pertengahan, hiperkolesterolemia pada usia pertengahan,
diabetes melitus dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan dengan peningkatan
resiko kejadian dementia.
b. Gaya hidup
Merokok, mengonsumsi alkohol, diet (nutrisi yang kurang baik seperti defisiensi vit. B12,
kekurangan hormon tiroid) dapat meningkatkan resiko terjadinya demensia.
Gaya hidup dibawah ini dapat mengurangi resiko terkena stroke dan demensia.

(Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.)

(Ong, Paulus A. et al. 2015. Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan
Demensia. PDSSI)

10. Bagaimana epidemiologi dari skenario?


Konsensus Delphi mempublikasikan bahwa terdapat peningkatan prevelansi demensia sebanyak
10% dibandingkan dengan publikasi sebelumnya. Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan
demensia pada tahun 2010 dengan peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta
di tahun 2030 dan 115,4 juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia
diperkirakan meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta pada tahun 2030.
Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari
70,1 tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi
juga menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun ke depan akan
mengalami peningkatan dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,8 juta pada tahun 2035.
Jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas akan meningkat dari 5,0 % menjadi 10,8 % pada
tahun 2035.
Belum ada data penelitian nasional mengenai prevalensi demensia di Indonesia. Namun
demikian Indonesia dengan populasi lansia yang semakin meningkat, akan ditemukan kasus
demensia yang banyak. Demensia Vaskuler (DV) diperkirakan cukup tinggi di negeri ini, data dari
Indonesia Stroke Registry 2013 dilaporkan bahwa 60,59 % pasien stroke mengalami gangguan
kognisi saat pulang perawat dari rumah sakit. Tingginya prevalensi stroke usia muda dan faktor 2
risiko stroke seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler mendukung asumsi di atas.

Epidemiologi Alzheimer
Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun
presentase orang dengan penyakit Alzheimer meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur
5 tahun. Sebagian besar 10% dari semua orang yang berusia di atas 70 tahun mempunyai
kehilangan memori yang signifikan dan lebih dari setengahnya disebabkan oleh Penyakit
Alzheimer.
Frekuensi dari penyakit Alzheimer akan meningkat seiring bertambahnya dekade dewasa.
Mencapai sekitar 20-40% dari populasi lebih dari 85 tahun. Wanita merupakan faktor resiko
gender yang lebih beresiko terutama wanita usia lanjut. Lebih dari 35 juta orang di dunia, 5,5
juta di Amerika Serikat yang mengalami penyakit Alzheimer, penurunan ingatan dan gangguan
kognitif lainnya dapat mengarahkan pada kematian sekitar 3 – 9 tahun ke setelah didiagnosis.
Penyakit Alzheimer merupakan jenis yang terbanyak dari demensia, dihitung berdasarkan 50 –
56 % kasus dari autopsy dan kasus klinis. Insiden dari penyakit ini dua kali lipat setiap 5 tahun
setelah usia 65 tahun, dengan diagnosis baru 1275 kasus per tahun per 100.000 orang lebih tua
dari 65 tahun. Kebanyakan orang-orang dengan penyakit Alzheimer merupakan wanita dan
berkulit putih. Karena sangat dihubungkan dengan usia, dan wanita mempunyai ekspektasi
kehidupan yang lebih panjang dari pria, maka wanita menyumbangkan sebesar 2/3 dari total
orang tua dengan penyakit ini.

(Ong, Paulus A. et al. 2015. Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia.
PDSSI)
(Bird TD, Miller BL. 2005. Alzheimer's Disease and Other Dementias. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division)

11. Bagaimana patogenesis dari skenario?


- Gen yang mengkode APP/Amyloid Precursor Protein pada kromosom 21  high avidity
apoE dengan beta-amyloid  amyloidogenesis  deposisi beta-amyloid pada korteks
serebri  plak neuritik yang mengandung beta-amyloid ekstraseluler dikelilingi neuritis
distrofik dan plak difus (deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron)  plak juga memiliki
protein komplemen, mikroglia teraktivasi, sitokin, protein fase akut  inflamasi ditambah
jumlah plak meningkat seiring bertambahnya usia  patologi penyakit Alzheimer.
- Neurofibrillary tangles adalah struktur intraneuron, mengandung tau, terhiperfosforilasi
pada pasangan filamen helix  terdapat di lapisan hipokampus dan korteks entorhinal.
Selain terdapat pada penyakit alzheimer, juga dapat ditemukan pada subacute sclerosis
panencephalitis, demensia pugilistika, the parkinsonian dementia complex of Guam.
- Defisit asetilkolin (neurotransmiter sistem kolinergik) adalah yang utama pada penyakit
alzheimer dan demensia tipe lain. Defisit sistem noradrenergik dan serotonin, somatostatin-
like reactivity, corticotropin releasing factor juga dapat berpengaruh pada penyakit
alzheimer.

(Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.)

12. Bagaimana patofisiologi dari skenario?


Patofisiologi AD terkait dengan cedera dan kematian neuron, dimulai di daerah otak
hippocampus yang melibatkan ingatan dan pembelajaran, maka atrofi mempengaruhi seluruh
otak Beta Amyloid, yang juga ditulis Aβ.
- Beta amyloid merupakan peptida pendek yang merupakan produk samping proteolitik
abnormal dari protein prekursor amyloid protein transmembran (APP), yang fungsinya tidak
jelas namun dianggap terlibat dalam perkembangan neuron. Monomer beta amyloid larut
dan mengandung short region dari beta sheet yang memiliki konsentrasi cukup tinggi,
mereka mengalami perubahan untuk membentuk struktur tersier kaya akan beta sheet yang
kemudian digabungkan membentuk fibril amiloid. Endapan fibril ini berada di luar neuron
dalam formasi padat yang dikenal sebagai plak neuritis, dan kemudian membentuk amyloid
angiopathy atau congophilic angiopathie.
- Pada kelompok Alzheimer, terdapat agregasi abnormal dari protein tau atau protein yang
terkait mikrotubulus yang diekspresikan dalam neuron. Protein Tau berfungsi untuk
menstabilkan mikrotubulus di sitoskeleton sel. Seperti kebanyakan protein terkait
mikrotubulus, tau biasanya diatur oleh fosforilasi. Pada pasien AD, hiperfolforilasi tau P-tau
terakumulasi sebagai filamen heliks berpasangan yang kemudian beragregasi menjadi massa
di dalam badan sel saraf yang dikenal sebagai neurofibrillary tangles dan sebagai neuron
distrofi yang terkait dengan plak amyloid.
- Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer adalah
asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit
Alzheimer. Pada penyakit Alzheimer ditemukan suatu degenerasi spesifik pada neuron
kolinergik pada nukleus basalis meynert. Pada Alzheimer juga ditemukan konsentrasi
asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.
- Demensia alzheimer ditandai dengan atrofi dan gliosis progresif dari lobus temporal dan
hipokampus lalu disertai oleh korteks lain yang berhubungan dan akhirnya pada korteks
motor primer dan sensorik. Demensia alzheimer memiliki karakteristik histopatologi, yaitu
ditemukannya deposit eosinofilik ekstraseluler amiloid yang terdiri dari peptida Aβ (produk
bersihan APP) yang disebut plak amiloid serta agregat intraneuronal dari mikrotubule terkait
protein (neurofibrillary tangles).

(Nisa, KanditaMahran. Et al. 2016. Faktor Risiko Demensia Alzheimer. MAJORITY Vol.5 No.4)
(Nisa, H. Et Al. Biomarker Mirna-146a Sebagai Deteksi Dini Yang Efektif Untuk Alzheimer.
Farmaka Suplemen Vol.15 No.2)

13. Apa saja manifestasi klinis pada skenario?


- Gejala muncul perlahan / onset perlahan (bulan sampai tahun)
- Penurunan progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain
- Gejala amnestik: gangguan dalam belajar dan recall, serta new learning ability
- Gejala non-amnestik: gangguan berbahasa (menemukan kata), visuospasial (agnosia benda,
gangguan dalam kognisi wajah, aleksia), fungsi eksekutif (gangguan dalam reasoning,
memberikan penilaian, dan memecahkan masalah)
- Gangguan perilaku
- Ketergantungan terhadap aktivitas harian
- Gangguan motorik tidak ditemukan, kecuali pada tahap akhir penyakit
(Ong, Paulus A. et al. 2015. Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. PDSSI)

(Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.)

(National Institute on Aging-Alzheimer Association (NIAAA) 2011)

14. Apa saja pemeriksaan fisik dan penunjang dari skenario?


- Riwayat neurobehavior
Gejala = Keluhan kognisi terdiri dari gangguan memori terutama kemampuan belajar materi
baru yang sering merupakan keluhan paling dini. Memori lama bisa terganggu pada
demensia tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami disorientasi di sekitar rumah atau
lingkungan yang relatif baru. Kemampuan membuat keputusan dan pengertian diri tentang
penyakit juga sering ditemukan. Keluhan non-kognisi meliputi keluhan neuropsikiatri atau
kelompok behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD). Komponen perilaku
meliputi agitasi, tindakan agresif dan nonagresif seperti wandering, disihibisi, sundowning
syndrome dan gejala lainnya. Keluhan tersering adalah depresi, gangguan tidur dan gejala
psikosa seperti delusi dan halusinasi. Gangguan motorik berupa kesulitan berjalan, bicara
cadel dan gangguan gerak lainnya dapat ditemukan disamping keluhan kejang mioklonus.
Pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders- IV (DSM-IV) sering
digunakan sebagai gold standar untuk diagnosis klinis dementia. Kriteria ini termasuk
adanya gangguan memori dan tidak adanya salah 1 dari gangguan kognitif seperti afasia,
apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif.
- Pemeriksaan Fisik = meliputi kardiovaskuler dan neurologis
Skrining juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan kognisi sederhana,
a. MMSE/Mini Mental State Examination,
b. Clock Drawing Test, tes ini dapat dilakukan dengan cara menggambar mengikuti
perintah atau meniru gambar yang ada.
c. Montreal Cognitive Assessment,

- Pemeriksaan Penunjang
a. Lab

GDS juga diperiksa untuk menyingkirkan depresi.


b. Neuroimaging
STRUCTURAL NEUROIMAGING
CT SCAN dan MRI  dapat mengidentifikasi penyebab demensia non neurodegeneratif
yang berpotensi untuk diterapi. Berdasarkan rekomendasi guideline NICE dan SIGN,
peran neuroimaging struktural adalah untuk menyingkirkan kemungkinan patologi
intraserebral dan membantu menentukan subtipe demensia. MRI serial dapat
mengidentifikasi perubahan di otak sebelum awitan klinis demensia.
Pada penyakit alzheimer, diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang
menunjukkan adanya plak neuritik (deposit βamiloid40 dan β-amiloid42) serta
neurofibrilary tangle (hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat
kecenderungan melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging (MRI struktural dan
fungsional) dan cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi
diagnosis.

FUNCTIONAL NEUROIMAGING
Functional neuroimaging meliputi functional MRI, magnetic resonance spectroscopy
(MRS), positron emission tomography (PET), single photon emission computed
tomography (SPECT). Functional imaging berguna dalam deteksi dini demensia,
memprediksi perubahan dari MCI menjadi demensia serta dalam membedakan subtipe
demensia.
SPECT (Single Photon Emission Commuted Tomography)  SPECT dapat digunakan
untuk membedakan DA, DV dan DFT bila diagnosis meragukan.
PET (Possitron Emission Tomography)  Pemeriksaan ini memiliki superioritas daripada
SPECT dalam mendeteksi DA.
Biomarka Neuroimaging  PET dengan menggunakan radioligand yang berikatan
langsung dengan plak β-amyloid, seperti Pittsburgh Compound-B (PIB), dapat dilakukan.
Ikatan PIB ke otak berkorelasi dengan kadar total Aβ.

c. Elektroensefalografi, masih terbatas dan dapat dipertimbangkan bila ada kecurigaan


adanya kejang, Creutzfeldt-Jakob disease (CJD) atau pada delirium.
d. Biomarka menjadi penting untuk diagnosis dini, untuk mengukur patologi yang terjadi,
penanda prognosis untuk mereka yang berisiko serta memonitor terapi obat. Biomarka
dapat dideteksi di otak (cairan serebrospinal (CSS) atau neuroimaging reseptor amyloid),
darah, atau kombinasi keduanya. Biomarka dari sistem saraf pusat (SSP) antara lain β-
amyloid1-42, βamyloid1-40, total tau, dan hyperphosphorylated tau (p-tau) dari CSS.
Pada pasien DA didapatkan penurunan kadar β-amyloid dan peningkatan kadar tau CSS.

(Ong, Paulus A. et al. 2015. Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan
Demensia. PDSSI)

15. Apa interpretasi dari skor MMSE 20?


MMSE/Mini Mental State Examination, merupakan test untuk menilai gangguan kognitif pada
lansia. Untuk skor 24-30 tidak ada gangguan kognitif, 18-23 gangguan kognitif ringan, 0-17
gangguan kognitif berat.
(Ong, Paulus A. et al. 2015. Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan
Demensia. PDSSI)

16. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari skenario?


- Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dan memori yang didapat
disebabkan oleh penyakit otak dan tidak berhubungan dengan gangguan kesadaran.
Subtipe demensia =
a. Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang tersering
ditemukan (60-80%). Karakteristik klinik berupa berupa penurunan progresif memori
episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan kecuali pada tahap
akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian
menyusul gangguan memori episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini
mengenai terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih
muda. Diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak
neuritik (deposit βamiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary tangle
(hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan
pemeriksaan biomarka neuroimaging (MRI struktural dan fungsional) dan cairan otak (β-
amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi diagnosis.
b. Demensia vaskuler adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas
termasuk infark tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke
perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan demensia tipe campuran (PA
dan stroke / lesi vaskuler). Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan
kejadian ateroskerosis dan DV. CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy 4
with subcortical infarcts and leucoensefalopathy), adalah bentuk small vessel disease
usia dini dengan lesi iskemik luas white matter dan stroke lakuner yang bersifat
herediter.
c. Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan. Gejala inti
demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang nyata
(vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism. Gejala
yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh berulang dan sinkope, sensitif
terhadap neuroleptik, delusi dan atau halusinasi modalitas lain yang sistematik. Secara
klinis orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif dan
visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif baik jika dibanding dengan
PA yang terutama mengenai memori verbal.
d. Demensia Penyakit Parkinson. Secara klinis, sulit membedakan antara DLB dan DPP.
Pada DLB, awitan demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun sedangkan
pada DPP gangguan fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-15
tahun).
e. Demensia Frontotemporal
Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia Lobus
Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda (early onset dementia/EOD) sebelum
umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik klinis berupa
perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat penyakit.
Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun pertama) terjadi perilaku
disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan 5 simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau
perlaku kompulsif/ritual, hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif
tanpa gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi. Pada
pemeriksaan CT/MRI ditemukan atrofi lobus frontal dan atau anterior temporal dan
hipoperfusi frontal atau hipometabolism pada SPECT atau PET. Dua jenis DLFT lain yaitu
Demensia Semantik (DS) dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran
disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya.
f. Demensia Tipe Campuran
Koeksistensi patologi vaskuler pada PA sering terjadi. Pada umumnya pasien demensia
tipe campuran ini lebih tua dengan penyakit komorbid yang lebih sering. Patologi
Penyakit Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan 50% orang dengan DLB
memiliki patologi PA.
- Diagnosis Banding
Walaupun delirium dan demensia dapat terjadi bersamaan, dalam praktik klinis demensia
harus dibedakan dari delirium dan depresi. Penyebab paling sering delirium adalah
ensefalopati akibat penyakit infeksi, toksik, faktor nutrisi, penyakit sistemik.
(Ong, Paulus A. et al. 2015. Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan
Demensia. PDSSI)

(Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.)

Anda mungkin juga menyukai