Anda di halaman 1dari 2

Jaminan Kredit Bank

OPINI | 29 November 2010 | 03:07 Dibaca: 3989 Komentar: 4 1

Setiap bank memberikan kredit. Kalau bank tidak memberikan kredit namanya bukan bank.
Dengan memberikan kredit bank memperoleh imbalan berupa bunga (interest). Bank
dianggap telah berjasa memajukan usaha seorang nasabahnya sehingga layak untuk
memperoleh imbalan.

Secara sangat sederhana dapat dikatakan bahwa imbalan jasa dari nasabah peminjam tersebut
digunakan untuk membayar bunga tabungan dan deposito, gaji karyawan bank dan biaya
operasional lainnya. Selisihnya adalah keuntungan (laba) bagi bank.

Untuk memberikan pinjaman kepada seorang nasabah diperlukan adanya jaminan. Arinya,
bank menginginkan agar kredit yang diberikannya itu terjamin akan kembali kepada bank
setelah jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan bersama. Untuk itu, bank memerlukan analisa
kredit yang seksama.

Jaminan itu dapat berwujud atau tidak berwujud. Jaminan yang berwujud (agunan) biasanya
dalam bentuk tanah dan bangunan, stok barang dagangan, mesin-mesin, kendaraan bermotor,
dan lain-lain. Jaminan tidak berwujud berupa jaminan pribadi (personal guarantor) dari
jaminan perusahaan (company guarantor) dari pihak ketiga yang dianggap mampu
mengembalikan pinjaman jika si nasabah debitur gagal bayar.

Untuk menjadi personal guarantor atau company guarantor juga bukan sembarangan orang
atau perusahaan yang dapat dianggap layak oleh bank. Reputasi, kekayaan serta rekam jejak
yang bersangkautan sangat menentukan. Contoh kasus tang terkenal adalah ketika William
Surjadjaja menyerahkan kekayaannya untuk membayar utang Bank Summa karena ia
bertindak sebagai personal guarantor.

Jika bank menilai bahwa sebuah pinjaman itu terjamin dari risiko gagal bayar, maka barulah
pinjaman itu dapat dicairkan. Jika masih ragu-ragu, maka kemungkinan besar bank akan
menolak untuk memberikan pinjaman. Tidaklah mengherankan jika ada kesan bahwa bank
memberlakukan prosedur yang bertele-tela sehingga dianggap menyulitkan nasabah yang
membutuhkan pinjaman.

Sebenarnya, kalau bank yakin bahwa uang yang dipinjamkannya itu akan kembali sesuai
dengan perjanjian, bank tidak memerlukan agunan. Namun untuk memastikannya, bank tidak
berani mengambil risiko ini. Apalagi risiko menjadi kredit macet yang selalu menghantui
sebuah bank.

Jadi, jika sebuah bank memberikan kredit tanpa agunan (KTA) berarti bank sudah siap untuk
menanggung risiko adanya kredit macet. Karena itu, sukubunga KTA selalu jauh lebih tinggi
daripada kredit biasa. Dengan sukubunga tinggi setidak-tidaknya sebagian risiko kerugian
akibat kredit macet telah dapat dicover sebagian. Barangkali bunga tinggi yang diterima
dapat dianggap sebagai premi asuransi.

Program KUR (Kredit Untuk Rakyat) pun mirip dengan kredit tanpa agunan, sehingga risiko
untuk menjadi kredit macet massal sangat besar. Sama ketika 30 tahun yang lalu ketika Bank
Indonesia mencanangkan KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja
Permanen) yang gagal. Karena kalau kedua program kredit itu berhasil, maka pemerintah
tidak perlu lagi menyalurkan KUR, kecuali kalau ada unsur politis didalamnya.

Anda mungkin juga menyukai