Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

SUBDIVISI INFEKSI TROPIS JULI 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

DEMAM TIFOID

DISUSUN OLEH :
Suc Malinda Makmur
Yakdi Rosadi
Fira Ramadhani

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah Demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri

Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi. Namun dapat

pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella typhiB, dan

Salmonella paratyphi C. Di Indonesia insidensi demam tifoid banyak dijumpai

pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid bdi indonesia juga

berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya riwayat keluarga yang terkena

demam tifoid, tidak adanya sabun untuk cuci tangan, menggunakan piring yang

sama, dan tidak tersedia tempat untuk buang air besar dalam rumah.

Manifestasi klinis demam tifoid dimulai dari yang ringan (demam

tinggi, denyut jantung lemah, sakit kepala) hingga berat (perut tidak nyaman,

komplikasi pada hati dan limfaPenyebab yang sering terjadi yaitu faktor

kebersihan. Seperti halnya ketika makan di luar apalagi di tempat-tempat

umum biasanya terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana bahkan hinggap

di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat menularkan Salmonella thyphi dari

lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah penderita demam tifoid

kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi. Komplikasi dapat lebih

sering terjadi pada individu yang tidak diobati sehingga memungkinkan

terjadinya pendarahan dan perforasi usus ataupun infeksi fecal seperti

visceral abses Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif yang

menyebabkan spektrum sindrom klinis yang khas termasuk gastroenteritis,

demam enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fecal seperti

osteomielitis atau abses.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Demam tifoid adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh Salmonella


typhi , kuman gram negatif berbentuk batang yang hanya ditemukan pada
manusia.

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan
pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.

2.2 Etiologi

Etiologi : Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi A, B,


dan C)

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :

Antigen O (antigen somatik) : terletak pada lapisan luar tubuh kuman.

Antigen H (antigen flagella) : terletak pada flagella, fibriae, atau pili kuman

Antigen Vi : terletak pada kapsul (envelope)

3
2.3 Epidemologi

Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan


umumnya terjadi di negara-negara dengan tingkat kebersihan yang rendah.
Penyakit ini menjadi masalah kesehatan publik yang signifikan. Berdasarkan
data WHO (World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi di
seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian akibat demam
tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. BerdasarkanWHO
angka penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000
(DEPKES RI, 2013).

2.4 Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella parathypi kedalam tubuh


manusia terjadi melalui makana yang terkontaminasi. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung. Sebagian lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distan dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang
kedua kalinya dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan


besama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena
makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan

4
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise myalgia,
sakit kepala, sakit perut, gangguan vascular, mental dan koagulasi.

Di dalak plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia


jaringan (S. thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat


timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropskiatrik, kardivaskuler,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

5
2.5 Gambaran Klinis

Penegakan diagnosis sedini mungkinsangat bermanfaat agar bisa


diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi.

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala


klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-
lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-
gejala menjadi lebih jelas berupaa dema, bradikardi relatif, lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor), hepatomegaly,
splenomegaly, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma,
delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

6
2.6 Pemeriksaan Laboratorium

 Pemeriksaan rutin

Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan


leukopenia, dapat pula terjadi leukositosis atau normal. Leukositosis dapat
terjadi walaupun tandpa infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan
anemia ringan atau trombositpenia. Pada pemeriksaan hitung jenis
aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid
dapat meningkat. Otdan SGPT seringkali meningkat tetapi aka meningkat
setelah sembuh. Pemeriksaan metode lain yaitu pemeriksaan serologi juga
dapat dilakuka karena memiki sensitifitas dan spesifitas yag lebih baik
anatara lain pemeriksaan IgM/IgG salmonella.

 Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap bakteri S.
typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi antara antigen S. typhi dengan
antibodi yang diseut aglutinin. Antigen yang digunakan adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Uji widal
ini akan menentukanadaya aglutinin yang terdapat dalam tubuh yang
dicurigai mengalami demam tifoid. Aglutini tersebut antara lain Aglutinin
O ( dari tubuh bakteri), aglutinin H ( dari flagela), dan aglutinin Vi dari
kapsul bakteri. Namun yang hanya aglutini O dan H yang digunakan
untuk mendiagnosis demam tifoid. Semakintinggi titernya semkin tinggi
kemungkinan besar untuk terinfeksi.
Pembentukan aglutini mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam. Kemungkinan meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-empat dan tetap tingggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul aglutinin O kemudian diikuti dengan aglutinin H.
Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masi tetap dijumpai 4-6 bulan,
sedangkan aglutini H 9-12 bulan, oleh karena itu widal bukan menetukan
kesembuan peyakit .
Adapun beberpa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu 1.)
pengobatan dini dengan antibiotik, 2.) ganguan pembentukan antibodi
atau pemakai kortikosteroid, 3.) wakt pengambilan darah, 4.) Daerah

7
endemik atau non.endemik, 5.) riwayat vaksinasi, 6.) Reaksi anamnestik,
yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat
infeksi demam tifoid mala lalu atau vaksinasi, 7.) faktor tehnik
pemriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silam, dan strain
salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
 Kultur
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan kultur
Salmonella Typhi. Kultur kuman ini dapat dilakukan dengan
melakukan biakan dari berbagai tempat dalam tubuh.Diagnosis dapat
ditegakkan melalui isolasi kuman dari darah.Pada dua minggupertama
sakit , kemungkinan mengisolasi kuman dari darah pasien lebih besar dari
pada minggu berikutnya.Biakan yang dilakukan pada urin dan feses
kemungkinan keberhasilan lebih kecil, karena positif setelah terjadi
septikemia sekunder.Sedangkan biakan spesimen yang berasal dari
aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, tetapi
prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
seharihari.Selain itu dapat pula dilakukan biakan spesimen empedu
yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.

8
2.7 Tatalaksana

 Terapi Farmakologi

Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam


tifoid, karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhi
berhubungan dengan keadaan bakterimia. Pemberian terapi antibiotik
demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi dan angka
kematian, memperpendek perjalan penyakit serta memperbaiki gambaran
klinis salah satunya terjadi penurunan demam. Namun demikian
pemberian antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever, yaitu
demam yang timbul bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik
dengan catatan tidak ada penyebab demam yang lain seperti adanya luka,
rangsangan infeksi, trauma dan lain-lain.

1. Ciprofloxacin
Ciprofloxacin mempunyai mekanisme menghambat sintesis
asam nukleat sel mikroba. Fluroquinolones yaitu Ciprofloxacin
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk anak – anak
dan orang dewasa yang terinfeksi dengan resistensi sensitif dan
multi-obat,Salmonella typhi dan paratyphiSefalosporin generasi
ketiga yaitu Ceftriaxone menjadi penggunaan alternatif untuk
kasus seperti halnya resistensi multi-obat (resistensi terhadap
kloramfenikol, amoksisilin dan cotrimoxazole). Pada penelitian
prospektif India utara ada perkembangan bertahap resistensi
terhadap Fluroquinolones 4,4 % resistensi diamati pada
Sparfloxacin, resistensi 8,8 % pada ofloxacin dan resistensi yang
tinggi 13 % pada Ciprofloxacin . Golongan quinolon
(ciprofloxacin) ini tidak dianjurkan untuk anak-anak, karena dapat
menimbulkan efek samping pada tulang dan sendi, bila diberikan
pada anak akan menggganggu pertumbuhan tulang pada masa
pertumbuhan anak

9
2. Cefixime

Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel


mikroba. Sefalosporin generasi ketiga yaitu Cefixime oral (15-20
mg/kg/hari, untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah
banyak digunakan pada anak-anak dalam berbagai daerah geografis
diamati penggunaan Cefixime oral memuaskan. Namun, dalam beberapa
percobaan Cefixime menunjukan tingkat kegagalan dan kekambuhan
yang lebih tinggi daripada fluoroquinolones.

3. Amoksisilin

Amoksisilin mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding


sel mikroba. Pada percobaan kombinasi Kloramfenikol dan Amoksisilin
mempunyai efek anti bakteri lebih lemah dibandingkan dengan bentuk
tunggal Kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi

4. Kloramfenikol

Kloramfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein


sel mikroba Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk
pengobatan demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan
dapat diberikan secara oral . Efek samping yang sangat berat yaitu
anemia aplastik atau biasa dikenal dengan depresi sumsum tulang
dan jika diberikan pada bayi < 2 minggu dengan gangguan hepar dan
ginjal, kloramfenikol akan terakumulasi dengan darah pada bayi
khususnya pada pemberian dosis tinggi akan menyebabkan gray baby
sindrom, serta dapat menghambat pembentukan selsel darah
(eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul dalam waktu 5 hari
sesudah dimulainya terapi, dari efek samping yang timbul sehingga
loramfenikol memiliki persentase nomor dua dibandingkan penggunaan
golongan sefalosporin (. Walaupun penggunaan kloramfenikol
memerlukan kehati-hatian,

10
5. Tiamfenikol

Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein


sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Pilihan lain yang analog
dengan kloramfenikol, yang masih digunakan di Indonesia dan masih
dianggap efektif untuk menyembuhkan demam tifoid adalah
tiamfenikol. Efek samping hematologis pada penggunaan tiamfenikol
lebih jarang daripada kloramfenikolAzitromisin Azitromisin
mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba.
Golongan kuinolon dan azitromisin hampir sama efikasinya dan aman
untuk demam tifoid. Namun azitromisin bisa digunakan sebagai
alternatif, karena kuinolon memiliki kontraindikasi seperti pada anak-
anak, wanita hamil, dan kejadian resisten kuinolon. Namun
enggunaanya jika lebih dari 7 hari tidak diperbolehkan karena penetrasi
jaringan lebih kuat dan terakumulasi di kantung empedu. Penggunaan
azitromisin selama 5 hari ekuivalen dengan penggunaan antibiotik lain
selama 10 hari, penggunaan 7 hari sama optimalnya dengan
penggunaan antibiotik lain selama 14 hari

6. Ceftriaxone

Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding


sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Bila dibandingkan dengan
intravena ceftriaxone (75 mg / hari; maksimum 2,5 g / hari) setiap hari
selama 5 hari, azitromisin oral (20 mg / kg / hari; maksimum 1000
mg / hari) tercapai tingkat efikasi yang hampir serupa (97% vs.
94%). Tidak terdapat pasien yang menggunakan azitromisin
mengalami kekambuhan, sedangkan beberapa kekambuhan diamati
pada pasien yang menggunakan ceftriaxone

11
12
 Terapi Non Farmakologi

2.8 Preventif dan Kontrol Penularan

Tindakan preventif sebgaai upaya pencegahan penularan dan peldakan


kasus luar biasa demam tifoid banyak aspek mulai dari segi kuman Salmonella
typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta fator lingkungan.
Secara garis besar ada 3 strategi pokok 1.) identifikasi dan eradikasi baik kasus
demam tifoid maupun pada karier demam tifoid, 2.) Pencegahan transmisi
langsung dari pasien terinfeksi S.typhi maupun pada karier, 3.) Proteksi pada
orang yang beresiko

Pemilihan vaksin pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3


kali secara bermakna menurunkan 66% kasus kasusu infeksi demam tifoid
selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% salam 3 tahun. Usia sasara vaksinasi
berbeda efektifitasnya, penurunan insiden pada anak >10 tahun dan anak usia 5-9
tahun insidensi turun 17%. Vaksin parenteral non-aktif relatif dapat menyebaban
efek samping serta tidak seefktif vaksin jenis ViCPS maupunTy21a oral. Jenis
vaksin yang ada di indonesia hanya ViCPS. Indikasi vaksinasi : tergantung pada
faktor resiko yang ada, yaitu faktor individual dan populasi yaitu Populasi : anak
usia sekolah di daerah endemic, personl militer, petugas RS, Lab Kesehatan, dan
industry makanan. Individual : Pengunjung ke daerah endemic, orang yang
kontak erat degnan carier.

2.9 Prognosis

Prognosis pada pasien dengan demam tifoid adalah bonam, namun ad


sanastionam dubia et bonam karena dapat berulang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Siti Setiati, I. A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam.2014

Depkes RI. Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta:


Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & PenyehatanLingkungan.2013

Rahmasari,Vani. Kerilestari. Review Journal Manajemen terapi demam tifoid: kajian


terapi Farmakologis dan non farmakologis. 2018. Vol 6 No.1 .

Veeraraghavan B, Agila KP, Yamuna D. Typhoid fever: issues in laboratory


detection,treatment options & concerns inmanagement in developing countries.
2018.

LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien

14
Nama : Tn. T
Tanggal Lahir : 08/08/1981 (38 Tahun)
Alamat : Jl. Pepaya
Agama : Islam
Tgl.MRS : 19/07/2019
B. Subjective
Keluhan utama: Demam
Anamnesis terpimpin:
Pasien masuk dengan keluhan demam, sejak kurang lebih 1 bulan yang
lalu, tidak terus menerus meningkat pada sore hari disertai menggil dan
berkeringat banyak, batukberdahak ada sejak 2 minggu yang lalu berwarna
putih, pasien sering terbangun karena batuk yang mengganggu, mual ada,
muntah tidak ada. Penurunan berat badan 10 kg dalam 1 bulan. Pasien
tidak memiliki riwayat batuk yang lama dengan pengobatan 6 bulan.
Riwayat pengobatan mengkonsumsi antipiretik, antibiotic amoxisilin dan
minum obat herbal. Pasien tidak pernah ke tempat endemis malaria
sebelumnya, 1 hari sebelum demam pasien ke jeneponto. Pasien bekerja
sebagai supir angkutan umum dan sering makan makanan yang dijual
diluar. Tetangga pasien satu bulan sebelumnya juga mengalami hal serupa
dan didiagnosa dengan demam typhoid. Pasien belum pernah mengalami
hal serupa. DM dan hipertensi tidak pernah diperiksakan. BAK normal,
BAB encer konsistensi cair dengan ampas sedikit frekuensi lebih 2 kali
sehari.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat batuk lama dengan pengobatan 6 bulan


Riwayat Keluarga dan Psikososial
 Riwayat Demam Thypoid di lingkungan tempat tinggal ada

C. Objetive
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 110/60 mmHg

15
Suhu : 370C
Nadi : 80 kali/menit, regular, kuat angkat
Pernapasan : 20 kali/menit, tipe thoracoabdominal

Pemeriksaan Fisik :
Kepala
• Bentuk : Normosefal
• Muka : Simetris kiri dan kanan
• Deformitas : Tidak ada
• Rambut : Sukar dicabut
Mata
• Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
• Gerakan : Dalam batas normal
• Kelopak : Edema palpebra (-)
• Konjungtiva : Pucat tidak ada
• Sklera : Ikterik tidak ada
• Kornea : Jernih
• Pupil : Isokor Φ2,5 mm/2,5 mm
Telinga
• Pendengaran: Dalam batas normal
• Pendarahan (-), Otore (-)

Hidung

• Perdarahan : (-)

• Sekret : (-)

Mulut

• Bibir : Pucat (-),Kering (-),Sianosis (-)

• Gigi : Caries dentis (-)

• Gusi : Perdarahan gusi (-)

• Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)

16
• Faring : Hiperemis (-)

• Lidah : Kotor (-), Tremor (-), Hiperemis

Leher
• Kelenjar getah bening : Pembesaran KGB coli tidak ada
• Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran kelenjar
• DVS : R+1 cm H2O
• Pembuluh darah : Dalam batas normal
• Kaku kuduk : Negatif
• Tumor : Tidak ada (-)
• Trakea : Deviasi (-)
Dada

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis

Palpasi : Vokal fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, bunyi tambahan ronkhi tidak ada,


wheezing tidak ada

Jantung

• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

• Palpasi : Thrill tidak teraba

• Perkusi :

Batas kanan atas ICS II linea parasternalis dextra

Batas Kiri atas ICS III linea parasternalis sinistra

Batas kanan bawah ICS IV linea parasternalis dextra

Batas kiri bawah ICS VI linea axillaris anterior sinistra

• Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bising jantung (-)

17
Abdomen

Inspeksi : Datar, ikut gerak napas

Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), massa tumor (-), hepar


dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani (+)

Lain-lain : Asites (-)

Punggung

Inspeksi : Simetris

Palpasi : Vokal fremitus sama kiri dan kanan. Nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor, nyeri ketok costovertebra (-)

Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, bunyi tambahan ronkhi tidak ada,


wheezing tidak ada

Extremitas

Edema tidak ada, clubbing finger tidak ada, akral hangat

Pemeriksaan Lab

18
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
RBC 5.3 (106/ mm3) P: 4.00 - 5.50 106/ mm3
L: 5.00 - 5.80 106/ mm3
HGB 15.6 (g/dL) 12.0 - 16.0 g/dL
MCV 85.1 fL 80 - 100 fL
MCH 29.5Pg 27.0 - 34.0 pg
MCHC 34.7 (g/dL) 31.0 - 36.0 g/dL
WBC 6.37 (103/uL) 4.00 - 10.0 103/uL
NEUT 83 % 50.0 - 70.0 %
LYMP 12 % 20.0 - 40.0 %
MONO 5% 3.0 - 12.0 %
EOS 0% 0.5 – 5.0%
BASO 0% 0.0 - 1.0 %
HCT 45.1 % 40.0 - 50.0 %
PLT 216 (103/uL) 150 - 450 103/uL
HbsAg Non reaktif Non reaktif
SGOT 169 0 – 37 U/I
SGPT 162 0 – 42 U/I
NA 132 3,5-5,50 mmol/L
K 2.7 135-145 mmol/L
Cl 89 96-106 mmol/L
GDS 185 70 – 140 mg/dL

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN


Salmoyphi H 1/160 Negatif
Salmonella Paratyphi OH 1/320 Negatif
Salmonella Paratyphi BO 1/320 Negatif
Salmonella Paratyphi CO 1/320 Negatif
Salmonella Paratyphi AH 1/160 Negatif

19
Diagnosis
 Demam Tifoid
 Hipokalemia
 Peningkatan enzim hati

Tatalaksana
 Infus NaCl 0.9 % 20 tpm/iv
 Novalgin 2 amp/12 jam/iv
 N-Ace 200mg /8 jam/oral
 Curcuma 3 dd 1 / oral
 Cotrimoxazole

20

Anda mungkin juga menyukai