Anda di halaman 1dari 31

MEMILIH MATERIAL DI BIDANG ARSITEKTUR

Ni Made Mitha Mahastuti


NIP.1985070620140922001

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa) karena berkatnyalah, tulisan ini dapat diselesaikan.
Tulisan memilih Material di Bidang Arsitektur ini disusun sebagai bagian dari
tugas-tugas selaku dosen, yang mesti mencari sesuatu agar dapat menunjang kegiatan,
dan untuk menambah wawasan materi perkuliahan khususnya, dan bermanfaat sebagai
pengetahuan yang menyangkut arsitektur pada umumnya.
Untuk mengerjakan tulisan ini, banyak foto-foto, kliping dan sebagainya, maupun
diskusi, wawancara dan lainnya. Tak kalah juga pentingnya adalah dorongan semangat,
bimbingan, masukan-masukan pemikiran dan sebagainya, yang semuanya memberi
kontribusi positif bagi penulis.
Ucapan terima kasih disampaikan untuk semua pihak yang telah berperan seperti
tersebut diatas, terutama Ibu Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka Saraswati, MT ( Ketua
Jurusan Arsitektur FT UNUD ) yang menugaskan membuat tulisan ini. Selain dari pada
itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak lainya yang telah
membantu memperkaya materi, baik melalui literatur, maupun wawancara.
Harapan penulis, semoga materi sederhana ini dapat mencapai tujuannya yaitu
memperkaya materi perkuliahan khususnya, dan pengetahuan arsitektur pada umumnya.

Denpasar, Juli, 2016


Penulis

Ni Made Mitha Mahastuti


NIP.1985070620140922001

i
ABSTRAK

Desain arsitektur dibuat untuk memenuhi salah satu kebutuhan hidup manusia,
ketika mendesain, tidak hanya diperlukan gambar yang bagus. Tetapi harus
diperhitungkan material yang harus dipilih untuk di gunakan.

Di satu sisi, material bangunan sangat banyak jenisnya dan perkembangannya


sangat pesat. Arsitek mesti mengikuti perkembangan tersebut. Dilain pihak, pemilik yang
akan menggunakan dan membiayai bangunan, mempunyai keterbatasan atau kendala.
Diperlukan pertimbangan untuk menentukan pilihan.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi


juga non teknis, ini dilakukan karena, karya arsitektur selain harus kuat dan indah (dari
segi teknis), tetapi juga memiliki kepuasan jiwa berdasarkan keyakinan tertentu.

Oleh karena itu arsitek sebagai perancang, harus melakukan pertimbangan-


perhitungan secara komprohensifagar serta menjalin komunikasi yang baik dengan
pemilik bangunan. Bersamaan dengan itu, arsitek juga harus terus menerus
memperhatikan perkembangan yang pesat di bidang (munculnya) jenis-jenis material
terkini.

Kata kunci : arsitektur – bangunan - material


DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ..........................................................................................................i


KATA PENGANTAR .....................................................................................................i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................iii

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan.............................................................................................1
1.2. Identifikasi .........................................................................................................2
1.3. Metode Penulisan ................................................................................................3

II. KAJIAN PUSTAKA


2.1. Jenis Material Bangunan ....................................................................................4
2.2. Persyaratan Arsitektur.........................................................................................8
2.3. Faktor yang Berpengaruh ...................................................................................14

III. MELAKUKAN PEMILIHAN


3.1. Dasar-dasar Pertimbangan ................................................................................18
3.2. Kendala yang Mungkin Dihadapi .....................................................................21
3.3. Menentukan Pilihan ...........................................................................................23

IV. PENUTUP
4.1. Simpulan ............................................................................................................25
4.2. Saran ...................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Melakukan pemilihan untuk penggunaan material di bidang arsitekttur,
merupakan hal penting dan tidak mudah. Meskipun desain sudah bagus, tetapi jika
material tidak tepat, maka hasilnya akan tidak sesuai harapan. Masalahnya, bentuk saja
belum cukup. Bentuk yang sudah tercipta dengan baik, perlu disertai dengan penggunaan
material yang tepat. Sebab, tanpa material yang sesuai, bisa jadi bentuk yang tadinya
sudah bagus atau indah, berubah menjadi kacau atau tidak serasi atau bisa juga “merusak
pemandangan”.
Selanjutnya perkembangan teknologi yang terus menerus mengalami percepatan,
juga menghasilkan berbagai produk material bangunan. Keanekaragaman produk itu
disertai dengan promosi yang gencar dari penjual, seringkali menimbukan kebingungan,
khususnya di pihak konsumen (masyarakat). Kebingungan ini muncul bukan karena
produk yang bermutu rendah, atau desain yang jelek; tetapi justru karena sangat banyak
yang bagus. Jadi konsumen dihadapkan pada pilihan yang sama-sama menggiurkan.
Selain dari pada itu, khususnya di Bali dan lebih khusus lagi bagi pemeluk agama
Hindu, seringkali juga mengalami pemikiran ekstra hati-hati, apabila akan memilih
material bangunan terutama yang terkait dengan keyakinan keagamaan. Baik untuk
bangunan tempat suci (parhyangan), bangunan tempat tinggal (pawongan), serta
bangunan untuk fasilitas umum (palemahan). Hal-hal semacam itulah yang melatar
belakangi timbulnya keinginan untuk menampilkan topik tentang bagaimana memilih
material bangunan.

2. Maksud dan Tujuan


Bagi penulis, kajian atau tinjauan yang disusun menjadi tulisan ini memiliki
maksud dan tujuan untuk selalu mendapatkan hal-hal yang bersifat analitis/kritis di dalam
setiap langkah untuk pengambilan keputusan. Termasuk memilih material bangunan
tentunya. Hal ini perlu, mengingat sering kali terjadi tindakan-tindakan atau langkah-
langkah atau pemikiran-pemikiran dari kalangan akademis (termasuk penulis sendiri)
yang barangkali dalam keadaan tertentu, seolah-olah melakukan atau mencetuskan

1
pernyataan yang terkesan kurang sistematis dan analitis. Jadi upaya ini sebagai alat untuk
introspeksi, bersamaan dengan mencoba menemukan hal-hal baru yang dibawa oleh arus
teknologi yang deras.

1.3 Identifikasi
Mengangkat material bangunan sebagai topik, sebelumnya dapat diidentifikasikan
beberapa permasalahan :
a. Material-material alami memiliki keterbatasan, baik ketersediaan pada
sumbernya maupun keanekaragamannya.
b. Semakin beragamnya jenis material bangunan, terutama material yang
dihasilkan oleh industri besar (produk teknologi), menimbulkan
“kebingungan” pihak konsumen (masyarakat).
c. Perilaku masyarakat yang cenderung membeli asal murah (bagi kelas
menengah ke bawah). Sebaliknya, masyarakat dari golongan menengah ke
atas, cenderung membeli atau mempergunakan material yang asal mahal.
Semua itu belum menjamin tampilnya sosok bangunan yang estetis.
d. Promosi atau cara memperkenalkan produk material bangunan pada umumnya
dilakukan dengan pemaparan yang tidak berimbang oleh-oleh pihak produsen
(penjual). Jarang terjadi suatu presentasi yang bersedia mengakui kelemahan
atau keterbatasan produknya.
e. Seringkali juga terjadi bahwa material-material bangunan yang sudah
terpasang, kemudian dibongkar lagi, karena ternyata hasil yang diinginkan
tidak tercapai. Ini akan menimbulkan kerugian, baik menyangkut biaya,
waktu, dan juga sangat penting adalah kerugian psikologis. Misalnya
menurunnya rasa percaya diri, adanya rasa malu, kecewa dan sebagainya.
f. Para pekerja (tukang) memerlukan adaptasi terhadap setiap bangunan baru,
sehingga memerlukan waktu ekstra dan kemampuan khusus untuk
mengerjakannya.

2
1.4 Metode Penulisan
Tulisan ini disusun dengan lebih banyak mengacu kepada kepustakaan (literatur).
Terutama yang sangat terkait dengan bahasan tentang material bangunan. Sumber lainnya
adalah materi yang menyangkut perihal desain, khususnya estetika visual (arsitektur, seni
rupa atau sejenis dengan itu). Sedangkan mengenai permasalahan yang menjadi obyek
pengamatan, dilihat pada gejala-gejala atau kejadian-kejadian yang sering bisa diamati di
masyarakat. Misalnya di toko material bangunan, di lokasi pembangunan (proyek)
ataupun pada pekerjaan yang bersifat perencanaan suatu desain arsitektur.

3
II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Jenis Material Bangunan


Untuk memudahkan dalam membedakan jenis material bangunan, material
bangunan yang akan dibahas pada tulisan ini dibedakan menjadi dua yaitu jenis menurut
terjadinya dan menurut penggunaannya.

2.2.1 Menurut Terjadinya


a. Material Alami
Material ini terjadi dengan sendirinya langsung dari alam dalam bentuk yang asli.
Dipergunakan sebagai material bangunan tanpa mengubah fisiknya, hanya saja dalam
penempatannya pada bangunan, memerlukan penyesuaian seperti, ukuran bentuk maupun
warna dan sebagainya. Material alami memberikan kesan yang akrab, sejuk dan
bersahaja, sebagaimana seringkali dapat terlihat pada wujud arsitektur tradisional suatu
daerah (Bali, Jawa, Toraja dan sebagainya). Pada arsitektur modern, penggunaan material
alami semakin banyak dilakukan, dalam arti tidak hanya volumenya yang banyak tetapi
juga pada keaneka ragaman penempatan. Di bangunan rumah tinggal, perkantoran,
tempat-tempat rekreasi, hotel-hotel dan sebagainya, dapat dilihat dengan mudah begitu
banyaknya material alami dipergunakan. Baik sebagai jalan setapak, pagar pembatas,
pinggiran kolam renang, sampai kemudian masuk ke dalam ruangan (lantai, dinding, atau
aksesoris lainnya).
Contoh-contoh yang paling jelas adalah batu-batuan, kayu, bambu, material-
material dari tanah, dan sebagainya.

b. Material Buatan
Jenis ini merupakan produk yang dibuat dengan diolah terlebih dahulu, dan setelah
menjadi material, tidak dapat dikenali lagi material baku aslinnya. Terlebih-lebih dengan
perkembangan teknologi yang sangat pesat, produk-produk tersebut dapat dibuat dalam
berbagai bentuk, corak, dan warna. Seringkali pula produk tersebut dapat dibuat dengan
meniru atau merupakan imitasi dari material alami. Material buatan sudah ada sejak lama,
terutama dipergunakan sebagai hiasan atau dekorasi, atau sebagai alat bantu lainnya.

4
Contoh adalah keramik, kunci-kunci pintu, kaca, berbagai jenis logam, plastik dan
lain sebagainya.

2.2.2 Menurut Penggunaannya


Penggolongan material bangunan menurut penggunaannya dapat dilihat dari
berbagai segi. Misalnya digolongkan atas fungsinya pada bangunan. Material dapat
berfungsi sebagai struktur atau dapat juga berfungsi sebagai dekorasi saja, tanpa
menentukan kekuatan bangunan.
Ada juga digolongkan atas cara memberlakukannya pada pengerjaan bangunan.
Misalnya dicampur dengan material-material lain, atau perlu penyesuaian temperatur
(panas, dingin) dan sebagainya. Penggolongan yang lain adalah dalam hal penggunaan
material untuk keperluan di luar gedung (alam terbuka) dan di dalam gedung (relatif
terlindung).
Bagi masyarakat kebanyakan, penggolongan ini lebih dirasakan keberadaanya.
Material-material yang dipergunakan di ruang terbuka menghadapi tantangan yang
berbeda dibandingkan dengan material untuk didalam gedung. Tantangan tersebut
khususnya menyangkut cuaca; kekuatan dan cara perawatan untuk mempertahankan
keberadaanya.
Material-material yang sering ditimpa sinar matahari; dan sekaligus menerima
curah hujan pada musimnya; menuntut ketahanan terhadap cuaca. Demikian pula
material-material yang difungsikan untuk menerima beban berat, menuntut kekuatan yang
sesuai; serta untuk mempertahankan dalam waktu lama, itu memerlukan perawatan yang
teratur (diawetkan,dilapisi,dibersihkan, dan sebagainya).

2.2.3 Menurut Sifatnya


Material bangunan menurut sifatnya dapat dibedakan atas dua golongan sifat yaitu
sifat-sifat fisik dan sifat-sifat kimiawi.
a. Sifat fisik
Sifat fisik adalah keadaan yang terkandung pada suatu material, menyangkut
kekuatannya terhadap beban-beban yang dipikul (gaya yang dipikul). Ada material

5
yang kuat terhadap gaya tekan, demikian pula ada yang kuat menghadapi gaya tarik,
lentur dan sebagainya.
Baik material alami, maupun material buatan, mereka sama-sama memiliki sifat
serupa itu. Batu alam, beton, besi, kayu dan sebagainya sama-sama lebih tahan
mengahdapi gaya tekan dibandingkan material lainnya seperti kawat/kabel baja,
bambu, kayu, atau lainnya yang lebih tahan terhadap gaya tarik. Sifat fisik tidak dapat
ditambahkan begitu saja pada material untuk meningkatkan kekuatannya. Mereka
memiliki ukuran kekuatan yang khas dan tertentu. Seperti material kayu dan bambu.

Gambar 2.1: Material Kayu & Bambu

6
b. Sifat Kimiawi
Sifat kimiawi adalah sifat material sehubungan dengan kelakuan material tersebut
terhadap reaksi-reaksi kimi. Ada material yang mudah berkarat (korosif), ada material
yang bisa meleleh atau hancur apabila disentuh atau dikenakan cairan tertentu, atau
ada pula yang hanya sekedar berubah warna.
Material-material dari logam yang tidak anti karat, memerlukan perhatian lebh,
terutama untuk daerah dekat pantai, atau di alam terbuka. Demikian pula cairan-
cairan (pembersih, pencampur, atau cairan kimia lainnya) sangat mudah
menghancurkan atau merusak material lain. Misalnya cairan pembersih keramik bisa
menghancurkan marmer sebagai salah satu contoh. Biasanya sifat-sifat kimia yang
sangat sensitive dimiliki oleh produk-produk industri (pabrik). Dapat dilihat pada
kemasan produk tersebut; bagaimana sifat dan bagaimana cara menggunakannya
dengan benar untuk mendapat hasil yang baik tanpa merusak yang tidak diinginkan.
Seperti contohnya material marmer dan besi.

Gambar 2.2: Material Marmer & Besi


7
2.2 Persyaratan Arsitektur
Suatu karya arsitektur dikatakan berhasil apabila memenuhi 3 aspek yaitu : fungsi
struktur, estetika atau dalam istilah populer : kegunaan, kekuatan, dan keindahan. Dengan
adanya 3 persyaratan tersebut, berarti bahwa material-material bangunan yang dipilih
atau dipergunakan pada perwujudan arsitektur, harus memenuhi dan mendukung syarat-
syarat yang dimaksud.

2.2.1 Fungsi
Fungsi yang paling mudah dikenali pada arsitektur adalah fungsi dalam arti “guna”
(peruntukan), untuk apa wujud itu diadakan. Misalnya tempat pendidikan, tempat
pertemuan, peribadatan, rekreasi dan sebagainya. Terkait dengan fungsi ini, tuntunan
wadah yang direncanakan adalah mengikuti konsep perencanaan, untuk selanjutnya
sampai pada kesan yang diinginkan. Material-material bangunan memiliki karakter
sendiri-sendiri yang keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk menampilkan kesan
tersebut. Misalnya : formal, akrab, lembut, keras dan sebagainya.

Gambar 2.3: Monas, Jakarta

8
2.2.2 Struktur
Perwujudan gedung-gedung bertingkat, berbeda dengan pembangunan menara,
atau berbeda dengan cara membuat jembatan, dalam hal pemilihan sistem strukturnya.
Dengan demikian material yang akan dipergunakan memerlukan pertimbangan sesuai
dengan konsep desain yang berbeda-beda itu.
Dalam hal teknik (arsitektur), struktur yang dimaksud adalah kesatuan elemen-
elemen pembentuk yang berfungsi atau merupakan kekuatan utama berdirinya bangunan.
Dengan penekanan pada segi kekuatan ini, maka material-material yang dipergunakan
sesuai pula dengan tuntutan kekuatan itu. Hal tersebut memerlukan perhatian lebih pada
sifat fisik material. Jenis-jenis struktur (sistem struktur) banyak macamnya, yang
penentuanya memerlukan berbagai pertimbangan tersendiri.

Gambar 2.4: Menara Eiffel, Paris, Perancis

2.2.3 Estetika
Secara umum, estetika berarti keindahan. Atau sesuatu yang menimbulkan kesan
kenikmatan visual dalam desain arsitektur. Dalam hal estetika ini, dikenal dengan adanya
kaidah-kaidah estetika, yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan lainnya;
menghasilkan tampilan yang estetik, yang dalam skala besar memberikan rasa kagum,
takjub dan respek. Dalam ukuran yang sederhana, estetika sudah dapat dikatakan berhasil,
apabila kesan yang ditampilkan tidak mengundang “komentar kontroversial”, melainkan
mampu menyenangkan bagi masyarakat luas. Diantara sejumlah kriteria untuk mengukur
estetika, yang paling erat dengan penggunaan material adalah harmoni, kontras,
keseimbangan, dan irama.

9
a. Harmoni
Harmoni atau keselarasan adalah keadaan dimana beberapa elemen desain
menghasilkan perpaduan yang saling menambah keindahan. Bentuk, tekstur dan warna
adalah beberapa elemen yang sangat berperan untuk itu. Harmoni terjadi dengan
adanya kedekatan atau kesesuaian antara bentuk-bentuk yang satu dengan yang
lainnya. Bentuk-bentuk yang tegas, baku dan patah-patah akan memancarkan harmoni
apabila disertai garis-garis lurus, tegas dan siku-siku. Sebaiknya akan terjadi kesan
tidak harmoni, jika bentu-bentuk yang kaku dan tegas berdampingan dengan yang
lengkung, lembut dan juga lingkaran. Harmoni akan lebih jelas lagi terlihat melalui
perpaduan warna. Sudah dirasakan secara umum bahwa warna merah dengan hijau
adalah dua warna yang tidak harmoni; karena posisinya di lingkaran warna adalah
berseberangan. Demikian pula biru dengan jingga, kuning dengan ungu, tidak akan
menghasilkan harmoni.
Sedangkan atau sebaliknya, harmoni akan terwujud apabila warna-warna yang ada
merupakan warna yang “bertetangga” pada lingkaran warna. Misalnya kuning dengan
jingga, coklat dengan cream dan sebagainya.
Contoh gambar harmoni:

Gambar 2.4 : Villa di Bali

10
b. Kontras
Secara umum suasana kontras berkonotasi negatif. Kebanyakan pandangan
menganggap bahwa kontras adalah keadaan yang sangat bertentangan, berlawanan
atau merusak pemandangan. Kontras menyebabkan suatu komposisi menjadi
terganggu, rusak, dan tidak indah. Tampilan yang kontras seringkali dianggap
“norak”,mengada ada atau sensasional; sehingga menimbulkan tanggapan yang tidak
menguntungkan atau reaksi yang minus. Keadaan serupa itu bisa saja terjadi; untuk
beberapa atau banyak kasus.
Namun sesungguhnya kontras adalah sebuah potensi estetis. Masalahnya adalah
bagaimana mengelola kontras menjadi penentu untuk sebuah tampilan, khususnya
pada desain arsitektur. Untuk itu, pada kaidah-kaidah desain ada beberapa cara untuk
menerapkan kontras. Misalnya untuk menjadi “focal point” (titik pusat perhatian)
pengikat sejumlah elemen “monotone”, akhir dari sebuah “squence” dan sebagainya.
Kontras bisa terwujud dengan pemilihan warna, bentuk, tekstur, skala dan sebagainya.

Gambar 2.5 : Sydney Opera House di Australia

11
c. Keseimbangan
Keseimbangan desain arsitektur merupakan suatu keadaan, dimana suatu tampilan,
atau sebuah komposisi memberikan kesan yang kompak, saling mengisi atau
melengkapi, sehingga memberikan kesan visual yang mantap (tidak berat sebelah);
memiliki poros yang kuat. Keseimbangan yang paling mudah ditampilkan adalah
keseimbangan simetri (serba sama). Keadaan ini bisa timbul; baik karena bentuk,
warna atau elemen-elemen lain, yang disusun sama persis sekitar sumbu (poros)
komposisi tersebut.
Keseimbangan simetri terkesan statis dan formal, sehingga dengan demikian adalah
memang pantas diterapkan pada fungsi-fungsi yang formal khususnya pada bagian
“façade” (tampak depan); kantor pemerintah, tempat ibadah dan sebagainya.
Keseimbangan yang lain adalah keseimbangan a-simetri. Elemen-elemen komposisi
ini susunannya tidak serba sama, poros pengikatnya tidak kasat mata, tetapi dapat
dirasakan adanya. Kedudukan poros (titik berat) tidak mutlak ditengah-tengah,
melainkan sesuai dengan kemajemukan elemen; dan terasa memiliki kedudukan yang
kuat untuk mengikat elemen-elemen disekitarnya. Keseimbangan ini memberikan
kesan dinamis, informal dan menggairahkan. Sesuai diterapkan untuk desain-desain
yang mengutamakan suasana santai; rekreatif dan lepas dari ikatan yang kaku.

Gambar 2.6 : Gedung Sate di Bandung

12
d. Irama
Sama dengan irama pada seni suara yang timbul karena permainan nada; irama pada
desain arsitektur terwujud dengan adanya permaianan elemen desain. Garis, bidang,
bentuk, warna, tekstur yang disusun dengan tatanan tertentu akan menghasilkan desain
yang estetis. Susunan itu terjadi, tergantung dari banyak sedikitnya elemen yang
membentuk komposisi, atau besar kecilnya cakupan desain. Iramapun memiliki
karakter atau kesan, seperti monotone, dinamis, lembut, tegas dan sebagainya.
Penerapan salah satu dari padanya, tergantung pada tujuan perancangan (fungsi).
Apabila desain mengutamakan atau merupakan wadah aktivitas yang bersifat formal,
maka irama yang statis sesuai untuk itu. Sedangkan untuk wadah yang menampung
kegiatan rekreatif, irama yang diterapkan adalah irama dinamis.

Gambar 2.7 : Masjid Istiqlal, Jakarta

13
2.3 Faktor-faktor yang Berpengaruh
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemilihan material bahan bangunan dalam
penulisan ini dibedakan menjadi dua yaitu faktor non teknis dan teknis.

2.3.3 Non-Teknis
Faktor non teknis yang dihadapi dalam hal memilih material bangunan; misalnya
adalah sosial-budaya, atau bahkan sosial politik. Faktor sosial budaya umpamanya
tentang keyakinan masyarakat terhadap boleh tidaknya mempergunakan suatu material
untuk bangunan tertentu. Ini terkait dengan tradisi, kepercayaan atau aturan tidak tertulis
yang masih ditaati oleh masyarakat. Misalnya di Bali. Bangunan tempat suci
(parahyangan) memiliki ketentuan untuk mempergunakan kayu, atau material lain,
sesuai dengan peruntukannya. Ketentuan itu masih ditaati tidak hanya untuk bangunan
parahyangan untuk masyarakat luas (desa, kelompok kekerabatan, atau bahkan jagat);
tetapi juga untuk bangunan parahyangan di lingkungan rumah masing-masing.
Aturan itu antara lain terdapat dalam lontar asta kosala-kosali, yang merupakan
seluk beluk tentang bangunan (arsitektur), termasuk fungsi, bentuk, ukuran, material dan
syarat-syarat lainnya. Faktor lainnya adalah faktor sosial ekonomi. Dalam hal ini,
memilih material ditentukan oleh keadaan ekonomi atau pertimbangan-pertimbangan
ekonomis. Misalnya kemampuan orang untuk membeli material, rencana penggunaan
bangunan (untuk dipakai sendiri, disewakan, dijual dan sebagainya) rencana umur
bangunan (sementara, permanen dan sebagainya).
Hal-hal itu memerlukan pertimbangan yang matang sehingga biaya yang
dikeluarkan untuk membangun (membeli material bangunan) tidak sia-sia, dan sesuai
dengan kemampuan. Dalam keadaan anggaran yang terbatas, prioritas yang lebih penting
adalah kekuatan dan keawetan, terutama material-material untuk struktur bangunan,
karena struktur sangat tidak mungkin dirubah secala berkala. Sedangkan material-
material untuk non struktur seperti diniding pemisah, material pelapis, dekorasi dan lain
sebagainya, bisa dipilih kemudian. Fsktor lain yang berpengaruh juga faktor sosial-
politik. Dalam hal ini, istilah yang tepat barangkali adalah “policy” pemerintah mungkin
saja menentukan kebijakan-kebijakan (langsung atau tidak) berhubungan dengan material
bangunan. Misalnya larangan membuat kapur dari karang laut.

14
Di suatu daerah yang tidak punya sumber alam sejenis kapur, tidak akan membuat
spesi dengan kapur. Penggunaan semen menjadi meningkat. Demikian pula dengan
halnya pasir, batu-batuan atau material-material yang tergolong galian C. Apabila lokasi
panggilan dianggap merusak kesimbangan alam, atau karena pertimbangan lain, bisa saja
material-material itu tidak akan ada lagi, sehingga perlu alternatif. Tidak berbeda pula
halnya dengan material bangunan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (kayu, bambu,
rotan, alang-alang, ijuk, dan sebagainya). Sangat mungkin juga, pemerintah menerapkan
aturan-aturan tertentu (mulai dari pembatasan sampai pelarangan) untuk menggunakan
material-material jenis tersebut, tergantung pada situasi yang dihadapi.

Gambar 2.8 : Bangunan Pura dengan Meru di Bali

2.3.4 Teknis
Pemilihan material bangunan secara teknis dapat dirasakan lebih nyata. Seperti
kecocokan antara material dengan kedudukannya pada bangunan; seperti material atap,
tembok, tiang dan sebagainya; yang paling penting disini adalah teknis (cara)
pengerjaanya. Material yang bagus, mahal dan kuat tidak akan menghasilkan bangunan
sebaik yang diinginkan, apabila teknis pengerjaanya tidak benar atau tidak tepat.
Pengerjaan yang benar dan tepat harus didukung oleh tenaga dan alat kerja yang sesuai.

15
Misalnya di suatu lokasi; untuk memasang atap alang-alang yang dianggap akan
bagus jadinya; setelah melihat bangunan sejenis di tempat lain yang bagus. Sedangkan di
tempat yang direncanakan ini tidak terdapat tenaga tukang dengan keahlian memasang
atap alang-alang, maka bangunan bangunan tidak akan selesai. Demikian pula untuk
material lain; seperti ijuk, dinding marmer, batu paras dan terlebih-lebih untuk material
kelengkapan sanitasi dengan teknologi modern (kloset, shower, urinoir, dan sebagainya).

Gambar 2.9 : Gotong Royong Masyarakat Bali

16
Di lain pihak, apabila tenaga tersedia, tetapi alat pendukung tidak ada, maka
bangunan tidak akan terwujud. Misalnya memasang kontruksi baja. Pekerjaan ini selain
memerlukan tenaga khusus, juga memerlukan alat bantu untuk menyambung besi.
Misalnya untuk mengelas. Dilokasi yang tidak terjangkau listrik, akan memerlukan alat
pembangkit listrik untuk pengelasan.

Gambar 2.10 : Pemasangan Kontruksi Baja

17
III. MELAKUKAN PEMILIHAN

3.1 Dasar-dasar Pertimbangan


Dalam memilih material bangunan yang tepat, dibutuhkan wawasan dan
pengetahuan yang cukup agar tidak salah dalam menempatkan material bangunan sesuai
peruntukannya.
3.1.1 Jenis Material di Bidang Arsitektur
Dengan adanya material bangunan yang beraneka ragam (menurut terjadinya,
menurut penggunaannya, dan menurut sifatnya), maka ada beberapa hal yang bisa
dipertimbangkan. Salah satunya adalah karakter tampilan yang diinginkan. Apabila
diinginkan karakter alami, akrab dan “cozy”, maka material yang cocok adalah material-
material alami (batu-batuan, kayu, bambu dan sebagainya).
Sebaliknya apabila diperlukan tampilan yang lux, mewah dan glamour, maka
lebih banyak dibutuhkan material-material eks-industri, dan bukan alami. Misalnya
berjenis-jenis kaca, lampu kristal (hiasan) berbagai logam mutu tinggi, serta aneka
macam warna buatan dan sebagainya.
Selain dari pada itu, hal yang perlu diperhitungkan adalah di bagian mana
material itu akan dipasang. Untuk elemen-elemen yang berada di luar gedung (alam
terbuka) perlu mempergunakan material-material tahan cuaca dan awet. Baik yang alami,
maupun buatan. Sudah banyak material buatan yang tahan terhadap cuaca. Perkembangan
berbagai aspek kehidupan dengan tuntutan yang terus berkembang, melahirkan berbagai
produk sesuai dengan tuntutan itu. Misalnya cat untuk dinding luar, kolam renang, jalan
setapak, pagar dan sebagainya.
Untuk elemen-elemen arsitektur yang terlindung dari cuaca luar, lebih sedikit
memerlukan pertimbangan. Hal ini disebabkan karena di dalam ruangan yang terlindung,
maka tantangan yang dihadapi lebih sedikit, terutama hujan, angin dan sinar matahari.
Namun demikian bagian-bagian yang memerlukan terang alami sebaliknya, harus
memenuhi tuntutan itu. Artinya di bagian dalam suatu bangunan, tetap memperhatikan
cuaca.
Jenis material bangunan yang akan dipilih perlu juga diketahui peranya pada
bagian mana akan ditempatkan (dipasang). Material-material yang berfungsi untuk

18
struktur/kontruksi harus diketahui sifat-sifatnya. Misalnya material yang akan berfungsi
untuk memikul beban gaya tekan, maka perlu dipilih material yang tepat untuk itu.
Demikian pula untuk fungsi yang lain. Sebagaimana terlihat dari bentuknya material-
material sejenis kabel, baja, kayu dan sebagainya adalah cocok untuk menahan gaya
tarik. Demikianlah, maka sifat material perlu dipertimbangkan untuk mendukung
kekuatan suatu gedung (desain arsitektur).

3.1.2 Persyaratan Arsitektur


Material untuk memperkuat tampilan arsitektur, selain menurut fungsi dan
struktur seperti tersebut di atas, adalah pertimbangan dari segi estetika. Dalam arti luas
estetika tidak hanya keindahan visual, tetapi lebih dari pada itu adalah indah dalam
pandangan dan pantas sesuai dengan konsep perancangannya. Material-material harga
mahal hampir pasti bagus dan berkualitas. Tetapi tidak mudah menempatkannya untuk
mencapai estetika. Sebaliknya material-material dengan harga murah belum tentu tidak
berhasil mewujudkan estetika.
Hal itu disebabkan karena estetika tidak ditentukan oleh “harga” suatu material,
melainkan kaidah-kaidah estetika itu sendiri, seperti : proporsi (proportion),
keseimbangan (balance), keserasian (harmony), kesatuan (unity), irama (rythym) dan
sebagainya. Jadi tidak ada aspek harga untuk menentukan estetika. Terlebih-lebih
masalah harga adalah masalah yang mengikuti hukum ekonomi, makin tinggi permintaan,
sedangkan penawaran terbatas, maka harga akan mahal dan demikian sebaliknya.
Sangat mungkin suatu material yang mula-mula berharga murah, karena setelah
ditempatkan secara tepat di bidang arsitektur, mampu tampil estetis; harga akan
meningkat. Contoh untuk itu adalah bangunan-bangunan lokal, khususnya di Bali.
Banyak arsitek yang berhasil mengangkat citra dan harga-harga material alami yang
tadinya murah setelah dipergunakan untuk bangunan misalnya : batu-batuan, jenis-jenis
kayu, alang-alang bahkan tanah (yang kemudian dengan dikenal Paras Taro).
Begitu pula batu andesit (batu lahar Gunung Agung, yang juga disebut batu tabas)
dengan warna hitam; meskipun permukaanya kasar, tetapi karena dipergunakan pada
desain yang terencana; akhirnya mampu tampil dengan nilai estetika yang tinggi.

19
Kebanyakan dipergunakan pada bangunan-bangunan tempat suci (Hindu); dan banyak
ditiru untuk fasilitas pariwisata (elemen lanscape, gerbang, papan nama dan sebagainya).

3.1.3 Pertimbangan Non Teknis


Memilih material kadang-kadang ditentukan juga oleh faktor non teknis. Yang
paling jelas adalah bagi masyarakat yang memiliki tradisi dan keyakinan yang kuat dalam
pandangan hidup. Suatu material yang secara teknis sebenarnya bisa dipergunakan, tetapi
ada keyakinan atau kepercayaan yang tidak mengijinkan penggunaannya. Misalnya ijuk
sebagai material atap rumah di Bali. Atau di suatu desa tidak diperkenankan
menggunakan bata merah.
Faktor non teknis bisa juga datang dari pemerintah (aturan formal), terutama
kalau tingkat kesadaran masyarakat belum sepenuhnya memadai. Terumbu karang; (Bali;
karang tombong) disukai orang untuk bangunan, terutama bangunan suci, karena selain
kuat dan awet; warna putihnya memberikan karakter kuat. Namun karena terumbu karang
merupakan bagian dari ekosistem di laut, maka untuk menjaga keseimbangan ekosistem
itu, pemerintah melarang untuk mengambil (mengganggu) karang tombong tersebut.

3.1.4 Pertimbangan Teknis


Material yang akan dipergunakan, secara teknis mutlak perlu pertimbangan.
Kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat material sangat menentukan. Memilih material untuk
tiang bangunan atau bagian-bagian yang menjadi pendukung utama (struktur) diutamakan
kekuatannya. Dan secara teknis (ilmiah) dapat dipertanggung jawabkan. Demikian pula
bagian-bagian bangunan yang seringkali lembab/basah, atau seringkali panas akibat
tuntutan fugsi, memerlukan pertimbangan daya tahan kimiawi (keawetan). Namun tidak
dapat juga dilupakan faktor teknis pekerjaan terutama daya dukung kemampuan tenaga
kerja. Banyak produk baru yang masih asing bagi tenaga kerja.
Mereka perlu bimbingan untuk memulai pengerjaannya. Dan itu membutuhkan
waktu. Apabila demikian akan terkait juga masalah biaya (hari kerja). Produk-produk ini
biasanya menyangkut kelengkapan bangunan berupa elemen utilitas (sanitasi dan
kelistrikan : seperti kloset, urinoir, instalasi air panas, air conditioner dan sebagainya.

20
3.2 Kendala yang mungkin dihadapi
Keberhasilan suatu desain arsitektur dalam hubungannya dengan pemilihan
material sangat erat. Desain yang telah terencana dengan baik didukung dengan
penggunaan material yang tepat atau tampil dengan kritik yang minimal.
Dalam memilih material bangunan, meskipun sudah memerlukan pertimbangan-
pertimbangan seperti tersebut diatas (II.I), seringkali masih ada kendala seperti :

1. Visualisasi Lingkungan
Di lokasi yang akan dibangun sudah terlebih dahulu ada bangunan-bangunan yang
beraneka ragam. Penataan lingkungan tidak tertangani dengan baik. Infrastruktur disana
seperti kabel-kabel telepon, jaringan listrik dan sebagainya sangat tidak teratur. Dalam
keadaan demikian tidak mudah memasukan suatu desain arsitektur untuk tampil bagus.
Termasuk tidak mudah menentukan pilihan material bangunan; karena di sekitarnya tidak
ada keserasian dan keterpaduan.

Gambar 3.1 : Sebuah Bangunan di Kota Denpasar

21
2. Ketepatan Ukuran
Banyak material bangunan yang ukurannya tidak tepat satu sama lain bahkan untuk jenis
dan merk yang sama. Keramik 30 x 30 tidak selalu persis, dan kadang-kadang tidak siku-
siku. Terlebih-lebih apabila akan dikombinasikan dengan jenis dan ukuran yang lain,
meskipun merupakan kelipatannya. Misalnya 10 x 20, 15 x 20 dan sebagainya.
Pertemuan atau perpaduannya seringkali merusak pola estetis yang direncanakan. Belum
lagi keterpaduanya dengan material lain. Misalnya jenis-jenis kayu lapis, batu bata, loster
atau material lainnya. Memperhatikan material-material tersebut dalam suatu rancangan
sangat diperlukan.

3. Selera
Satu hal yang sering kali menjadi kendala dalam memilih material adalah selera. Faktor
ini lebih banyak bersifat suka dan tidak suka, tanpa argumentasi yang komprehensif.
Tingkat sosial-ekonomi, tingkat intelektualitas serta wawasan pemilik bangunan, acapkali
merupakan tantangan bagi arsitek untuk menentukan pilihan. Di kalangan masyarakat
yang secara ekonomis berkecukupan, tanpa didukung wawasan yang luas, ada
kecenderungan memilih material yang asal glamour, mahal dan produk mutahir. Mereka
tidak memikirkan bagaimana dan kapan itu bisa dipasang, yang penting mewah. Hal ini
bertambah parah apabila pemilik bangunan terdiri dari lebih satu orang. Misalnya ayah,
istri dan anak yang saling berbeda selera.
Dalam keadaan demikian arsitek (perancang) memerlukan waktu cukup lama
sampai pada kesimpulan untuk menentukan pilihan. Arsitek bertanggung jawab terhadap
keberhasilan atau kegagagalan desainnya, dan untuk itu dituntut untuk memberikan
penjelasan dengan argumentasi yang bisa diterima, sesuai dengan karakteristik pemilik
bangunan. Bagaimana arsitek menjelaskan bahwa memilih material tidak dapat dilakukan
begitu saja. Ada kaidah-kaidah arsitektur yang menjadi acuan dan sifat-sifat khas suatu
material yang perlu disesuaikan dengan tuntunan desain. Yang paling mendasar
sebetulnya adalah konsep yang melandasi diwujudkannya desain itu.

22
Gambar 3.2 : Sebuah Bangunan di Kawasan Kuta

3.3 Menentukan Pilihan


Untuk sampai pada langkah menetukan pilihan, diperlukan suatu proses
berpikir,dalam hal ini perancang arsitektur ,proses tersebut adalah proses kreatif, berpikir
sambil berimprovisasi,sambil mencari kemungkinan-kemungkinan baru dengan tujuan
menghasilkan suatu tampilan desain yang dapat bertahan lama. Apabila tidak demikian
maka pemilik bangunan akan segera keluar biaya lagi untuk mengganti material
bangunnya yang ketinggalan jaman.

Berdasarkan tujuan dan isi yang sudah ditampilkan di depan hal tadi, maka
beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memilih material adalah sebagai berikut:

 Konsistensi terhadap konsep perancangan.


 Memperhatikan rencana penempatan material( ruang dalam,ruang luar dan
sebagainya).

23
 Mengingat sifat-sifat material dan memilihnya sesuai dengan peranannya pada
bangunan (struktur, dekorasi, pelengkap dan sebagainya).
 Aspek-aspek estetika diperhatikan sekali pada rancangan. Apabila sudah
terpikirkan, maka memilih material bangunan menjadi lebih mudah. Yang paling
penting adalah bahwa estetika tidak mutlak menuntut material atau produk yang
mahal.
 Menanyakan pemilik adalah suatu kepercayaan atau norma-norma setempat
tentang anjuran atau larangan yang berlaku di daerah bersangkutan.
 Mentaati dan memperhatikan peraturan pemerintah yang terkait dengan material
bangunan.
 Memperhatikan kondisi lingkungan, dimana desain akan diwujudkan. Ini
dimaksudkan supaya desain itu mampu memberi tambah pada lingkungan itu, dan
bukan sebaliknya menurunkan kualitas.
 Menyesuaikan pilihan material dengan kemampuan tenanga kerja yang ada, serta
alat-alat kerja yang mendukung. Apabila tidak, hasilnya akan mengecewakan.
 Mengantisipasi berbagai kemungkinan kendala, misalnya keseragaman ukuran
(dimensi) material, perlu meneliti seberapa jauh ketidakseragamannya, supaya
pada waktu memasangnya tercapai harmoni dan perpaduan (unity).
 Tidak mudah memenuhi selera pemilik. Perlu diskusi dan argumentasi, supaya
konsep perancangan arsitek bisa bertemu dengan selera pemilik. Akan lebih baik
apabila pemilik bersikap transparan atas selera pribadinya sehingga arsitek dapat
lebih mudah menanggapinya.

24
IV. PENUTUP

4.1 Simpulan

1) Memilih material bangunan adalah tugas arsitek, serta koordinasi dengan pemilik.
2) Material bangunan memiliki karakteristik yang berbeda-beda untuk menggunakannya
memerlukan pertimbangan –pertimbangan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor non teknis
dan teknis.
3) Produk-produk material bangunan, meskipun dan industri besar, masih memiliki kendala
yaitu ketidakakuratan presisi ini menyebabkan pengerjaan/penggunaannya pada
bangunan memerlukan kerja tammaterial untuk menyeleksi, atau menyesuaikannya
dengan material lain.
4) Faktor subyektif berupa selera konsumen , perlu dicarikan solusi dengan cara diskusi dan
pemaparan argumentasi sesuai dengan tingkat/wawasan konsumen tersebut.
5) Harga suatu material bangunan, bukanlah ukuran yang dominan untuk mencapai
keberhasilan desain yang paling menentukan adalah konsep perancangan.

4.2 Saran-saran
1) Arsitek hendaknya tidak menyerahkan pemilihan material bangunan kepada konsumen
sepenuhnya.
2) Arsitek perlu mengetahui tentang norma-norma setempat atau peraturan resmi tentang
penggunaan material bangunan.
3) Arsitek dituntut untuk mengikuti perkambangan produk-produk baru (material bangunan)
dengan segala spesifikasi.
4) Arsitek perlu juga menggali kemungkinan- kemungkinan penggunaan material alami
yang mampu memperkaya khasanah arsitektur. Mentaati rambu-rambu yang ada.
Demikian pula kombinasi antara material alami dengan material produk industri, perlu
dicoba sebagai langkah-langkah kreatif.
5) Konsumen hendaknya berterus terang kepada pernacang (arsitek). Sehingga dapat
mempertajam pilihan, sesuai dengan keinginan konsumen, dan tidak meleset dari kaidah-
kaidah arsitektur.

25
6) Semua pihak hendaknya mendorong ditemukannya material –material baru yang lebih
berkualitas, lebih tahan dan lebih murah sehingga arsitektur bisa terwujud dengan kreasi-
kreasi yang mampu menjawab tantangan jaman.

26
DAFTAR PUSTAKA

Erick, Heinz; Ir, 1977 : ILMU KONTRUKSI KAYU; Yayasan Kanisius,


Semarang.
Gelebet, I Nyoman, Ir, 1981/1982 : ARSITEKTUR TRADISIONAL DAERAH BALI;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Proyek
Inverentasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Handler Benyamin, 1977 : PENDEKATAN SISTEM MENUJU
ARSITEKTUR (terjemahan H.K. Ishar);
Universitas Katolik Parahyangan; Bandung.
H.K. Ishar, 1992 : PEDOMAN UMUM MERANCANG
BANGUNAN; PT. Gramedia Pustaka Utama;
Jakarta.
Mangunwijaya, Y.B.Dipl.Ing, 1980 :DASAR-DASAR PENGHANTAR FISIKA
BANGUNAN; PT. Gramedia Jakarta; 1980
Orr, Frank, 1987 : SKALA DALAM ARSITEKTUR; (Terjemahan
Aris K. Onggodiputra); Abdi Widya, Bandung.
Soetiadji, Setyo, Ir., 1986 : ANATOMI ESTETIKA; Penerbit Djambatan;
Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai