Anda di halaman 1dari 33

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3
2.1. DEFINISI STROKE ............................................................................. 3
2.2. EPIDEMIOLOGI STROKE ................................................................. 3
2.3. KLASIFIKASI STROKE ..................................................................... 3
2.4. FAKTOR RISIKO STROKE ................................................................ 4
2.5. PATOFISIOLOGI STROKE ................................................................ 5
2.6. GANGGUAN PADA STROKE ........................................................... 5
2.7. DEFINISI NEUROPLASTISITAS ...................................................... 6
2.8. PEMBAGIAN NEUROPLASTISITAS ............................................... 7
2.9. MOTOS RELEARNING PROMRAM................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut data World Health Organization (WHO), stroke merupakan
penyebab kematian kedua di dunia sebanyak 6,9 juta di tahun 2017. Berdasarkan
survei nasional yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, stroke termasuk dalam 10
penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Pada tahun 1990-an, stroke merupakan
penyebab kematian keempat sedangkan tahun 2016 stroke meningkat menjadi
penyebab kematian pertama di Indonesia. Stroke dapat diklasifikasikan menjadi
dua yaitu stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik.[1,2,3]
Dari hasil studi epidemiologi di Amerika, diketahui stroke iskemik (non-
hemoragik) sebanyak 82-92% dari seluruh kasus yang menjadi penyebab stroke
terbanyak dan sisanya merupakan stroke hemoragik. Stroke mengakibatkan
timbulnya gangguan neurologis. Menurut American Heart Association (AHA),
gangguan neurologis yang paling sering adalah gangguan sistem motorik.
Gangguan motorik yang ditimbulkan biasanya pada wajah, lengan, dan kaki, baik
pada satu sisi atau dalam berbagai kombinasi. Hal itu juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Derick T Wade dan Richard Langton Hewer di
Rumah Sakit Bristol United Kingdom (UK), dari 976 pasien, stroke akut adalah
pasien yang paling sering mengalami disabilitas (penurunan fungsi). Gangguan
motorik tersebut menjadi faktor yang menyebabkan disabilitas pasien untuk hidup
mandiri.[4,5,6]
Salah satu penanganan stroke adalah rehabilitasi, yang berperan dalam
mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak serta fungsi dengan latihan
motorik, terapeutik dan modalitas fisik berdasarkan pemahaman terhadap
patofisiologi, neurofisiologi, kinematik dan kinetik dari gerak normal, proses
kontrol gerak dan motor learning. Tujuan rehabilitasi penderita stroke adalah
meningkatkan status fungsional dengan jalan meminimalkan tingkat
ketergantungan pada orang lain dan memaksimalkan kualitas hidup pasien.[7]
Problematika menimbulkan berbagai macam problematika diantaranya:
gangguan sensomotorik, gangguan kognitif/memori, gangguan psikiatrik atau

1
emosional. Salah satu proplematika yang paling mendasar pada pasien pasca
stroke adalah adanya gangguan sensomotorik.[8]
Gangguan sensomotorik pasca stroke mengakibatkan gangguan
keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak,
serta gangguan kontrol motorik dan sensorik. Fungsi yang hilang akibat gangguan
kontrol motorik pada pasien pasca stroke mengakibatkan hilangnya koordinasi,
hilangnya kemampuan merasakan keseimbangan tubuh dan postur (kemampuan
untuk mempertahankan posisi tertentu)[9]

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANATOMI SISTEM SARAF
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls saraf ke
susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi tanggapan rangsangan.
Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu bagian terkecil dari organ dalam
tubuh, tetapi merupakan bagian yang paling kompleks. Susunan saraf manusia
mempunyai arus informasi yang cepat dengan kecepatan pemrosesan yang tinggi
dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls saraf). Alur informasi pada sistem
saraf dapat dipecah secara skematis menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal
atau internal yang mengenai organ-organ sensorik akan menginduksi
pembentukan impuls yang berjalan ke arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls
afferent), terjadi proses pengolahan yang komplek pada SSP (proses pengolahan
informasi) dan sebagai hasil pengolahan, SSP membentuk impuls yang berjalan
ke arah perifer (impuls efferent) dan mempengaruhi respons motorik terhadap
stimulus.

Gambar 1.1. fungsional Sistem Saraf (biru : sensorik, merah : motorik)


(Bahrudin, M., 2012. Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis.
Edisi Pertama, Malang, UMM)

3
2.1.1 Susunan Sistem Saraf
Sistem saraf tersusun menjadi susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi,
Sistem saraf rersusun menjadi susunan saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak
dan medula spinalis, dan susunan saraf tepi (SST), yang terdiri dari serar-serat
saraf yang membawa informasi antara SSP dan bagian tubuh lain (perifer). SST
dibagi lagi menjadi divisi aferen dan eferen.
Sistem Saraf Otonom (SSO) Sistem saraf otonom mengatur jaringan dan
organ tubuh yang tidak disadari. Jaringan dan organ tubuh yang diatur oleh sistem
saraf otonom adalah pembuluh darah dan jantung. Sistem ini terdiri atas sistem
saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik.

Gambar 1.2. Sistem Saraf Otonom.

2.1.2 Elemen Sistem Saraf


Sistem saraf terdiri dari sekumpulan sel, yang disebut neuron, yang khusus
untuk mengolah dan menghantarkan informasi. Neuron melakukan kontak dengan
satu sama lain di persimpangan yang disebut sinapsis, di mana informasi
ditransfer dari satu neuron ke neuron berikutnya melalui zat kurir kimia disebut
neurotransmiter. Secara umum, neuron dapat dibagi menjadi dua kelas: rangsang
dan penghambatan. Pengaturan sistem saraf lebih mudah memahami setelah
pertimbangan singkat tentang perkembangannya (ontogenetik).

4
a. Neuron dan Sinaps
Neuron dan prosesnya serta sinaps bertanggung jawab atas aliran informasi
dalam sistem saraf. Di sinaps, informasi dihantarkan dari satu neuron ke neuron
berikutnya melalui bahan kimia zat yang disebut neurotransmitter.
b. Dendrit dan akson
Neuron menghantarkan informasi hanya ke satu arah karena mereka bersifat
bipolar: sel tersebut menerima informasi dari neuron lain pada satu ujung, dan
menghantarkan informasi ke neuron lain di ujung sisi lainnya.
Struktur reseptif sel saraf, yang disebut dendrit, adalah penonjolan yang
bercabang dan melekat pada badan sel. Neuron sangat bervariasi berkaitan
dengan jumlah dan pola percabangan dendrit mereka. Struktur konduksi lanjut
adalah akson; pada manusia panjangnya dapat mencapai beberapa meter. Berbeda
dengan jumlah dendrit, setiap neuron hanya memiliki satu akson. "Axis cylinder"
adalah istilah yang lebih lama dan sekarang sedikit digunakan untuk "axon" yang
menunjukkan bentuk silinder dan panjang. Pada ujung distal, akson terbagi
menjadi beberapa cabang-cabang terminal, yang masing-masing disebut ujung
terminal yang berkontak dengan neuron berikutnya.
Penonjolan perifer yang panjang pada neuron pseudounipolar ganglia spinalis
adalah kasus yang penting. Serabut ini merupakan serabut yang menghantarkan
informasi mengenai rasa, raba nyeri, dan suhu dari permukaan tubuh ke SSP.
Meskipun serabut tersebut merupakan serabut reseptif, mereka memiliki
karakteristik struktural yang menyerupai akson dan dirancang agar berfungsi
sebagai akson.
Pusat trofik (nutritif) neuron adalah badan selnya (soma atau perikarion), yang
berisi inti sel dan berbagai jenis organel seluler yang berbeda.
c. Transportasi aksonal
Neurotransmitter, atau enzim yang mengkatalisis biosintesisnya, dibuat di
perikarion dan kemudian dibawa ke mikrotubulus aksonal ke ujung akson dalam
proses yang dikenal sebagai transpor aksoplasmik. Molekul neurotransmitter
disimpan dalam vesikula sinaptik di dalam terminal bouton (masing-masing
bouton mengandung banyak vesikel sinaptik). Transpor aksoplasmik, secara
umum, dapat terjadi pada salah satu arah dari badan sel menuju ujung akson

5
(transpor anterograd) atau dalam arah sebaliknya (transportasi retrograde).
Transpor aksoplasmik cepat berlangsung pada kecepatan 200- 400 mm / hari. Ini
berbeda dari alur axoplasmic, yang kecepatannya 1-5 mm /hari. Transportasi
axoplasmic dieksploitasi di laboratorium penelitian dengan teknik anterograde dan
retrograde tracer untuk demonstrasi anatomi proyeksi saraf.

Gambar 1.1 Struktur Neuron.

(Kahle W dan Frotscher M : Taschenatlas der Anatomie, vol.3, edisi ke-8,Thieme,


Stuttgart, 2002)

d. Mielinasi Akson
Akson dikelilingi oleh selubung mielin. Selubung mielin yang dibentuk oleh
oligodendrosit (kelompok sel glia khusus) di sistem saraf pusat dan oleh sel
schwan di sistem saraf perifer, adalah kelanjutan membran oligodendrosit atau sel
schwan yang menyerupai selubung dan melibatkan dirinya sendiri beberapa kali
di sekeliling akson, membentuk insulasi elektrik. Segemen selubung mielin yang
dibentuk oleh dua sel yang berdekatan dan dipisahkan oleh area yang tidak
diselubungi oleh membran akson yang disebut nodus Ranvier. Akibat insulasi
mielin, potensial aksi hanya menimbulkan depolarisasi di nodus Ranvier;

6
Gambar 1.2. Serabut Saraf pada sistem saraf pusat dengan oligodendrosit dan
selubung mielin. 1. Oligodendrosit, 2. Akson, 3. Selubung mielin, 4. Nodus
Ranvier, 5. Mesakson profunda, 6. Mesakson superfisial, 7. Kantong sitoplasma.

(Kahle W dan Frotscher M : Taschenatlas der Anatomie, vol.3, edisi ke-8,Thieme,


Stuttgart,2002)

2.1.3 Alur Informasi pada Sistem Saraf


Alur informasi dalam sistem saraf dapat diuraikan secara skematis tiga tahap:
stimulus eksternal atau internal yang berdampak pada indera organ menginduksi
pembentukan impuls saraf yang bergerak menuju pusat sistem saraf (SSP) (impuls
aferen); terjadi proses pengolahan yang kompleks pada SSP (proses pengolahan
informasi); dan, sebagai hasil pengolahan.
SSP membentuk impuls yang bergerak ke arah perifer (impuls eferen). dan
mempengaruhi respons (motorik) organisme terhadap stimulus. Dengan demikian,
ketika seorang pejalan kaki melihat lampu lalu lintas hijau, impuls aferen
dihasilkan di saraf optik dan sistem visual yang menyampaikan informasi tentang
warna spesifik yang terlihat. Kemudian, pada level yang lebih tinggi pada SSP,
stimulus diinterpretasikan dan diberi makna (lampu hijau = pergi). Impuls eferen
ke kaki kemudian berefek respon motorik (melintasi jalan). Dalam kasus yang
paling sederhana, informasi dapat ditransfer langsung dari aferen ke lengan
eferen, tanpa ada proses kompleks yang mengganggu dalam SSP.
2.1.4 Perkembangan Sistem Saraf
Sistem saraf terbentuk (awalnya) dari tubulus neuralis yang terbentuk
longitudinal, yang terdiri dari dinding yang solid dan ruang di sentral yang terisi

7
cairan. Bagian kranial tubulus berkembang lebih ekstensif daripada bagian lainnya
untuk tiga vesikel otak yang berbeda.
a. Proliferasi seluler
Neuron imatur (neuroblas) berproliferasi di zona ventrikularis tubulus
neuralis, yaitu zona yang terletak berdekatan dengan rongga sentralnya.
b. Migrasi neuronal
Sel saraf yang baru saja terbentuk meninggalkan zona ventrikularis
tempatnya berkembang, bermigrasi ke sepanjang serabut glia berorientasi
radial menuju lokasi definitif di lempeng kortikal.
c. Pertumbuhan tonjolan-tonjolan seluler
Begitu mencapai tempat tujuannya, neuroblas yang telah bermigrasi mulai
membentuk dendrit dan akson.
d. Sinaptogenesis
Akson terminal setelah mencapaui targetnya mulai membentuk sinaptik.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pembentukan sinaps, dan
dendritic sinaps, bergantung aktivitas.
e. Kematian neurologi fisiologis
Banyak neuron yang mati saat perkembangan SSP, kemungkinan sebagi
bagian mekanisme yang memungkinkan pembentukan hubungan
interneuronal yang tepat dan spesifik.
2.1.5 Plastisitas dan Periode Sensitif
Otak memiliki kemampuan untuk tetap fleksibel, waspada, responsif dan
berorientasi solusi adalah karena kemampuan otak untuk mengalami plastisitas
seumur hidup.
Plastisitas dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis: experience-expectant
dan experience-dependent. Plastisitas experience-expectant menjelaskan
modifikasi struktural genetik cenderung otak di plastisitas awal kehidupan dan
experience-dependent modifikasi struktural otak sebagai akibat dari paparan
lingkungan yang kompleks selama kehidupan.11
a. Masa kanak-kanak (sekitar 3-10 tahun)
Studi menunjukkan bahwa bayi muda dalam beberapa bulan pertama
kehidupan mereka mampu melakukan diskriminasi yang halus namun relevan

8
untuk membedakan antara konsonan dan antara vokal yang terdengar serupa,
untuk kedua bahasa asli dan asing. Bayi yang baru lahir dapat belajar
membedakan suara yang pengucapannya susah dalam beberapa jam bahkan ketika
mereka sedang tidur, bertentangan dengan pandangan bahwa tidur adalah keadaan
menetap ketika kapasitas seperti perhatian dan belajar berkurang atau tidak ada.
Sebagai aspek yang paling penting dari belajar bahasa adalah untuk menjadi
mampu berkomunikasi tidak selalu memerlukan perbedaan akurat berbicara, itu
adalah pertanyaan terbuka apakah perlu untuk menginvestasikan waktu dalam
pelatihan untuk membedakan pembicaraan asing, mengingat tingkat akurasi yang
diperlukan dalamsituasi yang berbeda.17
b. Masa Remaja (sekitar 10-20 tahun)
Sebelum teknologi pencitraan otak menjadi tersedia, secara luas diyakini
kalangan ilmuwan, termasuk psikolog, bahwa otak berhenti berkembang pada usia
12 tahun. Salah satu alasan untuk keyakinan ini adalah bahwa ukuran sebenarnya
dari otak tumbuh sangat sedikit selama tahun masa kanak-kanak. Pada saat anak
mencapai usia 6, otak sudah 90-95% dari yang ukuran dewasa. Meskipun
ukurannya hanya bertambah sedikit, otak remaja dapat dipahami sebagai "work in
progress".
Pencitraan otak telah mengungkapkan bahwa kedua volume otak dan
mielinisasi terus tumbuh seluruh remaja sampai periode dewasa muda. Ada
beberapa bagian dari otak yang mengalami perubahan selama masa remaja (lihat
Gambar 2.4). Pertama, striatum ventral, yang mengatur perilaku ,menghadapi
perubahan tertentu. Perbedaan-perbedaan ini mungkin mengarahkan otak remaja
terlibat dalam penghargaan yang tinggi dan resiko perilaku. Kedua, corpus
callosum berkembang sebelum dan selama masa pubertas. Ketiga, kelenjar pineal,
yang menghasilkan hormon melatonin yang mengatur tubuh untuk tidur, dipahami
isyarat hormon untuk mengeluarkan melatonin banyak di kemudian hari 24 jam
selama masa remaja dibandingkan pada anak-anak atau orang dewasa.
Keempat,cerebellum, yang mengatur postur, gerakan, dan keseimbangan, terus
tumbuh menjadi akhir masa remaja. Otak kecil juga mempengaruhi bagian lain
dari otak yang bertanggung jawab untuk tindakan motorik dan terlibat dalam
fungsi kognitif termasuk bahasa. Akhirnya, korteks prefrontal, yang bertanggung

9
jawab untuk fungsi eksekutif penting termasuk tingkat tinggi kognisi. Penelitian
menunjukkan bahwa cara di mana korteks prefrontal dikembangkan selama masa
remaja berpengaruh terhadap regulasi emosional.

Gambar 2.4 Otak pada Masa Remaja


Masa remaja adalah masa perubahan mental yang mendalam, yang
mempengaruhi emosional. Pengaturan kesadaran sosial, karakter, dan
kecenderungan terhadap pengembangan penyakit kejiwaan. Ini adalah periode
ketika individu sangat terbuka untuk belajar dan sosial perkembangan, dan juga
saat perilaku anti-sosial dapat terjadi. Remaja adalah periode penting dalam hal
perkembangan emosional sebagian karena lonjakan hormon dalam otak. Hormon
seks memainkan peranan penting dalam emosi remaja intens dan penemuan baru-
baru ini menunjukkan sistem limbik berperan aktif di pusat emosional otak.
c. Usia Dewasa hingga Tua
Bertentangan dengan pernyataan sekali-populer bahwa otak kehilangan
100000 neuron setiap hari (atau lebih jika disertai dengan merokok dan minum),
teknologi baru telah menunjukkan bahwa tidak ada ketergantungan usia jika salah
menghitung jumlah total neuron di setiap daerah dari korteks serebral. Pengaruh
usia hanya berlaku untuk jumlah "besar" neuron di korteks serebral.
Penurunan fungsi otak berhubungan dengan usia akibat masalah mekanisme
kognitive berpengaruh dibandingkan penyebab tunggal. Penelitian membedakan
penurunan fungsi kognisi dengan usia menunjukan penurunan kecepatan proses
kognisi dimulai pada usia dekade ke 4 dan berlaku khususnya pada proses kognisi
dimana bergantung pada area dan sirkuit dari korteks prefrontal yang disebut
“fungsi eksekusi” memburuk dengan bertambahnya usia, yang bermanifestasi
penurunan dalam menerima informasi, semakin pikun, kehilangan perhatian dan
konsentrasi.

10
Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa orang dewasa menunjukan
spesifitas atau perbedaan rekruitmen otak lebih kecil yang menunjukan susunan
fungsi kognisi. Studi Jepang terbaru membandingkan kecakapan berbahasa antara
usia muda dan usia dewasa orang Jepang. Subjek penelitian diminta berbicara
sebanyak kata semantik yang diberikan dan kategori fonologi yang mereka bisa
selama 30 detik. Jumlah kata subyek yang lebih tua bisa mengambil kira-kira 75%
dari jumlah diambil oleh kaula muda, menunjukkan lebih rendah kata-kefasihan
mereka. Mereka juga memiliki kesulitan yang lebih besar mengambil nama-nama
terkenal, dengan kinerja rata-rata mereka sekitar 55% dengan yang kaula muda.
Sebuah Positron Emission Tomography (PET) studi aktivasi dilakukan selama
tugas kefasihan kata. Di antara kaula muda, di sebelah kiri lobus temporal anterior
dan lobus frontal yang diaktifkan selama pengambilan nama yang tepat. Selama
pengambilan nama benda hidup dan mati, dan kelancaran suku kata, kiri lobus
temporal rendah-posterior dan kiri lobus frontal inferior yang diaktifkan.
Sebaliknya, daerah aktif di antara mata pelajaran tua yang ditemukan umumnya
lebih kecil atau kadang-kadang tidak aktif, meskipun daerah-daerah tertentu yang
tidak aktif di antara kaula muda aktif pada kalangan orang tua.[25]

2.2 STROKE
2.2.3 Definisi
Menurut WHO (World Health Organization) stroke didefinisikan suatu
gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala
klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat
menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.[10]
2.2.4 Epidemiologi
Studi di Amerika menunjukkan bahwa setiap tahunnya, sebanyak 795.000
orang Amerika Serikat yang mengalami stroke, 610.000 orang diantaranya
merupakan pasien serangan pertama atau kasus baru dan 185.000 orang diantaranya
merupakan pasien serangan berulang. Menurut pusat data dan informasi kementerian
kesehatan Indonesia, jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825
orang (7,0‰), sedangkan berdasarkan diagnosis/gejala diperkirakan sebanyak
2.137.941 orang (12,1‰). Prevalensi stroke tertinggi di Indonesia yaitu di Sulawesi

11
Selatan, berdasarkan gejala dan didiagnosis oleh tenaga kesehatan pada tahun 2013
yakni sebesar 17,9%.[11,12]
2.2.3 Klasifikasi
Tabel 1. Gambaran Umum Stroke Hemoragik dan Stroke Iskemik[13]
Stroke Iskemik Stroke Hemoragik
Insidens 80% stroke 20% stroke
Patofisiologi Aterotrombosis arteri besar; Ruptur aneurisme berry,
emboli otak aterosklerosis malformasi AV; hipertensi
intrakranial, lipohialinosis pada berat; diatesi yang berdarah;
pembuluh kecil yang trauma
mempenetrasi.
Gambaran Defisit neurologis biasanya Defisit neurologis tidak
Klinis terbatas pada satu daerah terbatas pada satu daerah
vaskularisasi. TIA pada 30-50%. vaskularisasi, TIA tidak
Nyeri kepala, penurunan lazim. Nyeri kepala, muntah,
kesadaran tidak lazim. penurunan kesadaran lazim
terjadi.
Terapi Awal  Aterotrombosis arteri besar:  Perdarahan subaraknoid:
tPA dalam 3 jam;atau aspirin coiling atau clipping
 Emboli kardiogenik: rt-PA aneurisme berry (dini);
dalam 3 jam; atau heparin eksisi atau embolisasi
 Stroke lakunar: terapi malformasi AV (lanjutan);
antiagregasi empiris, nimodipine untuk
pengendalian tekanan darah. mencegah vasospasme.
 Perdarahan intraserebral:
pengendalian hipertensi,
diatheses perdarahan;
drainase hematoma yang
luas secara bedah
 Hematoma
subdural/ekstradural:
drainase secara bedah bila

12
luas.

2.2.4 Faktor Risiko


Faktor risiko dapat digolongkan menjadi 2 yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dan tidak dapat dimodifikasi: [13,14]
Tidak dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi
Umur Hipertensi
Jenis kelamin Diabetes mellitus
Herediter Dyslipidemia
Ras Merokok
Konsumsi alcohol
Obesitas
Penyakit jantung

2.2.5 Patofisiologi Stroke


a) Stroke Iskemik (Non-Hemoragik)
Stroke iskemik terjadi penurunan aliran darah ke otak sehingga terjadi
penurunan perfusi dan oksigen ke otak serta terjadi peningkatan CO2 dan asam laktat.
Otak mengalami anoksia atau hipoksia mengakibatkan terjadi perubahan metabolism
otak sehingga terjadi iskemik otak. Iskemik otak dalam waktu yang lama
menyebabkan sel saraf mati permanen. Iskemik otak menyebabkan hilangnya sel-sel
otak pada inti daerah iskemik, daerah inti ini dikelilingi oleh daerah yang masih
berpotensi untuk mengalami kematian juga, daerah ini yang dikenal sebagai
penumbra atau daerah peri-infark. Potensi penumbra yang masih dimungkinkan untuk
mengalami rejuvenasi atau terselamatkan dari kematian.[13,14]
b) Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh ruptur arteri, baik intraserebral maupun
subarachnoid. Perdarahan intraserebral merupakan tipe yang tersering dari stroke
hemoragik. Hipertensi kronik merupakan penyebab utama dimana mengakibatkan
dinding pembuluh darah kecil mengalami kerusakan. Hematoma yang terbentuk
akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Penyebab lain adalah
pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, alkoholisme, terapi antikoagulan, dan

13
angiopati amyloid. Adapun perdarahan subarachnoid terjadi karena pecahnya
aneurisma atau malformasi arterivena yang perdarahannya masuk ke rongga
subarachnoid, sehingga menyebabkan cairan serebrospinal terisi oleh darah. darah
didalam CSS akan menyebabkan vasospasme sehingga menimbulkan gejala sakit
kepala hebat yang mendadak.[11]
2.2.6 Gangguan pada Stroke
AHA melakukan pemeriksaan neurologis untuk membuat klasifikasi
berdasarkan domain utama gangguan neurologis. Dalam klasifikasi ini dicatat juga
keparahan gangguan serta domain neurologis mana yang terutama terkena. AHA
mengklasifikasikan gangguan neurologis ke dalam 6 domain utama: [5,6,17]
a. Gangguan motorik: gangguan yang paling sering dari semua kelainan yang
terjadi setelah stroke, biasanya mengenai wajah, lengan, dan tungkai bisa
terjadi mono atau gabungan. Fungsi motorik dinilai termasuk fungsi saraf
kranial (termasuk gangguan menelan), gangguan kekuatan dan tonus otot,
gangguan refleks, gangguan keseimbangan, gangguan gaya berjalan koordinasi
dan apraksia. Gangguan motorik menjadi faktor yang mempengaruhi disabilitas
pasien untuk hidup mandiri. Pada penelitian yang dilakukan oleh Derick T
Wade dan Richard Langton Hewer di departemen neurologi Rumah Sakir
Bristol UK, dari 976 pasien stroke akut paling sering yang mengalami
disabilitas (penurunan fungsi) yang dinilai dengan menggunakan Barthel Index.
b. Gangguan sensorik: gangguan sensoris yang dimulai dari hilangnya sensasi
primer sampai dengan hilangnya persepsi yang sifatnya lebih kompleks.
Penderita mungkin akan mengatakan mati rasa, kesemutan atau perubahan
sensitivitas.
c. Gangguan penglihatan: stroke dapat menyebabkan hilangnya visus secara
monokuler, hemianopsia homonim, atau kebutaan kortikal.
d. Gangguan bahasa: disfasia mungkin tampak sebagai gangguan komprehensi,
lupa nama-nama, adanya repitisi, dan gangguan bicara.
e. Gangguan kognitif: stroke dapat menyebabkan gangguan memori, atensi,
orientasi, kemampuan berhitung (kalkulasi) dan kemampuan memutuskan
sesuatu. Hal ini penting untuk menilai kemampuan belajar dan kemampuan
mempertahankan informasi dalam evaluasi kognitif.

14
f. Gangguan afek: depresi merupakan gangguan afek yang paling sering terjadi
pada pasien paska stroke. Gejalanya termasuk kehilangan energi, kurangnya
minat, hilangnya napsu makan dan insomnia. Pasien yang selamat dari stroke
mungkin mengalami apathy yaitu hilangnya keinginan melakukan aktivitas
sehari-hari. mereka menunjukkan hilangnya kemampuan untuk merawat diri.

2.3 NEUROPLASTISITAS
2.2.1 Definisi Neuroplastisitas
Neuroplastisitas adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam
bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang
menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan
fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf (neurochemical),
penerimaan saraf (neuroreceptive), perubahan struktur neuron saraf dan organisasi
otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan sistem
saraf.[18]
Kemampuan sistem saraf untuk senantiasa berubah dinamakan
neuroplastisitas, kondisi ini terlihat sangat nyata saat perkembangan sistem saraf.
Otak manusia dewasa juga memiliki sebagian kemampuan tersebut untuk
mempelajari keterampilan baru, membentuk ingatan baru, dan sebagai respons
terhadap cedera otak; kemampuan ini terus berlangsung sepanjang kehidupan
manusia. Plastisitas sinaps dikaitkan dengan perbaikan fungsional setelah stroke.
Dalam kondisi normal, aktivitas sinaps pada susunan saraf pusat (SSP) dapat
berupa long term potentiation (LTP) dan long term depression (LTD). Perbedaan
kedua jenis aktivitas sinaps ini tergantung aktivitas. Jika aktivitas makin sering
diulang maka akan terbentuk LTP pada hubungan sinaps, dapat menimbulkan
remodelling sinaps bahkan pembentukan sirkuit baru; proses remodeling ini dapat
bersifat sementara, dapat pula menetap.[19]

2.2.2 PROSES NEUROPLASTISITAS


Ada tiga proses utama yang terlibat dalam neuroplastisitas: angiogenesis,
neurogenesis, dan plastisitas sinaptik (sinaptogenesis).[20]

15
a. Proses angiogenesis terjadi didalam tubuh untuk memperbaiki luka atau
memperbaiki sirkulasi darah dalam jaringan setelah trauma atau kerusakan
terjadi. Sel yang berperan dalam proses angiogenesis adalah sel endotel
yaitu sel yang melapisi pembuluh darah dan perhubungan langsung dengan
darah. Proses angiogenesis diawali dengan pelepasan dan pembentukan
faktor pertumbuhan angiogenik yang berdisfusi ke sekitar jaringan yang
rusak sehingga sel endotel membentuk molekuk-molekul baru untuk
kemudian berproliferasi dan bermigrasi menuju jaringan yang rusak.
Akhirnya sel-sel endotel yang terbentuk akan menyatu untuk saling
berhubungan satu sama lain agar darah dapat bersirkulasi di daerah yang
rusak tersebut.
b. Pada proses neuroplastisitas terdapat neurogenesis yang di perankan oleh
neural stem cell (NSC). NSC memiliki sifat yang mampu untuk
memperbarui dirinya sendiri, mampu berproliferasi dan berkembang
menjadi neuron dan sel glia
c. Pada proses neurogenesis belum ada sinaps yang menghubungkan antar
neuron. Sinaps merupakan suatu struktur yang menjadi titik temu antara satu
neuron dengan neuron lainnya sehingga impuls dapan di teruskan dari satu
neuron ke neuron lainnya.
Bagian otak, termasuk hippocampus yang memainkan peran penting dalam
pembelajaran dan memori, baru ditemukan untuk menghasilkan neuron baru
sepanjang hidup. Pembentukan neuron baru (neurogenesis), bekerja bersama-
sama dengan kematian neuron otak untuk memodifikasi struktur selama
kehidupan. Selain itu, neuron terus menyempurnakan koneksi mereka melalui
pembentukan sinaps (synaptogenesis), eliminasi (pemangkasan), penguatan dan
pelemahan. Neuron baru terbentuk dan koneksi baru terbentuksepanjang hidup,
dan sebagai otak memproses informasi dari lingkungan, sambungan aktif
diperkuat dan paling aktif melemah. Seiring waktu, koneksi yang tidak aktif
menjadi lemah dan lebih lemah dan, ketika semua koneksi neuron yang
menjaditerus-menerus tidak aktif, sel itu sendiri bisa mati. Pada saat yang sama,
koneksi aktif diperkuat. Melalui mekanisme ini, otak disesuaikan agar sesuai

16
lingkungan. Sehingga menjadi lebih efisien, dengan mempertimbangkan
pengalaman dalam rangka mengembangkan optimal arsitektur.[21]
Berbagai proses dan mekanisme yang meliputi pembentukan neuron baru
dan sel glia (neurogenesis), pembentukan hubungan baru maupun modifikasi
hubungan lama (sebagai contoh pembentukan dan eliminasi sinaps, remodeling
dendritik, axonal sprouting, dan pruning) dikenal sebagai proses neuroplastik.
Proses neurogenesis pada usia dewasa diketahui terjadi pada dua tempat. Neuron
yang lahir pada zona subventrikular (SVZ) di dekat caudate bergabung ke dalam
bulbus olfaktori, sementara neuron yang lahir pada zona subgranular pada girus
dentate bergabung ke hipokampus (Gambar 2.5). Walaupun masih merupakan
sebuah kontroversi. terdapat bukti adanya generasi dari neuron baru pada region
ventricular lainnya yang bergabung ke area kortikal dan subkortikal. Faktor-faktor
pertumbuhan (sebagai contoh brain-derived neurotrophic factor [BDNF],
vascular endothelial growth factor [VEGF], insulin-like growth factor [IGF])
memainkan peranan yang penting dalam meregulasi proses neurogenik dengan
cara meningkatkan jumlah sel yang lahir dan memicu maturasi dan kelangsungan
hidupnya. Sel glia dipercaya memiliki peran penting dalam proses ini, secara
langsung maupun tidak langsung, dalam mendukung dan meregulasi
perkembangan neuron baru.[24]

Gambar 2.5. Proses neurogenesis yang terjadi di usia dewasa pada manusia.
Neuron yang lahir pada zona subventrikular di dekat caudate (area biru padat)
bermigrasi secara ventral, dan kemudian rostral (garis putus-putus biru), untuk
bergabung ke bulbus olfaktorius. Neuron yang lahir pada zona subgranular dari
girus dentate (area kuning padat) bergabung ke girus dentate (titik kuning).
Walaupun masih kontroversi, terdapat bukti adanya pembentukan neuron baru

17
pada region ventricular lain (area jingga padat) dan bergabungnya neuron baru
pada bagian kortikal dan subkortikal lainnya (titik jingga).[24]
Berbagai faktor yang memodulasi neuroplastisitas telah ditemukan pada
studi penelitian di hewan, meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan peningkatan neurogenesis meliputi kesuburan alam,
latihan, proses belajar, electroconvulsive shock, dan administrasi kronik dari
antidepresan dan medikasi psikotropik lainnnya. Neurogenesis reaktif (meningkat
setelah jejas) juga telah dilaporkan. Stress kronik, depresi, dan penyakit telah
dihubungkan dengan suppressed neurogenesis.[25]

2.2.3 Pemulihan dan Kebutuhan Waktu Pasca-Stroke


a. Pemulihan Neurologis Spontan atau Intrinsik
Sebagai aturan umum, tingkat keparahan defisit awal berbanding terbalik
dengan prognosis pemulihan. Hampir semua pemulihan spontan terjadi selama
tiga hingga enam bulan pertama pasca stroke. Jalannya pemulihan secara negatif
berakselerasi sebagai fungsi waktu dan merupakan fenomena yang dapat
diprediksi. Skilbeck et al. mempelajari 92 penderita stroke dengan usia rata-rata
67,5 tahun pada penilaian akhir, baik dua atau tiga tahun setelah stroke. Mayoritas
pemulihan dilaporkan dalam enam bulan pertama, dengan pemulihan yang
berlanjut tetapi tidak signifikan secara statistik setelah enam bulan[26].
Pemulihan pasca stroke paling baik dipelajari dengan pemulihan motorik.
Pemulihan spontan sebagaimana didefinisikan dengan mengukur kerusakan
motorik telah ditemukan untuk menyelesaikan dengan proporsi tetap. Misalnya,
dalam enam bulan stroke, pemulihan motorik ekstremitas atas terjadi dengan
proporsi tetap. Sekitar 70% dari setiap peningkatan maksimum yang mungkin
terjadi pada setiap pasien terlepas dari gangguan awal (skor Fugl-Meyer), tetapi
hanya untuk mereka yang memiliki fungsi saluran kortikospinal (motor) yang
relatif utuh. Proporsionalitas tetap telah terbukti berlaku untuk pasien di semua
usia dan negara dengan layanan rehabilitasi yang berbeda[26].
Kerusakan struktural ireversibel pada saluran kortikospinal sangat membatasi
pemulihan gerakan ekstremitas atas. Resolusi proporsional kerusakan motor

18
ekstremitas atas pasca stroke dikaitkan dengan hasil pemulihan. Pemulihan
kerusakan spontan ini secara minimal dipengaruhi oleh terapi rehabilitasi[26].

b. Pemulihan Fungsional atau Adaptif


Pemulihan fungsional mengacu pada peningkatan kemandirian di bidang-
bidang seperti perawatan diri dan mobilitas. Pemulihan tergantung pada motivasi
pasien, kemampuan belajar, dan dukungan keluarga serta kualitas dan intensitas
terapi. Jenis pemulihan ini dapat dimodifikasi dengan intervensi, tetapi dapat
terjadi secara independen dari pemulihan neurologis. Defisit fungsional sering
disebut sebagai kecacatan dan diukur dari segi fungsi seperti aktivitas sehari-hari
(ADL).
Jadi, Pemulihan neurologis dari gangguan adalah proses intrinsik yang alami,
spontan. Pemulihan fungsional kemandirian dipengaruhi oleh strategi
pembelajaran kompensasi / adaptif (mis. Rehabilitasi) dan faktor ekstrinsik
lainnya (mis. Dukungan keluarga).

c. Mekanisme Pemulihan Neurologis


Sementara sejumlah proses telah diidentifikasi sebagai memainkan peran
dalam pemulihan neurologis setelah stroke, peran yang dimainkan setiap proses
tidak sepenuhnya dipahami. Pemulihan dari stroke sering dikaitkan dengan
resolusi edema dan kembalinya sirkulasi dalam penumbra iskemik. [27]
Namun, pemulihan spontan dapat diperpanjang jauh melewati periode
resolusi dari perubahan struktural akut yang disebabkan oleh stroke, dengan
pemulihan terjadi empat hingga enam minggu pasca stroke. Selain itu, uji klinis
telah menunjukkan bahwa korteks serebral mengalami reorganisasi fungsional dan
struktural selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah cedera.
dengan perubahan kompensasi hingga enam bulan pada stroke yang lebih parah.
Pemulihan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. 1) Proses CNS lokal
(pemulihan dini); dan 2) reorganisasi CNS (pemulihan akhir). [28][29]

19
d. Proses Lokal (Pemulihan Awal)
Proses lokal yang mengarah ke perbaikan klinis awal, terlepas dari
perilaku atau rangsangan.
 Edema Pasca-Stroke
Edema yang mengelilingi lesi dapat mengganggu fungsi saraf di
dekatnya. Beberapa pemulihan awal mungkin disebabkan oleh resolusi
edema yang mengelilingi daerah yang mengalami infark dan ketika edema
mereda, neuron-neuron ini dapat berfungsi kembali. Proses ini dapat
berlanjut hingga delapan minggu tetapi umumnya diselesaikan jauh lebih
awal. Pendarahan otak cenderung dikaitkan dengan lebih banyak edema,
yang membutuhkan waktu lebih lama untuk mereda, tetapi pada gilirannya
dapat dikaitkan dengan pemulihan yang lebih dramatis.[30]
 Reperfusi Penumbra Iskemik
Reperfusi penumbra iskemik adalah proses lokal lain yang dapat
memfasilitasi pemulihan dini. Cedera iskemik fokal terdiri dari inti dari
aliran darah rendah yang akhirnya infark. Ini dikelilingi oleh daerah aliran
darah sedang, yang dikenal sebagai isumbemik penumbra, yang berisiko
infark tetapi masih dapat diselamatkan. Reperfusi area ini menyebabkan
neuron yang sebelumnya tidak berfungsi kembali berfungsi dengan
perbaikan klinis berikutnya.[31]
 Resolusi Diaschisis
Diaschisis adalah keadaan reaktivitas rendah atau fungsi tertekan
sebagai hasil dari gangguan tiba-tiba input utama ke bagian otak yang jauh
dari lokasi kerusakan otak. Dengan cedera pada satu area otak, area lain
dari jaringan otak tiba-tiba kehilangan sumber stimulasi utama. Nudo et al.
mencatat bahwa diaschisis terjadi lebih awal setelah cedera dan merupakan

20
penghambatan atau penekanan jaringan kortikal di sekitarnya atau daerah
kortikal pada jarak yang saling berhubungan dengan inti cedera.
Reversibilitas mungkin sebagian karena resolusi edema, yang dapat
menjelaskan sebagian dari pemulihan spontan. Fungsi saraf dapat kembali
mengikuti resolusi diaschisis, terutama jika area otak yang terhubung
dibiarkan utuh. Ini terutama berlaku untuk struktur non-kortikal setelah
cedera kortikal.[32]

e. Reorganisasi CNS (Pemulihan lanjutan)


Reorganisasi neurologis memainkan peran penting dalam pemulihan fungsi
yang merupakan kombinasi dari pemulihan spontan, peningkatan gangguan, dan
belajar kembali melalui rehabilitasi. Ini dapat memperpanjang untuk jangka waktu
yang jauh lebih lama daripada proses lokal, seperti resolusi edema atau reperfusi
penumbra, dan sangat menarik karena dapat dipengaruhi oleh pelatihan
rehabilitasi. Berdasarkan penelitian pada hewan, Nudo mengemukakan bahwa
perubahan yang terjadi selama pembelajaran motorik (mis. Synaptogenesis)
kemungkinan merupakan jenis perubahan yang sama yang terjadi pada masa
pemulihan dari stroke. Hubungan ini telah ditunjukkan dengan baik setelah lesi
kecil dan fokus pada korteks motorik di mana prinsip pembelajaran motorik yang
sama dan pengembangan koneksi fungsional terjadi pada jaringan yang
berdekatan dan tidak rusak. [32]
Nudo juga melaporkan bahwa neuroplastisitas pasca stroke didasarkan pada
tiga konsep utama (dengan korteks motor sebagai contoh):
1) Pada otak non-stroke, akuisisi gerakan terampil dikaitkan dengan
perubahan fungsional yang dapat diprediksi dan terkait dalam korteks motorik;
2) Cedera pada motor korteks pasca stroke menghasilkan perubahan
fungsional pada jaringan kortikal yang tersisa;
3) Setelah stroke kortikal, kedua pengamatan ini berinteraksi sehingga
memperoleh keterampilan motorik berhubungan dengan reorganisasi neurologis
fungsional di korteks yang tidak rusak.

21
Neuroplastisitas atau reorganisasi kortikal merupakan dasar pemikiran
penting untuk rehabilitasi dan dasar neurofisiologis utama pemulihan neurologis
pasca stroke. [32]

f. Waktu Pemulihan
Pemulihan neurologis puncak dari stroke terjadi dalam tiga bulan pertama.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pemulihan dapat berlanjut pada
kecepatan yang lebih lambat selama setidaknya enam bulan. Hingga 5% pasien
terus pulih hingga satu tahun, yang terutama berlaku untuk pasien yang cacat
berat pada saat pemeriksaan awal. Kemajuan menuju pemulihan dapat meningkat
pada setiap tahap pemulihan dengan hanya sebagian kecil dari mereka yang
mengalami stroke sedang hingga berat (sekitar 10%) mencapai "pemulihan
penuh". Kembalinya daya motor tidak identik dengan pemulihan fungsi; fungsi
dapat terhambat oleh ataksia, apraksia, defisit sensorik, gangguan komunikasi,
dan gangguan kognitif. Perbaikan fungsional dapat terjadi tanpa pemulihan
neurologis dan dapat berlanjut selama berbulan-bulan setelah pemulihan
neurologis selesai. [33]
Dalam Studi Stroke Kopenhagen, Jorgensen et al. (1995) mempelajari 1.197
pasien akut dari populasi besar berbasis komunitas yang secara berturut-turut
dirawat di unit stroke 63 tempat tidur. Gangguan neurologis diklasifikasikan
menggunakan Skala Stroke Skandinavia (SSS) dan cacat fungsional didefinisikan
sesuai dengan Indeks Barthel (BI). Biasanya, pemulihan untuk penurunan nilai
dan cacat fungsional berarti skor tertinggi yang tercatat dalam SSS dan BI, tanpa
perbaikan lebih lanjut. Pada saat penilaian awal, 41% pasien mengalami stroke
ringan, 26% sedang, dan 19% parah, yang mencerminkan keparahan gangguan
neurologis mereka. Sebagai kelompok, 95% dari semua pasien mencapai tingkat
neurologis terbaik dalam rata-rata 11 minggu. Untuk pasien dengan stroke ringan,
95% mencapai pemulihan neurologis maksimal dalam waktu enam minggu; 95%
dari mereka dengan stroke sedang, parah, dan sangat parah mencapai pemulihan
maksimal dalam 10, 15, dan 13 minggu masing-masing. [33]
Pemulihan neurologis terjadi rata-rata dua minggu lebih awal dari pemulihan
fungsional. Pada pasien yang selamat, pemulihan neurologis terbaik terjadi dalam

22
4,5 minggu pada 80% pasien, sementara fungsi ADL terbaik dicapai dalam 6
minggu. Untuk 95% pasien, pemulihan neurologis terbaik dicapai pada 11 minggu
dan fungsi ADL terbaik dalam 12,5 minggu. Fungsi berjalan terbaik dicapai
dalam waktu empat minggu untuk pasien dengan paresis ringan dari ekstremitas
bawah yang terkena, enam minggu untuk pasien dengan paresis sedang, dan 11
minggu untuk kelumpuhan parah. Akibatnya, perjalanan waktu baik pemulihan
neurologis dan fungsional sangat terkait dengan keparahan stroke awal dan cacat
fungsional. Jorgensen et al. (1995; 1995) juga mencatat bahwa dua pertiga dari
semua penderita stroke mengalami stroke ringan hingga sedang dan mampu
mencapai kemandirian dalam ADL. [33]
Berdasarkan pengamatan dari Copenhagen Stroke Study, dapat disimpulkan
bahwa keparahan awal stroke berbanding terbalik dengan hasil fungsional akhir,
dengan sebagian besar pasien yang menderita stroke ringan hanya menunjukkan
cacat ringan atau tidak ada cacat, sedangkan mayoritas pasien yang menderita
stroke yang sangat parah mengalami defisit parah atau sangat parah bahkan
setelah menyelesaikan rehabilitasi. [33]
Jadi, pemulihan neurologis memuncak dalam tiga bulan pertama pasca stroke
dan dapat berlanjut pada kecepatan yang lebih lambat pada bulan-bulan
berikutnya. Pemulihan fungsional dapat berlanjut untuk waktu yang lama setelah
selesainya pemulihan neurologis. Secara keseluruhan, pemulihan umumnya lebih
besar dan lebih cepat dalam stroke yang lebih ringan. [33]

2.2.4 Definisi Motor Relearning Programme (MRP)


Metode MRP merupakan program spesifik untuk melatih kontrol motorik
spesifik dengan menghindarkan gerakan yang tidak perlu/ salah serta melibatkan
proses kognitif, penerapan ilmu gerak dan psikologis, pelatihan, pemahaman
tentang anatomi dan fisiologi saraf serta keberadaan pada teori keberadaan
normal.[19]
Motor lerning (pembelajaran motorik) berperan dalam sinaptogenesis atau
pembentukan sinaps baru. Ketika satu neuron sering berkomunikasi dengan
neuron lain, ujung aksonnya akan membentuk cabang yang kemudian membentuk
sinaps tambahan sehingga neuron presinaps memiliki efek lebih besar terhadap

23
potensial membrane neuron pasca sinaps dan komunikasi antar neuron dapat
berjalan lebih cepat dan lebih efektif.[21]
Pendekatan motor relearning ini menekankan pada pelatihan tugas-tugas
yang spesifik. Pemberian feedback yang sesuai kepada pasien selama melakukan
pelatihan motorik dengan tugas-tugas spesifik akan meningkatkan pembelajaran
fungsi motorik serta kesembuhannya.[20]
Teknik ini memberikan latihan fungsional dan identifikasi kunci utama
suatu tugas-tugas motorik, seperti duduk, berdiri atau berjalan. Setiap tugas
motorik dianalisis, ditentukan komponen-komponen yang tidak dapat dilakukan,
melatih penderita untuk hal-hal tersebut serta memastikan latihan ini dilakukan
pada aktivitas sehari-hari pasien.[19]
Latihan tersebut dapat memberikan proses pembelajaran aktivitas
fungsional serta menerapkan premis dasar bahwa kapasitas otak mampu untuk
reorganisasi dan beradaptasi (plastisitas otak) dan dengan latihan yang terarah
dapat saja menjadi sembuh dan membaik, selain itu sebagai relearning kontrol
motorik sehingga dapat mengeliminasi gerakan yang tidak diperlukandan
meningkatkan kemampuan pengaturan postural dan gerakan. [15]
Beberapa tujuan dalam pemberian motor relearning programme (MRP)
pada pasien pasca stroke yaitu:[20,21]
a. Membantu penderita stroke bergerak dalam aktivitas fungsional dengan
pola gerakan normal.
b. Membantu penderita stroke mencapai suatu pergerakan aktif secara
otomatis.
c. Memberikan repetisi sehingga pola normal tingkah laku dapat dipelajari.
Melatih penderita stroke dalam sejumlah kondisi yang bervariasi sehingga
keterampilan dapat ditransfer pada situasi dan lingkungan yang berbeda-beda.
Terdapat 3 tahapan motor learning menurut Winstein CJ. (1987) sebagai berikut :
a. Cognitive stage
Pada tahap ini dibutuhkan pemusatan perhatian dalam memahami tugas-
tugas motorik yang akan dilakukan dan strategi untuk melakukannya.
b. Associative stage

24
Mulai dikembangkan rujukan internal tentang pergerakan motorik yang
tepat dalam melakukan suatu tugas motorik, sehingga penderita dapat
membandingkan penampilan motoriknya dengan rujukan ini.
c. Autonomous stage
Ditandai dengan atensi minimal pada penampilan motorik. Kemampuan
untuk mendeteksi kesalahan telah berkembang penuh dan penampilan
motorik bersifat stabil dan otomatis.
Pada perencanaan terapi berdasarkan konsep motor learning yang terdapat
pada MRP berdasarkan pada feedback dan tipe-tipe latihan yang bermanfaat bagi
pasien stroke. Feedback atau umpan balik merupakan faktor penting yang
mempengaruhi proses motor learning yang dibagi menjadi feedback intrinsik dan
ekstrinsik. Feedback intrinsik didefinisikan sebagai suatu informasi sensori yang
datang dari reseptor khsusus di dalam otot, sendi, tendon, dan kulit serta reseptor
auditorius baik selama selama atau setelah dihasilkannya gerakan. Sedangkan
feedback ekstrinsik informasi dari sumber eksternal tentang gerakan yang
diberikan kepada pasien yang melakukan latihan gerakan.[22]
Pada awal tahap kognitif (cognitive stage) diperlukan pemberian umpan
balik ekstrinsik yang cukup besar, sementara pada tahap asosiasi umpan balik ini
mulai dikurangi, karena bila hal ini ddak dilakukan, maka pasien stroke akan
menjadi seseorang yang ridak mandiri dalam melakukan tugas-tugas motoriknya.
Selain feedback yang diberikan pada pasien stroke, tipe-tipe latihan juga
berpengaruh dalam meningkatkan motor learning.[22]
MRP terdiri dari tujuh sesi yang mewakili fungsi penting (tugas motorik)
dari kehidupan sehari-hari yang di kelompokan menjadi :
a. Fungsi ektremitas atas
b. Fungsi ektremitas orafasia
c. Gerak motorik saat dari tidur ke duduk di tepi tempat tidur
d. Keseimbangan duduk
e. Posisi duduk ke berdiri
f. Keseimbangan berdiri
g. Berjalan

25
Carr dan Sheperd (1987) membagi menjadi empat tahapan dalam Motor
Relearning Programme (MRP) seperti pada tabel berikut.

Langkah 1 Analisa gerakan:


Pengamatan
Perbandingan
Analisa
Langkah 2 Latihan untuk komponen yang hilang:
Penjelasan-identifikasi dari tujuan
Instruksi
Pelatihan+umpan balik verbal dan visual+petunjuk manual
Langkah 3 Pelatihan gerakan:
Penjelasan–identifikasi dari tujuan
Instruksi
Pelatihan+umpan balik verbal dan visual+petunjuk manual
Re-evaluasi
Melatih fleksibilitas
Langkah 4 Perpindahan dari latihan:
Kesempatan untuk berlatih sesuai aktivitas
Konsisten dari latihan
Mengorganisasikan untuk memonitor latihannya sendiri
Keterlibatan keluarga dan orang terdekat
Pada tahap pertama MRP yaitu analisa gerakan, fisioterapis melakukan
observasi terhadap aktivitas pasien yang saat itu mampu dilakukan. Pada hasil
observasi ini akan didapatkan gambaran mengenai ketidaknormalan dari gerakan
yang dilakukan pasien oleh karena adanya komponen gerakan yang hilang.
Kemudian dibandingkan gerakan yang tidak normal tersebut dengan gerakan yang
seharusnya terjadi dan mencatat komponen gerakan apa saja yang hilang.
Pada tahap ke dua MRP yaitu latihan komponen yang hilang, dari
komponen-komponen apa saja yang hilang dalam suatu gerakan, fisioterapis
kemudian melatih pasien untuk melakukan gerakan dari komponen yang tadi.

26
Langkah ini dimulai dengan memberikan penjelasan kepada pasien tentang tujuan
dari latihan yang akan diberikan. Dalam memberikan latihan, instruksi dan aba-
aba disampaikan dengan jelas sesuai dengan tingkat pemahaman pasien. Latihan
diberikan dengan cara mengarahkan gerakan dengan pegangan fisioterapis sambil
memberikan feedback secara verbal dan visual.
Pada tahap ke tiga MRP yaitu latihan keseluruhan gerakan atau aktivitas,
dimana setelah masing-masing komponen gerak yang dilatihkan mampu
dilakukan pasien, selanjutnya dilatih untuk melakukan keseluruhan gerak.
Langkah ini juga dimulai dengan memberikan penjelasan, intruksi yang jelas,
mengarahkan gerak sambil memberikan feedback kepada pasien, ditambah dengan
langkah evaluasi dan diakhiri dengan pemberian rangsangan untuk fleksibilitas.
Pada tahap ke empat MRP yaitu mentransfer latihan ke aktivitas nyata,
dimana pasien telah mampu melakukan keseluruhan gerak fungsional yang
diberikan sebelumnya, maka pasien kemudian diberikan kesempatan untuk
melakukan gerak fungsional ke dalam lingkungan aktivitas yang nyata. Latihan
ini harus dilakukan secara konsisten agar pasien mampu mengorganisasikan
latihannya untuk memonitor dirinya sendiri. Keterlibatan keluarga serta staff
sangat diperlukan untuk memperoleh hasil yanh diharapkan.[23]
a. Prosedur Pelaksanaan Motor Relearning Programme (MRP)
Kemampuan untuk berada dalam posisi yang seimbang di perlukan keselarasa
tubuh dan penyesuaian tubuh ketika pusat gravitasi berubah. Keseimbangan
berdiri meliputi kemampuan untuk berdiri beberapa waktu tanpa menggunakan
aoktivitas otot yang tidak di perlukan, untuk bergerak sehingga membentuk
variasi gerakan, bergerak ke depan dan ke belakang dalam posisi berdiri, dan
persiapan melangkah. Posisi seimbang ketika berdiri adalah kedua kaki berjarak
beberapa inchi sehingga tungkai pada posisi vertikal. Keseimbangan tubuh
bergantung dari sejumlah faktor : yaitu tempat berpijak, apa yang dilakukan,
faktor lainnya seperti umur dan jenis kelamin. [23]
1. Komponen penting pembentuk keseimbangan berdiri :
a. kaki berjarak beberapa inchi
b. panggul berada di depan pergelangan kaki
c. bahu melewati panggul

27
d. kepala seimbang dengan bahu
e. tubuh tegak
f. persiapan pengaturan postural
g. pengaturan postural saat melakukan gerakan
2. Bentuk latihan
a. Analisa
Analisa berdiri meliputi pengamatan keseimbangan pasien pada posisi berdiri
diam, mengamati kemampuan pasien untuk menyesuaikan diri saat ekstremitas,
kepala dan tubuh bergerak melakukan aktivitas.
1) Gerakan kompensasi yang sering di temukan pada pasien adalah :
a. Dasar tumpuan yang terlalu lebar
b. Gerakan yang disadari terbatas
c. Pasien menyeret kakinya agar tubuh dapat seimbang
d. Pasien mengambil langkah atau bergerak terlalu awal di banding
normal.
e. Panggul pasien fleksi (seharusnya pergelangan kaki dorsofleksi) agar
bisa bergerak ke depan dan menggerakkan tubuh agar bisa bergerak ke
samping.
f. Menggunakan lengan untuk mendukung posisi berdiri dan
meminimalisir efek gravitasi.
2) Langkah 2 dan 3 latihan keseimbangan Berdiri
Berdiri pada permukaan yang datar, tangan berada di sisi tubuh,
fisioterapis mengoreksi pelvis, kaki terbuka sedikit, mencegah lurut fleksi dan
pandangan lurus kedepan.
a. Gerakan kepala dan trunk :
 berdiri dengan kaki terbuka, melihat keatas langit-langit dan kembali lagi
melihat ke depan.
 Berdiri dengan kaki terbuka, menolehkan kepala dan juga tubuh
kebelakang, kembali ke mid posisi, ulangi dengan melihat pada sisi yang
lain.
b. Gerakan meraih

28
Meraih ke depan, ke samping (samping kanan dan kiri), kebelakang,
kembali ke mid posisi. Terapis membantu pasien memfleksikan sholder ke depan
pada area yang lemah, satu tangan di bagian elbow dan satu lagi di bagian wrist.

c. Latihan keseimbangan dengan kedua kaki dirapatkan.


Memberikan instruksi yang jelas kepada pasien untuk berdiri dengan
benar, pastikan pasien dalam keadaan stabil, lalu minta pasien untuk melebarkan
dan merapatkan kedua kakinya dengan keadaan membuka mata, dan selanjutnya
dengan posisi menutup mata .
d. Berdiri dengan mengangkat 1 kaki secara bergantian.
3) Langkah 4 mengaplikasikan latihan-latihan yang telah dilakukan dalam akivitas
sehari-hari.

2.2.4 Tahap-Tahap Pemulihan Stroke [34]


Pendekatan Brunnstrom dikembangkan pada tahun 1960 oleh Signe
Brunnstrom, seorang ahli terapi okupasi dan fisik dari Swedia. Dengan tujuh
tahap, Pendekatan Brunnstrom memecah bagaimana kontrol motor dapat
dipulihkan ke seluruh tubuh setelah menderita stroke.
Biasanya, gerakan otot adalah hasil dari berbagai kelompok otot yang
bekerja bersama. Para peneliti telah menyebut kolaborasi antara otot-otot ini
sebagai "sinergi". Otak memiliki tugas rumit mengoordinasikan gerakan-gerakan
ini, banyak di antaranya menjadi sangat terpengaruh setelah stroke.
Setelah stroke terjadi, otot menjadi lemah karena kurangnya koordinasi
antara otak dan tubuh. Ini menyebabkan sinergi otot bergerak dalam pola
abnormal.
Tahap 1: flaksiditas
Tahap pertama dalam Pendekatan Brunnstrom adalah periode awal syok
segera setelah stroke dimana kelumpuhan flaksid terjadi. Kelumpuhan ini
disebabkan oleh kerusakan saraf yang mencegah otot menerima sinyal yang tepat
dari otak.

29
Pada keadaan awal flaksiditas, penderita stroke tidak dapat melakukan
gerakan otot di bagian tubuh yang terkena. Jika ini berlangsung cukup lama tanpa
intervensi atau terapi fisik, otot-otot yang tidak digunakan menjadi jauh lebih
lemah, dan mulai berhenti tumbuh. Sederhananya, otot perlu digunakan untuk
mempertahankan nada dan definisi mereka.
Tahap 2: Spastisitas
Tahap kedua dalam pemulihan stroke menandai pembangunan kembali
beberapa sinergi anggota gerak dasar ketika otot-otot tertentu dirangsang atau
diaktifkan dan otot-otot lain dalam sistem yang sama mulai merespons. Otot mulai
membuat gerakan kecil, kejang, dan abnormal selama tahap ini. Meskipun
gerakan ini sebagian besar tidak disengaja, mereka bisa menjadi tanda yang
menjanjikan selama pemulihan Anda. Gerakan sukarela minimal mungkin ada
atau tidak ada di tahap dua.
Sinergi otot dihasilkan dari gerakan koordinasi otot untuk melakukan
tugas yang berbeda. Sinergi ini memungkinkan pola gerakan umum yang
melibatkan aktivasi otot kooperatif atau resiprokal. Karena otot terhubung, satu
otot yang diaktifkan dapat menyebabkan respons parsial atau lengkap pada otot
lain. Sinergi ini dapat membatasi otot pasien untuk gerakan tertentu, mencegah
mereka menyelesaikan gerakan volunteer yang ingin mereka buat. Namun, karena
perkembangan neurologis dan pertumbuhan kembali sel terjadi setelah stroke,
beberapa koneksi baru dapat dibentuk untuk menyambung ke jaringan otot.
Tahap 3: Peningkatan Spastisitas
Spastisitas otot meningkat selama tahap ketiga pemulihan stroke,
mencapai puncaknya. Spastisitas terasa seperti otot-otot kaku, tegang, atau ditarik
yang luar biasa. Ini disebabkan oleh kerusakan ke jalur saraf di dalam otak atau
sumsum tulang belakang yang mengontrol pergerakan otot. Kurangnya
kemampuan untuk membatasi neuron motorik otak menyebabkan otot
berkontraksi terlalu sering. spastisitas menyebabkan peningkatan kekakuan dan
tonus otot yang abnormal yang dapat mengganggu gerakan, bicara, atau
menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa sakit.

30
Selama tahap 3, pola sinergi juga mulai muncul dan gerakan volunteer
minimal harus diharapkan. Peningkatan gerakan tak disengaja ini disebabkan
karena dapat memulai gerakan pada otot, tetapi tidak mengendalikannya.
Munculnya pola sinergi dan koordinasi antara otot memfasilitasi gerakan
volunteer yang menjadi lebih kuat dengan terapi okupasi dan fisik.
Otot dengan spastisitas parah, seperti yang ada pada tahap 3 pemulihan
stroke, cenderung lebih terbatas dalam kemampuan mereka untuk berolahraga dan
mungkin memerlukan bantuan untuk melakukan ini. Pasien dan keluarga /
pengasuh harus dididik tentang pentingnya mempertahankan rentang gerak dan
melakukan latihan sehari-hari.
Tahap 4: Penurunan Spastisitas
Selama tahap empat pemulihan stroke, gerakan spastik otot mulai
menurun. Pasien akan mendapatkan kembali kontrol sebagian besar di
ekstremitas, dan mereka akan memiliki kemampuan terbatas untuk bergerak
secara normal. Gerakan mungkin masih tidak selaras dengan sinergi otot, tetapi
ini akan meningkat dengan cepat selama tahap ini.
Fokus selama tahap ini adalah memperkuat dan meningkatkan kontrol
otot. Sekarang setelah Anda mendapatkan kembali kontrol motor dan dapat mulai
membuat gerakan normal dan terkontrol secara terbatas, Anda dapat mulai
membangun kekuatan kembali pada anggota tubuh Anda dan terus bekerja pada
rentang gerak Anda. Melanjutkan meregangkan otot masih penting pada tahap ini.
Tahap 5: Kombinasi Gerakan Kompleks
Pada tahap 5, spastisitas terus menurun dan pola sinergi di dalam otot juga
menjadi lebih terkoordinasi, memungkinkan gerakan volunteer menjadi lebih
kompleks. Gerakan abnormal juga mulai menurun secara dramatis selama tahap 5,
tetapi beberapa mungkin masih ada.
Pasien akan dapat membuat gerakan yang lebih terkontrol dan disengaja
pada anggota badan yang terkena stroke. Pergerakan sendi yang terisolasi
mungkin juga terjadi.
Semua gerakan sukarela melibatkan otak, yang mengirimkan impuls motor
yang mengendalikan gerakan. Sinyal motorik ini dimulai oleh pikiran dan juga

31
harus melibatkan respons terhadap rangsangan sensorik. Stimulus sensorik yang
memicu respons sukarela ditangani di banyak bagian otak.
Tahap 6: Spastisitas Menghilang
Pada tahap enam, kelenturan dalam gerakan otot menghilang sepenuhnya.
Anda dapat menggerakkan sendi individu, dan pola sinergi menjadi jauh lebih
terkoordinasi. Kontrol motor hampir sepenuhnya dipulihkan, dan Anda dapat
mengoordinasikan gerakan jangkauan kompleks di ekstremitas yang terpengaruh.
Gerakan abnormal atau spastik telah berhenti.
Tahap 7: Fungsi Normal Kembali
Tahap terakhir dalam Pendekatan Brunnstrom adalah ketika Anda
mendapatkan kembali fungsi penuh di area yang terkena stroke. Anda sekarang
dapat menggerakkan lengan, kaki, tangan, dan kaki Anda secara terkendali.
Karena Anda memiliki kendali penuh atas gerakan otot Anda, pola sinergi
juga telah kembali normal. Mencapai tahap tujuh adalah tujuan akhir bagi terapis
dan pasien.

32

Anda mungkin juga menyukai