PENDAHULUAN
Epilepsi adalah suatu kondisi neurologik yang mempengaruhi system saraf. Epilepsy
juga dikenal sebagai penyakit kejang. Epilepsi dapat didiagnosis paling tidak setelah
mengalami dua kali kejang yang tidak disebabkan oleh kondisi medis seperti kecanduan
alkhohol atau kadar gula yang sangat rendah (hipoglikemi). Terkadang menurut
International League Against Epilepsy, epilepsy dapat didiagnosis setelah mengalami satu
kali kejang. Anak-anak dan remaja lebih cenderung menderita epilepsy dengan sebab yang
tidak diketahui atau murni genetic daripada orang dewasa. Epilepsy dapat mulai terjadi pada
semua usia.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi
yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita,
yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di
antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya
telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization
(WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsy.Epilepsi sukar untuk
dikendalikan secara medis atau pharmacoresistant, sebab mayoritas pasien dengan epilepsi
adalah bersifat menentang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Epilepsy adalah sebuah kondisi dimana terjadi kejang berulang. Kejang diartikan
sebagai adanya gangguan pelepasan muatan listrik abnormal pada sel saraf diotak yang
menyebabkan gangguan sementara pada fungsi motorik, sensorik dan mental. Sedangkan
serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi.
Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan
ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya
bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, stroke,
infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya di kelompokkan sebagai epilepsi idiopatik
dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya
trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya
belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
epilepsi menjadi 20% - 30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi
seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan
testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa
setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan
progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar
hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.
1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum
alkohol, atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang diturunkan pada anak.
Faktor pencetus
Klasifikasi Umum
1. Kejang parsial
a. Kejang parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
. Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai contoh ,
seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal seperti jari tangan menghentak
atau kekakuan pada sebagian tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap
pada satu sisi tubuh (berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas
pada kedua sisi. Contoh yang lain adalah kelemahan dimana dapat berpenagruh
pada saat berbicara. Penderita mungkin bisa atau tidak menyadari gerakan ini.
2. Kejang umum
a. Absens (Lena)
Kejang absence biasanya terjadi kurang dari 10 detik, tetapi kejang ini dapat
berlangsusng selama 20 detik. Kejang ini berawal dan berakhir tiba-tiba.
Kejang absence adalah episode singkat terpaku. Nama lain dari kejang absence adalah
petit mall. Selama kejang kesadaran dan kemampuan untuk bereaksi melemah.
Seseorang yang mengalami kejang absence biasanya tidak menyadari apa yang telah
terjadi.
Kejang absence biasanya dimulai saat berumur 4 sampai 14 tahun. Anak yang
menderita penyakit ini biasanya tumbuh kembang dan intelegensinya normal.
Mendekati 70% kasus, kejang absence biasnaya akan berhenti pada usia 18 tahun.
b. Mioklonik
Kejang myoklonik terjadi singkat, kaget seperti tersentak pada otot atau beberapa
kelompok otot
c. Klonik
Kejang klonik terdiri dari ritme gerakan menghentak pada tangan dan kaki, terkadang
pada kedua sisi tubuh. Lama terjadinya kejang sangat bervariasi. Klonus berarti
pertukaran yang cepat antara kontraksi dan relaksasi otot atau dengan kata lain
gerakan menghentak yang berulang.
Kejang yang lebih biasa ditemukan adalah kejang tonik klonik dimana gerakan
menghentak didahului gerakan seperti terpaku. Kejang klonik tidak sering dijumpai.
Kejang ini dapat terjadi pada setiap usia termasuk pada bayi baru lahir. Kejang klonik
cepat dan jarang terjadi pada bayi biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam
jangka waktu singkat. Pada beberapa kasus mungkin membutuhkan terapi yang lama
d. Tonik
Kejang klonik biasanya terjadi lebih dari 20 detik. Kesadaran biasanya masih
terpelihara. Kejang tonik paling sering terjadi pada saat tidur dan biasanya meliputi
seluruh otak yang mempengaruhi seluruh tubuh. Jika orang itu berdiri biasnya akan
jatuh
e. Atonik (Astatik)
Kejang tonik terjadi lebih dari 15 detik. Pada kejang atonik, otot dengan tiba-tiba
kehilangan kekuatannya. Kelopak mata mungkin tertutup, kepala mungkin
menganggukdan penderita mungkin menjatuhkan sesuatu dan sering jatuh kelantai.
Kejang ini sering disebut sebagai drop attack atau drop seizure. Penderita biasanya
tetap sadar. Kejang atonik sering dimulai sejak kecil dan biasanya berakhir sampai
remaja. Banyak orang dengan kejang atonik mengalami luka ketika mereka terjatuh
f. Tonik-klonik
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit. Kejang tonik klonik yang
berakhir lebih lama dari 5 menit mungkin harus memanggil bantuan medis. Kejang
yang berakhir lebih dari 30 menit atau tiga kali kejang tanpa periode jeda yang normal
mengindikasikan kondisi yang berbahaya disebut juga sebagai status epileptikus.
Kejang ini membutuhkan terapi emergency.
Kejang ini adalah kejang yang biasanya diketahui oleh masyarakat secara umum.
Kejang ini disebut juga sebagai grand mall. Seperti namanya kejang ini merupakan
gabungan dari kejang tonik dan kejang klonik. Fase tonik datang pertama ditandai
dengan semua otot menjadi kaku. Udara secara paksa dikeluarkan dari pita suara yang
menyebabkan tangisan atau erangan. Orang tersebut akan kehilangan kesadaran dan
jatuh kelantai. Lidah dan pipi bagian dalam mungkin tergigit. Jadi ludah yang
bercampur darah mungkin keluar dari mulut. Wajah orang tersebut mungkin akan
berubah jadi kebiruan. Setelah fase tonik akan terjadi fase klonik. Tangan dan kaki
biasanya akan mulai menghentak dengan cepat dan berirama, gerakan menekuk dan
relaksasi pada siku, pangkal paha dan lutut. Setelah beberapa menit gerakan
menghentak akan melambat dan berhenti. Isi kandung kemih dan perut terkadang ikut
keluar saat tubuh relaksasi. Kesadaran kembali perlahan dan orang tersebut mungkin
mengantuk, bingung, atau depresi. Penderita yang mengalami kejang ini dapat anak-
anak maupun orang dewasa.
2.5. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya
tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter.
Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni
GABA (Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saraf di
otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar
melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga
seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-
impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang
umum yang disertai penurunan kesadar.
Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a. Primer
b. Sekunder
Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-
tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa
perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara
gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.
b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang
teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui
apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang
sensorik.
c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan
tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat
berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akine- tik) dapat
terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
d. spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada
bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum
diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses
degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan
dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke
atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis
dan berkeringat.
b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik.
Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala
kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan
kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar
ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
2.7. DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui anamnesis
dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila
secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir
tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-
obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal
atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa
harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan
ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya
misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul
secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,
misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman
video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi
kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial
dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
2.8. TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi
Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang, dosis obat
terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan faktor
penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk
serangan.
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat dalam
jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan
akibat obat antiepilepsi.
b. Malformasi arteriovenosa
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan “spikes” sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat
putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam
tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera
setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau
epilepsi benigna dengan “spikes” sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti
kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik
lainnya.
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien
a) Tipe serangan
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat
Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital
Absence (tipikal Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam
dan atipikal)
Lamotrigin Zonisamid
Atonik Asam valproat Lamotrigin Felbamat
Topiramat
Tonik Asam valproat Clonazepam
Fenitoin Clobazam
Fenobarbital
Epilepsy absence Asam valproat Clonazepam
juvenil
Etosuksimid
Epilepsy mioklonik Asam valproat Clonazepam
juvenil
Fenobarbital Etosuksimid
b) karakteristik pasien
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah
yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol
dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi
untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi
pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung
menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara
pemberian dosis awal :
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi
dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan.
Evaluasi ulang :
Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa diberikan
dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?apakah pengaturan dosis yang
diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?)
Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)
Obat Dosis Dosis Dosis Frekuensi Efek samping
awal yang maintenance pemberian
(mg/hari) paling (mg/hari) (kali/hari)
umum
(mg/hari)
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi gusi, distres
lambung, penglihatan kabur, vertigo,
hiperglikemia, anemia makrositik
Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang, distress
lambung, sedasi, penglihatan kabur,
konstipasi, ruam kulit
Okskarbazepin 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi, diplopia,
hiponatremia, ruam kulit
Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik, ruam, sindrom steven-
johnson, nyeri kepala, pusing,
penglihatan kabur
Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia, kelelahan,
anoreksia, pusing, batu ginjal,
leukopenia
Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB turun, konstipasi,
diare, gangguan tidur
Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB turun, anoreksia, nyeri
kepala, insomnia, hepatotoksik
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB turun ,
konstipasi, mulut kering, sedasi,
anoreksia
Clobazam 10 20 10-40 1-2
Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk, kebingungan, nyeri
kepala, vertigo, sinkop
Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2
Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering, pusing, sedasi, langkah
terhuyung, nyeri kepala, eksaserbasi
kejang generalisata
Vigabatrin 500- 3000 2000-4000 1-2
1000
Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia, mulut kering,
penglihatan kabur, mialgia,
penambahan berat, kelelahan
Pregabalin 150 300 150-600 2-3
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik
Levetiracetam 1000 2000-3000 1000-4000 2
Mekanisme kerja OAE
5. Penggantian Obat
a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus
segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek merugikan
lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut:
pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang
direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3
minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus
dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini
harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah
proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.
c) Monoterapi
d) Politerapi
Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek
samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).
6. Pemantauan terapi
Defisiensi kognitif pada anak dengan epilepsi cukup bervariasi, missal gangguan
memori, penurunan kapasitas untuk memperlihatkan sesuatu, penurunan efisiensi dalam
proses informasi, gangguan persepsi pendengaran dan berbahasa.
Pemberian OAE pada anak harus dipertimbangkan scara benar, dengan
menghadapi efek berbeda terhadap fungsi kognitif dan perilaku. Pada anak pengaruh
fenobarbital terhadap fungsi kognitif tidak begitu nyata tetapi dapat membuat anak
menjadi hiperaktif. Sementara itu fenitoin dalam kadar serum yang tinggi dapat
menimbulkan enselopati yang progresif, retardasi mental, dan penurunan kemampuan
membaca. Karbamazepin dan valproat mengakibatkan gangguan kognitif yang ringan.
Pada kadar yang tinggi, valproat dapat mengganggu fungsi motorik, sementara
karbamzepin justru memperbaiki kecepatan kinerja pada gerakan selektif tertentu. Lagi
pula karbamzepin dapat memperbaiki koordinasi mata-tangan dan keterampilan tangan.
Untuk memelihara konsentrasi OAE dalam serum dari penderita hamil, dosisOAE
harus dinaikkan. Untuk fenitoin, dosisnya dinaikkan pada 85% penderita ; sementara itu
kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan fenobarbital sebanyak 70% pula.
Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya mulai terjadi pada umur kehamilan 10
minggu. Satu bulan sesudah melahirkan, konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke
situasi sebelum terjadi kehamilan. Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan
waktu yang lama.
1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan sindrom epilepsi
2. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam serum yang paling rendah
dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik
3. Hindari penggunaan valproat atau karmazepin apabila ada riwayat keluarga tentang efek
neural-tube
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin dan fenobarbital
5. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin periksalah kadar
OAE bebas atau tak terkait
6. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya dan pastikan kadar folat dalam
serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode organogenesis pada trimester
pertama
7. Apabila kadar valproat, hindari kadar dalam serum yang tinggi. Bagilah obat tadi 3-4 kali
pemberian setiap harinya
kelainan jantung.
8. Pemantauan terapi
Untuk memelihara konsentrasi OAE dalam serum dari penderita hamil, dosisOAE
harus dinaikkan. Untuk fenitoin, dosisnya dinaikkan pada 85% penderita ; sementara itu
kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan fenobarbital sebanyak 70% pula.
Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya mulai terjadi pada umur kehamilan 10
minggu. Satu bulan sesudah melahirkan, konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke
situasi sebelum terjadi kehamilan. Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan
waktu yang lama.
8. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan sindrom epilepsi
9. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam serum yang paling rendah
dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik
10. Hindari penggunaan valproat atau karmazepin apabila ada riwayat keluarga tentang efek
neural-tube
11. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin dan fenobarbital
12. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin periksalah kadar
OAE bebas atau tak terkait
13. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya dan pastikan kadar folat dalam
serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode organogenesis pada trimester
pertama
14. Apabila kadar valproat, hindari kadar dalam serum yang tinggi. Bagilah obat tadi 3-4 kali
pemberian setiap harinya
kelainan jantung.
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari seranganpada umumnya dapat diterima
oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan
keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian OAE memerlukan
pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian
secukupnya.
BAB III
PENUTUP
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan
gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau
berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi
secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang
spontan dan cenderung untuk berulang.Bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cederakepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau jugapertumbuhan jarigan saraf yang tidak
normal (neurodevelopmentalproblems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi.Diagnosis
epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis.Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah.
Penghentian OAE harus tepat cara, waktu, dan indikasi.Efek samping yang umum dari OAE
adalah memperlambat motorik dan perkembangan psikomotor, kesulitan memperhatikan dan
gangguan memori ringan, dan menimbulkan efek teratogenik (jarang).Apabila terjadi rekurensi
setelah pengehentian OAE maka diberikan OAE dengan dosis maksimal efektif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of
Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf RSUD Dr.
M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Epilepsi.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985
7. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.
Saunders. Philadelphia. 2004.