Anda di halaman 1dari 7

KEROPOS

Aku terjerembab di antara ribuan langkah kaki dan tubuh yang saling
berdesakan. Tangan dan kakiku terinjak-injak. Tak ada yang menghiraukan
teriakan mengaduhku. Langkah-langkah kaki itu tidak ada habisnya, bahkan
semakin banyak. Tubuhku semakin terdesak-desak tak karuan.

Aku mencoba menepi, merangkak pelan, menghindari kaki demi kaki.


Beberapa kali aku mengaduh, tanganku terinjak, kemudian disusul kakiku. aku
sedikit bernapas lega, setidaknya masih bisa selamat dari injakan-injakan kaki itu.

Aku mengernyitkan dahi menyadari, “Di mana aku?” pikirku.

Aku menatap sekitar. Ribuan orang berpakaian formal, berjas dan bersepatu
hitam mengkilap menuju ke satu tempat yang sama. Mereka menenteng tas
berwarna hitam dengan ukuran dan model yang sama. Aku memicingkan mata,
memperhatikan mereka dengan seksama. Semakin aku perhatikan, semakin aku
tak menemukan jawaban.

Aku mencoba berdiri dengan berpegangan pada tiang di sampingku.


Perlahan rasa sakit di sekujur tubuhku terutama tangan dan kaki mulai terasa. Aku
tetap memaksakan diri untuk berdiri. Melangkahkan kaki perlahan, mengikuti
ribuan langkah kaki itu.

Aku berjalan beriring-iringan dengan orang-orang berjas itu. Tatapan


mereka lurus ke depan. Diam tanpa suara, hanya langkah kaki yang terdengar
jelas. “Siapa sebenarnya mereka?” gerutuku dalam hati.

Sampailah di ujung jalan, ada satu bangunan tua yang amat besar. Jika
diamati dari luar, bangunan itu tampak kotor dan sudah lama tak berpenghuni.
Banyak tumbuhan liar yang tumbuh melilit tiang-tiang bangunan. Juga dedaunan
kering yang berserakan di lantai.

Aku mengikuti arah langkah orang-orang itu, masuk ke dalam bangunan


tua. Ternyata aku salah, ini bukan sekadar bangunan tua yang tak berpeghuni
melainkan sebuah aula besar di mana orang-orang berjas itu berkerumun.
Bangunan ini merupakan sebuah aula mewah dengan desain interior yang sangat
menarik.

Bangunan ini tidak memiliki keamanan yang ketat seperti satpam atau
polisi. Ditambah lagi orang-orang yang datang terlalu banyak memudahkanku
yang hanya berkemeja tanpa jas bisa masuk dengan mudah. Sedikit mencolok
memang, namun aku tak peduli. Dibenakku, aku harus mengetahui apa yang para
orang berjas rapi ini lakukan di gedung usang tak menarik.

Aula yang sesak. Semua orang berpakaian sama terkecuali aku tentunya,
yang duduk dibarisan paling belakang. Sejauh ini masih aman, tidak ada yang
menyadari keberadaanku selama mereka fokus dengan panggung yang ada di
depan.

“Selamat siang semuanya!” suara lantang itu terdengar menggema di


ruangan, disusul dengan suara bedebum pintu besar yang di tutup rapat. Mataku
mengedarkan pandangan, mencari asal suara itu.

Semua orang berdiri. Aku menoleh kanan kiri lalu mengikuti apa yang
mereka lakukan. Seketika ribuan orang yang ada di panggung membungkuk,
memberi hormat. Setelah itu mereka duduk kembali, mataku memicing,
memperjelas pandangan. Seorang laki-laki yang sudah tua, namun terlihat masih
gagah berdiri di mimbar kayu ukir yang telah disediakan. Dialah orang yang tadi
berseru sangat lantang.

“Wahai rakyat-rakyatku!” dia berseru lagi. Suaranya yang berat namun


masih terdengar jelas dan lantang.

“Aku bangga dengan kalian. Kalian telah berhasil meningkatkan uang kas
negara kita! Kalian telah berhasil merampas uang-uang rakyat. Melakukan praktik
korupsi dengan tepat! Penyelundupan barang-barang ekspor-impor yang
meningkat! Hahahaha sekali lagi aku bangga dengan kalian!” suaranya terdengar
menggema diikuti riuh tepuk tangan ribuan orang yang ada di sini.

Seketika aku menyadari inilah istilah ‘Negara Gelap’. Istilah itu pernah aku
baca dari sebuah buku. Negara Gelap merupakan sebuah negara buatan yang
berada dalam suatu negara. Kumpulan orang-orang kelas atas atau petinggi-
petinggi negara yang suka merampas uang rakyat, mengambil uang-uang negara,
menyelundupkan barang-barang ilegal dan lain-lain. Para calon presiden ataupun
calon wakil rakyat yang menyalonkan diri di pemerintahan sebagian besar
merupakan orang-orang dari Negara Gelap ini.

Orang itu berdehem pelan lalu melanjutkan, “Peningkatan uang kas kita
sangat signifikan. Penjualan barang ekspor-imporpun tak kalah meningkat.”

Diam sejenak, lalu menarik napas, “Wahai rakyat-rakyatku, para petinggi-


petinggi negara. Orang-orang yang aku cintai dan aku banggakan. Uang rakyat
adalah uang kita juga! Uang negara adalah uang kita juga! Kita bekerja untuk
negara, untuk rakyat. Jadi tidak ada salahnya jika kita sedikit menikmati jerih
payah mereka! Hahahaha.” Orang tua sekaligus pemimpin mereka berseru.
Gemuruh tepuk tangan terdengar.

Negara Gelap adalah tangan-tangan dibalik kekacauan yang terjadi di suatu


negara. Setiap negara pasti memiliki Negara Gelap di dalamnya. Praktik korupsi,
kemiskinan adalah bencana-bencana yang mereka timbulkan. Tangan-tangan di
balik adanya illegal logging, penyelundupan obat-obatan terlarang dan masih
banyak lagi.

Setiap tiga bulan sekali, orang-orang Negara Gelap melakukan sebuah


pertemuan secara diam-diam. Mereka memilih sebuah bangunan tua yang sama
sekali tidak terpikirkan oleh masyarakat. Bangunan tua ini terletak di antara
perumahan-perumahan elit tempat tinggal petinggi-petinggi dan orang-orang
penting itu. Dalam pertemuan itu, mereka membahas tentang keuangan, rencana-
rencana mendatang, perkembangan pengiriman barang-barang ilegal.

Negara Gelap ini sudah berdiri sejak puluhan tahun silam. Selama itu juga
tidak pernah ada yang mencurigai ataupun berusaha mencari tahu tentang Negara
Gelap. Pasalnya, petinggi-petinggi di kepolisian pun termasuk bagian dari mereka.
Jadi semua tentang Negara Gelap seperti hanya angin lalu saja, tidak ada yang
bisa membuktikan keberadaannya, atau bisa disebut pula negara bayangan.

Setelah pemimpin itu mengakhiri pidatonya, beberapa petinggi-petinggi


besar, orang-orang kepercayaan rakyat maju satu persatu melaporkan hasil yang
mereka peroleh. Aku menggeleng tak percaya. Aku pikir, Negara Gelap hanyalah
bualan semata, hanya angin lalu yang meluncur dari bibir masyarakat awam tanpa
bukti yang pasti.

Suara-suara lantang para petinggi itu makin membara penuh semangat.


Sejujurnya aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh mereka. Bersikap
seolah-olah mereka membela rakyat, mereka menaungi keluh kesah rakyat. Pada
kenyataannya merekalah yang merusaknya. Merusak harapan-harapan rakyat.

Suara sirine nyaring terdengar. Semua orang saling tatap, kebingungan.


Seruan lantang tiba-tiba terdengar dari salah satu anggota, “Ada penyusup!”

Sepersekian detik berikutnya, sebuah pistol teracung tepat di depanku.


Ternyata mereka mengetahui keberadaanku. Aku mengangkat tangan. Dengan
gesit mereka meraih tanganku, mengunci pergerakanku dan memaksaku berjalan.

Aku digiring menuju dekat mimbar. Semua orang menatapku dengan


tatapan kebencian, dan mencaci makiku ketika aku berjalan melewati mereka.
Aku berhenti tepat di depan pemimpin mereka. Dia menatapku dengan tajam,
“Siapa kamu?” tanyanya dengan suara yang dibuat seolah ringan dan riang. Aku
terdiam tak menjawab.

Dia tertawa. Namun tawanya terdengar dibuat-buat. Kemudian dia


mengulangi lagi pertanyaannya. “Siapa kamu?” akupun tetap diam.

Dia menarik kerah kemejaku, lalu berbisik, “Sekali saja kau bertindak
bodoh, kau tahu kau sedang berurusan dengan siapa, kan?” ia tersenyum licik.
Aku tetap diam tak menghiraukannya. Aku tahu, aku tak akan mungkin selamat
dari mereka. Apalagi mereka tahu, aku bukan bagian dari mereka.

Pemimpin itu memberikan kode dengan menggerakkan kepalanya ke


samping. Dengan sigap orang yang memakai topi dan wajahnya tertutup masker
membawaku pergi dari tempat itu. Aku tak tahu, mungkin dia ingin
mengeksekusiku. Pergerakanku kembali di kunci agar aku tak bisa melawannya.
Bahkan sekuat apapun aku, aku tetap tak bisa melawannya.
Orang itu menggiringku masuk ke dalam mobil. Aku patuh, karena pistol itu
masih teracung dengan ganas. Mobil itu mulai melaju, membawaku pergi entah ke
mana. Aku merasa sangat asing dengan pemandangan yang dilaluinya itu.

Mobil berhenti di sebuah tempat yang aku tidak tahu di mana. Orang itu
membuka topi dan juga masker yang menutupi wajahnya. Dia tersenyum ke
arahku.

“Maafkan aku, nak.” ucapnya dengan berbisik. Aku menatapkan penuh


keraguan.

“Jangan takut, aku ada di pihakmu sekarang. Aku juga orang yang ingin
memberantas Negara Gelap. Aku ingin rakyat-rakyatku sejahtera. Mari nak, aku
tunjukkan suatu kenyataan kepadamu.” Aku mengangguk-angguk. Entah mengapa
aku mempercayai laki-laki separuh baya ini. Aku percaya dia orang yang baik.

“Siapa anda sebenarnya?” tanyaku. Namun, orang ini sama sekali tak
menghiraukan pertanyaanku.

Kami turun dari mobil. Berjalan menyusuri jalan setapak. “Lihat kedua
orang tua itu. pendapatan sehari hari mereka tidak sebanding dengan orang-orang
kelas atas. Tapi mereka tidak serakah. Mereka hidup dengan apa yang mereka
dapatkan. orang-orang seperti ini yang malah paling rajin membayar pajak.
Mereka tahu apa yang menjadi kewajiban mereka.” aku mengangguk-angguk,
mengiyakan perkataannya.

Memang benar, orang-orang seperti itulah yang pada kenyataannya malah


rajin membayar pajak negara. Aku salut dengan mereka.

“Lihat anak-anak yang menjual koran itu. Seharusnya mereka mendapatkan


pendidikan yang layak, guna memajukan negara ini. Lalu, apa yang mereka
lakukan sekarang? Padahal negara memberikan beasiswa pendidikan gratis
kepada anak-anak seperti mereka. Ke mana semua uang yang seharusnya mereka
terima?” Orang ini menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan.

Sungguh aku tak tega melihat keadaan seperti ini. Anak-anak itu memang
terlihat riang, dan tersenyum penuh semangat menjualkan koran-koran di jalan.
Tapi aku tahu dalam hati mereka pasti ingin sekali mendapatkan pendidikan yang
setara dengan anak-anak seusia mereka.

“Negeri ini sudah keropos, Nak. Orang-orang lebih mementingkan hidup


mereka dengan mengorbankan hidup orang lain. Kamu tahu dengan jelas korupsi-
korupsi di negara ini. Berapa banyak uang-uang rakyat yang mereka ambil.
Berapa banyak orang miskin yang semakin miskin sedang yang kaya semakin
kaya. Kamu juga tahu dengan sangat jelas bagaimana ketidak adilan ini terus
menerus berlanjut, bahkan semakin tak terkendali lagi.” ucapnya sambil
mengusap wajah.

Sekali lagi aku hanya mengangguk. Perkataannya semua benar. Sebagai


generasi muda, aku memang harus memperbaiki negeri yang sudah mulai keropos
ini.

Doooor!

Suara tembakan diikuti peluru yang tiba-tiba melesat dari arah depan. Orang
itu dengan cepat menarikku agar peluru itu tak menembus tubuhku. Tubuhku dan
tubuhnya pun terjatuh. Hampir saja peluru itu mengenaiku. Aku segera berdiri dan
mencari asal muasal peluru itu.

“Hahahahahaha” suara gelak tawa jelas terdengar. Aku dan orang yang
bersamaku saling tatap lalu mengedarkan pandangan mencari sumber suara itu.

“Penghianat kau, Joko!” suara itu muncul dari ujung jalan. Ternyata
pemimpin dari Negara Gelap itu. Dia kembali mengacungkan pistol ke arahku.

“Selama ini, aku tidak pernah ada di pihakmu!” jawab orang yang ada di
sampingku yang ternyata bernama Joko itu.

“Aku akan membela rakyatku! Bertahun-tahun kau dan rakyat-rakyatmu


telah menghancurkan negeri ini. Menyengsarakan semua rakyatku demi
merealisasikan keinginanmu! Aku akan menghentikan semuanya!

Pemimpin Negara Gelap itu menarik pelatuk pistolnya. Peluru itu meluncur
dengan mulus. Aku menatap lurus kedepan, menatap peluru yang telah keluar dari
pelatuknya, tanpa bergembing sekalipun.
Sepersekian detik berikutnya, suara bedebum disertai tubuhku yang terjatuh.
Aku mengaduh dan membuka mata, mengusap-usap punggung yang terasa sakit.
Lalu, aku mengusap peluh, “Huff … ternyata hanya mimpi!” sambil
mengembuskan napas panjang.

Anda mungkin juga menyukai