Anda di halaman 1dari 30

STATUS KEDOKTERAN KELUARGA

“Kardiovaskuler: Sindrom Koroner Akut”

Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang
2018

1
I. IDENTITAS
A. PENDERITA

1. Nama (Inisial) : Tn. J


2. Umur : 50 thn
3. Jenis Kelamin :L
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Buruh petani
6. Status Perkawinan : Menikah
7. Jumlah Anak : 2orang
8. Pendidikan terakhir : SMA (tamat)
9. Alamat lengkap : Jl. -
RT 03 RW 12
Desa / Kelurahan Seketi
Kecamatan Ngadiluwih
Kabupaten Kediri

B. PASANGAN (Bila sudah menikah atau sudah pernah menikah)

1. Nama (Inisial) : Ny. Winarsih


2. Umur : 35 thn
3. Jenis Kelamin :P
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Buruh petani
6. Status Perkawinan : Menikah
7. Jumlah Anak : 2 orang
8. Pendidikan terakhir : SMP tamat
9. Alamat lengkap : Jl. -
RT 03 RW 12
Desa / Kelurahan Seketi
Kecamatan Ngadiluwih
Kabupaten Kediri

2
C. GENOGRAM (minimal 3 generasi)

Alm. Tn. S,
Alm. Tn. K, Almh. Ny. K,
50th,
60th, Ny. S, 55 th,
meninggal
meninggal 50th, IRT
2012
1993 meningga
l 1990

Tn.H, 55th, Tn. J, 50 Almh. Ny. Tn. R, 38


Tn.P, 65th, Tn. B, 53th, Ny. W, Ny. J, 32
petani, th, petani, M, 40th, th, SMA,
petani, SMA, 35 th, th,
SMA SMA meninggal wiraswasta
SMP petani petani, petani,
2017
SMP SMP

= laki-laki = tinggal serumah Sdr. F 23 th,


Sdr. R, 18
SMA, buruh
th, SMA,
PT.KAI
pelajar
= perempuan

=meninggal

3
D. INTERAKSI DALAM KELUARGA

Keterangan
Status
Nama Usia Pekerjaan Hubungan Keluarga Domisili
No Sex Perkawinan
(Inisial) (Bln/Th) (deskripsi lengkap) (S, I, AK, AA) Serumah
(TK, K, J, D)
Ya Tdk
1 Tn. J L 50 th Buruh petani S K √
2 Ny. W P 35 th Buruh petani I K √
3 Sdr. F L 23 th Buruh PT.KAI AK TK √
4 Sdr. R P 18 th Pelajar AK TK √

4
II. DATA DASAR KESEHATAN
STATUS MEDIS (Klinis)

KU : Nyeri dada kiri


Anamnesis : Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri sejak 2 jam

SMRS, pasien awalnya merasakan nyeri di dada kiri menjalar hingga ke rahang, nyeri

terus menerus dan semakin lama semakin memberat. Nyeri dirasakan seperti panas

terbakar dan menekan hingga kedua tangan pasien terasa lemah, nyeri tidak berkurang

dengan istirahat. Sebelumnya pasien merasakan hal serupa sejak 2 minggu yang lalu

namun pasien merasa setelah 30 menit dengan istirahat posisi setengah duduk nyeri sudah

menghilang. Pasien sempat periksa ke beberapa dokter dan mendapat beberapa obat,

keluhan berkurang namun beberapa hari timbul kembali hingga saat ini nyeri yang

menetap dan memberat. Pasien juga mengeluh mual (+), keringat dingin (+), keluhan

muntah (-), nyeri ulu hati (-), sesak saat berjalan jauh ataupun tidur malam hari (-), batuk

(-), nyeri kepala (-), bengkak di kedua tungkai (-).


Pem. Fisik :
KU: tampak sakit berat
Kesadaran: compos mentis
TD: 140/100 mmHg; HR: 60x/m (regular, lemah); RR: 20x/m; t: 36,3°C, CRT < 2 dtk
a. Kepala/leher: A/I/C/D -/-/-/-, peningkatan JVP (-)
b. Thorax
 Cor:
- Inspeksi: ictus cordis tak tampak
- Palpasi: ictus cordis tak teraba
- Perkusi: batas jantung kanan parasternal line di ICS IV, batas jantung kiri di

midclavicular line sinistra ICS V


- Auskultasi: S1/S2 tunggal, gallop (-), murmur (-)
 Pulmo
- Inspeksi: retraksi (-), jejas (-)
- Palpasi: gerak napas simetris
- Perkusi: sonor/sonor
- Auskultasi: ves/ves, rh-/-, wh -/-
c. Abdomen
- Inspeksi: flat, jejas (-)
- Auskultasi: BU (+) N
- Perkusi: supel, nyeri tekan (-), hepar & lien ttb
- Palpasi: timpani seluruh region, undulasi (-)
d. Ekstremitas: AKHM +/+, pitting edema -/-, CRT < 2 dtk

5
Pem Penunjang :
EKG : ST elevasi di lead v1-v4

Rw

Imunisasi :-
Rw

Persalinan : -
Rw KB :-
RPD : HT (+) diketahui 2 bulan yll, DM (-), PJK (-), hiperkolesterolemia (+)
RPK : penyakit jantung (-), DM (-), HT (+)

6
7
Riwayat Sosial, Budaya, Ekonomi, Lingkungan dll

UPAYA & PERILAKU KESEHATAN


KETERANGAN
NO KOMPONEN URAIAN UPAYA & PERILAKU (RASIONAL ATAU
IRRASIONAL)
1 Promotif Jarang ada penyuluhan di lingkungan penderita R
-Terdapat antinyeri dirumah
2 Preventif -Langsung istirahat ketika timbul nyeri R
-Penderita mengurangi konsumsi makanan berminyak dan garam
3 Kuratif Langsung berobat ke dokter jika pasien mengalami nyeri R

4 Rehabilitatif Mengikuti saran dokter R

8
STATUS SOSIAL
NO KOMPONEN KETERANGAN (Deskripsikan dengan lengkap dan jelas)
Tn.J seorang petani. Pukul 04.00 bangun dan solat subuh. Selanjutnya pukul 06.00 mencari pakan
ternak sapi dirumah. Pukul 08.00/09.00 penderita mulai di sawah selama 7-9 jam. Pukul 12.00
1 Aktifitas sehari-hari istirahat makan siang dan solat dirumah, lalu kembali lagi ke sawah. Pukul 16.00 pasien berkemas-
kemas kembali ke rumah. Pukul 17.30 penderita ke masjid, pukul 18.00 penderita makan malam, dan
selanjutnya 22.00 penderita tidur malam hari.
Penderita berstatus gizi baik (IMT = 24,5 kg/m2; BB= 70mg, TB= 169 cm)
Penderita setiap hari makan 3x/hari dengan porsi nasi lebih banyak daripada lauknya ditambah dengan
2 Status Gizi
sayur. Penderita lebih sering makan teratur. Penderita menghindari makan asin dan berminyak sejak
mengalami keluhan nyeri dada. Penderita makan masakan dirumah yang dimasak sendiri.
3 Pekerjaan Buruh petani di sawah

4 Jaminan Kesehatan Pasien tidak memiliki jaminan kesehatan

9
FAKTOR RESIKO LINGKUNGAN
KOMPONEN
NO KETERANGAN
LINGKUNGAN
- Tanah dan bangunan rumah milik sendiri
- Luas bangunan 10x10 m2
- Jenis lantai : keramik dan tanah
- Jenis dinding : tembok
1 Fisik
- Atap terbuat dari genting tanpa asbes
- MCK : 1 di rumahnya
- Sumber penerangan : listrik
- Ventilasi kurang
2 Biologi Memelihara sapi berjumlah 2, kandang dibelakang rumah
Sumber air minum: air bersih
3 Kimia
Sampah dikumpulkan dihalaman rumah dan dibakar sendiri
Hubunga penderita dengan istri dan anak baik, harmonis, dan rukun. Saling memperhatikan antar satu
4 Sosial
sama lain.
5 Budaya Hubungan dengan tetangga baik, saling mengenal antar tetangga sekitar rumah

6 Psikologi Penderita ramah, dikenal baik oleh tetangganya, dan pasrah dengan keadaan saat ini.

7 Ekonomi Pendapatan tidak menentu tiap bulan , sekitar 1,5-2 juta perbulan.

8 Ergonomi Penderita sering mengangkat barang berat dan membungkuk ketika bekerja di sawah

10
III. DIAGNOSIS HOLISTIK (Lima ASPEK)

Aspek 1: Aspek personal


 Keluhan utama: nyeri dada
 Ketakutan: nyeri dada akan terulang kembali, serangan jantung mendadak, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol
 Harapan: ingin benar sembuh dari penyakit ini
Aspek 2: Aspek Klinis
 Diagnosis klinis: IMA (STEMI) dengan hipertensi grade 1
 Differential diagnosis: GERD, pericarditis
Aspek 3: Aspek Faktor Internal
 Riwayat hipertensi yang baru diketahui 2 bulan
 Terdapat hipertensi pada riwayat penyakit keluarga
 Usia penderita > 40 tahun
 Jarang olahraga rutin
 Kadar kolesterol pernah tinggi
Aspek 4: Aspek Faktor Eksternal
 Pendapatan perbulan yang pas-pasan
 Pekerjaan buruh tani sehingga harus kerja keras di sawah dan rutin tiap hari mengurus tanamannya
 Kurang mendapat informasi mengenai penyakit IMA
 Pendidikan hanya tamat SMA sehingga mempengaruhi pengetahuan serta kesadaran akan kesehatan penderita
Aspek 5: Aspek Fungsi Sosial
Fungsi sosial penderita tingkat 2

IV. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF:

No Aspek Dx Holistik Penatalaksanaan Komprehenship yang dapat dilakukan oleh

11
(Uraian permasalahan/penyebab maslah kesehatan penderita (Langkah Operasional)
berdasarkan tiap aspek)
1 Personal: Promotif:
 Keluhan utama: nyeri dada - Edukasi tentang penyakit sindrom koroner akut serta hipertensi dan
 Ketakutan: nyeri dada akan terulang kembali, serangan jantung komplikasiya
mendadak, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol - Mengikuti posyandu lansia di daerah tempat tinggal
 Harapan: ingin benar sembuh dari penyakit ini - Edukasi tentang pola makan yang baik untuk membantu mengontrol
tekanan darah, kolesterol, dll
- Edukasi untuk olah raga secara teratur
2 Klinis: - Edukasi pentingnya memiliki kesadaran akan kesehatan dan
 RPS: nyeri dada sebelah kiri selama 2 jam, nyeri dada menjalar pemeriksaan kesehatan berkala
ke lengan dan rahang, nyeri menetap dan timbul terus-menerus. - Edukasi tentang resiko penyakit jantung dan hipertensi pada keluarga
 RPD: HT (+) diketahui 2 bulan yll, DM (-), PJK (-), (anak) pasien
hiperkolesterolemia (+) - Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien yang belum terkena
 RPK: penyakit jantung (-), DM (-), HT (+) hipertensi agar menjaga pola hidup dan pola makan yang baik sehingga
 Diagnosis klinis: IMA (STEMI) dengan hipertensi grade 1 dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit hipertensi, penyakit jantung
 Differential diagnosis: Decomp cordis, GERD dan komplikasinya

3 Internal: Preventif:
 Riwayat hipertensi yang baru diketahui 2 bulan - Melakukan olahraga rutin jalan kaki misal saat pagi hari selama 30
 Terdapat hipertensi pada riwayat penyakit keluarga menit, minimal seminggu tiga kali ataupun senam yang ringan seperti
 Usia penderita > 40 tahun
jalan ditempat dengan menggunakan alas kaki yang lembut. Hindari
 Jarang olahraga rutin
olahraga yang membuat beban jantung semakin berat seperti lari jarak
 Kadar kolesterol pernah tinggi
jauh.

12
4 Eksternal: - Meningkatkan kesadaran akan bahaya komplikasi penyakit yang
 Pendapatan perbulan yang pas-pasan dideritanya dengan rutin kontrol
 Pekerjaan buruh tani sehingga harus kerja keras di sawah dan - Mengatur pola makan dengan cara mengurangi penggunaan garam
rutin tiap hari mengurus tanamannya ataupun penyedap rasa, makanan tinggi kolesterol, makanan tinggi
 Kurang mendapat informasi mengenai penyakit IMA lemak, memperbanyak serat sayuran serta buah, sebaiknya tidak banyak
 Pendidikan hanya tamat SMA sehingga mempengaruhi mengkonsumsi gorengan diganti dengan mengkus atau merebus, serta
pengetahuan serta kesadaran akan kesehatan penderita konsumsi banyak air putih
Kuratif:
5 Fungsi Sosial: - Rutin minum obat untuk IMA dan hipertensi
Tingkat fungsi sosial penderita 2 - O2 nasal canul 4lpm
- Morfin iv 1-5 mg
- Aspirin 1x160 mg
- Clopidogrel 1x75 mg
- Amlodipine 5mg 1-0-0
- Simvastatin 10 mg 0-0-1
- Konsul Sp.PD

Rehabilitatif:
- Istirahat yang cukup, tidur saat malam kurang lebih 8 jam
- Memulai untuk olahraga seperti jalan santai pagi hari di sekitar
lingkungan rumah
- Rutin berobat jika obat, jika obat sudah habis pasien kontrol
- Mengikuti senam ringan untuk jantung

13
V. RESUME KASUS

A. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke
otot jantung (miokardium). Sindrom koroner akut ini merupakan sekumpulan
manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria. Sindrom koroner akut
mencakup penyakit jantung koroner yang bervariasi mulai dari angina pectoris tidak
stabil, infark miokard tanpa ST-elevasi sampai infark miokard dengan ST-elevasi
(Coven, 2016).
B. Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2014 menyebutkan bahwa angka mortalitas pada kelompok
penyakit tidak menular di dunia akan semakin meningkat daro tahun ke tahun. Pada
tahun 2012, terdapat 38 juta kematian yang diakibatkan karena berbagai penyakit
pada kelompok penyakit tidak menular dari total 56 juta kematian. Angka mortalitas
kematian tersebut tetap meningkat dan diperkirakan akan mencapai 52 juta
kematian pada tahun 2030 (WHO, 2014). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada
tahun 2013 jumlah penderita penyakit jantung koroner yang pernah didagnosis
dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen setara 883.4477 sedangkan baru
terdiagnosis berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebanyak 1,5 persen setara
2.650.240 orang. Pada wilayah Jawa Timur estimasi jumlah penderita penyakit
jantung koroner merupakan terbanyak di Indonesia sekitar 1,3% atau 375.127
orang (Riskesdas, 2013).
C. Etiologi
Sindrom koroner akut (ACS) disebabkan terutama oleh aterosklerosis. Sebagian
besar kasus ACS terjadi dari gangguan lesi sebelumnya nonsevere (lesi
aterosklerotik yang sebelumnya hemodinamik signifikan belum rentan pecah). Plak
rentan dilambangkan dengan kolam besar lipid, banyak sel-sel inflamasi, dan tipis,
topi berserat.
Permintaan oksigen tinggi dapat menghasilkan ACS di hadapan-kelas tinggi tetap
obstruksi koroner, karena peningkatan oksigen dan nutrisi persyaratan miokard,
seperti yang dihasilkan dari tenaga, stres emosional, atau stres fisiologis (misalnya,
dari dehidrasi, kehilangan darah, hipotensi, infeksi, tirotoksikosis, atau operasi).
ACS tanpa elevasi permintaan membutuhkan penurunan baru dalam pasokan,
biasanya karena trombosis dan / atau plak perdarahan.
Pemicu utama untuk trombosis koroner dianggap ruptur plak yang disebabkan
oleh pembubaran tutup berserat, pembubaran itu sendiri menjadi hasil dari
pelepasan metalloproteinase (kolagenase) dari sel-sel inflamasi diaktifkan. Acara ini
diikuti oleh aktivasi platelet dan agregasi, aktivasi jalur koagulasi, dan
vasokonstriksi. Proses ini memuncak dalam trombosis intraluminal koroner dan
derajat variabel oklusi vaskular. Embolisasi distal dapat terjadi. Keparahan dan
durasi dari obstruksi arteri koroner, volume miokardium terpengaruh, tingkat
permintaan pada jantung, dan kemampuan dari sisa jantung untuk mengkompensasi
merupakan penentu utama dari presentasi klinis penderita dan hasil. (Anemia dan

14
hipoksemia dapat memicu iskemia miokard tanpa adanya pengurangan berat pada
aliran darah arteri koroner.)
Sebuah sindrom yang terdiri dari nyeri dada, iskemik ST-segmen dan perubahan
gelombang T, peningkatan kadar biomarker cedera miosit, dan sementara ventrikel
kiri apikal balon (Takotsubo syndrome) telah terbukti terjadi dalam ketiadaan CAD
klinis, setelah stres emosional atau fisik. Etiologi sindrom ini tidak dipahami dengan
baik tetapi diperkirakan berhubungan dengan lonjakan hormon stres katekol dan /
atau sensitivitas tinggi terhadap hormon-hormon.
Kadar glukosa darah awal tampaknya menjadi faktor risiko independen untuk
acara jantung samping utama (MACE) di gawat darurat (ED) penderita yang diduga
ACS. Dalam analisis data dari 1708 penderita Australia dan Selandia Baru dalam
sebuah studi observasional prospektif, peneliti mencatat MACE suatu terjadi dalam
waktu 30 hari dari presentasi di 15,3% dari penderita yang ED darah masuk glukosa
tingkat berada di bawah 7 mmol / L (sekitar 126 mg / dL); Namun, dalam periode
waktu yang sama, MACE sebuah terjadi di dua kali lebih banyak penderita (30,9%)
yang darahnya glukosa tingkat berada di atas 7 mmol / L. Setelah mengontrol
berbagai faktor, penderita yang memiliki kadar glukosa darah masuk dari 7 mmol / L
atau lebih tinggi berisiko 51% lebih tinggi mengalami MACE dibandingkan dengan
penderita yang memiliki kadar glukosa darah awal yang lebih rendah. Predictor
signifikan lain dari MACE termasuk seks pria, usia yang lebih tua, riwayat keluarga,
hipertensi, dislipidemia, temuan iskemik pada ECG, dan troponintests positif
(Coven, 2016).
D. Faktor Risiko
Identifikasi faktor risiko penyakit jantung koroner sangat bermanfaat untuk
perencanaan intervensi pencegahan. Berbagai penelitian telah berhasil
mengidentifikasi faktor tersebut yaitu herediter, usia, jenis kelamin, sosioekonomi,
letak geografi, makanan tinggi lemak dan kalori, kurang makan sayur dan buah,
merokok, alkohol, aktifitas fisik kurang, hipertensi, obesitas, diabetes mellitus,
atrosklerosis, penyakit arteri perifer, atroke, dan dyslipidemia (WHO, Global Atlas on
Cardiovascuar Disease Prevention and Control, 2011).
Berdasarkan sumber lain faktor risiko SKA data dibagi dua yaitu reversible dan
nonreversible. Faktor yang dapat diubah (reversible) yaitu hipertensi, kolesterol,
merokok, obesitas, diabetes mellitus, hiperurisemia, aktivitas fisik kkurang, stress,
dan gaya hidup. Sedangkan faktor yang tidak dapat diubah (nonreversible) yaitu
usia, jenis kelamn, dan riwayat penyakit keluarga. (Burazerl, A, G, J, & etc, 2007).
Penyakit kardiovaskular dapat dicegah dan jumlah kematian dapat ditekan dngan
mengendalikan faktor risikonya (WHO, Cardivascular Disease, 2013).
Di RSUP Dr. M. Djamil Padang tercatat frekuensi paling tinggi pasien IMA berada
direntang usia 40-59 tahun (51,72% dari keseluruhan pasien IMA). Frekuensi
terbanyak pasien IMA berjenis kelamin laki-laki (Fathila, 2015).
Diketahui bahwa stres menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi masih
dipertanyakan apakah stres masih bersifat aterogenik atau hanya mempercepat
serangan. Teori bahwa aterogenesis disebabkan oleh stres dapat merumuskan

15
pengaruh neuroendokrin terhadap dinamika sirkulasi, lemak serum, dan
pembekuan darah (Price, 2006).
Sesuai dengan penelitian Suhayatra Putra tahun 2017 didapatkan pasien IMA
terbanyak memiliki riwayat hipertensi (52,5%). Hal ini menjadi beban yang berat
untuk jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, keadaaan ini
tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Tekanann darah yang tinggi dan
menetap juga akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh
darah arteri koroner sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis (Putra &
Fithra, 2017).
E. Patogenesis dan Klasifikasi
Sebagian besar SKA merupakan manifestasi akut dari plak atheroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrous yang menutupi plak tersebut. Kejadian
ini akan diikuti oleh proses agregasi trombsoit dan aktivasi jalur koagulasi.
Terbentuklah thrombus yang kaya trombosit (white thrombus). Thrombus ini akan
menyumbat liang oembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain
itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya pasokan oksigen yang
berhenti selama kurang lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami
nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total
pembuluh darah koroner. Onstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang
dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung
(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis adalah gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),
disritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran, dan fungsi
ventrikel). Sebagian penderita SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan
di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme local dari
arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmental). Penyempitan arteri koronaria,
tanpa spasme maupun thrombus dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada penderita yang telah mempunyai plak aterosklerosis (PERKI,
2015).
Klasifikasi SJA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan EKG,
pemeriksaan marka jantung dibagi menjadi tiga:
a. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)
b. Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
c. Angina pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris) (PERKI, 2015) (WHO,
International Classification of Diseases 10th Revision CLinical Modification/ ICD-10
CM, 2015).

F. Diagnosis
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator

16
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner (Alwi, 2009). Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen
ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil
dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin
I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi
(Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil
marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi
nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung,
maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka penderita dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi angina berulang (PERKI, 2015).
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada,
diagnosis awal penderita dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai
berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.
Anamnesis: Keluhan penderita dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang
tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
atipikal ini lebih sering dijumpai pada penderita usia muda (25-40 tahun) atau usia
lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.
Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut

17
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama
pada penderita dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan
angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
penderita dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah
pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi,
risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program).

Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke


lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten
atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Nyeri dengan gambaran di bawha ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri
dada nonkardiak):
- Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
- Nyeri abdomen tengah atau bawah
- Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
- Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
- Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
- Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan
SKA, maka terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan
nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga
ditujukan untuk menapis indikasi kontra terapi fibrinolysis seperti hipertensi,
kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung
disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit
serebrovaskular.
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi
basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi
tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks,

18
nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan
dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
Pemeriksaan elektrokardiogram: Semua penderita dengan keluhan nyeri dada
atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG
12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai
tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua
penderita dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua penderita angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat
dalam 10 menit sejak kedatangan penderita di ruang gawat darurat. Pemeriksaan
EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada penderita dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria
dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah
≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan
nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15
mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R
adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih
tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi,
dapat dijumpai pada penderita STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior
(elevasi di V3-V6). Penderita SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan
bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat penderita
tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu penderita dengan EKG
yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil
pemeriksaan marka jantung tersedia (PERKI, 2015).
Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG
Sadapan dengan deviasi segmen ST Lokasi iskemia atau infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, aVL Lateral
II, III. aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Rekaman EKG penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya. Adanya
keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST

19
(NSTEMI) atau angina pectoris tidak stabil (APTS/UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostic untuk iskemia adalah sebesar ≥ 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1 mV
di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga
elevasi segmen ST yang tidak persisten (< 20menit), dan dapat terdeteksi di > 2
sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV mempunyai
spesifitas tinggi untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan
kriteria EKG yang diagnostic dikategorikan sebagai perubahan EKG yang
nondiagnostik (PERKI, 2015).
Pemeriksaan marka jantung: Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T
merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis
infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung
hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli
paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya
troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis
miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal
dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah
awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-
MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam).
Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care
testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20
menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA
hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan
waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil
negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral (PERKI, 2015).
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
- Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya
tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat
- EKG normal atau nondiagnostik, dan
- Marka jantung normal
Definitis SKA adalah dengan gejala dan tanda:

20
- Angina tipikal
- EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostic untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostic sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru
- Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung
normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif SKA dan angina
tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit
dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).
Pemeriksaan laboratorium: Data laboratorium, di samping marka jantung, yang
harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.
Pemeriksaan foto polos dada: Mengingat bahwa penderita tidak diperkenankan
meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada
harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan
adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit
penyerta (PERKI, 2015).
G. Penatalaksanaan
Terapi pada SKA disesuaikan berbeda pada tiap tipe. Pada angina tak stabil
maupun STEMI , tujuan terapi anti-trombotik adalah untuk mencegah terjadinya
thrombosis lebih lanjut. Revaskularisasi sering digunakan untuk meningkatkan
perfusi dan mencegah reoklusi atau iskemia rekuren. Pada STEMI diperlukan
refeprfusi farmakologi atau dengan kateter secepatnya, supaya dapat
mempertahankan perfusi koroner. Terapi fibrinolysis hanya dilakukan pada STEMI
dan merupakan kontraindikasi pada angina tidak stabil maupun NSTEMI (Rosen &
EV, 2009).
a. Terapi STEMI.
1) Fase akut di IGD
- Bed rest total
- Oksigen 2-4 liter per menit
- Pemasangan IVFD
- Obat-obatan:
- Aspilet 160mg dikunyah
- Clopidogrel (untuk usia < 75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi
clopidogrel) berikan 300 mg jika penderita mendapatkan terapi
fibrinolitik atau
- Clopidogrel 600mg
- Atorvastatin 40mg
- Nitrat sublingual 5mg, dapat diulang sampai 3x jika masih ada
keluhan, dan dilanjutkan dengan nitrat IV bila keluhan persisten
- Morfin 2-4 mg IV jika masih nyeri dada
- Monitoring jantung
- Jika onset < 12 jam
- Fibrinolitik di IGD

21
- Primary PCI (di cathlab) bila fasilitas memadai
2) Fase perawatan intensif di CVC (2x24 jam)
- Obat-obatan:
- Simvastatin 1x20-40mg mg atau atorvastatin 1x20-40 mg atau
1x40mg jika LDL diatas target
- Aspilet 1x80mg
- Clopidogrel 1x75mg atau ticagrelor 2x90mg
- Bisoprolol 1x1,25mg jika fungsi ginjal bagus, carvedilol 2x3,125mg
jika fungsi ginjal menurun, dosis dapat di uptitrasi; diberikan jika
tidak ada kontraindikasi
- Ramipril 1x25mg jika terdapat infark anterior atau LV fungsi menurun
EF <50%, diberikan jika tidak ada kontra indikasi
- Jika intoleran dengan golongan ACE-I dapat diberikan obat golongan
ARB: Candesartan 1x16mh, valsartan 2x80mg
- Obat pencahat 2x1 sendok makan
- Diazepam 2x5mg
- Jika tidak dilakukan primary PCI diberika heparinisasi dengan:
- UF heparin bolus 60 unit/kgBB, maksimal 4000 unit, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 12 unit/kgBB maksimal 1000 unit/jam atau
- Enoxaparin 2x60mg (sebelumnya dibolus 30mg iv) atau
- Fondaparinux 1x2,5 mg
- Monitoring kardiak
- Puasa 6 jam
- Diet jantung I1800 kkal/24 jam
- Total cairan 1800cc/24 jam
- Laboratorium: profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserid) dan
asam urat.
Dari hasil penelitian Itsnaeni tahun 2016 tentang perbandingan obat yang
digunakan sebelum dan sesudah terapi menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan, yatiu penggunaan heparin, aspilet, dan clopdifogrel. Sedangkan obat yang
digunakan setelah terapi PCI maupun fibrinolitik penggunaan heparin, aspilet, dan
clopidogrel juga disarankan (Sofyan, 2016).
3) Fase perawatan biasa
- Sama dengan langkah di perawatan intensif
- Stratifikasi risiko untuk prognostik sesuai skala prioritas penderita (pilih
salah satu): 6 minutes walk test, treadmill test, echocardiografi stress test,
stress test perfusion scanning atau MRI
- Rehabilitasi dan prevensi sekunder

b. Terapi NSTEMI atau unstable angina


1) Fase akut di IGD
- Bed rest total
- Oksigen 2-4 liter per menit
- Pemasangan IVFD
- Obat-obatan:
- Aspilet 160mg dikunyah

22
- Clopidogrel (untuk usia < 75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi
clopidogrel) berikan 300 mg jika penderita mendapatkan terapi
fibrinolitik atau
- Clopidogrel 600mg
- Atorvastatin 40mg
- Nitrat sublingual 5mg, dapat diulang sampai 3x jika masih ada keluhan,
dan dilanjutkan dengan nitrat IV bila keluhan persisten
- Morfin 2-4 mg IV jika masih nyeri dada
- Monitoring jantung
- Startifikasi risiko di IGD untuk menetukan strategi invasive.

2) Fase perawatan intensif di CVC


- Obat-obatan:
- Simvastatin 1x20-40mg mg atau atorvastatin 1x20-40 mg atau
1x40mg jika LDL diatas target
- Aspilet 1x80mg
- Clopidogrel 1x75mg atau ticagrelor 2x90mg
- Bisoprolol 1x1,25mg jika fungsi ginjal bagus, carvedilol 2x3,125mg
jika fungsi ginjal menurun, dosis dapat di uptitrasi; diberikan jika
tidak ada kontraindikasi
- Ramipril 1x25mg jika terdapat infark anterior atau LV fungsi menurun
EF <50%, diberikan jika tidak ada kontra indikasi
- Jika intoleran dengan golongan ACE-I dapat diberikan obat golongan
ARB: Candesartan 1x16mh, valsartan 2x80mg
- Obat pencahat 2x1 sendok makan
- Diazepam 2x5mg
- Jika tidak dilakukan primary PCI diberika heparinisasi dengan:
- UF heparin bolus 60 unit/kgBB, maksimal 4000 unit, dilanjutkan dengan
dosis rumatan 12 unit/kgBB maksimal 1000 unit/jam atau
- Enoxaparin 2x60mg (sebelumnya dibolus 30mg iv) atau
- Fondaparinux 1x2,5 mg
- Monitoring kardiak
- Puasa 6 jam
- Diet jantung I1800 kkal/24 jam
- Total cairan 1800cc/24 jam
- Laboratorium: profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserid) dan
asam urat
3) Fase perawatan biasa
- Sama dengan langkah di perawatan intensif
- Stratifikasi risiko untuk prognostik sesuai skala prioritas penderita (pilih
salah satu): 6 minutes walk test, treadmill test, echocardiografi stress test,
stress test perfusion scanning atau MRI
- Rehabilitasi dan prevensi sekunder
c. Terapi angina stabil
1) Medikamentosa
- Aspilet 1x80-160 mg
- Simvastatin 1x20-40mg atau atorvastatin 1x20-40mg

23
- Betabloker: biprolol 1x5-10mg/carvedilol 2x25mg
- Atau metoprolol 2x50mg, ivabradine 2x5mg jika penderita intoleran
dengan beta bloker
- ISDN 3x5-20mg atau isosorbid mononitrat 2x20mg
2) PCI atau CABG
- Percutan Coroner Intervention jika ditemukan bukti iskemik dari
pemeriksaan penunjang di atas disertai lesi signifikan berdasarkan
pemeriksaan angiografi koroner
- Indikasi CABG: lesi multiple stenosis < 2 pembuluh koroner) dengan atau
tanpa diabetes mellitus (PERKI, 2016).
Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut
adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah
inisiasi terapi antilplatelet dan antikoagulan. Walaupun kenaikan tekanan darah
yang terlalu cepat terutama tekanan diastolik, karena hal ini dapat mengakibatkan
penurunan perfusi darah ke koroner dan juga suplai oksigen, sehingga akan
memperberat keadaan iskemia (PERKI, Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada
Penyakit Kardiovaskular, 2015).

24
Gambar 1. Algoritma penderita SKA

H. Komplikasi
- Disfungsi ventricular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodeling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bualn atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark
pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
- Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai
korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10
hari infark) dan sesudahnya.
- Syok kardiogenik
Syok kardigenik ditemukan pada saat masuk (10%) sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya penderitan yang berkembang menjadi
syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
- Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda kussmaul, hepatomegaly) dengan
atau tanpa hipotensi
- Aritmia paska STEMI
- Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi premature ventrikel sporadic terjadi pada hampir semua
penderita STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif
dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada penderita STEMI.
- Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibriasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama
- Fibrilasi atrium
- Aritmia supraventricular
- Asistol ventrikel
- Bradiaritmia dan blok
- Komplikasi mekanik (Sudoyo, B, I, & etc, 2010).
Seperti pada hasil penelitian Inne tahun 2012 didapatkan gambaran penderita
STEMI lebih sering terjadi pada laki-laki (81,9%) daripada perempuan (18,1%). Usia
rata-rata laki-laki (53 tahun) yang mengalami STEMI cenderung lebih muda
daripada perempuan (63 tahun), dengan sebagian besar tidak mendapat terapi
reperfusi (80%)m hanya 11,4% penderita yang mendapat Primary PCI dan 8,6%
penderita yang mendapat fibrinolitik, karena penderita datang dengan onset nyeri

25
dada lebih dari 12 jam. Kecepatan datang penderita STEMI yang dirawat sebagian
besar lebih dari 12 jam (61,9%) dengan onset nyeri dada rerata 4,95 jam pada
penderita yang mendapat terapi reperfusi dan 61,23 jam pada penderita yang tidak
mendapat terapi reperfusi. Penderita dengan kecepatan datang < 12 jam (35,2%)
hanya setengahnya saja yang mendapat terapi reperfusi (fibrinolitik dan primary
PCI), hal ini disebabkan pasien menolak untuk dilakukan terapi reperfusi (50%),
pasien dengan kontraindikasi relative yaitu tekanan darah > 180/110 dan post
reperfusi jantung paru (11,1%) dan pasien tanpa ada penjelasan. Kejadian
komplikasi pada manusia lebih sering terjadi pada pasien yang tidak mendapatkan
terapi reperfusi. Komplikasi tersering pada pasien yang tidak mendapat terapi
reperfusi adalah gagal jantung (25%), dengan pasien yang mendapat terapi reperfusi
kejadian gagal jantung lebih sedikit yaitu sebesar 14,3% (F, 2012).
Menurut panduan dari European Society of Cardiology, pasien dengan gejala
klinis IMA-EST dengan elevasi segmen ST persmisten atau LBBB baru pada EKG
harus ditatalaksana dalam 12 jam secepat mungkin. Menurut panduan AHA dan
PERKI, terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen
ST yang persisten LBBB yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin
berupa PCI primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya
iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam
yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat (O'gara, FG, DD, &
etc, 2013).
I. Diagnosis Banding
1. Pericarditis
Elevasi segmen ST dalam tahap 1 dari perikarditis akut cenderung cekung ke atas
ketimbangcembung, dan simultan T-inversi gelombang tidak biasanya terlihat.
Perkembangan untuk T-gelombang inversi dalam tahap 2 cenderung terjadi setelah
segmen ST kembali ke dasar, sedangkan di MI akut, inversi gelombang T lebih
mungkin untuk menemani ST segmen elevasi. ST elevasi segmen di perikarditis akut
biasanya adalah menyebar sebagai lawan distribusi anatomi, yang lebih mungkin
untuk dilihat dalam pengaturan MI akut. Pasien dengan perikarditis akut lebih
mungkin untuk menjadi lebih muda, menjadi sehat, dan memiliki riwayat penyakit
virus dan pleuritik-jenis nyeri dada sebelumnya. Pasien denganakut MI lebih
mungkin untuk menjadi yang lebih tua dengan faktor risiko untuk penyakit arteri
koroner.ventrikel Aritmiatidak berhubungan dengan penyakit perikardial terisolasi
dan menunjukkan adanya penyakit jantung yang mendasarinya (Kendall &
Christopher B. Colwell, 2011).
2. GERD
Anamnesis yang cermat merupakan cara untuk menegakkan diagnosis GERD.
Gejala sepsifik untuk GERD adalah heartburn dam atau regurgitasi setelah makan.
Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa studi diagnostic yang untuk gejala
heartburn dan regurgitasi sebagian besar dilakukan pada populasi Kaukasia (Syam
& dkk, 2013).

26
J. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA yaitu
klasifikasi Killip, klasifikasi forrester, TIMI risk score. Timi risk score adalah sistem
prognostic paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan
pemeriksaan fisik yang dinilai pada penderita STEMI yang mendapat terapi
fibrinolitik (Sudoyo, B, I, & etc, 2010).

Tabel 2. TIMI score untuk STEMI


Faktor risiko (bobot) Skor risiko/ mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0.8)
Usia > 75 tahun (3 poin) 1 (1,6)
Diabetes mellitus/hipertensi atau 2 (2,2)
angina
TD sistolik < 100mmHg (2 poin) 3 (4,4)
Frekuensi jantung >100 (2 poin) 4 (7,3)
Kalsifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin) 6 (16,1)
Levasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 7 (23,4)
Waktu reperfusi > 4jam (1 poin) 8 (26,8)
Skor risiko = total poin (0-14) >8 (35,9)

27
Daftar Pustaka

1. Alwi, I. (2009). Infark Miokard Akut. In Buku Ajar Ilmu Pengetahuan Penyakit
Dalam (V ed., pp. 1741-1754). Jakarta: Interna Publishing.

2. Burazerl, G., A, G., G, S., J, S., & etc. (2007). Conventional Risk Factors and Acute
Coronary Syndrome During a Period of Sosioeconomic Transition. Croat Med J,
48, 33.

3. Coven, D. L. (2016). Acute Coronary Syndrome. Medscape.

4. F, I. P. (2012). Komplikasi pada Pasien Infark MIokard Akut ST Elevasi (STEMI)


yang Mendapat ataupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. UNDIP Journal.

5. Fathila, L. (2015). Gambaran Profil Lipid pada Pasien Infark Miokard Akut di
RSUP M. Djamil padang periode 1 Januari 2011- 31 Desember 2013.

6. Kendall, J. L., & Christopher B. Colwell, M. (2011). Pericarditis. In Emergency


Medicine Secrets (Fifth ed., pp. 229-231). America.

7. O'gara, P., FG, K., DD, A., & etc. (2013). Guideline for The Management of ST-
Elevation Myocardial Infarction. American Heart Association, 127, e362-e425.

8. PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular.


PERKI, 10.

9. PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kardiologi


Indonesia, 1-71.

10. PERKI. (2016). In Panduan Praktik Klinis (PPK) Dan Clinical Pathway (CP)
Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah. Jakarta.

11. Price, S. (2006). Penyakit Atrosklerotik Koroner. In Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-proses Penyakit (4 ed., pp. 528-556). Jakarta: Penerbit EGC.

12. Putra, S., & Fithra, E. (2017). Gambaran Faktor Risiko dan Manajemen Reperfusi
Pasien IMA-EST di Bangsal Jantung RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 6, 621-627.

13. Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas, 10.

28
14. Rosen, A., & EV, G. (2009). Patophysiology of Acute Coronary Syndromes.

15. Sofyan, I. A. (2016). Perbandingan Clinical Outcome Pasien Infark MIokard Akut
ST Elevasi (STEMI) Pascaterapi Intervensi Koroner Perkutan Primer dan Terapi
Fibrinolitik di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Retrieved from lib.unimus.ac.id

16. Sudoyo, A., B, S., I, A., & etc. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II (5 ed.).
Jakarta: Interna Publishing.

17. Syam, A. F., & dkk. (2013). Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit
Refluks Gastroesofageal (GERD) di Indonesia. Perhimpunan Gastroenterologi
Indonesia, 7-10.

18. WHO. (2011). Global Atlas on Cardiovascuar Disease Prevention and Control.
Geneva: Organization, World Health; Organization, World Hart Federation' World
Stroke.

19. WHO. (2013). Cardivascular Disease. Retrieved from HYPERLINK


http://www.who.int/

20. WHO. (2014). Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2014. In


Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2014. Geneva: WHO Press.

21. WHO. (2015). International Classification of Diseases 10th Revision CLinical


Modification/ ICD-10 CM. Retrieved from
htttp://ftp.cdc.gov/pub/Health_Statistics/NCHS/Public

29
Lampiran:
- Foto home visit dan home care (bila diijinkan penderita)
- Foto pada saat anamnesis dan pemeriksaan fisik (bila diijinkan penderita)
- Dokumen pendukung lainnya termasuk hasil searching buku dan jurnal

30

Anda mungkin juga menyukai