Anda di halaman 1dari 21

Hak sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dari EKOSOB antara lain meliputi:

1. Hak atas pekerjaan


2. Hak atas taraf hidup yang layak, termasuk makanan, pakaina, perumahan dan kesehatan
3. Hak atas pendidikan
4. Hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, ambil bagian dalam
kemajuan ilmu pengetahuan, dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan materiil
yang timbul dari hasil karya cipta seseorang dalam bidang ilmu, kesusastraan dan seni.

Dalam kasus tersebut telah menyalahi hak sosial, ekonomi dan kebudayaan, khususnya
mengenai hak atas pekerjaan dan taraf hidup yang layak. Korban yang dijanjikan pekerjaan
malah mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual, serta tidak diperlakukan selayaknya
manusia. Terdakwa diputus bersalah melakukan tindak pidana “Perdagangan Orang yang
dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut”. Perdagangan orang dalam hal ini termasuk
dalam klasifikasi Perbudakan Kontemporer (Contemporary Forms Of Slavery).

Perilaku yang termasuk dalam kategori bentuk-bentuk perbudakan kontemporer (contemporary


forms of slavery), adalah:
a) Perdagangan anak.
b) Prostitusi anak.
c) Pornografi anak.
d) Eksploitasi pekerja anak.
e) Mutilasi seksual terhadap anak perempuan.
f) Pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
g) Penghambaan.
h) Perdagangan manusia.
i) Perdagangan organ tubuh manusia.
j) Eksploitasi untuk pelacuran, dan
k) Sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan.

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAM TERHADAP PERBUDAKAN


KETENAGAKERJAAN

DALAM DUHAM

Perlindungan hukum dan hak asasi manusia terhadap perbudakan ketenagakerjaan yang
terdapat dalam deklarasi universal hak asasi manusia ini dapat dilihat dari pasal 4 yang
berbunyi :

“Tidak seorang pun yang boleh diperbudak atau diperhambakan ;perhambaan dan
perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang”

Dalam pasal 4 deklarasi universal hak asasi manusia ini, menekankan kedudukan manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang setara dan tidak boleh diperlakukan secara tidak
menusiawi. Sehinnga dilarang untuk diperbudak atau di jadikan budak oleh sesama makhluk
ciptaan tuhan. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam DUHAM ini telah memberikan
perlindungan hukum serta menjamin HAM dari setiap manusia untuk tidak di jadikan sebagai
budak maupun diprhambakan. Telah jelas pula dikatakan bahwa segala bentuk perbudakan
dan perhambaan harus dilarang untuk dilakukan oleh siapapun.

Dalam pasal 22 DUHAM menyatakan :

“setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas Jaminan sosial dan berhak
melakukan dengan perantaraan usaha-usaha nasional dan kerjasama internasional dan
sesuai dengan sumber-sumber kekayaan dari setiap Negara, hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya yang perlu untuk martabatnya dan untuk perkembangan bebas pribadinya”.

Dalam pasal tersebut jelaslah bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dapat dijamin segala
hak ekonomi, sosial dan budayanya sebagai bentuk perlindungan atas harga diri dan
martabatnya sebagai manusia.

Hak atas jaminan sosial dimuat dalam Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. Dalam hal ini Konvensi Amerika menunjuk pada Piagam Organisasi
Negara-negara Amerika. Piagam Sosial Eropa memuat empat pasal yang berkaitan1

Dalam pasal 23 DUHAM disebutkan:

1. Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak
atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik dan atas perlindungan terhadap
pengangguran.
2. Setiap orang, dengan tidak ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama untuk
pekerjan yang sama.
3. Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik
yang menjamin penghidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan
martabat manusia dan, jika perlu ditambah dengan bantuan-bantuan sosial lainnya.
4. Setiap orang berhk mendirikan dan memasuki serikat sekerja untuk melindungi
kepentingan-kepentingannya.

1
Adnan Buyung Nasution. , Mr. P. van Dijk. , Prof. Mr. Th. C. van Boven. , Dr. L. Betten. , Mr. drs. J. A. Walkate,
Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 239.
Sebagaimana tertera dalam pasal 23 DUHAM tersebut, jelaslah bahwa perlakuan dua
terdakwa pada korban-korbannya melawan peraturan yang tercantum dalam pasal 23
DUHAM ini. Perlakuan majikan yang tidak transparan dan terkesan memaksa untuk
mengirim para korban kesana kemari untuk pekerjaan yang tidak jelas fungsi serta
upahnya,bahkan sampai mengalami perkosaan, jelas melukai hak asasi korban sebagaimana
diatur dalam pasal tersebut di atas.

Konvenan internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan bahwa
hak ini dapat tunduk pada pelarangan dan pembatasan tersebut bila ditentukan oleh hukum,
diperlukan dalam suatu masyarakat demokrasi, dibenarkan oleh keamanan nasional,
ketertiban umum dan hak-hak kebebasan orang lain.2

Dalam UUD 1945

Dalam undang-undang dasar 1945 ini perlindungan hukum dan HAM terhadap perbudakan
dapat dilihat dari isi pasal 28I ayat 1 yang berbunyi :

“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak perlakuan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Dari pasal diatas dapat dilihat bahwa undang-undang telah memberikan jaminan terhadap
setiap orang untuk tidak diperbudak. Hal ini dikarenakan bahwa setiap orang lahir bukan
untuk disiksa seperti halnya dijadikan sebagai budak. Sehingga segal bentuk perbudakan
haruslah ditentang sehingga dapat dijaminnya hak setiap manusia untuk tidak diperbudak.

Dalam UU no.39 tahun 1999

Untuk memberikan perlidungan hukum dan ham terhadap perbudakan, undang-undang ini
telah menyebutkan dalam pasal 20 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :

1. Tidak seorangpun yang boleh diperbudak atau diperhamba.


2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala
perbuatan apapun yang tujuannya serupa, dilarang.

2
Adnan Buyung Nasution. , Mr. P. van Dijk. , Prof. Mr. Th. C. van Boven. , Dr. L. Betten. , Mr. drs. J. A. Walkate,
Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 241.
Dalam UU no.39 tahun 1999 pasal 20 ayat 1 yang disebutkan diatas telah memberikan setiap
orang jaminan untuk tidak dijadikan sebagai budak dari orang lain. Kemudian dalam ayat 2
tersebut memberikan larangan terhadap segala bentuk-bentuk perbudakan maupun perbuatan
yang mempunyai tujuan yang mengarah ke dalam hal perbudakan .

Meninjau dari masalah di atas dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusaiaan.
Yang diamana kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang salah satunya berupa :Perbudakan,
dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan
anak-anak.

Kemudian dilakukan upaya untukkemudian dimasukkan ke dalam peradilan hukum ham.

Penangkapan

Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM


ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM
berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan
dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan
penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM
yang berat yang dipersangkakan. Keluarga harus mendapatkan tembusan untuk adanya
pengangkapan tersebut segera setelah penangkapan dilakukan.

Pelaku pelanggaran HAM berat yang tertangkap tangan, penangkapannya dilakukan tanpa
surat perintah tetapi dengan segera bahwa orang yang menangkap harus segera
menyerahkannya kepada penyidik. Lama penangkapan paling lama 1 hari dan masa
penagkapan ini dapat dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

Penahanan

Selama proses penyidikan dan penuntutan, penahanan atau penahan lanjutan dapat dilakukan
oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan yang
berwenang melakukan penahanan adalah hakim dengan mengeluarkan penetapan. Perintah
penahanan ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang disyaratkan yaitu adanya dugaan
keras melakukan pelanggaran HAM berat dengan bukti yang cukup, adanya kekhawatiran
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau
mengulangi pelanggaran HAM berat. Alasan penahanan ini adalah alasan yang berdasarkan
atas alasan subyektif dari penyidik atas kondisi yang disyaratkan tersebut, artinya
pertimbangan atas adanya bukti yang cukup, kekhawatiran akan menghilangkan barang bukti
atau akan melakukan pelanggaran HAM yang berat adalah alasan atas penilaian dari pihak
yang berwenang untuk melakukan penyidikan atau hakim yang memeriksa terdakwa. Hal ini
berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP yang juga mensyaratkan adanya unsur obyektif
untuk dapat dilakukan penahanan kepada tersangka maupun terdakwa.

Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat
diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah
selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan, maka dapat diperpanjang selama 60 hari.
Penjelasan tentang bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga
adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permualaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat.

Penyelidikan

Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa penyelidikan diartikan
sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu
peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna
ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang ini.

Penyidikan

Definisi tentang penyidikan tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000.23 Pihak yang
berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa
Agung. Penyelidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan karena
pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam upaya
penyidikan ini Jaksa Agung dapat24 mengangkat penyelidik ad hoc dari unsur masyarakat25
dan pemerintah.
Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal
hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat
dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat
diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama
maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya
masing-masing.

Penuntutan

Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam
melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa penuntut umum. Untuk dapat
diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat tertentu. Jangka waktu
penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima.

Proses

Proses Penegakan Hak Asasi Manusia - Oleh Mince Hamzah

22 Oktober 2010 pukul 5:43

( Sebuah Akumulasi Ketidak Adilan)

Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah dihayati dan dipahami sejak
dahulu. Penghormatan terhadap HAM ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para
penguasa negara. Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di
Eropa banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan untuk
melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai wakil
Tuhan di dunia. Menurut konsep kontrak sosialnya thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk
penyerahan seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk mengatur
tata tertib dalam masyarakat.

Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia hukum modern sekitar abad
17 dan 18 di Eropah. HAM tersebut semula dimaksudkan untuk melindungi individu dari
kekuasaan sewenang-wenang penguasa (raja). Namur dalam perkembangannya HAM bukan
lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa terkecuali. Atas
dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human
Rights (UDHR)) tahun 1948.
Tonggak sejarah peradilan HAM internasional adalah peradilan Nurembeg[1] yang dilakukan
terhadap Hermann W. Goering (Pejabat Nazi) yang terjadi pada tahun 1946. Selain
menegaskan prinsip pertanggungjawaban individu, Mahkamah Nuremberg juga
memperkenalkan kategori-kategori kejahatan yang relatif baru, seperti kejahatan terhadap
perdamaian (Crime against peace), kejahatan perang (War Crime), kejahatan terhadap
kemanusiaan (Crime against humanity). Puncaknya pada saat Mahkamah Pidana
Internasional yang disebut International Criminal Court (ICC) yang berlaku sejak tanggal 1
Juli 2002.

Penegakan hukum pidana internasional mempunyai dua system, yaitu system penegakan
hukum langsung (direct law enforcement) dan sitem penegakan hukum tidak langsung
(indirect law enforcement). Dalam praktek system penegakan hukum langsung telah
dilaksanakan olh beberapa Mahkamah Internasional ad hoc, seperti Nuremberg Trial, Tokyo
Trial, hingga ICTY dan ICTR. Sejak 1 Juli 2002 didirikan ICC . Sementara penegakan hukum
tidak langsung, dilakukan oleh pengadilan nasional tempat tindak pidana terjadi atau
pengadilan lain yang mempunyai yurisdiksi atas tindak pidana yang terjadi.[2]

Berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional secara normatif telah
mewajibkan negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap
HAM bagi setiap individu. Kendati demikian, keberadaan instrumen tersebut tidak secara
otomatis dapat mengakhiri maupun mencegah pelanggaran berat HAM di berbagai negara,
sebagaimana dikatakan Dinah Shelton seperti disitir Andrey Sujatmoko[3]: “there are close
to one hundred human rights treaties adopted globally and regionally. Nearly all states are
parties to some of them and several human rights norms have become part of customary
international law.Yet, like all law, human rights law is violated. It as not ended governmental
oppression and by itself cannot prevent or remedy all human rights abuses.”

Puncaknya setelah perang Dunia ke II PBB dalam sidang umum tanggal 10 Desember 1948
dikeluarkan pernyataan umum tentang HAM, yang disebut The Universal Deklaration of
Human Rights tentang prinsip-prinsip HAM yang harus dihormati dan ditaati oleh seluruh
negara anggota PBB. Atas dasar itulah kemudian setiap tanggal 10 Desember diperingati
sebagai hari HAM Internasional. Konsep tersebut dilandasi buah pikiran Presiden Amerika
Serikat F.D. Roosevelt, yang mengemukakan empat kebebasan dasar manusia (the tour
freedom of Roosevert)[4], yaitu:

1. Kebebasan untuk berbicara (freedom of speach);


2. Kebebasan beragama (freedom of religion);

3. Kebebasan dari kemiskinan dan kemelaratan (freedom from want);

4. Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Dalam perkembangan selanjutnya banyak bermunculan berbagai kovenan atau konvensi


yang mengatur tentang HAM, di antaranya: The International Covenan on Economic, Social
and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan
budaya) tanggal 16 Desember 1966 (yang berlaku tanggal 3 januari 1976) dan The
International Covenantion in civil and political rights (Konvenan internasional tentang hak-
hak sipil dan politik) tanggal 16 Desember 1966 (yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 1976),
dan lain sebagainya.

Realitas sosial berbagai kasus pelanggaran berat HAM, penyelesaiannya seringkali tidak
berpihak kepada korban, sebaliknya penyelesaiannya dilakukan justru untuk melindungi
pelaku, seperti pemberian amnesty yang dilakukan oleh para penguasa militer di Argentina
dan Chili pada tahun 1970-an. Akhirnya pemerintah Chili membentuk Komisi Nasional
Kebenaran dan Rekonsiliasi Chili. Untuk kasus Argentina, pelanggaran HAM berat terjadi
pada masa berlangsung perang kotor tahun 1976 – 1983, di mana pihak militer mengambil
alih pemerintahan dan kemudian melakukan tindakan represif yang diberi julukan sebagai
guerra sucia (istilah yang diberikan untuk angkatan bersenjata yang melakukan praktek-
praktek penghilangan terhadap orang-orang yang diduga sebagai komunis atau
pemberontak.[5] Pada akhirnya pemerintah Argentina membentuk Komisi Kebenaran yang
diberi nama Komisi Nasional Untuk Orang Hilang.

Walaupun telah dilakukan berbagai upaya yang mengatur prinsip-prinsip HAM, namun
pembatasan dan pelanggaran terhadap HAM terus terjadi. Kasus-kasus pelanggaran berat
HAM menyangkut genosida dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di bekas negara
Yugoslavia dan Rwanda. Di Bosnia-Herzegovina antara tahun 1991 – 1995 tercatat 20.000
orang hilang sebagai akibat operasi pembersih etnis yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok para militer Serbia. Hal ini juga menyebabkan Mahkamah Internasional di Rwanda
dibentuk, karena sistem peradilan pidana nasional dan infrastruktur di negara tersebut tidak
berfungsi secara efektif, sebahagian besar hakim dan jaksa telah dibunuh, diasingkan atau
dipenjara. Penyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di bekas Yugoslavia dan Rwanda
dilakukan melalui keterlibatan dari Dewan Keamanan PBB.
Dari fenomena kasus-kasus di atas, terlihat bahwa PBB khususnya melalui Dewan Keamanan
PBB memiliki peranan yang penting dalam menangani pelanggaran berat HAM yang terjadi
di berbagai negara. Dewan Keamanan PBB adalah organ utama di PBB, yang tidak jarang
digunakan oleh negara-negara pemegang hak veto untuk memaksakan kepentingan
politiknya, terbukti memiliki peran yang penting dalam menangani masalah pelanggaran
berat HAM, seperti misalnya pembentukan 2 (dua) Mahkamah Internasional ad hoc di bekas
Yugoslavia dan Rwanda.

Untuk kasus Indonesia, pelanggaran HAM berat yang melibatkan Dewan Keamanan PBB,
salah satunya adalah persoalan kekerasan di Timor-Timur. Kekerasan tersebut terjadi
setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut
masa depan Tim Tim, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat.
Pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264,
mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia
agar mengadili sendiri mereka-mereka yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya
kekerasan tersebut. Desakan itu kemudian melahirkan undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sebagai upaya menangani kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Indonesia telah
membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus pelanggaran berat HAM
yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[6] Selain itu
pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang tata cara perlindungan terhadap
korban dan saksi dalam pelanggaran berat HAM.[7] Di samping itu telah diatur pula tentang
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran berat HAM[8].

Yurisdiksi atau kompetensi absolut dari pengadilan HAM Indonesia sama dengan yurisdiksi
Mahkamah Internasional, adalah kejahatan genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000). Akan tetapi pengadilan HAM tidak
berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan seorang anak yang berumur di
bawah 18 tahun. Kalaupun anak yang bersangkutan melakukan kejahatan genocida dan
kejahatan kemanusian, tetap diadili oleh Pengadilan Negeri dan didasari KUHP dan KUHAP.

Mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip


exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan
HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai perundang-
undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang bersangkutan tidak mampu
untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional
melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC)[9] pelaku
pelanggaran HAM dapat diadili. Ukuran ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah [10]:

1. Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk
melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana;

2. Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;

3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;

4. Apabila ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau


substansial tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan
tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan proses
peradilan.

Di Indonesia proses pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan HAM yang berada di lingkungan peradilan umum. Pengadilan HAM bukan
merupakan peradilan yang berdiri sendiri, karena Pasal 24 UUD 1945 dan UU Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa hanya ada empat
lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara.
Seyogyanya Pengadilan HAM berdiri sendiri, karena sifatnya yang spesifik khusus kejahatan
genosida dan kejahatan kemanusiaan. Maka sudah barang tentu ketentuan Pasal 24 UUD
1945 dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus diamandemen.

Pembentukan UU Nomor 26 Tahun 2000[11] tentang Pengadilan HAM didasarkan pada


ketentuan Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sedangkan UU Nomor 39
Tahun 1999 tersebut dibentuk berdasarkan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM.
Menurut Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, yang berwenang untuk
mengadili kasus pelanggaran berat HAM adalah Pengadilan HAM dan berada di bawah
Pengadilan Umum. Penulis berpendapat pelanggaran HAM adalah merupakan extra
ordinary crime, suatu kejahatan yang luar biasa yang merupakan penindasan dan
pemusnahan terhadap hak-hak asasi setiap orang oleh sesuatu kekuasaan. Oleh karena itu
proses penegakan hukumnya juga harus luar biasa, karenanya posisi Peradilan HAM tidak
boleh berada di bawah lingkup Peradilan Umum.
Peradilan HAM harus berdiri sendiri (independen) sejajar dengan Mahkamah Agung, karena
yang akan diadili dalam pengadilan HAM tersebut adalah Para Penguasa, para Pembuat
Kebijakan yang melakukan penindasan terhadap kemanusiaan. Jika Peradilan HAM masih
berada di bawah Peradilan Umum, maka yang terjadi adalah “pembodohan hukum”. Ibarat
makan buah simalakama, tidak dimakan bapak mati jika dimakan ibu mati, akhirnya banyak
kasus-kasus pelanggaran berat haM terkatung-katung dan raib tanpa ujung. Kebijakan
menempatkan pengadilan HAM berada di bawah lingkup pengadilan umum, menurut hemat
Penulis, sama saja artinya kita memandang pelanggaran HAM sebagai kejahatan biasa
seperti pembunuhan, pencurian, pengaiayaan dan sebagainya).

Jika, dicermati dengan seksama asas-asas yang termaktub dalam UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, yaitu:

1. Hanya mengadili pelanggaran HAM berat.

2. Kejahatan universal. Pengadilan HAM berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang
dilakukan di luar batas teritorial RI oleh warga negara Indonesia.

3. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja yang diadili oleh Pengadilan HAM.

4. Jaksa Agung adalah penyidik dan penuntut umum.

5. Dalam pengadilan HAM dikenal penyidik Ad Hoc, Penuntut Ad Hoc dan hakim Ad Hoc.

6. Pemeriksaan banding, kasasi, limitatif paling lama 90 hari.

7. Dilindungi korban dan saksi.

8. Dikenal kompensasi, restitusi dan rehabilitasi korban.


9. Ancaman hukuman diperberat.

10. Adanya tanggungjawab komandan dan atasan terhadap pelanggaran HAM berat oleh
bawahannya.

11. Penerapan asas retroaktif, dimana terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum diundangkannya UU pengadilan HAM, diadili oleh pengadilan HAM Ad Hoc.

12. Tidak dikenal daluwarsa.

13. Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional HAM
(KOMNAS HAM).

14. Tidak ada kewenangan ANKUM dan perwira penyerah perkara dalam kasus pelanggaran
HAM berat.

Dengan asas-asas tersbut bukankah sudah mencerminkan kemandirian dari Peradilan


HAM…? lalu kenapa harus dipolitisir bahwa Peradilan HAM harus beradai di bawah Lingkup
Peradilan Umum …? Bisakah Peradilan HAM bebas dan mandiri dalam melakukan proses
penegakan hukum HAM jika masih harus bertanggungjawab secara struktural kepada
lingkup Peradilan Umum, bukankah ini merupakan jalan panjang dan melelahkan untuk
sampai pada proses peradilan HAM yang fair dan manusiawi…? Begitu panjangnya jalan
yang harus ditempuh, hingga akhirnya korban pencari keadilan pasrah dan menyerahkan
nasibnya pada takdir. Kalau ada sebuah lembaga yang bernama KOMNAS HAM yang
bertugas mencari fakta dan menemukan ada tidaknya pelanggaran HAM dalam kasus-kasus
yang diduga telah terjadi pelanggaran berat HAM. Toh, kalau akhirnya harus diadili dengan
sebuah peradilan di bawa lingkup pengadilan umum, maka hasilnya “Jeruk makan jeruk”
dan nothing dapat mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan apalagi perlindungan
dan kesejahteraan bagi korban kejahatan HAM.

Sesungguhnya tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan HAM menurut Pasal 4
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran berat HAM. Adapun yang dimaksud dengan pelanggaran berat HAM
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 meliputi kejahatan genocida[12] dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.[13] Sedangkan hukum acara yang digunakan dalam persidangan
adalah KUHAP seperti yang diatur dalam Pasal 10 Undang-undang tersebut. Akan tetapi di
sini Penulis melihat ada yang rancu dalam proses penegakan hukumnya, yaitu seperti
misalnya: proses peradilan HAM di Timor Timur dalam penegakan hukumnya ternyata
memerlukan dua buah Keppres, yaitu: Keppres Nomor 53 Tahun 2001 dan Keppres Nomor
96 Tahun 2001. Keppres Nomor 53 Tahun 2001 oleh pemerintah dianggap mempunyai
wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun
waktunya). Kemudian wilayah dan waktu itu dipersempit dengan Keppres Nomor 96 Tahun
2001 dan yurisdiksi ditetapkan menjadi tiga wilayah, yaitu Liquica, Dili dan Suai dengan
batasan waktu antara bulan April dan September 1999. Konsekwensi dari Keppres tersebut
tidak semua kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Timor-Timur dapat diungkap, termasuk
para pelakunya. Bukankah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri
mengandung unsur pelanggaran berat HAM…? Mencermati kasus tersebut, tergambar
bahwa ada keinginan atau keberpihakan untuk menutupi dan melindungi kejahatan
pelanggaran HAM berat tersebut. Namun Penulis melihat ada ”celah atau ruang” yang
memberi tempat dalam proses penegakan hukum yang dapat disimpangi. Celah tersebut,
terletak pada Keprres yang dikeluarkan pemerintah baru kasus-kasus pelanggaran berat
HAM di Timor Timur dapat diproses meskipun tidak semua terusut tuntas. Bukankah kalau
kita konsisten dengan Konstitusi UUD 45 lembaga yudikatif adalah independen dan merdeka
dari pengaruh dan ikut campur pihak manapun?! Tapi faktanya lembaga eksekutif telah dan
hampir di setiap ruang lembaga yudikatif ikut masuk dan menyelinap ke dalam ranah
yudikatif.

Pada akhirnya proses peradilan terhadap pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Putusan
Kasasi Mahkamah Agung membebaskan 5 (lima) terdakwa, di antaranya adalah mantan
Kepala Kepolisian Daerah Timor Timur Timbul Silaen, Letkol Asep Kuswani (Komandan
Kodim 1638 Liquisa), Leoneto Martins (Bupati Liquisa), dan Gubernur Timor Timut Abilio
Soares.[14]

Jika dalam kasus tersebut Terdakwa tidak terbukti bersalah, lantas salah siapa….? pelaku
mana yang dapat dijerat sebagai pelaku pelanggaran berat HAM di Timor Timur…?
Bukankah pelanggaran HAM adalah tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu
kekuasaan terhadap manusia yang tidak memiliki kekuasaan, dengan kata lain penindasan
oleh penguasa terhadap rakyatnya adalah pelanggaran HAM. Lalu bagaimana dengan para
korban, para isteri yang menjadi janda setelah ditinggal mati oleh suaminya, para ibu yang
kehilangan anaknya, para adik, kakak, yang kehilangan saudaranya, belum lagi kerugian
harta benda dari mereka, terlebih trauma yang mereka alami yang seumur hidupnya akan
selalui menghantui, bisakah dihapuskan dengan keputusan yang tidak memberi makna
keadilan, kepastian dan kemanfaatan dalam bentuk apapun…?
Padahal menurut Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 bahwa Pemberian
konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran berat HAM seharusnya
diumumkan dalam putusan hakim. Namun dalam putusan perkara pelanggaran berat HAM
di Timor Timur tersebut tidak satupun yang mencantumkannya dalam amar putusan
tentang pemberian konpensasi, restitusi ataupun rehabilitasi. Sangat disayangkan di negeri
yang mengatasnamakan hukum sebagai dasar konstitusionalnya, yang seyogyanya
mengormati noma-norma HAM sebagai bahagian yang tidak terpisahkan dengan hukum,
justru menjadi “negara paling korup dalam bentuk pelanggaran HAM”.

Merenungi proses penegakan hukum kasus Timor Timur melalui putusan tahap awal,
seluruh majelis hakim telah memutuskan telah terjadi pelanggaran berat HAM. Seharusnya
Mahkamah Agung melalui keputusannya memuat amar tentang pemberian dan
perlindungan hak korban dalam hal konpensasi, restitusi dan sebagainya. Tidak
dicantumkannya pemberian hak korban atas kompensasi ini sangat mengherankan.
Masyarakat pencari keadilan (korban pelanggaran HAM berat) mengapai keadilan melalui
lembaga peradilan yang diyakini sebagai benteng terakhir setidaknya dapat memberikan
harapan bahwa setiap kejahatan tidak punya tempat di muka bumi, tetapi justru mendapat
ketidakadilan bahkan lebih radikal berupa penindasan. Menurut Penulis telah terjadi
“devian behavior” dan itu berarti mematikan hak-hak korban atas kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi yang seharusnya diterima oleh korban. Berkaitan dengan penerapan prinsip
tanggungjawab Negara khususnya terhadap penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM di
Timor Timur, dengan membentuk pengadilan HAM ad hoc, secara substansial banyak
menunjukan kelemahan, antara lain dari istrumen hukum, sumber daya manusia dan
penegakan hukum.

Belajar dari kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur. Sejak tahun 1975 Timor Timur
sebagai salah satu Propinsi di Negara Indonesia telah menjadi wilayah dalam pengawasan
PBB, karena konflik bersejanta dari kelompok yang bertikai yang berkepanjangan di wilayah
tersebut. Dengan masuknya wilayah tersebut ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak membuat persoalan selesai, karena sepanjang tahun 1975 hingga 1999 sudah ada
lebih kurang 19 macam “mekanisme kerja” lembaga-lembaga PBB, mulai dari Resolusi
Dewan Keamanan PBB, UNHCR, Commissioner on Human Rights, hingga Majelis Umum.[15]
Ketika gerakan reformasi melanda Indonesia, pemerintah menawarkan dua opsi untuk
menyelesaikan masalah Timor Timur, yang pertama adalah otonomi khusus yang sedang
dalam pengkajian dan persiapan pelaksanaannya. Ketika situasi politik saat itu berkembang
sedemikian rupa, sehingga pemerintah mengeluarkan opsi kedua pada tanggal 27 Januari
1999, yaitu Jajak Pendapat. Opsi kedua ini melibatkan dunia internasional dalam
pelaksanaannya, yaitu UNAMET yang dibentuk oleh PBB. Dalam perjanjian yang dibuat di
New York (New York Agreement) disepakati bahwa pelaksanaan jajak pendapat dilakukan
oleh lembaga internasional tersebut, sementara pemerintah Indonesia akan
bertanggungjawab untuk menjaga keamanan dan perdamaian di Timor Timur agar jajak
pendapat dilaksanakan secara adil dan damai, dengan suasana yang bebas dari intimidasi,
kekerasan dan campur tangan pihak manapun. Dengan jajak pendapat tersebut masyarakat
Timor Timur terbelah menjadi dua, yaitu masyarakat pro kemerdekaan dan pro otonomi
khusus.

Pemerintah Indonesia melalui Pemda Timor Timur berikut dengan jajaran aparat
keamanannya menetapkan kebijakan membentuk organisasi politik guna menampung
aspirasi masyarakat Timor Timur. Akibatnya dengan adanya dua kubu pro dan kontra terjadi
pertikaian dan seringkali dilakukan dengan kekerasan. Dalam beberapa peristiwa telah jatuh
korban jiwa, baik meninggal maupun luka-luka atau korban harta benda dalam bentuk
hancurnya bangunan rumah, gedung perkantoran, rumah ibadah dan lain-lain. Dalam
berbagai peristiwa tersebut para anggota TNI dan Kepolisian RI hadir untuk melakukan
pengamanan, tapi tidak mampu melindungi pihak yang terancam, bahkan tidak mampu
mencegah massa yang melakukan kekerasan dan penganiayaan tersebut. Aparat keamanan
dalam berbagai peristiwa tersebut terkesan membiarkan peristiwa itu terjadi. Hingga
akhirnya Gubernur Timor Timur Abilio Soares melalui Pengadilan HAM Ad Hoc dijatuhi
hukuman 3 (tiga) tahun penjara.

Dari kasus tersebut ada dua isu hukum yang hangat diperbincang para ahli hukum dan
pemerhati HAM, yaitu penerapan asas retroaktif dan adakah dasar yang dapat menjadi
sandaran bagi penetapan pertanggungjawaban pidana terdakwa sebagai
pertanggungjawaban komandan atas tindakan yang dilakukan bawahannya?

Dalam hal ini Penulis berpendapat bahwa asas retroaktif dibenarkan dalam kasus-kasus
yang bersifat extra ordinary crime. Karena pelanggarat berat HAM adalah extra ordinary
crime, maka HAM yang menurut Pasal 28 i UUD 1945 tidak boleh dikurangi olh siapapun,
khusus untuk pelaku pelanggaran HAM hak tersebut harus dibatasi demi tegaknya
penghormatan HAM itu sendiri. Hak yang sama juga diatur dalam berbagai instrumen
hukum internasional seperti Deklarasi Human Rights, dalam Pasal 11 dan Internacional
Covenant on Civil and Political Rights dalam Pasal 15 ayat (2). Hal ini menunjukan bahwa
asas legalitas tidak berlaku mutlak dalam proses peradilan HAM, dengan kata lain asas
retroaktif dapat diberlakukan, dengan pertimbangan moral, kepentingan dan ketertiban
umum. Roscoe Pound mengatakan bahwa di dalam hukum terdapat nilai moral, demikian
juga dengan Teori Hukum Kodrat Thomas Aqinas yang mengembangkan dasar moral dan
hukum,[16] kenyataannya selama dua rezim otoriter dan demokrasi silih berganti di
Indonesia, tetap saja berbagai peristiwa semakin menimbulkan ketidak pastian hukum
dalam kebijakan Publik.

Terhadap isu kedua mengenai pertanggungjawaban komandan/superior dalam kasus Timor


Timur, Penulis berpendapat komandan tidak serta merta dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan bawahannya, hanya karena terbukti ada hubungan atasan bawahan atau dia
mengetahui tapi tidak berbuat untuk mencegah. Menurut Penulis harus dilihat per kasuistis,
apakah dalam kasus tersebut kondisi atau situasi pada saat kejahatan (pelanggaran berat
HAM) terjadi, komandan yang bersangkutan masih mempunyai kemampuan untuk
mencegah atau tidak. Kalau ternyata ia mampu mencegah tetapi tidak dilakukannya, maka
pertanggungjawaban dapat dimintakan kepadanya. Tetapi jika perbuatan tersebt benar-
benar tanpa sepengetahuan dan di luar kontrol dari yang bersangkutan, maka pebuatan
tersebut menjadi tanggungjawab pelaku yang bersangkutan. Ada kriteria untuk dapat
dimintai pertanggungjawaban atasan dalam kasus pelanggaran HAM, sebagaimana
dikatakan Nico Keyzer sebagaimana disitir Shinta Agustina, mengatakan bahwa: ada 3
kondisi bagi pertanggungjawaban komandan atas perbuatan bawahannya, yaitu:

1. Sesorangan mempunyai control atas orang lain;

2. Seseorang hanya bertanggungjawab karena tidak melakukan pencegahan kejahatan yang


diketahuinya;

3. Seseorang tidak harus tahu, tetapi juga harus mampu untuk mencegah.[17]

Kerancuan di Indonesia adalah “keliru” memahami konsep HAM sebagaimana dicetuskan


dalam Deklarasi Human Rights, bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah
tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa terhadap individu atau kelompok yang ada
di bawah kekuasaannya. Tetapi Undang-undang HAM Indonesia sebagai bentuk ratifikasi
terhadap HAM internasional yang berlaku universal (UU Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 1 ayat
(6) memandang pelanggaran HAM tak ubahnya pelaku tindak pidana biasa, seperti
perampokan, pembunuhan, pencurian dan sebagainya.

Jika dulu pada masa orde baru hukum dijadikan sebagai alat rekayasa sosial untuk
mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan pemerintah (eksekutif), maka pada masa
reformasi dan pasca reformasi hukum dipahami dan dipandang sebagai legalitas dari
kompromi kelompok-kelompok kepentingan (legislatif). Dengan demikian orde reformasi
telah menjadikan hukum sebagai perujudan legalitas dari kompromi kepentingan kelompok-
kelompok. Ternyata di pasca reformasi bukan saja ketidakpastian hukum yang menjadi
persoalan malainkan ketidak-percayaan pada hukum dan penindasan pada rasa keadilan
masyarakat, sehingga banyak bermunculan pemberontakan dan demonstrasi di mana-
mana, sampai-sampai demonstrasi kerbau si buya.
Menurut hemat Penulis, ketika eksaminasi (kontrol) internal dari institusi aparat penegak
hukum tidak berjalan dengan baik, maka peran eksaminasi eksternal dapat menjadi senjata
yang ampuh untuk melakukan kontrol terhadap proses peradilan, sehingga pada muaranya
penegakan HAM atas tindakan sewenang-wenang pihak penguasa (aparat penegak hukum)
dapat dilaksanakan seutuhnya. Akan tetapi eksaminiasi eksternal-pun tidak membawa
pengaruh apa-apa terhadap keputusan kontroversi dari lembaga peradilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Apapun diktum keputusan hakim, ia berlaku sebagai
undang-undang yang wajib dipatuhi dan dijalankan (eksekusi) dengan baik. Persoalannya
sekarang, bukankah hakim (sipembuat diktum) adalah manusia…? dan apakah dalam
membuat keputusan para hakim selalu benar…? Lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang
telah diputus seperti terhadap Asrori yang pelakunya telah divonis 15 tahun penjara
belakangan terungkap bukan dia pelakukanya…? atau kasus orang tua yang diduga
membunuh anak setelah menjalani hukum lebih kurang 16 tahun tiba-tiba si anak muncul
dalam keadaan sehat walafiat…? siapa yang patut dimintai pertanggungjawaban atas
kekeliruan tersebut….? Dengan apa dikembalikan kemerdekaan (HAM) yang bertahun-tahun
islam dirampas dari mereka akibat dari kekeliruan dalam proses penegakan hukum…?

Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa hampir semua peraturan perundang-undangan
kita melanggar HAM termasuk Undang-undang HAM sendiri. Memang harus diakui, bahwa
untuk mencapai ketertiban dalam sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, harus
ada pembatasan terhadap Hak Asasi tertentu dari Manusia. Tetapi hendaknya situasi
tersebut tidak diperkeruh oleh nuansa kepentingan. Harus ada sebuah konsep, yang
menurut penulis adalah “1/2 Toleransi” dengan kata lain harus ada ambang batas. Kita tidak
usah munfaik! Bahwa hukum adalah kepentingan. Memang hukum harus berisi
kepentingan-kepentingan. Tapi bukan kepentingan penguasa atau kepentingan elite
tertentu, melainkan Hukum harus berisi keseimbangan antara kepentingan masyarakat,
penguasa dan kepentingan elite tertentu.

Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana penanggulangan kejahatan (HAM)
dengan tujuan untuk[18]:

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan sehinga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan
dan yang bersalah telah dipidana.

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.
Menurut hemat Penulis, ketiga tujuan ideal dari Proses Peradilan Pidana tersebut tidak akan
pernah terwujud, selama belum ada perubahan dalam sistem penegakan hukum itu sendiri.
Sejarah membuktikan bahwa ternyata, sistem yang mengajarkan dan sistem yang memberi
“celah” bagi aktor-aktor di belakang hukum untuk dipolitisir dan dipelintir sesuai
kepentingan yang dikehendaki. “Hukum dibuat untuk dilanggar” Mitos keliru! Yang
terlanjur terdoktrin oleh manusia Indonesia sejak berabad-abad yang lalu, sebagai bentuk
warisan dari Pemerintahan Kolonial yang jelas punya kepentingan di Indonesia. “Ada
Peristiwa baru ada hukum”, makanya hukum selalu tertinggal di belakang objek yang
diaturnya. Kalau kita mau jujur…, harus disadari! Bahwa kita telah kehilangan “Nurani”.
Cermin hati manusia Indonesia telah hancur berkeping-keping. Kita terfokus kepada dosa
turunan yang diwariskan Adam dan Hawa karena melanggar perintah dan larangan Allah.
Sesungguhnya jauh sebelum hukum buatan manusia itu lahir bahkan sebelum peradaban
manusia, Allah telah menciptakan hukum abadi, “Moral” atau “etika”, apa yang boleh dan
tidak boleh, apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya, apa yang baik dan apa yang
buruk, apa yang adil dan tidak adil. Sesuai sifatnya, alam selalu berubah! Demikian juga
manusia berikut segala bentuk kebudayaannya sebagai hasil karya dan cipta manusia. Satu
yang tidak berubah “Nurani” ia akan kekal kembali kepada sang khalik. Para penguasa,
petinggi negara dan pembuat kebijakan, seyogyanya mendengar dan mengutamakan “suara
hati” (karena ia tidak pernah berbohong), Sebab ditangannyalah nasib negeri ini
bergantung. Untuk itu menurut hemat Penulis kita harus memberi sebuah devini hukum
yang tepat (meskipunbanyak ahli hukum berpendapat bahwa belum ada devinisi yang pasti
tentang hukum). Menurut Penulis: “hukum adalah seni yang berisi tata nilai tentang baik
atau buruk, benar atau salah, boleh atau tidak, yang ditentukan oleh pembuat hukum,
penjalan hukum dan pemantau hukum”. Dengan devinisi diharapkan hukum dapat
berfungsi sebagai “control” perilaku bagi masing-masing individu. Karena sebelum individu
tersebut berhadapan dengan khalayak terlebih dahulu ia akan berhadapan dengan
nuraninya atas pertanyaan, baik atau buruk, benar atau salah boleh atau tidak. Sebab
musuh terbesar manusia adalah ha hawa nafsunya sendiri.

Fiedman berkata bahwa sistem hukum dibangun atas 3 landasan dasar utama, yaitu:
strutural, substansi dan budaya hukum. Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan
atas hukum dengan prinsip the rule of law, mestinya benar-benar membangun hukum atas 3
landasan dasar tersebut, dibarengi dengan mekanisme kontrol baik secara internal ataupun
eksternal. Dosa terbesar yang pernah dibuat bangsa ini adalah menjadikan hukum sebagai
kepentingan dan alat untuk rekayasa sosial tanpa dilandasi “behavior” yang baik, sehingga
kita menjadi pecundang, pengkhianat keadilan terhadap manusia dan kemanusiaan. Upaya
agar HAM tetap dihormati, tidak dibatasi dan tidak dilanggar, baik secara nasional, regional
maupun internasional, maka penegakan hukum melalui mekanisme peradilan baik nasional
maupun internasional adalah langkah bijak terhadap penghormati HAM. Baik di tingkat
nasional, regional maupun internasional, peradilan HAM adalah peradilan khusus,
menyangkut instrumen khususnya maupun institusi dan proses peradilannya. Hal ini
dikarenakan pelanggaran atau kejahatan HAM bukan merupakan kejahatan biasa tetapi
merupakan Extra Ordinary Crime. Pelanggaran berat HAM dikatakan Extra Ordinary Crime,
disebabkan 3 (tiga) alasan, yaitu:
1. Pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pemegang kekuasaan,
sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh.

2. Kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam dilakukan dengan
cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan.

3. Kejahatan tersebut sering berlindung di balik dasar penegakan hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, karena kalau dulu pelanggaran HAM sering ditujukan
kepada hak Sipol, maka sekarang pelanggaran HAM yang paling berbahaya adalah
pelanggaran HAM di bidang Ekosob, karne berdampak secara global dan menyeluruh,
perlahan tapi pasti menggerogoti seluruh sendi kehidupan, baik makro maupun mikro
organisme, baik yang tersentuh langsung atau pun tidak langsung, akan ikut memikul beban
risiko dari pelanggaran HAM tersebut.

Ke depan sangat diharapkan adanya pemenuhan atas hak-hak korban seharusnya lebih
diutamakan, karena jaminan Perlindungan terhadap hak-hak korban adalah salah satu
bentuk dari pertanggungjawaban Negara dalam menegakan dan menghormati HAM, jika
tidak maka yang terjadi adalah akumulasi ketidak adilan.

[1] PBB melalui revolusi Majeis Umum No. 177 menugaskan kepada ILC (International Law
Commnission) untuk memformulasikan prinsip-prinsip hokum yang muncul dari Mahkamah
Nuremberg.

[2] Sinta Agustina, Hukum Pidana Internasional Dalam Teori dan Praktek, Andalas Universty
Press, Padang, 2006. Hal. 82.

[3] Andrey Sujatmoko, Tanggungjawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM Indonesia,
Timor Leste dan Lainnya, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005. Hal.2.
[4] Andrey Sujatmoko, HAM, Pelanggaran HAM dan Penegakan HAM, Kumpulan Makalah
Dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), Pusham-UII,
Yokyakarta, Februari 2007. Hal. 335.

[5] Andrey Sujatmoko, Op Cit. Hal. 8.

[6] Pasal 7 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

[7] PP. Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.

[8] PP Nomor 3 Tahun 2000 tentang Kompensasi, Restituís dan Rehabilitasi Terhadap Sorban
Pelanggaran HAM yang berat.

[9] Statuta Mahkamah Internasional tersebut disetujui dalam Konferensi Diplomatik PBB di
Roma, Italia pada tanggal 17 Juni 1998 dan baru mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002. ICC
kini telah memiliki 18 Hakim yang dipilih sebagai wakil dari negara-negara dari sistem
hukum yang berbeda, dengan 99 negara peserta, termasuk Indonesia.

[10] Superman Marzuki, Peradilan Yang Fair dan Manusiawi Sebagai Hak Asasi Manusia,
Makalah dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (kajian Multi Perspektif), Pusham
– UII, Yogyakarta, 2007. Hal. 367.

[11] Sebelumnya Pembentukan Pengadilan HAM tersebut didasarkan pada Perpu Nomor 1
Tahun 1999, namun Perpu tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

[12] Kejahatan genocida yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang tersebut meliputi:
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok
agama, dengan cara: a) membunuh anggota kelompok; b) mengakibatkan penderitaan fisik
atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c) menciptakan kondisi
kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya; d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok; atau e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.”

[13] Kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a) pembunuhan; b)
pemusnahan; c) perbudakan; d)pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e)
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f) penyiksaan, perkosan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h)
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan
lain yang telah diakui secara niversal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional; i) penghilangan orang secara paksa; atau j) kejahatan aparteid.

Anda mungkin juga menyukai