Anda di halaman 1dari 8

PROGRAM NASIONAL

GAMBARAN UMUM

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia, Pemerintah


menetapkan beberapa program nasional yang menjadi prioritas. Program prioritas
tersebut meliputi:
a) menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan angka
kesehatan ibu dan bayi
b) menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS
c) menurunkan angka kesakitan tuberkulosis
d) pengendalian resistensi antimikroba
e) pelayanan geriatri
Implementasi program ini di rumah sakit dapat berjalan baik apabila mendapat
dukungan penuh dari pimpinan/direktur rumah sakit berupa penetapan regulasi,
pembentukan organisasi pengelola, penyediaan fasilitas, sarana dan dukungan
finansial untuk mendukung pelaksanaan program.

1. PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI SERTA


PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN BAYI

Rumah sakit melaksanakan program PONEK 24 jam di rumah sakit beserta


monitoring dan evaluasinya.

Rumah sakit menyiapkan sumber daya untuk penyelenggaraan pelayanan PONEK.

Rumah sakit melaksanakan pelayanan rawat gabung, mendorong pemberian ASI


ekslusif, melaksanakan edukasi dan perawatan metode kangguru pada bayi berat
badan lahir rendah (BBLR).
Mengingat kematian bayi mempunyai hubungan erat dengan mutu penanganan
ibu hamil dan melahirkan, maka proses antenatal care, persalinan dan perawatan
bayi harus dilakukan dalam sistem terpadu di tingkat nasional dan regional.
Pelayanan obstetri dan neonatal regional merupakan upaya penyediaan pelayanan
bagi ibu dan bayi baru lahir secara terpadu dalam bentuk Pelayanan Obstetri
Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) di Rumah Sakit dan Pelayanan
Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di tingkat Puskesmas.

Rumah Sakit PONEK 24 Jam merupakan bagian dari sistem rujukan dalam
pelayanan kedaruratan dalam maternal dan neonatal, yang sangat berperan dalam
menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir.

Kunci keberhasilan PONEK adalah ketersediaan tenaga-tenaga kesehatan yang


1
sesuai kompetensi, prasarana, sarana dan manajemen yang handal.

Rumah sakit dalam melaksanakan program PONEK sesuai dengan pedoman


PONEK yang berlaku, dengan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut:
a) melaksanakan dan menerapkan standar pelayanan perlindungan ibu dan bayi
secara terpadu dan paripurna.
b) mengembangkan kebijakan dan SPO pelayanan sesuai dengan standar
c) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi termasuk
kepedulian terhadap ibu dan bayi.
d) meningkatkan kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan fungsi pelayanan
obstetrik dan neonatus termasuk pelayanan kegawat daruratan (PONEK 24
jam)
e) meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai model dan pembina teknis dalam
pelaksanaan IMD dan pemberian ASI Eksklusif
f) meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan
ibu dan bayi bagi sarana pelayanan kesehatan lainnya.
g) meningkatkan fungsi rumah sakit dalam Perawatan Metode Kangguru (PMK)
pada BBLR.
h) melaksanakan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan program RSSIB
10 langkah menyusui dan peningkatan kesehatan ibu
i) ada regulasi rumah sakit yang menjamin pelaksanaan PONEK 24 jam,
meliputi pula pelaksanaan rumah sakit sayang ibu dan bayi, pelayanan ASI
eksklusif (termasuk IMD), pelayanan metode kangguru, dan SPO Pelayanan
Kedokteran untuk pelayanan PONEK
j) dalam rencana strategis (Renstra), rencana kerja anggaran (RKA) rumah
sakit, termasuk upaya peningkatan pelayanan PONEK 24 jam
k) tersedia ruang pelayanan yang memenuhi persyaratan untuk PONEK antara
lain rawat gabung
l) pembentukan tim PONEK
m) tim PONEK mempunyai program kerja dan bukti pelaksanaannya
n) terselenggara pelatihan untuk meningkatan kemampuan pelayanan PONEK
24 jam, termasuk stabilisasi sebelum dipindahkan
o) pelaksanaan rujukan sesuai peraturan perundangan
p) pelaporan dan analisis meliputi :
 angka keterlambatan operasi operasi section caesaria (SC) ( > 30
menit)
 angka keterlambatan penyediaan darah ( > 60 menit)
 angka kematian ibu dan bayi
 kejadian tidak dilakukannya inisiasi menyusui dini (IMD) pada bayi baru
lahir

2. PENURUNAN ANGKA KESAKITAN HIV/AIDS


Rumah sakit melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2
Dalam waktu yang singkat virus human immunodeficiency virus (HIV) telah
mengubah keadaan sosial, moral, ekonomi dan kesehatan dunia. Saat ini HIV/AIDS
merupakan masalah kesehatan terbesar yang dihadapi oleh komunitas global.

Saat ini, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan melakukan peningkatan


fungsi pelayanan kesehatan bagi orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Kebijakan
ini menekankan kemudahan akses bagi orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA)
untuk mendapatkan layanan pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan,
sehingga diharapkan lebih banyak orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) yang
memperoleh pelayanan yang berkualitas.
Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan
standar pelayanan bagi rujukan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan satelitnya
dengan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut:
• meningkatkan fungsi pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT);
• meningkatkan fungsi pelayanan Prevention Mother to Child Transmision
(PMTCT);
• meningkatkan fungsi pelayanan Antiretroviral Therapy (ART) atau
bekerjasama dengan RS yang ditunjuk;
• meningkatkan fungsi pelayanan Infeksi Oportunistik (IO);
• meningkatkan fungsi pelayanan pada ODHA dengan faktor risiko Injection
Drug Use (IDU); dan
• meningkatkan fungsi pelayanan penunjang, yang meliputi: pelayanan gizi,
laboratorium, dan radiologi, pencatatan dan pelaporan.

3. PENURUNAN ANGKA KESAKITAN TUBERKULOSIS

Rumah sakit melaksanakan program penanggulangan tuberkulosis di rumah sakit


beserta monitoring dan evaluasinya melalui kegiatan:
a) promosi kesehatan;
b) surveilans tuberkulosis;
c) pengendalian faktor risiko;
d) penemuan dan penanganan kasus tuberkulosis;
e) pemberian kekebalan; dan
f) pemberian obat pencegahan.

Rumah sakit menyiapkan sumber daya untuk penyelenggaraan pelayanan dan


penanggulangan tuberkulosis.

Rumah sakit menyediakan sarana dan prasarana pelayanan tuberkulosis sesuai


peraturan perundang-undangan.
Rumah sakit telah melaksanakan pelayanan tuberkulosis dan upaya pengendalian
faktor risiko tuberkulosis sesuai peraturan perundang-undangan.

3
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penanggulangan tuberkolosis berupa
upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif, preventif, tanpa
mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi
kesehatan masyarakat , menurunkan angka kesakitan , kecatatan atau kematian,
memutuskan penularan mencegah resistensi obat dan mengurangi dampak negatif
yang ditimbulkan akibat tubekulosis.

Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan tubekulosis melalui kegiatan


yang meliputi:

a) Promosi kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang


benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan, penobatan , pola
hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku
sasaran yaitu pasien dan keluarga, pengunjung serta staf rumah sakit
b) Surveilans tuberkulosis, merupakan kegiatan memperoleh data epidemiologi
yang diperlukan dalam sistem informasi program penanggulangan
tuberkulosis, seperti pencatatan dan pelaporan tuberkulosis sensitif obat,
pencatatan dan pelaporan tuberkulosis resistensi obat.
c) Pengendalian faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah,
mengurangi penularan dan kejadian penyakit tuberkulosis, yang
pelaksanaannya sesuai dengan pedoman pengendalian pencegahan infeksi
tuberkulosis di rumah sakit pengendalian faktor risiko tuberkulosis, ditujukan
untuk mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit tuberkulosis,
yang pelaksanaannya sesuai dengan pedoman pengendalian pencegahan
infeksi tuberkulosis di rumah sakit
d) Penemuan dan penanganan kasus tuberkulosis.
Penemuan kasus tuberkulosis dilakukan melalui pasienyang datang kerumah
sakit, setelah pemeriksaan, penegakan diagnosis, penetapan klarifikasi dan
tipe pasien tuberkulosis. Sedangkan untuk penanganan kasus dilaksanakan
sesuai tata laksana pada pedoman nasional pelayanan kedokteran
tuberkulosis dan standar lainnya sesuai dengan peraturanperundang-
undangan.
e) Pemberian kekebalan
Pemberian kekebalan dilakukan melalui pemberian imunisasi BCG terhadap
bayi dalam upaya penurunan risiko tingkat pemahaman tuberkulosis sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
f) Pemberian obat pencegahan.
Pemberian obat pencegahan selama 6 (enam) bulan yang ditujukan pada
anak usia dibawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien
tuberkulosisi aktif; orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak
terdiagnosa tuberkulosis; pupulasi tertentu lainnya sesuai peraturan
perundang-undangan.

4
Kunci keberhasilan penanggulangan tuberkulosis di rumah sakit adalah
ketersediaan tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai kompetensi,
prasarana, sarana dan manajemen yang handal.

4. PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA

Gambaran Umum

Resistensi terhadap antimikroba (disingkat: resistensi antimikroba, dalam


bahasa Inggris antimicrobial resistance, AMR) telah menjadi masalah
kesehatan yang mendunia, dengan berbagai dampak merugikan yang
dapat menurunkan mutu dan meningkatkan risiko pelayanan kesehatan
khususnya biaya dan keselamatan pasien. Yang dimaksud dengan
resistensi antimikroba adalah ketidak mampuan antimikroba membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikroba sehingga penggunaannya sebagai
terapi penyakit infeksi menjadi tidak efektif lagi.

Meningkatnya masalah resistensi antimikroba terjadi akibat penggunaan


antimikroba yang tidak bijak dan bertanggung jawab dan penyebaran
mikroba resisten dari pasien ke lingkungannya karena tidak
dilaksanakannya praktik pengendalian dan pencegahan infeksi dengan
baik.

Dalam rangka mengendalikan mikroba resisten di rumah sakit, perlu


dikembangkan program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit.
Pengendalian resistensi antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk
mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten.

Dalam rangka pengendalian resistensi antimikroba secara luas baik di


fasilitas pelayanan kesehatan maupun di komunitas di tingkat nasional telah
dibentuk Komite Pengendalian Antimikroba yang selanjutnya disingkat
KPRA oleh Kementerian Kesehatan. Disamping itu telah ditetapkan
program aksi nasional / national action plans on antimicrobial resistance
(NAP AMR) yang didukung oleh WHO. Program pengendalian resistensi
antimikroba (PPRA) merupakan upaya pengendalian resistensi antimikroba
secara terpadu dan paripurna di fasilitas pelayanan kesehatan.

Implementasi program ini di rumah sakit dapat berjalan baik apabila


mendapat dukungan penuh dari pimpinan/direktur rumah sakit berupa
penetapan regulasi pengendalian resistensi antimikroba, pembentukan
organisasi pengelola, penyediaan fasilitas, sarana dan dukungan finansial
untuk mendukung pelaksanaan PPRA.

Penggunaan antimikroba secara bijak ialah penggunaan antimikroba yang


sesuai dengan penyakit infeksi dan penyebabnya dengan rejimen dosis
optimal, durasi pemberian optimal, efek samping dan dampak munculnya
mikroba resisten yang minimal pada pasien. Oleh sebab itu diagnosis dan
pemberian antimikroba harus disertai dengan upaya menemukan penyebab
infeksi dan kepekaan mikroba patogen terhadap antimikroba.

Penggunaan antimikroba secara bijak memerlukan regulasi dalam


penerapan dan pengendaliannya. Pimpinan rumah sakit harus membentuk
komite atau tim PPRA sesuai peraturan perundang-undangan sehingga
PPRA dapat dilakukan dengan baik.

Rumah sakit menyelenggarakan pengendalian resistensi antimikroba


sesuai peraturan perundang-undangan.

Tersedia regulasi pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit yang


meliputi:
a. Pengendalian resistensi antimikroba.
b. Panduan penggunaan antibiotik untuk terapi dan profilaksis pembedahan.
c. Organisasi pelaksana, Tim/ Komite PPRA terdiri dari tenaga
kesehatan yang kompeten dari unsur:
 Staf Medis
 Staf Keperawatan
 Staf Instalasi Farmasi
 Staf Laboratorium yang melaksanakan pelayanan mikrobiologi klinik
 Komite Farmasi dan Terapi
 Komite PPIT
 Komite Farmasi dan Terapi
 Komite PPI
Organisasi PRA dipimpin oleh staf medis yang sudah mendapat sertifikat
pelatihan PPRA. Rumah sakit menyusun program pengendalian resistensi
antimikroba di rumah sakit terdiri dari:
a) peningkatan pemahaman dan kesadaran seluruh staf,pasien dan
keluarga tentang masalah resistensi anti mikroba;
b) pengendalian penggunaan antibiotik di rumah sakit;
c) surveilans pola penggunaan antibiotik di rumah sakit;
d) surveilans pola resistensi antimikroba di rumah sakit
e) forum kajian penyakit infeksi terintegrasi

Rumah sakit (Tim/Komite PPRA) melaksanakan kegiatan pengendalian


resistensi antimikroba.

Rumah sakit (Tim/Komite PPRA) membuat laporan pelaksanaan program/


kegiatan PRA meliputi:
a) kegiatan sosialisasi dan pelatihan staf tenaga kesehatan tentang
pengendalian resistensi antimikroba
b) surveilans pola penggunaan antibiotik di RS (termasuklaporan
pelaksanaan pengendalian antibiotik)
c) surveilans pola resistensi antimikroba
d) forum kajian penyakit infeksi terintegrasi

Rumah sakit (Tim/Komite PPRA) menetapkan dan melaksanakan evaluasi


dan analisis indikator mutu PPRA sesuai peraturan perundang-undangan
meliputi:
a) perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik
b) perbaikan kualitas penggunaan antibiotik
c) peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin
dan terintegrasi
d) penurunan angka infeksi rumah sakit yang disebabkan oleh mikroba
resisten
e) indikator mutu PPRA terintegrasi pada indikator mutu PMKP

Rumah sakit melaporkan perbaikan pola sensitivitas antibiotik dan penurunan


mikroba resisten sesuai indikator bakteri multi-drug resistant organism
(MDRO), antara lain: bakteri penghasil extended spectrum beta-lactamase
(ESBL), Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA),
Carbapenemase resistant enterobacteriaceae (CRE) dan bakteri pan-
resisten lainnya.

5. PELAYANAN GERIATRI

Rumah sakit menyediakan pelayanan geriatri rawat jalan, rawat inap akut
dan rawat inap kronis sesuai dengan tingkat jenis pelayanan.
Rumah Sakit melakukan promosi dan edukasi sebagai bagian dari
Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di Masyarakat Berbasis Rumah
Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).
Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multi penyakit/gangguan
akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan
yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara tepadu dengan
pendekatan multi disiplin yang bekerja sama secara interdisiplin. Dengan
meningkatnya sosial ekonomi dan pelayanan kesehatan maka usia harapan
hidup semakin meningkat, sehingga secara demografi terjadi peningkatan
populasi lanjut usia. Sehubungan dengan itu rumah sakit perlu
menyelenggarakan pelayanan geriatri sesuai dengan tingkat jenis
pelayanan geriatri:
a) tingkat sederhana
b) tingkat lengkap
c) tingkat sempurna
d) tingkat paripurna

Anda mungkin juga menyukai