Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi adalah suatu kondisi neurologik yang mempengaruhi system saraf. Epilepsy
juga dikenal sebagai penyakit kejang. Epilepsi dapat didiagnosis paling tidak setelah
mengalami dua kali kejang yang tidak disebabkan oleh kondisi medis seperti kecanduan
alkhohol atau kadar gula yang sangat rendah (hipoglikemi). Terkadang menurut
International League Against Epilepsy, epilepsy dapat didiagnosis setelah mengalami satu
kali kejang. Anak-anak dan remaja lebih cenderung menderita epilepsy dengan sebab yang
tidak diketahui atau murni genetic daripada orang dewasa. Epilepsy dapat mulai terjadi pada
semua usia.

Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi
yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita,
yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di
antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya
telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization
(WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsy.Epilepsi sukar untuk
dikendalikan secara medis atau pharmacoresistant, sebab mayoritas pasien dengan epilepsi
adalah bersifat menentang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Epilepsy adalah sebuah kondisi dimana terjadi kejang berulang. Kejang diartikan
sebagai adanya gangguan pelepasan muatan listrik abnormal pada sel saraf diotak yang
menyebabkan gangguan sementara pada fungsi motorik, sensorik dan mental. Sedangkan
serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam etiologi.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International


Bureaufor Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan
otak dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang di akibatkannya . Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu
riwayat kejang epilepsi sebelumnya.

Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”).

2.2. EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan

ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya

bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, stroke,

infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun

perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari

populasi. Secara umumdiperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola

bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usialanjut.


2.3. ETIOLOGI

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar
70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya di kelompokkan sebagai epilepsi idiopatik
dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya
trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya
belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
epilepsi menjadi 20% - 30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi
seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan
testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa
setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan
progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar
hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.

Epilepsi mungkin disebabkan oleh:

– Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.


– Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak pada
saat lahir atau cedera lain.
– Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada otak, atau
infeksi.
– Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsi idiopatik, sedangkan pada anak
umur 5-6 tahun disebabkan karena febris.
– Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala maupun
tumor.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum
alkohol, atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang
rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang diturunkan pada anak.

Faktor pencetus

Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :


a. Kurang tidur
b. Stress emosional
c. Infeksi
d. Obat-obat tertentu
e. Alkohol
f. Perubahan hormonal
g. Terlalu lelah
h. Fotosensitif
2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut Etiologi

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)


Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan
zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.

2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)


Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak.
Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut
sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak,
cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme
dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-
faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan
neoplasma.

Klasifikasi Umum

1. Kejang parsial
a. Kejang parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
. Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai contoh ,
seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal seperti jari tangan menghentak
atau kekakuan pada sebagian tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap
pada satu sisi tubuh (berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas
pada kedua sisi. Contoh yang lain adalah kelemahan dimana dapat berpenagruh
pada saat berbicara. Penderita mungkin bisa atau tidak menyadari gerakan ini.

- Dengan gejala sensorik


Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan kejang
sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada
disitu, mendengar bunyi berdetak, bordering atau suara seseorang ketika suara
yang sebenarnya tidak ada, atau merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati
rasa (kebas). Kejang mungki terasa sangat menyakitkan pada beberapa pasien.
Mereka akan merasa seperti berputar. Mereka juga mungkin mengalami ilusi.
Untuk singkatnya mereka mungkin percaya bahwa mobil yang sedang diparkir
bergerak pergi atau suara seseorang seperti teredam ketika seharusnya terdengar
jelas.

- Dengan gejala otonom


Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf yang secara
otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini biasanya meliputi perasaan
asing atau tidak nyaman pada perut,dada dan kepala, perubahan pada denyut
jantung dan pernafasan, berkeringat.

- Dengan gejala psikis


Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan pengalaman akan
sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan memori, kata yang terbalik saat
berbicara, ketidakmampuan untuk menemukan kata yang tepat atau bermasalah
dalam memahami percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba
merasa takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang tidak jelas. Beberapa
pasien mungkin merasa seperti mereka berada diluar tubuhnya atau merasa dejavu
(pernah mengalami sebelumnya).

b. Kejang parsial kompleks (kesadaran terganggu)


Biasanya kejang akan terjadi 30 detik sampai 2 menit. Setelah kejang biasanya
penderita akan lelah atau bingung selama 15 menit dan mungkini tidak sadar selama
satu jam. Kejang ini biasanya berawal dari sebagian kecil area pada lobus temporal
atau frontal otak. Kemudian dengan cepat meliputi area lain pada otak yang
mempengaruhi kesadaran dan siaga. Jadi walaupun mata penderita terbuka dan mereka
membuat gerakan seperti memiliki tujuan, pada kenyataannya mereka tidak menyadari
apa yang mereka lakukan.
Contoh : Biasanya kejang ini terjadi saat dia sedang tidur. Dia akan membuat suara
mendengkur seperti ketika dia membersihkan tenggorokan. Kemudian dia akan duduk
ditempat tidur, membuka matanya dan terpaku. Dia mungkin akan menggenggam
tangannya. Jika saya bertanya apa yang sedang dilakukannya dia tidak menjawab. Setelah
satu menit atau lebih dia akan berbaring kembali dan tidur.”

2. Kejang umum
a. Absens (Lena)
Kejang absence biasanya terjadi kurang dari 10 detik, tetapi kejang ini dapat
berlangsusng selama 20 detik. Kejang ini berawal dan berakhir tiba-tiba.

Kejang absence adalah episode singkat terpaku. Nama lain dari kejang absence adalah
petit mall. Selama kejang kesadaran dan kemampuan untuk bereaksi melemah.
Seseorang yang mengalami kejang absence biasanya tidak menyadari apa yang telah
terjadi.

Kebanyakan kejang absence memperlihatkan kejang absence kompleks. Yang


diartikan terdapat perubahan pada aktivitas otot. Gerak kepala yang paling sering
adalah kedipan mata. Gerak kepala lainnya meliputi gerak pada mulut, pergerakan
tangan seperti menggosok jari bersama dan kontraksi atau relaksasi otot. Kejang
absence kompleks sering terjadi lebih dari 10 detik.

Kejang absence biasanya dimulai saat berumur 4 sampai 14 tahun. Anak yang
menderita penyakit ini biasanya tumbuh kembang dan intelegensinya normal.
Mendekati 70% kasus, kejang absence biasnaya akan berhenti pada usia 18 tahun.

b. Mioklonik
Kejang myoklonik terjadi singkat, kaget seperti tersentak pada otot atau beberapa
kelompok otot

c. Klonik
Kejang klonik terdiri dari ritme gerakan menghentak pada tangan dan kaki, terkadang
pada kedua sisi tubuh. Lama terjadinya kejang sangat bervariasi. Klonus berarti
pertukaran yang cepat antara kontraksi dan relaksasi otot atau dengan kata lain
gerakan menghentak yang berulang.

Gerakannya tidak bisa dihentikan dengan mengendalikan atau memposisikan tangan


dan kaki. Kejang klonik sangat jarang terjadi.

Kejang yang lebih biasa ditemukan adalah kejang tonik klonik dimana gerakan
menghentak didahului gerakan seperti terpaku. Kejang klonik tidak sering dijumpai.
Kejang ini dapat terjadi pada setiap usia termasuk pada bayi baru lahir. Kejang klonik
cepat dan jarang terjadi pada bayi biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam
jangka waktu singkat. Pada beberapa kasus mungkin membutuhkan terapi yang lama

d. Tonik
Kejang klonik biasanya terjadi lebih dari 20 detik. Kesadaran biasanya masih
terpelihara. Kejang tonik paling sering terjadi pada saat tidur dan biasanya meliputi
seluruh otak yang mempengaruhi seluruh tubuh. Jika orang itu berdiri biasnya akan
jatuh

e. Atonik (Astatik)
Kejang tonik terjadi lebih dari 15 detik. Pada kejang atonik, otot dengan tiba-tiba
kehilangan kekuatannya. Kelopak mata mungkin tertutup, kepala mungkin
menganggukdan penderita mungkin menjatuhkan sesuatu dan sering jatuh kelantai.
Kejang ini sering disebut sebagai drop attack atau drop seizure. Penderita biasanya
tetap sadar. Kejang atonik sering dimulai sejak kecil dan biasanya berakhir sampai
remaja. Banyak orang dengan kejang atonik mengalami luka ketika mereka terjatuh

f. Tonik-klonik
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit. Kejang tonik klonik yang
berakhir lebih lama dari 5 menit mungkin harus memanggil bantuan medis. Kejang
yang berakhir lebih dari 30 menit atau tiga kali kejang tanpa periode jeda yang normal
mengindikasikan kondisi yang berbahaya disebut juga sebagai status epileptikus.
Kejang ini membutuhkan terapi emergency.

Kejang ini adalah kejang yang biasanya diketahui oleh masyarakat secara umum.
Kejang ini disebut juga sebagai grand mall. Seperti namanya kejang ini merupakan
gabungan dari kejang tonik dan kejang klonik. Fase tonik datang pertama ditandai
dengan semua otot menjadi kaku. Udara secara paksa dikeluarkan dari pita suara yang
menyebabkan tangisan atau erangan. Orang tersebut akan kehilangan kesadaran dan
jatuh kelantai. Lidah dan pipi bagian dalam mungkin tergigit. Jadi ludah yang
bercampur darah mungkin keluar dari mulut. Wajah orang tersebut mungkin akan
berubah jadi kebiruan. Setelah fase tonik akan terjadi fase klonik. Tangan dan kaki
biasanya akan mulai menghentak dengan cepat dan berirama, gerakan menekuk dan
relaksasi pada siku, pangkal paha dan lutut. Setelah beberapa menit gerakan
menghentak akan melambat dan berhenti. Isi kandung kemih dan perut terkadang ikut
keluar saat tubuh relaksasi. Kesadaran kembali perlahan dan orang tersebut mungkin
mengantuk, bingung, atau depresi. Penderita yang mengalami kejang ini dapat anak-
anak maupun orang dewasa.

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya


serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter,
sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun
alloanamnesis yang baik dan akurat juga sulit didapatkan, karena gejala yang
diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,
sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu samasekali bahwa ia baru saja mendapat
serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantumenegakkan
diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).

2.5. PATOFISIOLOGI

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya
tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter.
Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni
GABA (Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saraf di
otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar
melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga
seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-
impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang
umum yang disertai penurunan kesadar.

2.6. MANIFESTASI KLINIK

Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).

a. Primer
b. Sekunder

Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-
tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa
perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara
gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.

Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas


penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi
sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru
terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.
Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-
guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung
2- 3 menit.
2. Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak
sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung
tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan
Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya
penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa
ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi
grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan
berdasarkan 4 ciri :

1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasanyang normal.


2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik.

b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang
teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui
apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang
sensorik.
c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan
tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat
berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akine- tik) dapat
terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.

d. spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada
bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum
diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses
degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan
dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke
atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis
dan berkeringat.

Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).


a) Bangkitan motorik.
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau
sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali
dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan,
kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini
disebut Jacksonian marche

b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik.
Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala
kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan
kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar
ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.

c) Epilepsi lobus temporalis.


Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas
sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya
terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar,
penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan.
Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis
ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan
motorik lazimnya berupa automatisme.

Manifestasi klinik ialah sebagai berikut:

1. Kesadaran hilang sejenak.


2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran antara sadar dan
mimpi(twilight state).
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan
automatisme yang mungkin timbul :
a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b. Halusinasi dengan automatisme membaca.
c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.

2.7. DIAGNOSIS

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui anamnesis
dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila
secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir
tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-
obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:

o Pola / bentuk serangan


o Lama serangan
o Gejala sebelum, selama dan paska serangan
o Frekwensi serangan
o Faktor pencetus
o Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
o Usia saat serangan terjadinya pertama
o Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
o Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
o Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal
atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa
harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan
ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya
misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul
secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,
misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman
video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi
kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial
dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

2.8. TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi

Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.


Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya
serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi.
Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50%
pasien tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat
antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal
(yang dapat ditoleransi).

Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang, dosis obat
terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi merupakan faktor
penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat merupakan hal penting untuk
serangan.

Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :

1. Menentukan diagnosis yang tepat

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat dalam
jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan
akibat obat antiepilepsi.

2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat anti epilepsi

Setelah kejang pertama

Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut


Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang
selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.
A. Treat :

1. Jika didapatkan lesi struktural :

a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik

b. Malformasi arteriovenosa

c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika


2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :

a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)

b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)

c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)

d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat

e. Todd’s postical paresis

f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol

b. Penyalahgunaan obat

c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik

d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)

e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan “spikes” sentrotemporal.

f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih

Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat
putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam
tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera
setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau
epilepsi benigna dengan “spikes” sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti
kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik
lainnya.

3. Memilih obat yang paling sesuai

Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien

a) Tipe serangan

Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)

Tipe serangan First-line Second-line/add on Third line/add on


Parsial simple & Karbamazepine Asam valproat Tiagabin
kompleks dengan
atau tanpa general Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin
sekunder
Fenobarbital Zonisamid Felbamat

Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon

Lamotrigin

Topiramat

Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat

Karbamazepine Okskarbazepin Levetiracetam


Fenitoin Zonisamid

Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin

Levetiracetam Clobazam

Zonisamid Clonazepam

Fenobarbital
Absence (tipikal Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam
dan atipikal)
Lamotrigin Zonisamid
Atonik Asam valproat Lamotrigin Felbamat

Topiramat
Tonik Asam valproat Clonazepam

Fenitoin Clobazam

Fenobarbital
Epilepsy absence Asam valproat Clonazepam
juvenil
Etosuksimid
Epilepsy mioklonik Asam valproat Clonazepam
juvenil
Fenobarbital Etosuksimid

b) karakteristik pasien

Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus


dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek
buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi
mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi
yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh
asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia subur.
4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu

Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah
yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol
dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).

Dosis awal :

Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi
untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi
pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung
menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara
pemberian dosis awal :

Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik

Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan


dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin, pirimidone,
tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada penggunaan lamotrigin
dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek samping pada pemberian awal ini,
obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan
secara bertahap sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika
efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada
kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses
titrasi dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.

Pemberian obat mulai dari dosis terapetik

Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi
dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan.
Evaluasi ulang :

Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat


antiepilepsi dengan obat lain, faktor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :

 Diagnosis epilepsi
 Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
 Adanya lesi aktif
 Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa diberikan
dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?apakah pengaturan dosis yang
diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?)

Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang paling umum


terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).

Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)
Obat Dosis Dosis Dosis Frekuensi Efek samping
awal yang maintenance pemberian
(mg/hari) paling (mg/hari) (kali/hari)
umum
(mg/hari)
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi gusi, distres
lambung, penglihatan kabur, vertigo,
hiperglikemia, anemia makrositik
Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang, distress
lambung, sedasi, penglihatan kabur,
konstipasi, ruam kulit
Okskarbazepin 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi, diplopia,
hiponatremia, ruam kulit
Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik, ruam, sindrom steven-
johnson, nyeri kepala, pusing,
penglihatan kabur
Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia, kelelahan,
anoreksia, pusing, batu ginjal,
leukopenia
Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB turun, konstipasi,
diare, gangguan tidur
Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB turun, anoreksia, nyeri
kepala, insomnia, hepatotoksik
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB turun ,
konstipasi, mulut kering, sedasi,
anoreksia
Clobazam 10 20 10-40 1-2
Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk, kebingungan, nyeri
kepala, vertigo, sinkop
Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2
Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering, pusing, sedasi, langkah
terhuyung, nyeri kepala, eksaserbasi
kejang generalisata
Vigabatrin 500- 3000 2000-4000 1-2
1000
Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia, mulut kering,
penglihatan kabur, mialgia,
penambahan berat, kelelahan
Pregabalin 150 300 150-600 2-3
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik
Levetiracetam 1000 2000-3000 1000-4000 2
Mekanisme kerja OAE

5. Penggantian Obat

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :

a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus
segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek merugikan
lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.

Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut:
pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang
direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3
minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus
dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini
harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah
proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.
c) Monoterapi

Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi.


Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah dilakukan evaluasi
hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah, (3) efek samping
minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari
interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya,
selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe
epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75%
kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek
samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan
memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995).

d) Politerapi

Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt


(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan
sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan
vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-
pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat. Dengan
tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari
50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien
frekuensi bangkitannya bertambah, sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan
mioklonik.

Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi


klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang
sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya
aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).

Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya:


valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan
dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih
selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik.
Selektif terapi kombinasi yang rasional, memerlukan pertimbangan efek klinis OAE,
efek samping, interaksi obat, kadar terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap
obat. Kombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:

(1) mempunyai mekanisme aksi berbeda


(2) efek samping relatif ringan
(3) indeks terapi lebar, dan
(4) interaksi obat terbatas atau negatif.

Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek
samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).

6. Pemantauan terapi

Manajemen umum epilepsi :

a. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat


b. Menentukan dan mengobati penyebab
c. Mengobati serangan :
- Menilai perlunya terapi obat :
- Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang reversible.
- Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui dengan pasti
( kejang demam, rolandic epilepsy)
- Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah banyak
manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan risiko tinggi.
- Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai
- Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alkohol, kurang tidur, stress
emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
- Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi stimulator
nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan obat antiepilepsi.
d. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :
- Hentikan kejang
- Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
- Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
7. Ketaatan pasien

Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat


menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada
penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12 bulan
dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat.
Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley (1997) cit Hakim
(2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut :
dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat
doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu
sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani


pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada
penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh
faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh biaya
pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas, 2001, Buck et al,
1997; cit Lukman,2006).

Pemakaian OAE pada anak

Berdasarkan penilaian neuropsikologik terhadap anak-anak dengan epilepsi


memperlihatkan masalah akademik muncul dari defisiensi kognitif spesifik dan bukan
disfungsi kognitif secara umum. Gangguan kognitif berhubungan dengan jenis serangan,
sindrom epilepsi, faktor etiologi, munculnya serangan pada usia dini, sering mengalami
serangan, fokus epilepsi, dan OAE. Anak yang menerima politerapi pada umumnya
mengalami gangguan kognitif yang berat dari anak yang menerima monoterapi.

Defisiensi kognitif pada anak dengan epilepsi cukup bervariasi, missal gangguan
memori, penurunan kapasitas untuk memperlihatkan sesuatu, penurunan efisiensi dalam
proses informasi, gangguan persepsi pendengaran dan berbahasa.
Pemberian OAE pada anak harus dipertimbangkan scara benar, dengan
menghadapi efek berbeda terhadap fungsi kognitif dan perilaku. Pada anak pengaruh
fenobarbital terhadap fungsi kognitif tidak begitu nyata tetapi dapat membuat anak
menjadi hiperaktif. Sementara itu fenitoin dalam kadar serum yang tinggi dapat
menimbulkan enselopati yang progresif, retardasi mental, dan penurunan kemampuan
membaca. Karbamazepin dan valproat mengakibatkan gangguan kognitif yang ringan.
Pada kadar yang tinggi, valproat dapat mengganggu fungsi motorik, sementara
karbamzepin justru memperbaiki kecepatan kinerja pada gerakan selektif tertentu. Lagi
pula karbamzepin dapat memperbaiki koordinasi mata-tangan dan keterampilan tangan.

Pemakainan OAE pada wanita hamil

Sebagian penderita mengalami kenaikan frekuensi serangan selama hamil.


Fenomena ini karena berbagai faktor dan yang paling mencolok adalah perubahan
konsentrasi OAE dalam serum. Dengan bertambahnya kehamilan maka konsentrasi OAE
makin menurun. Hal ini karena perubahan dalam ikatan protein plasma.

Untuk memelihara konsentrasi OAE dalam serum dari penderita hamil, dosisOAE
harus dinaikkan. Untuk fenitoin, dosisnya dinaikkan pada 85% penderita ; sementara itu
kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan fenobarbital sebanyak 70% pula.
Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya mulai terjadi pada umur kehamilan 10
minggu. Satu bulan sesudah melahirkan, konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke
situasi sebelum terjadi kehamilan. Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan
waktu yang lama.

Petunjuk pemberian OAE selama hamil

1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan sindrom epilepsi
2. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam serum yang paling rendah
dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik
3. Hindari penggunaan valproat atau karmazepin apabila ada riwayat keluarga tentang efek
neural-tube
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin dan fenobarbital
5. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin periksalah kadar
OAE bebas atau tak terkait
6. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya dan pastikan kadar folat dalam
serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode organogenesis pada trimester
pertama
7. Apabila kadar valproat, hindari kadar dalam serum yang tinggi. Bagilah obat tadi 3-4 kali
pemberian setiap harinya

Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau karbamazepin, tawarkanlah untuk

pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan pemeriksaan

ultrasonografi pada kehamilan 18-19 minggu, untuk mencari defek neural-

tubeeUltrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu dapat mendeteksi sumbing dan

kelainan jantung.

8. Pemantauan terapi

Manajemen umum epilepsi :

e. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat


f. Menentukan dan mengobati penyebab
g. Mengobati serangan :
- Menilai perlunya terapi obat :
- Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang reversible.
- Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui dengan pasti
( kejang demam, rolandic epilepsy)
- Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah banyak
manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan risiko tinggi.
- Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai
- Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alkohol, kurang tidur, stress
emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
- Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi stimulator
nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan obat antiepilepsi.
h. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :
- Hentikan kejang
- Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
- Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
9. Ketaatan pasien

Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat


menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada
penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12 bulan
dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat.
Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley (1997) cit Hakim
(2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut :
dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat
doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu
sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani


pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada
penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh
faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh biaya
pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas, 2001, Buck et al,
1997; cit Lukman,2006).

Pemakaian OAE pada anak

Berdasarkan penilaian neuropsikologik terhadap anak-anak dengan epilepsi


memperlihatkan masalah akademik muncul dari defisiensi kognitif spesifik dan bukan
disfungsi kognitif secara umum. Gangguan kognitif berhubungan dengan jenis serangan,
sindrom epilepsi, faktor etiologi, munculnya serangan pada usia dini, sering mengalami
serangan, fokus epilepsi, dan OAE. Anak yang menerima politerapi pada umumnya
mengalami gangguan kognitif yang berat dari anak yang menerima monoterapi.
Defisiensi kognitif pada anak dengan epilepsi cukup bervariasi, missal gangguan
memori, penurunan kapasitas untuk memperlihatkan sesuatu, penurunan efisiensi dalam
proses informasi, gangguan persepsi pendengaran dan berbahasa.

Pemberian OAE pada anak harus dipertimbangkan scara benar, dengan


menghadapi efek berbeda terhadap fungsi kognitif dan perilaku. Pada anak pengaruh
fenobarbital terhadap fungsi kognitif tidak begitu nyata tetapi dapat membuat anak
menjadi hiperaktif. Sementara itu fenitoin dalam kadar serum yang tinggi dapat
menimbulkan enselopati yang progresif, retardasi mental, dan penurunan kemampuan
membaca. Karbamazepin dan valproat mengakibatkan gangguan kognitif yang ringan.
Pada kadar yang tinggi, valproat dapat mengganggu fungsi motorik, sementara
karbamzepin justru memperbaiki kecepatan kinerja pada gerakan selektif tertentu. Lagi
pula karbamzepin dapat memperbaiki koordinasi mata-tangan dan keterampilan tangan.

Pemakainan OAE pada wanita hamil

Sebagian penderita mengalami kenaikan frekuensi serangan selama hamil.


Fenomena ini karena berbagai faktor dan yang paling mencolok adalah perubahan
konsentrasi OAE dalam serum. Dengan bertambahnya kehamilan maka konsentrasi OAE
makin menurun. Hal ini karena perubahan dalam ikatan protein plasma.

Untuk memelihara konsentrasi OAE dalam serum dari penderita hamil, dosisOAE
harus dinaikkan. Untuk fenitoin, dosisnya dinaikkan pada 85% penderita ; sementara itu
kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan fenobarbital sebanyak 70% pula.
Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya mulai terjadi pada umur kehamilan 10
minggu. Satu bulan sesudah melahirkan, konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke
situasi sebelum terjadi kehamilan. Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan
waktu yang lama.

Petunjuk pemberian OAE selama hamil

8. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan sindrom epilepsi
9. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam serum yang paling rendah
dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik
10. Hindari penggunaan valproat atau karmazepin apabila ada riwayat keluarga tentang efek
neural-tube
11. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin dan fenobarbital
12. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin periksalah kadar
OAE bebas atau tak terkait
13. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya dan pastikan kadar folat dalam
serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode organogenesis pada trimester
pertama
14. Apabila kadar valproat, hindari kadar dalam serum yang tinggi. Bagilah obat tadi 3-4 kali
pemberian setiap harinya

Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau karbamazepin, tawarkanlah untuk

pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan pemeriksaan

ultrasonografi pada kehamilan 18-19 minggu, untuk mencari defek neural-

tubeeUltrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu dapat mendeteksi sumbing dan

kelainan jantung.
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari seranganpada umumnya dapat diterima

oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan

keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian OAE memerlukan

pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian

secukupnya.
BAB III
PENUTUP

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan
gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau
berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi
secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang
spontan dan cenderung untuk berulang.Bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cederakepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau jugapertumbuhan jarigan saraf yang tidak
normal (neurodevelopmentalproblems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi.Diagnosis
epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis.Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah.
Penghentian OAE harus tepat cara, waktu, dan indikasi.Efek samping yang umum dari OAE
adalah memperlambat motorik dan perkembangan psikomotor, kesulitan memperhatikan dan
gangguan memori ringan, dan menimbulkan efek teratogenik (jarang).Apabila terjadi rekurensi
setelah pengehentian OAE maka diberikan OAE dengan dosis maksimal efektif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of
Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996

2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf RSUD Dr.
M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007.

3. Epilepsi. Available at : http://www.fkui.org/.

4. Epilepsi. Available at : http://www.medicastore.com/

5. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004

6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Epilepsi.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985

7. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.
Saunders. Philadelphia. 2004.

Anda mungkin juga menyukai