Aku terjerembab di antara ribuan langkah kaki dan tubuh yang saling
berdesakan. Tangan dan kakiku terinjak-injak. Tak ada yang menghiraukan
teriakan mengaduhku. Langkah-langkah kaki itu tidak ada habisnya, bahkan
semakin banyak. Tubuhku semakin terdesak-desak tak karuan.
Aku menatap sekitar. Ribuan orang berpakaian formal, berjas dan bersepatu
hitam mengkilap menuju ke satu tempat yang sama. Mereka menenteng tas
berwarna hitam dengan ukuran dan model yang sama. Aku memicingkan mata,
memperhatikan mereka dengan seksama. Semakin aku perhatikan, semakin aku
tak menemukan jawaban.
Sampailah di ujung jalan, ada satu bangunan tua yang amat besar. Jika
diamati dari luar, bangunan itu tampak kotor dan sudah lama tak berpenghuni.
Banyak tumbuhan liar yang tumbuh melilit tiang-tiang bangunan. Juga dedaunan
kering yang berserakan di lantai.
Bangunan ini tidak memiliki keamanan yang ketat seperti satpam atau
polisi. Ditambah lagi orang-orang yang datang terlalu banyak memudahkanku
yang hanya berkemeja tanpa jas bisa masuk dengan mudah. Sedikit mencolok
memang, namun aku tak peduli. Dibenakku, aku harus mengetahui apa yang para
orang berjas rapi ini lakukan di gedung usang tak menarik.
Aula yang sesak. Semua orang berpakaian sama terkecuali aku tentunya,
yang duduk dibarisan paling belakang. Sejauh ini masih aman, tidak ada yang
menyadari keberadaanku selama mereka fokus dengan panggung yang ada di
depan.
Semua orang berdiri. Aku menoleh kanan kiri lalu mengikuti apa yang
mereka lakukan. Seketika ribuan orang yang ada di panggung membungkuk,
memberi hormat. Setelah itu mereka duduk kembali, mataku memicing,
memperjelas pandangan. Seorang laki-laki yang sudah tua, namun terlihat masih
gagah berdiri di mimbar kayu ukir yang telah disediakan. Dialah orang yang tadi
berseru sangat lantang.
“Aku bangga dengan kalian. Kalian telah berhasil meningkatkan uang kas
negara kita! Kalian telah berhasil merampas uang-uang rakyat. Melakukan praktik
korupsi dengan tepat! Penyelundupan barang-barang ekspor-impor yang
meningkat! Hahahaha sekali lagi aku bangga dengan kalian!” suaranya terdengar
menggema diikuti riuh tepuk tangan ribuan orang yang ada di sini.
Seketika aku menyadari inilah istilah ‘Negara Gelap’. Istilah itu pernah aku
baca dari sebuah buku. Negara Gelap merupakan sebuah negara buatan yang
berada dalam suatu negara. Kumpulan orang-orang kelas atas atau petinggi-
petinggi negara yang suka merampas uang rakyat, mengambil uang-uang negara,
menyelundupkan barang-barang ilegal dan lain-lain. Para calon presiden ataupun
calon wakil rakyat yang menyalonkan diri di pemerintahan sebagian besar
merupakan orang-orang dari Negara Gelap ini.
Orang itu berdehem pelan lalu melanjutkan, “Peningkatan uang kas kita
sangat signifikan. Penjualan barang ekspor-imporpun tak kalah meningkat.”
Negara Gelap ini sudah berdiri sejak puluhan tahun silam. Selama itu juga
tidak pernah ada yang mencurigai ataupun berusaha mencari tahu tentang Negara
Gelap. Pasalnya, petinggi-petinggi di kepolisian pun termasuk bagian dari mereka.
Jadi semua tentang Negara Gelap seperti hanya angin lalu saja, tidak ada yang
bisa membuktikan keberadaannya, atau bisa disebut pula negara bayangan.
Dia menarik kerah kemejaku, lalu berbisik, “Sekali saja kau bertindak
bodoh, kau tahu kau sedang berurusan dengan siapa, kan?” ia tersenyum licik.
Aku tetap diam tak menghiraukannya. Aku tahu, aku tak akan mungkin selamat
dari mereka. Apalagi mereka tahu, aku bukan bagian dari mereka.
Mobil berhenti di sebuah tempat yang aku tidak tahu di mana. Orang itu
membuka topi dan juga masker yang menutupi wajahnya. Dia tersenyum ke
arahku.
“Jangan takut, aku ada di pihakmu sekarang. Aku juga orang yang ingin
memberantas Negara Gelap. Aku ingin rakyat-rakyatku sejahtera. Mari nak, aku
tunjukkan suatu kenyataan kepadamu.” Aku mengangguk-angguk. Entah mengapa
aku mempercayai laki-laki separuh baya ini. Aku percaya dia orang yang baik.
“Siapa anda sebenarnya?” tanyaku. Namun, orang ini sama sekali tak
menghiraukan pertanyaanku.
Kami turun dari mobil. Berjalan menyusuri jalan setapak. “Lihat kedua
orang tua itu. pendapatan sehari hari mereka tidak sebanding dengan orang-orang
kelas atas. Tapi mereka tidak serakah. Mereka hidup dengan apa yang mereka
dapatkan. orang-orang seperti ini yang malah paling rajin membayar pajak.
Mereka tahu apa yang menjadi kewajiban mereka.” aku mengangguk-angguk,
mengiyakan perkataannya.
Sungguh aku tak tega melihat keadaan seperti ini. Anak-anak itu memang
terlihat riang, dan tersenyum penuh semangat menjualkan koran-koran di jalan.
Tapi aku tahu dalam hati mereka pasti ingin sekali mendapatkan pendidikan yang
setara dengan anak-anak seusia mereka.
Doooor!
Suara tembakan diikuti peluru yang tiba-tiba melesat dari arah depan. Orang
itu dengan cepat menarikku agar peluru itu tak menembus tubuhku. Tubuhku dan
tubuhnya pun terjatuh. Hampir saja peluru itu mengenaiku. Aku segera berdiri dan
mencari asal muasal peluru itu.
“Hahahahahaha” suara gelak tawa jelas terdengar. Aku dan orang yang
bersamaku saling tatap lalu mengedarkan pandangan mencari sumber suara itu.
“Penghianat kau, Joko!” suara itu muncul dari ujung jalan. Ternyata
pemimpin dari Negara Gelap itu. Dia kembali mengacungkan pistol ke arahku.
“Selama ini, aku tidak pernah ada di pihakmu!” jawab orang yang ada di
sampingku yang ternyata bernama Joko itu.
Pemimpin Negara Gelap itu menarik pelatuk pistolnya. Peluru itu meluncur
dengan mulus. Aku menatap lurus kedepan, menatap peluru yang telah keluar dari
pelatuknya, tanpa bergembing sekalipun.
Sepersekian detik berikutnya, suara bedebum disertai tubuhku yang terjatuh.
Aku mengaduh dan membuka mata, mengusap-usap punggung yang terasa sakit.
Lalu, aku mengusap peluh, “Huff … ternyata hanya mimpi!” sambil
mengembuskan napas panjang.