Anda di halaman 1dari 16

Instruksi Pengerjaan :

 Mahasiswa secara berkelompok (2-3 orang) menuliskan esai sepanjang 2-5 halaman A4
dengan menjawab pertanyaan (tidak harus urut) antara lain sbb :

1. Bagaimana penerapan transaksi syariah di Indonesia ?


2. Apakah lembaga keuangan syari’ah (LKS) saat ini sudah sesuai dalam praktiknya dengan
hukum Islam ?
3. Akad muamalah apakah yang menurut pendapat Anda rawan terhadap riba atau tindakan
kecurangan lainnya ?
4. Apakah Anda pernah bertransaksi dengan LKS? Seperti apa bentuk transaksinya ?
Bagaimana perbedaannya dengan lembaga keuangan konvensional ?
5. Apakah sosialisasi mengenai transaksi syariah di Indonesia sudah cukup berkembang di
masyarakat ? Upaya apa yang perlu dilakukan untuk mengedukasi masyarakat ?
6. Bagaimana praktik fiqih muamalah dapat berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ?

 Esai ditulis dalam Arial, 11pt, spasi 1,5 dan margin normal.
 Tuliskan nama anggota dan NIM di bagian header kanan atas dan nomor halaman di
footer kanan bawah.
 Jika mengutip dari buku atau artikel, silakan tuliskan sumbernya dalam daftar pustaka di
akhir esai (tidak termasuk dalam batas maksimal 5 halaman).
 Esai wajib diunggah dalam bentuk PDF ke post ini (satu file untuk satu kelompok) sesuai
deadline yang tertulis.
 Mahasiswa wajib mengirim MESSAGE ke akun Edmodo dosen berisi penilaian dengan
range 70-100 untuk anggota kelompok lainnya disertai alasan pemberian nilai tersebut
PALING LAMBAT 18 DESEMBER 23.45
 Mahasiswa tidak perlu mengumpulkan hard copy tetapi wajib datang menemui pengawas
untuk tanda tangan sesuai jadwal ujian hari Kamis 20 Desember, paling lambat 30 menit
sejak waktu ujian dimulai.
Apakah semua praktik LKS telah sesuai dengan fatwa DSN di lapangan? Agar dikatakan layak secara
syariah, LKS harus menselaraskan operasionalnya dirinya sesuai dengan fatwa DSN MUI.

Namun, lain dikata, lain realita, ternyata banyak praktek LKS yang bertentangan dengan fatwa DSN MUI
sehingga menabrak batas batas syariah.

Untuk membuktikan hal itu, mari kita adakan perbandingan antara fatwa DSN (Dewan syariah Nasional)
MUI dengan praktek yang diterapkan di LKS. Semoga perbandingan ini menjadi temuan positif bagi
semua kalangan yang peduli dengan perkembangan LKS di negeri kita dan untuk selanjutnya dapat
dipergunakan memperbaiki operasional.

Fatwa Pertama: tentang Murabahah Kontemporer. Akad Murabahah adalah satu satu produk LKS yang
banyak diminati masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai
pembiayaan atau kredit dalam perbankan atau lembaga keuangan konvensional yang tentu sarat
dengan riba.

Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad
murabahah kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga
membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000.

Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad
murabahah.

Tapi bagaimana praktek bank syariah terhadap fatwa Murabahah? DSN pada fatwanya No: 04/DSN-
MUI/IV/200, tentang Murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas
nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah
Nasional MUI, 2008: 24) LKS manakah yang benar-benar menerapkan ketentuan ini, sehingga barang
yang diperjualbelikan benar-benar telah dibeli? Pada prakteknya, perbankan dan LKS syariah, hanya
melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran
sebagian nilai barang (baca: bayar uang muka). Adakah bank yang berani menuliskan pada laporan

keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah? Tentu
anda mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah
berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan
membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank maupun LKS
tidak dibenarkan untuk melakukan praktek perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak
mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar
ketentuan DSN MUI di atas secara terang. Fatwa Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil). Akad
Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini
dianggap sebagai tulang punggung praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no:
07/DSNMUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi,
praktek LKS perlu ditinjau ulang. Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga
Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali
jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” Pada
ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana
menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian
apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” Praktek
LKS sebenarnya di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah
maupun LKS benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong
mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan
syariah akan mengungguli perbankan konvensional. Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori.
Perbankan syariah maupun LKS yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh.
Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan
mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha. Terlalu banyak fakta dari
nasabah mudharabah bank syariah yang mengalami perlakuan ini. Fatwa Ketiga, Tentang Gadai Emas,
Gadai emas merupakan cara investasi yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai
emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi. Dewan Syariah
Nasioanal melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002membolehkan praktek ini. Pada fatwa tersebut
DSN menyatakan: “Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.” Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang
secara khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2
besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Perbankan syariah atau LKS
manakah yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta dilapangan membuktikan bahwa LKS yang ada, telah
memungut biaya administrasi pemeliharan dan penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu
dari nilai piutang. Jika LKS atau perbankan syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam
menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan harga Safe
Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibebankan
nasabah TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan penjagaan
bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas. Dus, lagi-lagi praktek perbankan/LKS
syariah nyata-nyata melanggar fatwa DSN (Muhaamad Arifin Badri, 2012: 33) Ketidak syariahan bank
syariah justru dalam taraf mendasarnya yaitu ketidak sesuaian operasional dengan fatwa DSN,
Menerapkan Hilah dengan mengistinbathkan denganhal yang tidak sesuai. Ketidak sesuaian LKS maupun
bank syariah ini pada akhirnya diakui oleh direktur

direktorat perbankan syariah Mulya E. Siregar menyatakan bahwa perbankan syariah belum benar benar
menerapkan system syariah. Menurut Mulya tidak ada Bank Syariah yang benar benar syariah, bahkan
IDB sekalipun. Ungkapan Direktur BI ini merupakan sesuatu yang riil bahwa perbankan maupun LKS
belum ada yang benar benar berprinsip sesuai syariah walaupun sangat mengejutkan karena segenap
peraturan, bahkan dibuat struktur guna pengawasan pun masih belum sepenuhnya sesuai syariah.
Menjadi kebutuhan untuk LKS agar dapat hidup dan berkembang dan yang terpenting sesuai dengan
syariah.

Sebagai LKS sebenarnya system yang diperlakukan harus sesuai dengan syariah. Transaksi dan praktek
keuangan di LKS/bank syariah sebenarnya tidak boleh dimaksudkan untuk hanya sekedar hîlah atau trik
untuk menghalalkan praktik riba, Maisir dan ghurur. Tujuan sebagai LKS tidak boleh hanya memiliki
maksud dan tujuan untuk mendapatkan uang tunai belaka sebagai laba, walaupun kedatangan nasabah
ke LKS/bank syariah sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai untuk keperluannya.

Kendala lain, dalam sistem bagi hasil ini, LKS dituntut menerapkan monitoring yang intensif kepada para
nasabah sehingga dengan demikian skema bagi hasil bisa dijalankan dengan baik. Dilain pihak, LKS
sementara ini belum memungkinkan untuk sepenuhnya mengembangkan sebuah system perjanjian
yang memfasilitasi kemitraan ekuitas antara LKS dan nasabah seraya tetap memonitor biaya pada
tingkat yang cukup layak dan menghilangkan problem moral hazard yang muncul ketika ada informasi
tidak simetris antara LKS dan nasabah tentang laba usaha. Adanya pengawasan yang intensif LKS kepada
mitranya menyebabkan timbulnya opini bahwa standar moral yang berkembang dan diantu di
komunitas muslim tidak memberi kebebasan penggunaan bagi hasil sebagai mekanisme investasi.
Pengawasan yang intensif tidak seharusnya dipahami sebagai tali kekang tetapi sebagai bantuan dari LKS
untuk debiturnya dalam mengembangkan usahanya karena bagaimanapun dengan system PLS ini
apabila debitur bangkrut atau rugi maka LKS juga turut merasakan kerugian tersebut.

peran LKS ialah menyediakan fasilitas dengan cara mengupayakan instrumen-instrumen yang sesuai
dengan ketentuan dan prinsip syariah (Adiwarman A Karim, 2004:2) Upaya tersebut juga terkendala oleh
Regulasi perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodir operasional LKS, mengingat adanya
sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional LKS dengan lembaga keuangan konvensional.

Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syariah dunia yang begitu pesat, aplikasi syariah
dalam konteks ke-Indonesia-an justru acap kali mengahadapi ganjalan yang berasal dari bangsa sendiri.
Bahkan menurut Prof. Abdul Manan, belum sepenuhnya peraturan pemerintah di bidang perbankan
syariah yang memadai sekaligus solusi untuk menjawab permasalahan pengembangan LKS dan bank
syariah, upaya merealisasikan undang undang yang lebih komprehensif belum begitu memadai, agar
mampu menginterprestasikan perkembangan bank syariah di masa depan yang membutuhkan proses
perbankan secara bertahap (Abdul Manan, 2012:32).

Regulasi perbankan yang ada kiranya masih perlu disesuaikan agar memenuhi ketentuan syariah agar
dapat beroperasi secara relatif dan efisien serta mampu bersaing, antara lain; pertama, instrument yang
diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas; kedua, instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip
syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas LKS; ketiga, standarisasi akuntansi, audit dan sistem
pelaporan; keempat, regulasi yang mengatur mengenai prinsip kehatihatian. Ketentuan keempat
regulasi ini diperlukan agar LKS dapat menjadi elemen terpenting dari system keuangan. Demikian juga
yang sangat penting adalah masalah regulasi, penerapan syariah yang makin meluas dari industri
keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih
dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan
regulasi untuk perbankan syariah bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah
membatasi. Realitas di lapangan menunjukan, para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi
tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian
nasional dan umat Islam sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut penerapan ekonomi syariah harus
dipahami sebagai bagian integral dari penerapan syariat secara kaffah.
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi,
dan prinsip kehati hatian. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, dalam hal ini adalah Dewan Syariah
Nasional (DSN MUI), yang untuk selanjutnya fatwa tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank
Indonesia.

Mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance), kewenangannya berada pada Majelis Ulama
Indonesia (MUI), direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada
masing-masing Bank Syariah dan LKS. Dewan Pengawas Syariah bertugas memberi nasihat dan saran
kepada direksi agar kegiatan tetap berada dalam koridor syariah)

Perkembangan industri keuangan syari’ah khususnya sektor perbankan di negara Indonesia tentunya
membutuhkan sistem tata kelola yang menjamin tercapainya tujuan-tujuan LKS. Sistem tata kelola
lembaga keuangan syari’ah tentunya memiliki pendekatan yang berbeda dengan sistem tata kelola
perbankan umumnya. Hal ini disebabkan adanya keharusan bagi lembaga keuangan syari’ah untuk
memastikan terlaksananya prinsip-prinsip syari’ah pada seluruh produk, instrumen, operasi, praktek dan
manajemen perbankan syari’ah. Oleh karenya, perbankan syari’ah membutuhkan sistem tata kelola
yang dapat memastikan kepatuhan terhadap syari’ah (Ali Rama, 2015: 3)

Sistem tata keloa yang dimaksud adalah sistem tata kelola syari’ah atau biasa disebut dengan istilah
shariah goveranance (SG) bagi lembaga keuangan syari’ah. SG menurut Isra memiliki kesamaan dengan
konsep hisbah dalam sejarah. Dengan demikian sistem tata kelola syari’ah merupakan sistem tata kelola
yang unik yang hanya ada pada lembaga keuangan syari’ah. Salah satu elemen penting dari sistem
tersebut adalah keberadaan dewan syari’ah sebagai bagian struktur organisasi perusahaan (Isra,
2010:106). Lembaga keuangan yang menawarkan produk dan layanan syari’ah tentu harus memiliki
sistem tata kelola yang dapat memastikan prinsip syari’ah diterapkan dalam keseluruhan perusahaan.
Istilah tata kelola syari’ah atau shariah governance dimunculkan oleh lembaga berstandar internasional
seperti AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) dan IFSB (Islamic
Financial Services Board) sebagai bentuk sistem tata kelola bagi lembaga keuangan syari’ah

Sangat penting untuk memastikan semua aktivitas, transaksi dan operasi LKS mematuhi prinsip-prinsip
syari’ah dan moral Islam. Dewan Pengawas Syari’ah sebagai elemen penting dari shariah governance
menjadi lembaga ideal yang dapat menjalankan fungsi muhtasib sebagai institusi internal dari sistem
hisbah dalam konteks LKS modern. ruang lingkup kerangka shariah governance meliputi aspek exante
dan ex-post kepatuhan syari’ah. Ex-ante merujuk kepada proses penerbitan fatwa dan penyebarannya.
Sementara ex-post merujuk kepada proses review sharia internal secara periodik dan tahunan. Adapun
proses ex-ante melalui tahapan pengajuan proposal produk, dokumentasi hukum, review syari’ah dan
penyebaran fatwa. Sementara proses ex-post terdiri dari review syari’ah secara berkala dan tahunan (Ali
Rama, 2014: 8). Hassan dkk (2013) dengan membagi aspek tata kelola syari’ah menjadi 4 (empat) aspek
utama, yaitu regulasi, struktur organisasi, proses dan fungsi dewan pengawas syari’ah. Adapun kerangka
regulasi tata kelola syari’ah tersebut dapat dijabarkan (Hassan, Dkk). Aspek regulasi berusaha untuk
melihat bagaimana kerangka hukum pengaturan sistem tata kelola syari’ah. Apakah diatur dalam bentuk
undang-undang tersendiri yang terpisah dari konvensional dan juga apakah diatur dalam bentuk
peraturan dan guideline. Sistem tata kelola syari’ah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah. Konsep teknis dan operasionalnya selanjutnya dijabarkan dalam bentuk Peraturan
Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Sistem tata kelola syari’ah diatur dalam
bentuk undang-undang dan guideline yang dikeluarkan. Di Indonesia, sistem tata kelola syari’ah
berdasarkan UU No. 21/2008 menempatkan DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) sebagai pihak penting
dalam pengawasan kepatuhan prinsip-prinsip syari’ah di internal perbankan syari’ah. DPS bertugas
memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan LKS agar sesuai dengan prinsip
syari’ah. Selanjutnya pada level nasional, ada lembaga bernama Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang
dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk
menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Dengan demikian, DPS adalah perpanjangan tangan dari DSN untuk
melakukan pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh
DSN. Meskipun UU Perbankan Syari’ah tidak memberikan penjelasan yang rinci namun dijelaskan lewat
PBI ini secara umum menjelaskan tentang konsep GCG serta bagaimana peran masing-masing dari
Dewan Komisaris, Direksi, Komite-Komite, dan Dewan Pengawas Syari’ah. Dalam PBI ini juga dijelaskan
tentang format self assessment pelaksanaan GCG pada bank syari’ah. Pada bagian pengawasan syari’ah
dijelaskan tentang mekanisme pengangkatan anggota DPS, masa jabatan, tugas dan tanggung jawab,
mekanisme pelaporan hasil pengawasan DPS dan sanksi bagi DPS yang tidak melaksanakan
kewajibannya Meskipun guidelines ini cukup menyeluruh tapi belum bisa disebut sebagai model
kerangka SG yang menyeluruh bagi LKS. Format guidelines GCG ini cenderung hasil penyesuaian dengan
guidelines GCG bagi bank dan lembaga keuangan konvensional yang sudah dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebelumnya. Bedanya hanya terletak pada keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah dalam
struktur organisasi perusahaan (Ali Rama, 2016:7).

Struktur organisasi dari sistem tata kelola syari’ah bermakna bagaimana struktur kelembagaan proses
pengawasan kepatuhan syari’ah. apakah struktur kelembagaan menganut pendekatan sentralisasi atau
independen. Sehingga berdampak pada keberadaan struktur organisasi pengawasan syari’ah pada level
nasional dan level perusahaan. Berdasarkan kerangka regulasi, struktur tata kelola syari’ah bagi
perbankan syari’ah di Indonesia manganut 2 (dua) level pengawasan, yaitu pengawasan oleh Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) pada level nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) pada level internal
perusahaan. Kedua jenis lembaga pengawas syari’ah ini disebut dalam UU No. 21/2008 dan PBI No.
6/24/ PBI/2004. DSN adalah lembaga bentukan MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang bertugas untuk
mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariat) dalam bentuk fatwa
untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari’ah. Status keorganisasian
DSN adalah organisasi non-pemerintah tetapi fatwa yang dikeluarkannya bersifat mengikat bagi industri
keuangan syari’ah sebagaimana termaktub dalam Pasal 26 UU No.21/2008 tentang Perbankan Syari’ah.
Pada level perusahaan terdapat DPS yang melakukan pengawasanpelaksanaan fatwa DSN tentang
prinsip syari’ah. Proses pengangkatan anggota DPS

merupakan hasil kerjasama antara Bank Indonesia (BI)/Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan DSN.
Dengan demikian, DPS berperan dalam menjembatani hubungan antara BI sebagai organisasi
pemerintah dan DSN sebagai organisasi nonpemerintah. Dengan demikian, Indonesia menganut sistem
sentralisasi dan standarisasi fatwa keuangan syari’ah yang level pengawasannya pada industri dilakukan
oleh DPS. Hubungan antara DPS dan direksi dalam struktur organisasi perusahaan adalah hubungan
koordinasi, yaitu DPS dapat memberikan nasehat dan saran kepada direksi terkait pelaksanaan prinsip
syari’ah. Tugas dari Dewan Pengawas Syari’ah menurut UU No.21/2008 tentang Perbankan Syari’ah
adalah untuk memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan agar sesuai
dengan prinsip syari’ah. Operasionalisasi dari tugas DPS tersebut selanjutnya yaitu: (i) memastikan dan
mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bterhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; (ii) menilai
aspek syari’ah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan bank; (iii) memberikan
opini dari aspek syari’ah terhadap pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan
publikasi bank; (iv) mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa
kepada DSN; dan (v) menyampaikan laporan hasil pengawasan syari’ah sekurang kurangnya setiap enam
(6) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syari’ah Nasional dan Bank Indonesia, OJK.(Ahmad Syaroza,
2008) Kesemua struktur, tanggung jawab dan fungsi ini ditujukan kepada pemenuhan prinsip syariah
oleh LKS dan merupakan suatu yang urgent. Sesuatu LKS yang beroperasional dengan hilah atau trik
menyimpan atau mengaburkan transaksi ribawi dapat dihindarkan karena hilah adalah bentuk fraud
atau kecurangan. Fraud ini menyebabkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terutama umat Islam yang
berjumlah mayoritas dan ingin bertransaksi dengan cara yang sesuai syariah dengan menghindari riba,
maysir dan ghoror

SUMBER 2

Pendirian bank Islam di Indonesia, pasa awalnya, tidak disetujui, karena dianggap memiliki kaitan
dengan gerakan kaum fundamentalis yang akan mendirikan negara Islam. Selain itu, Undang-Undang
Perbankan Indonesia (UUPI) tidak mengenal sistem atau tidak memberikan ruang bagi beroperasinya
bank tanpa bunga. UU tersebut adalah UU Pokok Perbankan No. 14 tahun 1967 Bab I, yang
mengharuskan setiap transaksi kredit disertai dengan bunga.

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia diawali dengan adanya Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
yang beroperasi secara syariah. Pada tahun 1988, BPR Berkah Amal Sejahtera pertama kali beroperasi
secara syariah. Di mana, pada tahun 1991 terdapat tiga BPR yang beroperasi berdasarkan prinsip
syariah yaitu BPRBerkah Amal Sejahtera, BPR Dana Mardhatillah, dan BPR Amanah Rabbaniyah. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada akhirnya menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18-20 Agustus 1990.

 Hasil dari lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih lanjut pada Musyawarah Nasional
Keempat MUI di Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Kemudian dari hasil Munas IV MUI ini
dibentuklah kelompok kerja yang diberi nama Panitia Persiapan dalam Usaha Berdirinya Bank
Bebas Bunga,” serta dibentuk pula kelompok “Panitia Kecil Penyiapan Buku Panduan Bank Bebas
Bunga.” Kedua kelompok tersebut kemudian menyatu yang kemudian terbentuklah Tim
Perbankan MUI yang terdiri dari seluruh anggota panitia kecil buku panduan dan sebagian
anggota pantita besar. Tim Perbankan MUI terus melakukan sosialisasi serta lobi untuk
mempersiapkan pendirian bank syariah pertama di Indonesia kepada menteri dan para pejabat
tinggi, yang pada akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim ini berhasil menemui Presiden
Soeharto untuk menyampaikan ide pendirian bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip
syariah. Beberapa kendala yang dihadapi oleh bank syariah pertama:
 Pemahaman masyarakat
 Sumber daya manusia
 Dukungan operasional (dana)
 Hukum yang mendasari
 Dukungan pemerintah
 Accountability

SUMBER 3

Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system
atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk
menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara
bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung
mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-
sektor perekonomian nasional.

Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan
alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan
aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan
persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan.
Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema
keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel
dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan
instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor
riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan
produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat
juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem
keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki
landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan
progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65%
pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam
mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia


Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara
pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank
Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara
lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend
perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan
syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat
lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia
(ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah
internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.

Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi


masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah
pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya,
seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan
kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat
nasional.

“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran
pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk
menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu
pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan
syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya
integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.

Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang
potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk
menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.

Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan
syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa
terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi
syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi
oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa
ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem
perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai
bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.

Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah


Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia
telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi
komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010
sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah
nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan
produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan
perbankan syariah lebih dari sekedar bank.

Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand
strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun
pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50
triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah
Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar
Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah
Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar
Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.

Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan
branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam,
transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user
friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding
adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.

Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang
secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi
semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.

Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang
didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor
yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.

Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan
teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu
mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap
memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai
sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

NOMOR 3

https://ar-ar.facebook.com/notes/keuangan-syariah-independen/agar-akad-syariah-tidak-jatuh-pada-
riba-oleh-agus-rijal-abu-yusuf/484183990364/

https://pengusahamuslim.com/5916-murabahah-bank-syariah-100-persen-riba.html

https://konsultasisyariah.com/10563-hukum-kpr-syariah.html

https://www.kompasiana.com/dina07699/5af7fdfabde5755fbe7ddf22/riba-dalam-perbankan-
syariah?page=all

SUMBER 1

menyatakan bahwa transaksi Murabahah itu sebenarnya pada hakekatnya adalah transaksi hutang-
piutang. Kita tahu bahwa Murabahah adalah transaksi jual beli dimana baik penjual dan pembeli sama-
sama mengetahui harga beli barang yang ditransaksikan. Penjual dan pembeli juga sepakat dengan
margin bagi hasil yang diambil penjual dalam transaksi jual beli tersebut. uncinya adalah bahwa setiap
akad hutang-piutang, maka keuntungan atau tambahan yang dipersyaratkan dan disepakati kedua belah
pihak dari pokok pinjaman adalah riba.

Hal ini didasarkan pada sebuah hadits dimana sahabat Fudholah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (HR. al-Baihaqy).
Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan
lain-lain.

Bagaimana mengetahui apakah transaksi yang ditawarkan sebuah bank itu akad hutang-piutang ataukah
murabahah? Contoh, dua pertanyaan di bawah ini cukup untuk menjawabnya:

1. Siapakah pihak yang mendatangkan barang itu (selaku penjual) kepada kita (selaku pembeli)? Bila
bank yang mendatangkan barang itu (misal rumah) kepada kita, artinya bank sebagai penjual, maka
transaksi itu masuk perniagaan biasa (murabahah) dimana kita selaku pembeli. Tetapi apabila kita
(sebagai pembeli) justru yang mendatangkan barang itu kepada bank, untuk mereka beli lebih dulu, lalu
dijual kepada kita lagi, maka hal itu berarti masuk akad hutang-piutang.

2. Kepada siapa kita (selaku pembeli) mengajukan keberatan atau komplain jika ada masalah terhadap
barang yang kita beli melalui akad itu, baik karena kerusakan atau cacat? Bila bank tidak mau menerima
komplain dan tidak bertanggungjawab terhadap kerusakan atau cacat barang yang kita beli dalam akad
itu, berarti bank tidak berlaku sebagai penjual (yang harusnya bertanggungjawab tentang hal itu). Ini
berarti akad yang terjadi bukanlah murabahah, melainkan hutang-piutang. Namun bila bank mau
bertanggungjawab, maka bank menempatkan dirinya selaku penjual, sehingga akadnya masuk kategori
Murabahah biasa. Belum lagi status Down Payment (DP) dalam transaksi sewa beli ini yang selalu
dipersyaratkan. Hal ini semakin menidakjelaskan status kepemilikan barang tersebut.

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam perniagaan berdasar syariat Islam, yang dibenarkan mengambil
keuntungan adalah orang yang memiliki kewajiban menanggung kerugian jika hal itu terjadi.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya seorang lelaki
membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu.
Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli
mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi pun memutuskan agar
budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan
budakku?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keuntungan adalah imbalan atas
kerugian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy, an-Nasai dan dihasankan oleh al-Albani)

Berdasarkan keterangan di atas, maka proses jual beli rumah melalui KPR Syariah iB terlihat bahwa
pembeli rumah adalah mereka yang juga mencari rumah, yang lalu diserahkan ke bank untuk dibeli,
untuk kemudian dijual lagi kepadanya. Berarti barang bukan berasal dari bank. Dan apabila ada
komplain terhadap rumah itu, pembeli rumah mengarahkan komplainnya kepada developer rumah, dan
bukan kepada bank selaku penjual dalam akad murabahah dengan pembeli.

Ini berarti, proses KPR di bank syariah pada hakekatnya adalah akad hutang-piutang, meski secara hitam
di atas putih akad murabahah. Dengan demikian, pengenaan margin keuntungan oleh bank kepada
pembeli pada hakekatnya adalah tambahan atas pokok pinjaman yang jatuh kepada riba --menurut
penjelasan di atas. Perubahan sekedar nama menjadi Murabahah itu tidak mengubah status hukumnya
sebagai hutang-piutang. Padahal, pengubahan sebutan akad yang demikian itu tergolong sebagai
manipulasi syariat, yang dosanya berlipat-lipat. Nabi SAW. bersabda, Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melakukan apa yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan
sedikit tipu muslihat.” (HR. Ibnu Baththah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)

Jadi, bagaimana dengan KPR kita di bank syariah? Bukankah demikian yang terjadi di lapangan? Apakah
itu berarti, akad wakala dan wa’id yang menjustifikasi proses bank mendapatkan rumah yang kita selaku
pembeli upayakan hanyalah akal-akalan agar bisa dibentuk akad murabahah antara bank dengan kita?

Ada 2 istilah yang lazim digunakan dalam akad sewa beli, yaitu Ijarah Muntahiya Bittamlik dengan
menyandarkan pada akad Murabahah (jual Beli) dan Musyarakah Mutanaqishah yang menyandarkan
pada kerjasama kepemilikan.

Pada prakteknya, yang jadi persoalan adalah manakala nasabah mengalami ketidak mampuan bayar
atau pembatalan akad/ pengakhiran sewa beli dalam masa kontrak, baik keterlambatan atau bahkan
ketidakmampuan sementara, bahkan hingga ketidakmampuan yang lebih berat lagi. Jika di denda jelas
tambahan biaya tersebut sebagai riba, jika dibebaskan kemungkinan kecil bisa terjadi, apalagi menurut
skemanya adalah akad tijaroh (bisnis). Begitupun dalam penyitaan aset, umumnya nasabah dalam posisi
yang kurang menguntungkan.

Mengenal 2 Induk Akad Syariah

Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi berkata, “Tidaklah ada orang yang sudi menanggung riba,
selain orang yang sedang terhimpit oleh kebutuhan dan kesusahannya. Sehingga, seharusnya orang yang
demikian ini dikasihani, disayangi dan ditolong. Oleh karena itu, orang-orang semacam ini biasanya
berhak untuk menerima sedekah. Andaikata kita tidak bersedekah, maka paling tidak kita tidak meminta
tambahan/bunga atas piutangnya. Akan tetapi, bila kita tetap juga meminta tambahan atas piutangnya,
maka sikap ini menunjukkan, bahwa kita benar-benar tidak memiliki rasa iba dan sangat berambisi untuk
menumpuk harta. Sudah barang tentu sikap ini tidak layak bagi orang yang beriman, bahwa ia akan
meninggalkan kehidupan fana ini.” (Mahaasin al-Islam oleh Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-
Hanafi, hal. 84)

Ucapan senada juga diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah, “Pada asalnya, tidaklah ada orang yang sudi untuk
bertransaksi dengan cara riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Bila tidak, maka sudah
barang tentu orang yang dalam kelapangan tidak mungkin rela untuk membeli barang seharga 1.000
dengan harga 1.200 dengan pembayaran dihutang (dicicil), bila ia benar-benar sedang tidak
membutuhkan uang 1.000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang melebihi
harga semestinya hanyalah orang yang sedang dalam kesusahan (tidak mampu menutupi keuangannya
secara kontan). Sehingga perbedaan harga kredit dengan kontan tersebut merupakan tindak kezhaliman
kepada orang yang sedang mengalami kesusahan dan riba benar-benar terwujud padanya tindak
kezhaliman kepada orang yang sedang kesusahan.

Oleh karenanya, riba sebagai lawan dari sedekah. Hal ini karena Allah tidaklah membebaskan orang-
orang kaya, hingga mereka menyantuni orang-orang fakir karena kemaslahatan orang kaya dan juga
fakir dalam urusan agama dan dunia tidak akan terwujud dengan sempurna, melainkan dengan cara
tersebut.” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hal. 116)

Dikarenakan alasan yang sangat mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk
dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba.

Secara garis besar, akad syariah dapat ditarik dari 2 kepentingan yaitu; Tijaroh (bisnis) dan Tabarru (Al
Qard Al Hasan). Dalam tijaroh meliputi transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya
jual beli (murabahah), sewa-menyewa, syirkah (penggabungan yang meliputi musyarakah dan
mudharabah, dll. Sementara dalam tabarru meliputi transaksi yang bertujuan memberikan bantuan
uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain (Al Qardh Al Hasan), misalnya hutang-piutang,
hibah (takafuli/ ta’awun/ asuransi) dan lain-lain. Juga transaksi yang bertujuan memberikan jaminan
kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan hilang, misalnya pegadaian/ jaminan dan lain-lain.
Riba adalah benang merah yang dapat muncul diantara tijaroh (bisnis) dan tabarru (kebajikan).
Mengapa? Karena pada hakikatnya manusia cenderung menghindari kerugian, ketidakpastian,
kehilangan keuntungan, dll. Sehingga dengan adanya tambahan yang lebih menjanjikan (guarranted)
lebih disukai. Dalam investasi (bisnis), baik tijaroh maupun tabarru, pemilik uang tidak ingin rugi dan
ketika meminjamkan berharap sepenuhnya harta kembali. Selain itu yang dipinjamkan bernilai investasi,
maka berharap bertambah dikemudian hari.

Solusi

Ketika permasalahan ini Penulis (financial planner) ungkapkan baik pada praktisi keuangan maupun
nasabah, banyak yang komplain karena bukan pada tempatnya. Maksudnya, kebijakan seperti ini
seharusnya masuk wilayah kajian Dewan Syariah Nasional, dan saat ini kita dituntut untuk menghormati
fatwa-fatwa yang sudah dikeluarkan. Untuk itulah Penulis berusaha mengedepankan solusi ini agar bisa
menjadi wacana, dan syukur-syukur bisa diterapkan di lembaga keuangan saat ini. Lebih jauh lagi dapat
mensinergikan peran lembaga keuangan komersial dengan lembaga zakat.

Perencanaan keuangan (financial planning) pribadi/ keluarga tak lepas dari sistem pengelolaan
keuangan secara makro (umum), yaitu terkait sistem ekonomi dan lembaga keuangan. Ada bebrapa
praktek lembaga keuangan saat ini yang tidak syariah, ilustrasinya seperti ini (diambil dari kasus nyata);
contoh; akad murabahah leasing (jual beli dan sewa), misalnya kendaraan bermotor dibeli dari dealer
harga 15 juta kemudian dijual ke konsumen oleh lembaga pembiayaan 22 Juta dengan dicicil 600 ribu
untuk 35 kali dengan DP 1 juta, status sewa beli.

Intinya akad ini menghindari akad kredit yang mengandung riba. Namun, jelas dilihat dari skenario ini
kurang memenuhi unsur pemberdayaan dan lebih memperdaya. Ujung-ujungnya ya konsumen harus
membayar lebih mahal kan untuk suatu produk konsumsi. Padahal kendaraan itu kalau dijual lagi paling
laku 9 jutaan setelah 35 bulan kemudian. Konsumen 2 kali dirugikan, pertama dari 15 ke 22 juta saja
margin yang tidak wajar dalam jual beli (untuk menghindari riba maka akad jual di mark up oleh leasing).
Kedua, dari penyusutan nilai jual menjadi 9 juta (15-9 juta =6 juta). Total nilai “kerugian secara uang”
bagi konsumen sekira 13 juta atau setara 60%, yang jadi pertanyaan adalah benefit yang didapat dari
cicilan tersebut apakah menjadi lebih dari 60%, artinya jika penghasilan 1 juta saat mencicil dengan
kendaraan tersebut 35 bulan kemudian setara/ naik menjadi 1,6 juta tidak? Hal ini untuk mengukur
bahwa utang itu bersifat produktif atau konsumtif.

Belum lagi ada yang mensyaratkan denda (pada kasus ini nasabah masih harus nombok 2 juta agar BPKB
bisa diambil). Kerancuan status sewa beli ini adalah utang piutang. Dalam surat Al Baqarah ayat 280;
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Hanya
ada 2 kemungkinan bagi penghutang (debitur); diringankan/ ditangguhkan, dan dibebaskan. Nah praktek
ini tidak mungkin dilakukan katanya, bagaimana pun perusahaan (kreditur) tidak mau rugi dengan
membebaskan. Maka Al Qur’an sudah memberikan solusi dengan menurunkan ayat ke 60 surat At
Taubah, dimana gharimin berhak mendapat santunan (senada dengan tafsir surat Al Baqarah ayat 275-
281, kitab Fi Zilalil Qur’an karya Sayid Qutubh). Namun kriteria gharimin tersebut juga sangat tegas,
sehingga jarang sekali lembaga zakat yang menyalurkan dananya untuk menyelesaikan masalah ini,
sehubungan dengan kriteria gharimin yang seperti apa yang berhak disantuni untuk membebaskan
hutangnya (konsumtif, produktif, atau benar-benar bangkrut/ pailit sama sekali).

Agar akad syariah ini tidak jatuh pada riba, solusi untuk akad pembiayaan ini ya dengan memetakan
dulu gambaran yang sebenarnya (tidak gharar), dengan mencampuradukan akad tijaroh (bisnis/
komersial) dan akad tabarru (kebajikan). Kenapa nasabah tidak dikenakan akad tijaroh murni (sewa beli)
tanpa melibatkan tabarru (kredit), karena lembaga keuangan ini termasuk komersial. Dimana dalam
akad barang yang digunakan tidak dibeli untuk sementara waktu tapi sewa, misalnya ongkos sewa 300
ribu per bulan atau 10 ribu per hari (komposisi ini dapat disesuaikan secara teknis, baik baku maupun
fleksibel yang ditentukan oleh nasabah dan pihak pembiayaan). Kemudian jika ingin memiliki barang,
nasabah diwajibkan menyetor 300 ribu untuk ditabung, jadi jika sudah 3 tahun (tabungannya sekira
10.800.00, jika diinvestasikan tentu nilainya akan lebih dari pokok yang disetorkan, sekalipun pada jenis
instrumen investasi yang konservatif).

Maka di tahun ketiga, nasabah sudah bisa memiliki kendaraan tersebut dengan membelinya seharga
tunai, setelah memperhitungkan biaya penyusutan barang setelah 3 tahun yang harganya lebih renda
dari harga baru (dalam kasus ini 3 tahun kemudian barang setara 9 juta dari harga baru senilai 15 juta).
Jika dalam masa kontrak terjadi masalah, misalnya ketidak sanggupan bayar, berarti yang harus dibayar
adalah sewanya, bukan keseluruhan tagihan. Jadi benar-benar akad bisnis (tijaroh), kalo sampai tidak
mampu lagi, atas sepengetahuan nasabah, tabungannya yang dijadikan biaya untuk membayar sewa.
Bukan malah didenda (riba), dll.

Status kepemilikan kendaraan jadi masih tetap milik perusahaan (sementara mengenai nama dalam
administrasi bukan jadi persoalan, hanya untuk memudahkan), yang penting dalam kontrak atau akad
jelas yang sewaktu-waktu barang dapat ditarik (jika diakad diperjanjikan nilainya, maka tabungan bisa
menjadi jaminan menggantikan kerugian atas perilaku nasabah yang baik dengan sengaja atau tidak
merusak barang sewaan).

Penjelasan tersebut berlaku untuk KPR, kartu kredit, dan produk-produk keuangan lainnya. Bahkan KPR
bank lebih memungkinkan sistem tersebut dilakukan (sewa dan saving). Jika selama ini tidak terjadi
praktek semacam itu solusi terbaik untuk menghindari riba hanyalah membeli tunai, jika masih
menggunakan jasa pihak ketiga (bank atau leasing) tetap belum memenuhi kaidah syariah karena
kerancuan dalam akad, jika tidak meluruskan skema akad

Sumber 2

Anda mungkin juga menyukai