Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan
menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin
keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal
peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-
hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan
keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat
esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal hal yang
bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka
Ilmu Kalam mengarahka pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai
derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya
tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya.
(Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia).
Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis
akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan
mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam. Sebagai unsur dalam
studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat
dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Dalam makalah ini kami berusaha membahas
tentang pengertian ilmu kalam, dan bagaimana perbandingan antara beberapa aliran dalam
ilmu kalam, serta perkembangan ilmu kalam pada era kotemporer ini.

B. Rumusan masalah
Dalam makalah ini penulis merumuskan masalah yaitu bagaimana aliran
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dalam memandang aspek ketuhanan (sifat –sifat
allah dan perbuatan allah, keadilan dan kehendak mutlak allah)

1
A. Aliran Mu’tazilah
1. Pengertian
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya “memisahkan
diri”. Mu'tazilah adalah salah satu aliran pemikiran dalam Islam yang banyak
terpengauruh dengan filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan rasio
sebagai dasar argumentasi.
Latar belakang munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya
peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat
dosa besar. Pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena
pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya,
Hasan Al Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh
pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Tokoh aliran Mu’tazilah diantaranya adalah Washil bin Atha’ , Abu Huzail Al
Allaf, Al Nazzam, Abu Hasyim Al Jubba’i
2. Doktrin Ajaran
a. Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan
tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah
substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip
pandangan al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan
Tauhid sebagai berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan
orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya…tidak
mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada
pada makhluq yang menunjukkan ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak
melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera…tidak dapat
dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui,
berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang
berkuasa dan orang yang hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada
lainnya yang Qadim…Tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang

2
diciptakanNya dan tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih
dahulu.”
b. Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak
menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat
mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan
qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak
memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya
menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu
(bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia
menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu
dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang
yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
c. Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk
memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam
surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun
di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan
tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut
dengan Wa’idiyyah
d. Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah
maksudnya adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari
pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak
dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan
Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena
sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui
kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa
besar.
e. Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran; 104 dan QS. Luqman ; 17, seperti
halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat
jahat adalah wajib ditegakkan. Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal

3
pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan
saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.
B. Aliran Asy’ariyah
a. Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan
Al Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq
bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi
Musa Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan
demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al Qur’an,
Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli
hadits.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus
kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar
Muktazilah di mata Al Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan
Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani
Saljuk dan seolah menjadi akidah resmi negara.
Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An
Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah
Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para
petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta
sultan Shalahuddin Al Ayyubi. Pandangan Asy’ariyah juga didukung fuqaha mazhab
Asy Syafi'i dan mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila
dikatakan bahwa akidah Asy'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar
di seluruh dunia.
b. Doktrin Ajaran
1) Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Al Qur’an, yang di
sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-sifat
itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2) Al Qur’an.
Menurutnya, Al Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.

4
3) Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4) Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia
itu sendiri.
5) Keadlian Tuhan
Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat
manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab Tuhan
Maha Kuasa atas segalanya.
6) Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah
kafir dan tetap mukmin.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang
beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham
teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa:
 Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
 mempunyai wujud di luar zat.
 Al Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
 Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
 Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
 Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah)
manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh
memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
C. Aliran Maturidiyah
a. Pengertian
Maturidiyah adalah akiran pemikiran kalam yang berpegang pada keputusan akal
pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu
bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Al Maturidy mendasarkan pikiran-pikiran dalam soal-soal kepercayaan kepada
pikiran-pikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnyafiqh-ul
Akbar dan fiqh-ul Absath dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab-kitab
tersebut. Maturidiyah lebih mendekati golongan Muktazillah.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al Qur’an
yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al

5
Qur’an. Dalam menfsirkan Al Qur’an Al Maturidi membawa ayat-ayat
yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yangmuhkam (terang dan jelas
pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabihberdasarkan pengertian yang
ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan
untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
b. Doktrin Ajaran
1) Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an dan akal, akal
banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Allah dan kewajiban mengetahui Allah dapat
diketahui dengan akal. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka
tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang
yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan
mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan Allah.
2) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat
(ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal
ini Al Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai
pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia
dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama
sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
3) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini
tidak berarti bahwa Allah berbuat dengan sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya sendiri.
4) Sifat Tuhan
Sifat-sifat Allah itu mulzamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun
ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga
berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya Dzat Allah.
5) Melihat Tuhan

6
Menurut Al Maturidi, manusia dapat melihat Tuhan, sebagaimana firman Allah QS.
Al Qiyamah: 22-23.
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan
mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat
Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan
dunia.
6) Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara
dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi
adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara
adalah baru (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana
Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara. Maturidiyah menerima
pendapat Mu’tazilah mengenai Al Qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al Maturidi
lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al Qur’an.
7) Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau
membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta
atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah
dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal
tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah
dalam kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi
karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8) Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran
wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu
yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan
pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban
Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.

7
9) Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Menurut Al Maturidi,
iman itu cukup dengan membenarkan (tashdiq) dan dinyatakan (iqrar), sedangkan
amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau
mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman
adalah tashdiq bi al qalb.
D. Perbandingan Pemikiran Aliran Kalam
Perbuatan Manusia
a. Menurut Aliran Jabariyah
Aliran jabariyah memandang bahwa manusia tidak merdeka dari mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa (fatalism). Aliran jabariyah memandang
manusia tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya
adalah majbur (terpaksa). Manusia digerakkan Allah, sebagaimana benda-benda yang
mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya karena digerakkan oleh Tuhan.
b. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang bahwa manusia sendirilah sebenarnya yang
mewujudkan perbuatannya, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, begitu pula
iman dan kufur. Paham ini diperkenalkan pertama kali oleh Ma’bad ibn al Juwaini dan
Ghailan al Dimasyqi. Keduanya merupakan orang yang paling awal memperkenalkan
pembicaraan tentang al qadr, yaitu kemampuan manusia untuk melakukan
perbuatannya. Manusia tidak dikendalikan tetapi dapat memilih.
Kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya erat kaitannya dengan
kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sedangkan tanggung
jawab menghendaki kebebasan. Pemberian siksaaan dan pahala tidak relevan kalau
manusia tidak aktif. Jadi nampaknya bahwa manusia merdeka dalam tingkah lakunya.
Ia berbuat baik atas kemauannya sendiri, begitu pula sebaliknya. Keterlibatan Tuhan
sama sekali tidak ada dalam mewujudkan perbuatan manusia.

8
c. Menurut Aliran Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah manusia lemah, banyak bergantung kepada kehendak dan
kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al Asy’ari memakai istilah kasb (perolehan). Menurut
al Asy’ari, inti dari kasb itu adalah bahwa sesuatu itu timbul dari yang memperoleh
dengan perantaraan daya yang diciptakan Allah. Perbuatan-perbuatan manusia oleh
Asy’ari pada hakikatnya diadakan oleh Allah. Semua itu mencakup perbuatan-
perbuatan gerakan refleks dan perbuatan-perbuatan manusia.
d. Menurut Aliran Maturidiyah
Dalam perwujudan perbuatan terdapat dua perbuatan, perbuatan Allah dan perbuatan
manusia. Perbuatan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Allah karena perbuatan
Allah adalah Pencipta perbuatan, sehingga dapat dikatakan.
Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
a. Menurut Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah memandang bahwa Allah itu tidak berkuasa mutlak. Kemutlakan
kekuasaan Allah dibatasi oleh beberapa hal yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri,
yang mana Tuhan tidak akan melanggarnya berdasarkan kemauannya sendiri. Aliran
Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya baik dan buruk.
Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak
dipaksa, agar dengan demikian maka keadilan Tuhan terwujud.
Paham ini didasari oleh paham mereka tentang keadilan Allah. Sebab tidak benar
manusia diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya atau tidak diberikan
kemampuan untuk mewujudkan apa yang dibebankan kepadanya. Tuhan itu adil kalau
manusia diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang diinginkannya dan diberi
kemampuan untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Dan atas perbuatannya
itulah maka Tuhan memberikannya imbalan pahala atau siksa sesuai dan ancamannya.
b. Menurut Aliran Asy’ariyah
Aliaran Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak dan tidak
tunduk kepada siapapun. Kekuasaan mutlak Allah tidak dapat dibatasi oleh kebebasan
manusia. Hal ini dapat dipahami dari pandangan kaum Asy’ariah yang memahami
bahwa manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Sebab sekiranya sesuatu terjadi
di luar kehendak Allah, atau sekiranya dalam kekuasaanNya terjadi apa yang tidak
dikehendakiNya, maka hal ini akan berarti bahwa Allah itu lemah atau lupa, sedangkan
sifat lemah atau lupa adalah mustahil bagi Allah. Dengan demikian, Allah lah yang

9
menghendaki segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau
perbuatan buruk.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Setelah terjadinya peristiwa tafkhim, umat islam terbagi kepada beberapa aliran dalam
bidang Teologi yang semulanya hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti :
Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
2. Masing-masing aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam
bidang teologi, di samping disebabkan karena mamang munculnya perbedaan itu terkait
langsung dengan perbedaan kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga
disebabkan karena di antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam al-Qur’an
maupun hadis Nabi SAW
3. Masing-masing aliran ilmu kalam mengalami perbedaan persepsi dalam memberikan
interpretasi, khususnya dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat tuhan,
perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak muthlak Tuhan, akal dan
wahyu.
B. Saran
Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di
lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa
yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu
pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan yang berlaku dimasyarakat
dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti
oleh Manusia.

11

Anda mungkin juga menyukai