Anda di halaman 1dari 25

1.

Berbasis masalah (penyelesaian masalah realistik)

https://www.researchgate.net/publication/317078182_PEMBELAJARAN_BERBAS
IS_MASALAH_DAN_PERANGKAT_LUNAK_GEOMETRI_DINAMIS/download

Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan operasionalisasi dari suatu pendekatan


pendidikan matematika yang telah dikembangkan di Belanda dengan nama Realistic
Mathematics Education (RME) yang artinya pendidikan matematika realistik.
Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan
yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga
mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud
dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta
didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan
tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat
dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual (contextual problems)
sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Perlu dicermati bahwa suatu hal yang bersifat
kontekstual dalam lingkungan siswa di suatu daerah, belum tentu bersifat konteks bagi siswa di
daerah lain. Contoh berbicara tentang kereta api, merupakan hal yang konteks bagi siswa yang
ada di pulau Jawa, namun belum tentu bersifat konteks bagi siswa di luar Jawa. Oleh karena itu
pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik harus disesuaikan dengan keadaan daerah
tempat siswa berada.
Msalah dalam pembelajaran matematika merupakan suatu “keharusan” dalam menghadapi dunia
yang tidak menentu. Siswa perlu dipersiapkan bagaimana mendapatkan dan menyelesaikan
masalah. Masalah yang disajikan ke siswa adalah masalah kontekstual yakni masalah yang
memang semestinya dapat diselesaikan siswa sesuai dengan pengalaman siswa dalam
kehidupannya.
A. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Ada tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu: a) guided reinvention and progressive mathematizing,
b) didactical phenomenology, dan c) self-developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat
dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
1.Guided reinvention/progressive mathematizing (penemuan kembali
terbimbing/pematematikaan progresif)

Prinsip ini menghendaki bahwa dalam PMR, dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru
di awal pembelajaran, kemudian dalam menyelesaikan masalah siswa diarahkan dan diberi
bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip,
sifat-sifat dan rumus-rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan
rumus-rumus matematika itu ditemukan. Sebagai sumber inspirasi untuk merancang
pembelajaran dengan pendekatan PMR yang menekankan prinsip penemuan kembali (re-
invention), dapat digunakan sejarah penemuan konsep/prinsip/rumus matematika.
Menurut penulis, prinsip penemuan ini mengacu pada pandangan kontruktivisme, yang
menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari
guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri
pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar.

2.Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran)


Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di
dalam menentukan suatu masalah kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan
pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam
aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan
pantas tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses
pematematikaan progresif.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip ke-2 PMR ini menekankan pada pentingnya
masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal itu
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan
dengan: (1) topik-topik matematika yang diajarkan dan (2) konsep, prinsip, rumus dan prosedur
matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran.

3.Self – developed models (model-model dibangun sendiri).


Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan
informal dan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi
kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual
yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul
berbagai model yang dibangun siswa.
Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya.
Ini merupakan langkah lanjutan dari re-invention dan sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom
up mulai terjadi. Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk
matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi urutan pengembangan model belajar yang
bottom up.

B. Karakteristik Pembelajaran Metematika Realistik


Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, PMR memiliki lima karakteristik,
yaitu: a) the use of context (menggunakan masalah kontekstual), b) the use models
(menggunakan berbagai model), c) student contributions (kontribusi siswa), d) interactivity
(interaktivitas) dan e) intertwining (terintegrasi). Penjelasan secara singkat dari kelima
karakteristik tersebut, secara singkat adalah sebagai berikut.

a)Menggunakan masalah kontekstual.


Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual, sehingga memungkinkan siswa
menggunakan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya secara langsung.
Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai sumber pematematikaan, tetapi juga sebagai
sumber untuk mengaplikasikan kembali matematika. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai
topik awal pembelajaran, hendaknya masalah sederhana yang dikenali oleh siswa. Masalah
kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk membantu siswa menggunakan
konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir
siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika dan
(4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi
nyata (realitas).
b)Menggunakan berbagai model.
Istilah model berkaitan dengan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa dalam
mengaktualisasikan masalah kontekstual ke dalam bahasa matematika, yang merupakan
jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari
situasi informal ke formal.

c)Kontribusi siswa.
Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang
dapat mengarahkan pada pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah.
Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari
siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan
dihargai.

d)Interaktif.
Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa dengan perangkat
pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti:
negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk
mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika
informal yang ditemukan sendiri oleh siswa.

e)Keterkaitan.
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya pembahasan suatu topik (unit
pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih
bermakna. Dalam tesis ini karakteristik ini tidak muncul.
Dari prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik di atas maka dapat dikatakan
bahwa permulaan pembelajaran harus dialami secara nyata oleh siswa, pengenalan konsep dan
abstraksi melalui hal-hal yang konkret sesuai realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam
kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan siswa. Sehingga mereka dengan
segera tertarik secara pribadi terhadap aktivitas matematika yang bermakna. Pembelajaran
dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berdasarkan pada
pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa.
C. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, sebagai
berikut.
1.Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah
kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
2.Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa
mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara
memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian
tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
3.Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban
masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal.
Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
4.Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan
waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban
masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki
dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan
pembelajaran.
5.Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik
kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat yang telah
dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran dengan
pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
Langkah 1 : Memahami masalah kontekstual
Siswa diberi masalah/soal kontekstual, guru meminta siswa memahami masalah tersebut secara
individual. Guru memberi kesempatan kepada siswa menanyakan masalah/soal yang belum
dipahami, dan guru hanya memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian situasi dan
kondisi masalah/soal yang belum dipahami siswa. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah
ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak
dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.

Langkah 2 : Menyelesaikan masalah


Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada
pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa
bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang
dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan
yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa
dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul
pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.
Langkah 3 : Membandingkan jawaban
Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangkunya,
bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara
individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan
siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat
pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota
yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan
kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan
kelompok berpasangan.
Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan
masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator
dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan
sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi).
Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi.
Langkah 4 : Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan
konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini
adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.
1.Kelebihan dan Kerumitan Penerapan Pendekatan PMR
Beberapa kelebihan dari Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) antara lain sebagai berikut.
1. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan
antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan
matematika pada umumnya bagi manusia.
2. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika
adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya
oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang
satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan
orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya
dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan
bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau
masalah tersebut.
4. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk
mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan
sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya
guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna
tidak akan terjadi.
Sedangkan beberapa kerumitan dalam penerapan pendekatan PMR antara lain sebagai berikut.
1. Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat
mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai
siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai
pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah “jadi”, tetapi sebagai pihak yang aktif
mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Guru dipandang lebih sebagai pendamping bagi
siswa.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak selalu
mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih lagi karena soal-soal
tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal, juga
bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru.
4. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal-soal kontekstual, proses
pematematikaan horisontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu
yang sederhana, karena proses dan mekanisme, berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar
guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep
matematika tertentu.
Walaupun pada pendekatan PMR terdapat kendala-kendala dalam upaya penerapannya, menurut
peneliti kendala-kendala yang dimaksud hanya bersifat sementara (temporer). Kendala-kendala
itu akan dapat teratasi jika pendekatan PMR sering diterapkan. Hal ini sangat tergantung pada
upaya dan kemauan guru, siswa dan personal pendidikan lainnya untuk mengatasinya.
Menerapkan suatu pendekatan pembelajaran yang baru, tentu akan terdapat kendala- kendala
yang dihadapi di awal penerapannya. Kemudian sedikit demi sedikit, kendala itu akan terasi jika
sudah terbiasa menggunakannya.
2. karakteristik pembelajaran matematika interaktif dan kooperatif (norma sosial dan
sosiomatematika)

http://zachariasak.blogspot.com/2017/11/v-behaviorurldefaultvmlo.html

Penerapan Teori Vygotsky dalam pendidikan


Perkembangan kognitif menurut Vygotsky dipengaruhi oleh faktor budaya. Vygotsky
memandang bahwa interaksi sosial berperan secara fundamental dalam perkembangan kognitif.
Vygotsky menyatakan bahwa setiap fungsi perkembangan budaya berpengaruh terhadap
perkembangan anak pada level sosial, dan individual. Menurut pandangan Vygotsky, interaksi
dengan teman sebaya, perancah (scaffolding), dan modelling merupakan faktor penting yang
memfasilitasi perkembangan kognitif dan perolehan pengetahuan individu, termasuk dalam
perkembangan bahasa. Gagasan bahwa secara potensial perkembangan kognitif anak terbatas
pada suatu rentang waktu tertentu. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak
bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut
berada dalam zone of proximal development. Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai suatu
daerah aktivitas di mana individu dapat menyusun dari tingkat keahlian individu yang berbeda
(para guru dan siswa), dan dapat juga meliputi artefak-artefak, seperti buku, computertools, dan
peralatan ilmiah. ZPD adalah perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan seseorang saat
ini.
Ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan kognitif adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki
siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2. Menyediakan berbagai alternatif penglaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang
sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
3. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistic dan relevan dengan
melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep siswa melalui
kenyataan kehidupan sehari-hari.
4. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi social, yaitu
terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya,
misalnya interaksi dan kerja sama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga
pembelajarn lebih efektif.
6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga siswa menjadi tertarik dan mau
belajar.

Langkah pertama dari pengaturan diri dan pemikiran mandiri adalah mempelajari bahwa
segala sesuatu memiliki makna. Langkah kedua dalam pengembangan struktur-struktur internal
dan pengaturan diri adalah latihan. Siswa berlatih gerak-gerak isyarat yang akan mendatangkan
perhatian. Kemudian langkah terakhir termasuk penggunaan isyarat dan memecahkan masalah
tanpa bantuan orang lain. Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu:
1. Menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling
memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efekif dalam masing-masing zone of
proximal development mereka.
2. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran dalam menekankan scaffolding. Jadi teori belajar
vigotsky adalah salah satu teori belajar social sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran
kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif social yaitu interaksi
antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep-
konsep dan pemecahan masalah.
Perancah (scaffolding) dan hubungan timbal balik anatar guru sebagai pembimbing dan
peserta didik adalah strategi efektif untuk mengakses zona proksimal perkembangan. Guru
berperan sebagai fasilitator yang memberi peluang bagi anak untuk mengingkatkan pengetahuan
dan keterampilannya. Guru harus memerhatikan minat anak, menyederhanakan tugas,
mengontrol, dan memotivasi anak. Selanjutnya, guru harus mencari solusi atas kemungkinan
pertentangan antar-usaha anak, dan mengontrol perilaku anak (frustasi dan risiko), dan model
suatu tindakan yang diidealkan (Hausfather, 1996). Pengajaran timbal balik menciptakan suatu
dialog antara anak dan para guru. Komunikasi dua arah melalui diskusi dan dialog anatara anak
dan para guru. Komuniakasi dua arah melalui diskusi dan dialog terbuka ini menjadi suatu
strategi yang efektif dalam meningkatkan interaksi sosial.
Model pembelajaran kolaboratif menurut pandangan Vygotsky dikembangkan
berdasarkan nilai-nilai budaya-sosiokultural. Dalam kaitan model pembelajaran kolaboratif,
nilai-nilai budaya siri’ yang sekiranya sesuai untuk dikembangkan dalam lingkup persekolahan
mencangkup semangat sipakataui (saling menghormati dan saling menghargai yang diiringi
sikap rendah hati), pace/pesse (empati/kesetiakawanan terhadap sesame manusia), allemupureng
(kejujuran), kerelaan berkorban dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa(Farid, 1989; Hamid,
1985; Mattulada, 1985; Rahim, 1992).
Karya Vygotsky didasarkan pada tiga ide utama: (1) bahwa intelektual berkembang
pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa
yang mereka telah ketahui; (2) bahwa interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan
intelektual; (3) peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator
pembelajaran siswa.
Secara singkat dikemukakan bahwa teori Vygotsky berfokus pada 4 hal pokok, yakni
pengaruh interaksi sosial dalam perkembangan, scaffolding (perancah atau pemberian bantuan),
modeling, zone of proximal development (perbedaan antara apa yang dapat dikerjakan sendiri
oleh anak dan apa yang dapat dikerjakan dengan bantuan oranglain). Vygotsky memandang
bahwa model pembelajaran kooperatif yang sarat dengan nilai-nilai budaya, dan scaffolding atau
pemecahan masalah yang berfokus pada anak (student centered education) merupakan faktor
utama perkembangan kognitif, model pembelajaran koorperatif menekankan interakti sosial
dalam upaya pengembangan kehidupan sosial dalam wilayah perkembangan proksimal anak.
Teori-teori belajar, sekalipun telah diuji secara empiris melalui kajian ilmial, namun tentu saja
memerlukan penyesuaian dalam aplikasinya sesuai karakteristik dan latar budaya peserta didik.
Pembelajaran koorperatif berdasar teori sosiokultural Vygotsky diharapkan memberikan
kontribusi dalam perkembangan Bahasa, dan kepribadian anak. Perpaduan dengan teori
perkembangan lainnya, tentu saja akan lebih bermakna terhadap perkembangan dan pembinaan
kepribadian anak pada umumnya.

F. Penerapan Teori Vygotsky dalam Pembelajaran Matematika


Proses pembelajaran Matematika di kelas hendaknya bersifat interaktif, baik antara
siswa dan guru maupun antar siswa. Interaksi ini mengarah sampai kepada terjadinya
intersubjektivitas, yakni kecocokan di kedua belah pihak yang memungkinkan keduanya mampu
mengerti, memeriksa, bernegosiasi, dan saling memanfaatkan sudut pandang pihak lain. Selain
itu guru disarankan untuk:
a. Peka terhadap pengetahuan yang mungkin diberikan siswa dalam situasi belajar.
b. Mengusahakan pemecahan masalah interaktif sebagai panduan belajar bagi siswa.
c. Menyajikan beberapa masalah yang menantang.
d. Mendorong, menggali, dan menerima penyelesaian dan strategi yang berbeda.
e. Mengusahakan agar siswa menerangkan dan memberikan alasan bagi pendapat mereka
Interaksi sosial dalam pembelajaran Matematika jangan hanya dibatasi dalam bentuk
kegiatan interaktif di kelas, tetapi juga mencakup interaksi siswa dengan konteks sosial budaya
yang dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari. Pembelajaran Matematika dikelas perlu
menghadirkan masalah-masalah kontekstual tersebut , karena kegiatan yang melibatkan masalah-
masalah ini menjadi bermakna secara sosial bagi siswa. Bahkan dalam pendekatan pendidikan
Matematika realistik, masalah kontekstual semacam itu dijadikan titik pangkal (starting point)
bagi proses pembelajaran Matematika.
Pembelajaran Matematika di sekolah bersifat hierarkis. Jadi dalam mempelajari suatu
bahan diperlukan penguasaan siswa akan bahan-bahan prasyarat itu. Tugas guru adalah
menciptakan suatu lingkungan pembelajaran interaktif dan memberikan tuntunan bagi para siswa
dalam ZPD (DPT) masing-masing , sehingga mereka masing-masing dapat mencapai taraf
kemampuan potensial. Situasi yang terjadi di lapangan secara empiris tidaklah sederhana. Tidak
setiap siswa telah menguasai bahan prasyarat dengan baik, atau para siswa menguasai tetapi
dengan kualitas penguasaan yang beraneka ragam. Jadi ada siswa yang belum mencapai taraf
kemampuan aktual atau taraf kemampuan aktual yang dicapai masing-masing siswa tidak sama.
Ini berarti ZPD (DPT) mereka berbeda-beda, yang berimplikasi pada perlunya tuntunan dan
lingkungan belajar interaktif.
Tuntunan yang diberikan guru Matematika untuk membawa seorang siswa dari taraf
kemampuan aktual ke taraf kemampuan potensialnya paling baik memanfaatkan pengalaman
belajar yang telah dimiliki siswa itu pada taraf kemampuan aktualnya, karena hal ini paling
bermakna bagi yang bersangkutan. Dari sini guru memberikan tuntunan, agar secara bertahap
siswa membangun sendiri model-model penyelesaian yang makin lama makin bersifat formal,
sampai akhirnya menjadi model matematik yang dimaksud.
Contoh dalam pembelajaran, jika siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan
sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan di mana letak kesalaha n tersebut,
melainkan memberikan mereka pertanyaan yang bersifat menuntun yang dimaksudkan agar
mereka dapat menemukan dan mengetahui letak kesalahan yang mereka buat. Ini merupakan
contoh scaffolding (tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa. Misalnya

seorang siswa mengatakan bahwa untuk semua bilangan real x dan real y berlaku = +,
dalam hal ini guru sebaiknya tidak langsung memberitahukan kesalahannya, tetapi guru

memberikan pertanyaan yang sifatnya menuntun seperti “apakah = + ?” . dengan


demikian suatu pembelajaran dan khususnya perkembangan kognitif siswa dapat terlaksana
secara optimal.
3. verbalisasi dan pemodelan matematika

https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jpm/article/view/3292

4. berpusat pada siswa

https://www.academia.edu/37480433/PENDEKATAN_DAN_STRATEGI_PEMBELAJARAN_MATEMATIK
A

A. Pengertian Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan Istilah pendekatan berasal dari bahasa Inggris approach yang salah satu artinya
adalah “Pendekatan”. Dalam pengajaran, approach diartikan sebagai a way of beginning
something ‘cara memulai sesuatu’. Karena itu, pengertian pendekatan dapat diartikan cara
memulai pembelajaran. Dan lebih luas lagi, pendekatan berarti seperangkat asumsi mengenai
cara belajar-mengajar. Pendekatan merupakan titik awal dalam memandang sesuatu, suatu
filsafat, atau keyakinan yang kadang kala sulit membuktikannya. Pendekatan ini bersifat
aksiomatis. Aksiomatis artinya bahwa kebenaran teori yang digunakan tidak dipersoalkan lagi.

Pendekatan pembelajaran menurut Syaiful (2003:68) adalah sebagai aktifitas guru dalam
memilih kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebagai penjelas dan juga
mempermudah bagi para guru memberikan pelayanan belajar dan juga mempermudah siswa
untuk memahami materi ajar yang disampaikan guru, dengan memelihara suasana pembelajaran
yang menyenangkan.

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari
metode pembelajaran dengan cakupan teorItis tertentu.

B. Fungsi Pendekatan dalam Pembelajaran

Fungsi pendekatan bagi suatu pembelajaran adalah :

1. Sebagai pedoman umum dalam menyusun langkah-langkah metode pembelajaran yang


akan digunakan.
2. Memberikan garis-garis rujukan untuk perancangan pembelajaran.
3. Menilai hasil-hasil pembelajaran yang telah dicapai.
4. Mendiaknosis masalah-masalah belajar yang timbul, dan
5. Menilai hasil penelitian dan pengembangan yang telah dilaksanakan.
C. Macam Pendekatan Pembelajaran

Dilihat dari pendekatan sudut pandangnya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu:

a. Student Centered Approach,

Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa dimana pada pendekatan
jenis ini guru melakukan pendekatan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berperan aktif dalam proses pembelajaran. Adapun yang termasuk pendekatan pembelajaran
yang berpusat pada siswa antara lain :

1. Pendekatan Saintific

Pendekatan saintific adalah Proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta
didik secara aktif mengkonstruksi pengetahuan, ketrampilan, dan lainnya melalui tahapan
mengamati , menanya, menalar, mencoba, dan menbentuk jejaring untuk semua mapel.

1) Tujuan Pembelajaran Pendekatan Saintific

Beberapa tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah:

1. Untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi


siswa.
2. Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara
sistematik.
3. Terciptanya kondisi pembelajaran dimana siswa merasa bahwa belajar itu merupakan
suatu kebutuhan.
4. diperolehnya hasil belajar yang tinggi.
5. Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel
ilmiah
6. Untuk mengembangkan karakter siswa

2) Prinsip Pendekatan Saintific

Prinsip-prinsip dalam pembelajaran dengan pendekatan saintific antara lain

1. pembelajaran berpusat pada siswa


2. pembelajaran membentuk students’ self concept
3. pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mempelajari, mnganalisis,
menyimpulkan konsep, pengetahuan, dan prinsip.
4. pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir siswa
pembelajaran meningkatkan motivasi

3) Langkah-langkah Pendekatan Saintific

Pembelajaran saintifik terdiri atas lima langkah, yaitu :


1. Observing (mengamati), Membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan
alat)
2. Questioning (menanya), Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami
dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang
apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat
hipotetik)
3. Associating (menalar), mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari
hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan
kegiatan mengumpulkan informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang
bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang
bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda
sampai kepada yang bertentangan
4. Experimenting (mencoba), Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik,
peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau
substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya,peserta didik harus memahami
konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus
memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar,
serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
5. Networking (membentuk Jejaring/ mengkomunikasikan), Menyampaikan hasil
pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media
lainnya

4) Kelebihan pendekatan scientific

1. Menilai data lebih objektif, karena tidak boleh terpengaruh oleh nilai atau kepercayaan
periset atau orang lain ( harus value free )
2. Dari segi kemudahan mendapatkan data ,data sekunder yang tersedia dapat digunakan
3. Eksternal validiti lebih tinggi karena dapat melibatkan permasalahan yang lebih luas
menggunakan waktu yang lebih panjang dan jumlah observasi yang lebih banyak sebagai
objek penelitian karena tersedia di data sekunder.

5) Kekurangan pendekatan scientific

1. Setting tidak natural ( artificial ) , dapat menurunkan validitas penelitian


2. Penelitian kurang terfokus tetapi lebih luas, sehingga kurang mendalam
3. Penelitian biasanya menjelaskan dan memprediksi fenomena yang tampak, sehingga
lebih mengarah ke verifikasi teori

2. Pendekatan Proses

Pendekatan proses merupakan pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada


siswa untuk menghayati proses penemuan atau penyusunan suatu konsep sebagai suatu
keterampilan proses.
Pendekatan proses adalah pendekatan yang berorientasi pada proses bukan hasil. Pada
pendekatan ini peserta didik diharapkan benar-benar menguasai proses. Pendekatan ini penting
untuk melatih daya pikir atau mengembangkan kemampuan berpikir dan melatih psikomotor
peserta didik. Dalam pendekatan proses peserta didik juga harus dapat mengilustrasikan atau
memodelkan dan bahkan melakukan percobaan. Evaluasi pembelajaran yang dinilai adalah
proses yang mencakup kebenaran cara kerja, ketelitian, keakuratan, keuletan dalam bekerja dan
sebagainya.

1) Kelebihan Pendekatan Proses

Keunggulan/Kelebihan pendekatan proses adalah :

 Memberi bekal cara memperoleh pengetahuan, hal yang sangat penting untuk
pengembangan pengetahuan dan masa depan.
 Pendahuluan proses bersifat kreatif, siswa aktif, dapat meningkatkan keterampilan
berfikir dan cara memperoleh pengetahuan.

2) Kelemahan Pendekatan Proses

Kelemahan pendekatan proses adalah :

 Memerlukan banyak waktu sehingga sulit untuk dapat menyelesaikan pengajaran yang
ditetapkan dalam kurikulum.
 Memerlukan fasilitas yang cukup baik dan lengkap sehingga tidak semua sekolah dapat
menyediakannya.
 Merumuskan masalah, menyusun hipotesis, merancangkan suatu percobaan untuk
memperoleh data yang relevan adalah pekerjaan yang sulit, tidak semua siswa mampu
melaksanakannya.

b. Teacher Centered Approach,

Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru , dimana pada pendekatan
jenis ini guru menjadi subjek utama dalam proses pembelajaran. Adapun yang termasuk
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa antara lain :

1. Pendekatan Kontekstual / Contextual Teaching and Learning (CTL)

Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US
Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar,
manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan
menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan
membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang
bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menggapinya.
Pendekatan konstektual merupakan pendekatan yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkanya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat.pendekatan kontekstual sendiri dilakukan dengan melibatkan
komponen komponen pembelajaran yang efektif yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan,
masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian sebenarnya.

Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu
:

1. Mengaitkan. adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme.
Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang
sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa
dengan informasi baru.
2. Mengalami. merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti
menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya.
Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan
serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
3. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan
masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan
relevan.
4. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang
signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi
masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya
membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5. Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan focus
pada pemahaman bukan hafalan

1) Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan dalam Pendekatan Kontekstual

Hal-hal yang diperlukan untuk mencapai sejumlah hasil yang diharapkan dalam penerapan
pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut :

 Guru yang berwawasan. Maksudnya yaitu guru yang berwawasan dalam penerapan dan
pendekatan.
 Materi dalam pembelajaran.Dalam hal ini guru harus bisa mencari materi pembelajaran
yang dijiwai oleh konteks perlu disusun agar bermakna bagi siswa.
 Strategi metode dan teknik belajar dan mengajar.Dalam hal ini adalah bagaimana seorang
guru membuat siswa bersemangat belajar, yang lebih konkret, yang menggunakan
realitas, lebih aktual, nyata/riil, dsb.
 Media pendidikan.Media yang digunakan dapat berupa situasi alamiah, benda nyata, alat
peraga, film nyata yang mana perlu dipilih dan dirancang agar sesuai dan belajar lebih
bermakna.
 Media pendukung pembelajaran kontekstual seperti peralatan dan perlengkapan,
laboratorium, tempat praktek, dan tempat untuk melakukan pelatihan perlu disediakan.
 Proses belajar dan mengajar. Hal ini ditujukan oleh perilaku guru dan siswa yang
bernuansa pembelajaran kontekstual yang merupakan inti dari pembelajaran kontekstual.
 Kancah pembelajaran.Hal ini perlu dipilih sesuai dengan hasil yang diinginkan.
 Penilaian/evaluasi otentik perlu diupayakan karena pada pembelajaran ini menuntut
pengukuran prestasi belajar siswa dengan cara- cara yang tepat dan variatif, tidak hanya
dengan pensil atau paper test.
 Suasana dalam lingkungan pembelajaran kontekstual sangat berpengaruh karena dapat
mendekatkan situasi kehidupan sekolah dengan kehidupan nyata di lingkungan siswa.

2) Karakteristik Pembelajaran CTL

1. Saling menunjang.
2. Menyenangkan, tidak membosankan.
3. Belajar dengan bergairah.
4. Pembelajaran terintegrasi.
5. Menggunakan berbagai sumber.
6. Siswa aktif.
7. Sharing dengan teman.
8. Siswa kritis guru kreatif.
9. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel,
humor dan lain-lain.
10. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil
pratikum, karangan siswa dan lain-lain

3) Tahapan-tahapan Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual

Tahapan pelaksanaan pembelajaran kontekstual antara lain :

 Mengkaji materi pelajaran yang akan diajarkan.


 Mengkaji konteks kehidupan siswa sehari-hari.
 Memilih materi pelajaran yang dapat dikaitkan dengan kehidupan siswa.
 Menyusun persiapan proses KBM yang telah memasukkan konteks dengan materi
pelajaran.
 Melaksanakan proses belajar mengajar kontekstual.
 Melakukan penilaian otentik terhadap apa yang telah dipelajari siswa.

4) Kelebihan pendekatan Kontekstual

1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal
ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan
tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak
akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa
karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang
siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis
konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.

5) Kelemahan Pendekatan Kontekstual

1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi
berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim
yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi
siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar
seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang
dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ”
yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat
belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan
strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru
memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan
pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.

Dilihat dari pendekatan materinya, pembelajaran terdapat dua jenis


pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Deduktif

Pembelajaran dengan pendekatan deduktif terkadang sering disebut pembelajaran tradisional


yaitu guru memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Dalam bidang ilmu
sains dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka
pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan
utama siswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran
dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan.

Menurut Setyosari (2010:7) menyatakan bahwa “Berpikir deduktif merupakan proses berfikir
yang didasarkan pada pernyataan-pernyataan yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus
dengan menggunakan logika tertentu.”

Hal serupa dijelaskan oleh Sagala (2010:76) yang menyatakan bahwa: Pendekatan deduktif
adalah proses penalaran yang bermula dari keadaaan umum kekeadaan yang khusus sebagai
pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan
contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus.

Sedangkan menurut Yamin (2008:89) menyatakan bahwa “Pendekatan deduktif merupakan


pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian dijelaskan dalam bentuk
penerapannya atau contoh-contohnya dalam situasi tertentu.”

Dalam pendekatan deduktif menjelaskan hal yang berbentuk teoritis kebentuk realitas atau
menjelaskan hal-hal yang bersifat umum ke yang bersifat khusus. Disini guru menjelaskan teori-
teori yang telah ditemukan para ahli, kemudian menjabarkan kenyataan yang terjadi atau
mengambil contoh-contoh.

Dari penjelasan beberapa teori dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan deduktif adalah cara
berfikir dari hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.

1. Penggunaan Pendekatan Deduktif

Menurut Yamin (2008:89) pendekatan deduktif dapat dipergunakan bila:

 Siswa belum mengenal pengetahuan yang sedang dipelajari,


 Isi pelajaran meliputi terminologi, teknis dan bidang yang kurang membutuhkan proses
berfikir kritis,
 Pengajaran mengenai pelajaran tersebut mempunyai persiapan yang baik dan
pembicaraan yang baik,
 Waktu yang tersedia sedikit.

2. Langkah-langkah Pendekatan Deduktif

Menurut Sagala (2010:76) langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan deduktif
dalam pembelajaran adalah

 Guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif,
 Guru menyajikan aturan, prinsip yang berifat umum, lengkap dengan definisi dan contoh-
contohnya,
 Guru menyajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara
keadaan khusus dengan aturan prinsip umum,
 Guru menyajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan
khusus itu merupakan gambaran dari keadaan umum.

3. Kelebihan Pendekatan Deduktif

Adapun kelebihan dari pendekatan deduktif dibandingkan dengan pendekatan lain adalah :

 Tidak memerlukan banyak waktu.


 Sifat dan rumus yang diperoleh dapat langsung diaplikasikan kedalam soal-soal atau
masalah yang konkrit.

4. Kelemahan Pendekatan Deduktif

Kelemahan pendekatan deduktif antara lain:

 Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna matematika dalam pembelajaran.


Hal ini disebabkan siswa baru bisa memahami konsep setelah disajikan berbagai contoh.
 Siswa sulit memahami pembelajaran matematika yang diberikan karna siswa menerima
konsep matematika yang secara langsung diberikan oleh guru.
 Siswa cenderung bosan dengan pembelajaran dengan pendekatan deduktif, karna disini
siswa langsung menerima konsep matematika dari guru tanpa ada kesempatan
menemukan sendiri konsep tersebut.
 Konsep tidak bisa diingat dengan baik oleh siswa

b. Pendekatan Induktif

Berbeda dengan pendekatan deduktif yang menyimpulkan permasalahan dari hal-hal yang
bersifat umum, maka pendekatan induktif (inductif approach) menyimpulkan permasalahan dari
hal-hal yang bersifat khusus.. Metode induktif sering digambarkan sebagai pengambilan
kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus.

Pendekatan induktif menekanan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan
pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut sebagai sebuah pendekatan pengambilan
kesimpulan dari khusus menjadi umum. Pendekatan induktif merupakan proses penalaran yang
bermula dari keadaan khusus menuju keadaan umum.

Sedangkan menurut Yamin (2008:89) menyatakan bahwa: Pendekatan induktif dimulai dengan
pemberian kasus, fakta, contoh, atau sebab yang mencerminkan suatu konsep atau prinsip.
Kemudian siswa dibimbing untuk berusaha keras mensintesiskan, menemukan, atau
menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran tersebut.

Mengajar dengan pendekatan induktif adalah cara mengajar dengan cara penyajian kepada siswa
dari suatu contoh yang spesifik untuk kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu aturan prinsip
atau fakta yang pasti.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan induktif adalah pendekatan
pengajaran yang berawal dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat
disimpulkan menjadi suatu kesimpulan, prinsip atau aturan.

1) Penggunaan Pendekatan Induktif

Menurut Yamin (2008:90) pendekatan induktif tepat digunakan manakala:

 Siswa telah mengenal atau telah mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan mata
pelajaran tersebut,
 Yang diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan, dan
pengambilan keputusan,
 Pengajar mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan terampil
mengulang pertanyaan, dan sabar,
 Waktu yang tersedia cukup panjang.

2) Langkah-langkah Pembelajaran Pendekatan Induktif

Menurut Sagala (2010:77) langkah-langkah yang harus ditempuh dalam model pembelajaran
dengan pendekatan induktif yaitu:
 Memilih dan mementukan bagian dari pengetahuan (konsep, aturan umum, prinsip dan
sebagainya) sebagai pokok bahasan yang akan diajarkan.
 Menyajikan contoh-contoh spesifik dari konsep, prinsip atau aturan umum itu sehingga
memungkinkan siswa menyusun hipotesis (jawaban sementara) yang bersifat umum.
 Kemudian bukti-bukti disajikan dalam bentuk contoh tambahan dengan tujuan
membenarkan atau menyangkal hipotesis yang dibuat siswa.
 Kemudian disusun pernyataan tentang kesimpulan misalnya berupa aturan umum yang
telah terbukti berdasarkan langkah-langkah tersebut, baik dilakukan oleh guru atau oleh
siswa.

3) Kelebihan Pendekatan Induktif

Adapun kelebihan dari pendekatan induktif dibandingkan dengan pendekatan antara lain adalah :

 Memberikan kesempatan pada siswa untuk berusaha sendiri atau menemukan sendiri
suatu konsep sehingga akan diingat dengan lebih baik.
 Murid memahami sifat atau rumus melalui serangkaian contoh. Kalau terjadi keraguan
mengenai pengertian dapat segera diatasi sejak masih awal.
 Dapat meningkatkan semangat belajar siswa.

4) Kelemahan Pendekatan Induktif

Kelemahan dari pendekatan induktif antara lain :

 Memerlukan banyak waktu.


 Kadang-kadang hanya sebagian siswa yang terlibat secara aktif.
 Sifat dan rumus yang diperoleh masih memerlukan latihan atau aplikasi untuk
memahaminya.
 Secara matematik (formal) sifat atau rumus yang diperoleh dengan pendekatan induktif
masih belum menjamin berlaku umum.

KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN TERPADU


http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/karakteristik-pembelajaran-terpadu.html
Penerapan pendekatan pembelajaran terpadu di sekolah dasar biasa disebut sebagai suatu
upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan, terutama dalam rangka mengimbangi gejala
penjejalan isi kurikulum yang sering terjadi dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah. Penjejalan isi kurikulum tersebut dikhawatirkan akan mengganggu
perkembangan anak, karena terlalu banyak menuntut anak untuk mengerjakan aktivitas atau
tugas-tugas yang melebihi kapasitas dan kebutuhan mereka. Dengan demikian anak kehilangan
sesuatu yang seharusnya bisa mereka kerjakan. Jika dalam proses pembelajaran anak hanya
merespon segalanya dari guru, maka mereka akan kehilangan pengalaman pembelajaran yang
alamiah dan langsung (direct experiences). Pengalaman-pengalaman sensorik yang membentuk
dasar kemampuan pembelajaran abstrak siswa tidak tersentuh, hal tersebut merupakan
karakteristik utama perkembangan anak usia sekolah dasar. Di sinilah mengapa pembelajaran
terpadu sebagai pendekatan baru dianggap penting untuk dikembangkan di sekolah dasar.
Menurut Depdikbud (1996:3), pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai
beberapa karakteristik atau ciri-ciri yaitu: holistik, bermakna, otentik, dan aktif.
1. HOLISTIK
Suatu gejala atau fenomena yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran terpadu
diamati dan dikaji dari beberapa bidang kajian sekaligus,tidak dari sudut pandang yang terkotak-
kotak. Pembelajaran terpadu memungkinkann siswa untuk memahami suatu fenomena dari
segala sisi. Pada gilirannya nanti, hal ini akan membuat siswa lebih arif dan bijak di dalam
menyikapi atau mengahdapi kejadian yang ada di depan mereka.

2. BERMAKNA
Pengkajian suatu fenomena dari berbagai aspek seperti yang dijelaskan di atas,
memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antar konsep-konsep yang berhubungan yang
disebut skemata. Hal ini akan berdampak pada kebermaknaan dari materi yang dipelajari.
Rujukan yang nyata dari semua konsep yang diperoleh dan keterkaitannya dengan konsep-
konsep lainnya akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajari. Selanjutnya, hal ini akan
mengakibatkan pembelajaran yang fungsional. Siswa mampu menerapkan perolehan belajarnya
untuk memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya.
3. OTENTIK
Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa memahami secara langsung prinsip dan konsep
yang ingin dipelajarinya melalui kegiatan belajar secara langsung. Mereka memahami dari hasil
belajarnya sendiri, bukan sekedar pemberitahuan guru. Informasi dan pengetahuan yang
diperoleh sifatya lebih otentik. Misalnya, hukum pemantulan cahaya diperoleh siswa melalui
eksperimen. Guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, sedangkan siswa bertindak sebagai
aktor pencari informasi dan pemberitahuan.
4. AKTIF
Pembelajaran terpadu menekankan keaktifan siswa dalam pembelajaran, baik secara fisik,
mental, intelektual, maupun emosional guna tercapainya hasil belajar yang optimal dengan
mempertimbangkan hasrat, minat dan kemampuan siswa sehingga mereka termotivasi untuk
terus-menerus belajar. Dengan demikaian, pembelajaran terpadu bukan hanya sekedar
merancang aktivitas-aktivitas dari masing-masing mata pelajran yang saling terkait.
Pembelajaran terpadu bisa saja dikembangkan dari suatu tema yang disepakati bersama dengan
melirik aspek-aspek kurikulum yang bisa dipelajari secara bersama melalui pengembangan tema
tersebut.

Selain itu, Hilda Karli dan Margaretha (2002:15) mengemukakan beberapa ciri
pembelajaran terpadu, yaitu sebagai berikut :
1. Holistik, suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran terpadu dikaji dari
beberapa bidang studi sekaligus untuk memahami suatu fenomena dari segala sisi.
2. Bermakna, keterkaitan antara konsep-konsep lain akan menambah kebermaknaan konsep yang
dipelajari dan diharapkan anak mampu menerapkan perolehan belajarnya untuk memecahkan
masalah- masalah nyata di dalam kehidupannya.
3. Aktif, pembelajaran terpadu dikembangkan melalui pendekatan diskoveri-inquiri. Peserta didik
terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran yang secara tidak langsung dapat memotivasi
anak untuk belajar.

Sejalan dengan itu, Tim Pengembang PGSD (1977: 7) mengemukakan bahwa


pembelajaran terpadu memiliki ciri-ciri berikut ini :
1. Berpusat pada anak (Student Centered)
Pada dasarnya pembelajaran terpadu merupakan suatu system pembelajaran yang
memberikan keleluasaan pada siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Siswa dapat
aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip dari suatu pengetahuan
yang harus dikuasainya sesuai dengan perkembangannya. Siswa dapat mencari tahu sendiri apa
yang dia butuhkan. Hal ini sesuai dengan penedekatan belajar modern yang lebih banyak
menempatkan siswa sebagai subjek belajar. peran guru lebih banyak sebagai fasilitator yaitu
memberkan kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.
2. Memberikan pengalaman langsung pada anak (Direct Experince)
Pembelajaran terpadu diprogramkan untuk melibatkan siswa secara langsung pada konsep
dan prisip yang dipelajari dan memungkinkan siswa belajar dengan melakukan kegiatan secara
langsung sehingga siswa akan memahami hasil belajarnya secara langsung. Siswa akan
memahami hasil belajarnya sesuai dengan fakta dan peristiwa yang mereka alami, bukan sekedar
memperoleh informasi dari gurunya. Guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator yang
membimbing ke arah tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan siswa sebagai aktor pencari fakta
serta informasi untuk mengembangkan pengetahuannya. Dengan pengalaman langsung ini, siswa
dihadapkan pada sesuatu yang nyata (konkrit) sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih
abstrak.
3. Pemisahan antara bidang studi tidak begitu jelas
Pembelajaran terpadu memusatkan perhatian pada pengamatan dan pengkajian suatu gejala
atau peristiwa dari beberapa mata pelajaran sekaligus, tidak dari sudut pandang yang terkotak-
kotak/dibatasi. Sehingga memungkinkan siswa untuk memahami suatu fenomena pembelajaran
dari segala sisi, yang pada gilirannya nanti akan membuat siswa lebih arif dan bijak dalam
menyikapi atau menghadapi kejadian yang ada.
Bahkan dalam pelaksanaan kelas-kelas awal, fokus pembelajaran diarahkan kepada
pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.
4. Menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran
Pembelajaran terpadu mengkaji suatu fenomena dari berbagai macam aspek yang
membentuk semacam jalinan antarskema yang dimiliki oleh siswa, sehingga akan berdampak
pada kebermaknaan dari materi yang dipelajari siswa. Hasil yang nyata didapat dari segala
konsep yang diperoleh dan keterkaitannya dengan konsep-konsep lain yang dipelajari siswa. Hal
ini mengakibatkan kegiatan belajar menjadi lebih bermakna. Dari kegiatan ini diharapkan dapat
berakibat pada kemampuan siswa untuk dapat menerapkan apa yang diperoleh dari belajarnya
pada pemecahan masalah-masalah yang nyata dalam kehidupan siswa tersebut sehari-hari.
Dengan demikian siswa dapat memahami konsep-konsep tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan
untik membantu siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupan
sehari-hari.

5. Bersikap luwes (Fleksibel)


Pembelajaran terpadu bersifat luwes, sebab guru dapat mengaitkan bahan ajar dari satu
bahan ajar dengan mata pelajaran lainnya, bahkan dengan kehidupan siswa dan keadaan
lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.
6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
Siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan
minat dan kebutuhannya. Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran
terpadu bertolak dari minat dan kebutuhan siswa. Menggunakan prinsip belajar menyenangkan
bagi siswa. Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi,
dan tanggap terhadap gagasan orang lain. Dengan demikian, siswa diberi kesempatan untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Dari beberapa pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
pembelajaran terpadu meliputi:
1. Berpusat pada anak
Pada dasarnya pembelajaran terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang
memberikan keleluasaan pada siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Sehingga
siswa dapat aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip dari suatu
pengetahuan yang harus dikuasainya dan dibutuhkannya sesuai dengan perkembangannya.
Dalam pembelajaran terpadu peran guru lebih banyak sebagai fasilitator dan siswa dituntut untuk
selalu aktif dalam pembelajaran.
Contoh:
Guru melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator, salah satunya menciptakan suasana kelas yang
menyenangkan. Sehingga kelas lebih terasa nyaman dan mengasyikan untuk belajar. Selain itu,
guru dapat berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan praktikum. Guru hanya memberi petunjuk
dan mengarahkan proses pelaksanaan praktikum. Siswa melaksanaakan praktikum sendiri sesuai
dengan arahan dari guru. Siswa mencatat hasil praktikumnya. Guru meluruskan konsep yang
salah. Guru bersama siswa menyimpulkan hasil praktikum.
2. Otentik
Pembelajaran terpadu diprogramkan untuk melibatkan siswa secara otentik (langsung) pada
konsep dan prisip yang dipelajari. Kegiatan tersebut memungkinkan siswa belajar dengan
melakukan kegiatan secara langsung sehingga siswa akan memahami hasil belajarnya secara
langsung sesuai dengan fakta dan peristiwa yang mereka alami, bukan sekedar memperoleh
informasi dari gurunya. Dengan pengalaman langsung ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yang
nyata (konkrit) sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih abstrak.
Contoh:
Guru mengajak siswa ke tempat sesuai dengan materi pelajaran yang dipelajari, misalnya
museum, pantai, gunung, kebun, dan lain sebagainya. Dengan pengalaman langsung tersebut,
siswa dapat mengetahui dengan jelas serta memahami materi yang dipelajari.
3. Pemisahan antara bidang studi tidak begitu jelas
Pembelajaran terpadu memusatkan perhatian pada pengamatan suatu peristiwa dari beberapa
mata pelajaran sekaligus. Pemisahan antara bidang studi tidak ditonjolkan. Sehingga
memungkinkan siswa untuk memahami suatu fenomena pembelajaran dari segala sisi. Fokus
pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan
kehidupan siswa.
Contoh:
Guru bercerita “Menjenguk Teman yang Sakit”.
“Jam 06.30, Andi pergi ke sekolah. Sebelum berangkat, tidak lupa Andi berpamitan kepada
kedua orang tuanya. Sesampainya disekolah, Andi dan teman-temannya dikejutkan dengan
berita bahwa Jery teman sekelasnya tidak masuk sekolah karena mengalami kecelakaan lalu
lintas. Jery melanggar peraturan lalu lintas karena ia mengendarai sepeda di sebelah kanan
jalan. Andi dan teman-temannya iuran untuk menjenguk Jery. Uang iuran terkumpul
Rp.100.000,00. Uang tersebut dibelikan 2 bungkus Roti tawar, masing-masing seharga Rp.
7.500,00. Selain itu membeli buah-buahan : 1 kilogram Apel seharga Rp.20.000,00 dan 2
kilogram jeruk seharga Rp. 30.000,00 dan sisanya ditaruh di dalam amplop untuk diberikan
kepada Jery.
4. Menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran
Pembelajaran terpadu mengkaji suatu fenomena dari berbagai macam aspek yang
membentuk semacam jalinan antarskema yang dimiliki oleh siswa, keterkaitan antara konsep-
konsep lain akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajari secara utuh dan diharapkan
anak mampu menerapkan perolehan belajarnya untuk memecahkan masalah-masalah nyata di
dalam kehidupannya.
Contoh:
Siswa belajar tentang jual beli dengan menggunakan metode bermain peran. Ada yang berperan
sebagai penjual dan pembeli. Dalam bermain permain peran tersebut, terjadi interaksi antara
penjual dan pembeli. Dalam berinteraksi sebagai penjual dan pembeli terdapat komunikasi. Jadi,
siswa dapat belajar bagaimana cara berkomunikasi yang baik (mata belajaran Bahasa Indonesia),
materi tentang pasar tersebut (penjual, pembeli, tawar-menawar) termasuk dalam mata pelajaran
IPS dan tawar menawar harga yang terjadi antara penjual dan pembeli termasuk dalam
pembelajaran matematika. Jadi, dalam kegiatan pembelajaran tersebut terdapat kebermaknaan
antar konsep mata pelajaran satu dengan mata pelajaran lain.
5. Bersikap luwes
Pembelajaran terpadu bersifat luwes, sebab guru dapat mengaitkan bahan ajar dari satu
bahan ajar dengan mata pelajaran lainnya, bahkan dengan kehidupan siswa dan keadaan
lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.
Contoh:
Guru dengan fleksibel dapat mengaitkan beberapa bahan ajar. Dalam mengaitkan beberapa
bahan ajar tersebut, guru menyesuaiakan dengan lingkungan sekitar siswa. Misalnya dalam
pelajaran olahraga, siswa sedang bermain bola. Kemudian dalam pembelajaran IPA materi
gravitasi bumi, guru membahas kembali kegiatan ketika olah raga. Guru menanyakan mengapa
bola dilempar akan jetuh ke tanah?
6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
Siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan
minat dan kebutuhannya. Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran
terpadu bertolak dari minat dan kebutuhan siswa. Menggunakan prinsip belajar menyenangkan
bagi siswa. Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi,
dan tanggap terhadap gagasan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai