Anda di halaman 1dari 17

I.

Definisi
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada
wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal,
atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual
sekunder.1,2,6 Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus,
hipofisis, ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer
umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui,
seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik.

Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak adanya haid
karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya pada ginatresia
himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain.3,4

Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi
lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukkan
bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan
umum.
Embriologi
Proses perkembangan seksual terbagi atas perkembangan gonad, organ genitalia
interna dan eksterna. Perkembangan gonad umumnya diawali dengan tumbuhnya
daerag gonadal ridge pada usia kehailan pada usia 5 minggu dan bermigrasinta sel
germinal primordial dari daerah yolk sac menuju gonadal ridge pada usia kehamilan 6
minggu. Saat itu status gonad dinyatakan sebagai indifferent gonad. Penentuan apakah
gonad akan menjadi ovarium atau testis ditentukan oleh ada atau tidak adannya testis
determining factor (TDF) yang berlokasi pada lengan pendek kromosom Y.
Kehadiran TDF akan merangsang sel sertoli yang akan menghasilkan Mullerian
inhibiting substances/ Anti Mullerian hormone serta sel Leydig yang akan
menghasilkan hormone testosterone. Mullerian inhibiting substances akan memicu
terjadinya regresi dari duktus Mulleri sementara testosterone akan mempertahankan
duktus Wolffian yang selanjutnya akan berdifferensiasi menjadi epididimis, vas
deferens dan vesikula seminalis. Perkembangan organ genitalia eksterna pada laki-laki
dipengaruhi oleh dihidrotestosteron (DHT), dengan adanya DHT akan terbentuk
scrotum dan penis. DHT sendiri terbentuk dari testosterone yang diaromatisasi oleh
enzin 5α-reduktase. Bila MIS tidak ada, maka akan terjadi regresi duktus Wolffii dan
duktus Mulleri tetap dipertahankan. ( Gambar1)
Gambar1. Determinasi seks pada laki-laki dan perempuan. Dikutip dari Yen
II. FISIOLOGI MENSTRUASI
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan
(deskuamasi) endometrium. Proses menstruasi merupakan proses fisiologis yang terjadi
dari hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarium
axis). Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan
Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.1,2,4

Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase
dan satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan
kadar hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik
(feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan
umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan
umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi.
Tempat utama umpan balik terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada
hipotalamus.1,2,4
Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel
berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan
oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan
berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH;
folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan
folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun
peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel.
Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun,
menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH.
Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma jelas meninggi.
Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat
mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan
dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya
ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal.
Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya
pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya folikel
terjadi 16 – 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya satu folikel yang
matang.1,2,4
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola
dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi
dalam lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 8–9 hari setelah
ovulasi.4
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak,
dan luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon
itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 10–12 hari setelah ovulasi, korpus luteum
mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan
diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum
pada manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia
berfungsi sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya
korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada ovarium
tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi
kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus
haid normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi
dalam fase folikular.4
III. EVALUASI AMENOREA
Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting dalam evaluasi amenorea.
Pertama, harus diketahui apakah amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu
diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan faktor-faktor yang dapat
menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit akut atau
menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit metabolik dan lain-lain.4
Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama; keadaan
tubuh penderita tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang berharga. Apakah
penderita pendek atau tinggi, apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah ciri-
ciri kelamin sekunder berkembang dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme;
semua ini penting untuk pembuatan diagnosis.
Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat diketahui adanya berbagai jenis
ginatresis, adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri, adanya tumor,
ovarium dan sebagainya.
Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan ginekologik, banyak
kasus amenorea dapat diketahui sebabnya. Apabila pemeriksaan klinik tidak memberi
gambaran yang jelas mengenai sebab amenorea, maka dapat dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan lanjutan.
Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu sistem
yang memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi yang normal
tergantung. Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik yang memilah
penyebab amenorea dalam 4 kompartemen, yaitu:
- Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract
- Kompartemen II : kelainan pada ovarium.
- Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior
- Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).

Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari


pengukuran hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin, dan tes
provokasi progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa melupakan
riwayat menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran prolaktin serta perlu
ditambahkan pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada sella tursika.1
Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan menyebabkan
hipertrofi atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen menggambarkan tumor
dapat dilihat (kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella tursika). Penderita dengan
hipotiroid primer dan hiperprolaktinemia dapat muncul dengan amenorea primer
maupun amenorea sekunder.1
Tujuan dari uji progesteron adalah untuk menilai kadar estrogen
endogen dan kompetensi dari saluran genitalia. Dari hasil tersebut dapat ditetapkan
adanya estrogen, fungsi yang minimal pada ovarium, hipofisis, dan sistem syaraf pusat.
Dengan tidak adanya galaktorea, dengan kadar prolaktin yang normal, dan kadar TSH
yang normal, evaluasi selanjutnya tidak diperlukan.1
Langkah kedua, Jika rangkaian pengobatan progesteron tidak memberikan hasil
seperti pada langkah di atas, apalagi sistem organ target tidak operatif atau
perkembangan estrogen dari endometrium tidak terjadi. Langkah 2 didesain untuk
membuat klarifikasi terhadap situasi ini. Pemberian estrogen oral, estrogen dapat
merangsang secara aktif baik secara kwantitatif maupun durasinya untuk perkembangan
endometrium dan pendarahan yang aktif dari uterus pada sistem pengeluaran yang ada
Jika tidak terjadi, diagnosis dari kerusakan pada kompartemen I (endometrium,
aliran pengeluaran) bisa ditegakkan. Jika pendarahan terjadi, bisa diasumsikan bahwa
kompartemen I mempunyai kemampuan fungsional yang normal jika mendapat
rangsangan esterogen.1
Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah kekurangan estrogen
menyebabkan kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada sistem aksis syaraf
pusat-hipofisis (kompartemen III dan IV). Hasil pengujian gonadotropin pada wanita
amenorea yang tidak mengalami pendarahan setelah pemberian pemicu progestagen
akan menghasilkan kadar gonadotropin abnormal yang tinggi, abnormal yang rendah,
atau pada kadar yang normal.1

IV. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN I


A. Anomali duktus Mulleri
Pada keadaan amenorea primer, diskontinuitas oleh gangguan/kelainan segmental
dari tubulus Mulleri harus disingkirkan. Observasi langsung dapat menentukan ada
tidaknya himen imperforata, obliterasi orifisium vaginae dan adanya
diskontinuitas kanalis vaginalis. Keadaan lain yang jarang ditemukan, yaitu terdapat
uterus tetapi tanpa terbentuknya kavum uteri, atau terdapat kavum uteri tetapi
endometriumnya kurang secara kongenital. Kecuali pada kelainan kongenital yang
disebutkan terakhir, problem klinik amenorea yang didasarkan pada adanya
obstruksi menimbulkan adanya keluhan nyeri yang disertai distensi dari
hematokolpos, hematometra, atau hematoperitoneum. Penanganan yang dapat
dilakukan dengan insisi dan drainage. Bahkan pada keadaan yang disertai
komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus Mulleri biasanya dapat dicapai dengan
pembedahan. Sayangnya dapat terjadi konsekuensi dari tindakan ekstirpasi operatif
terhadap massa yang nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada kandung kencing,
ureter, dan rektum.1,3,4,7
B. Agenesis duktus Mulleri
Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser
syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer
dan tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab
amenorea primer, lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan lebih
jarang dibandingkan disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak ada vagina
atau adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi tidak
mempunyai saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya
rudimenter, bikornu. Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat
mengeluh adanya nyeri abdomen yang siklik. Karena adanya kemiripan dengan
beberapa tipe pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan untuk
menunjukkan kariotipe yang normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat
dilihat dari suhu basal tubuh atau kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan
perkembangan penderita normal.1,4
Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan
ultrasonografi dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur
uterus tersebut. Bila gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan
indikasi untuk dilakukan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak
diperlukan. Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan
lebih murah serta tidak invasif bila dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus
Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau menimbulkan masalah seperti
berkembangnya uterine fibroid, hematometra, endometriosis, atau herniasi
simptomatis ke dalam kanalis inguinalis.1,9
Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan,
maka bila memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan
konstruksi bedah dengan membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff
menganjurkan penggunaan dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula
diperkenalkan oleh Frank dan kemudian oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah
posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu diubah ke arah atas dari aksis
vagina, tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama 20 menit setiap hari.
Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan makin besar, vagina yang
fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi operatif
ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode
Frank, atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas masih
mungkin untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi dengan
adanya simptom retained menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk
melakukan laparotomi inisial yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis;
jika serviks atresia, uterus harus diangkat.1,2
Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan
kanalisasi sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi
urin. Septum transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-
nya distensi introitus pada manuver Valsava.1,2
Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan
satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi.
Keterlambatan dalam terapi bedah dapat menyebabkan terjadi infertilitas sebagai
akibat perubahan peradangan dan endometriosis. Pembedahan definitif harus
dilakukan sesegera mungkin. Diagnostik dengan aspirasi menggunakan jarum tidak
boleh dilakukan karena dapat menyebabkan hematokolpos berubah menjadi
pyokolpos.1

C. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler)


Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi testikuler) merupakan
diagnosis yang paling mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan
uterus tidak ada. Kelainan ini merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga
setelah disgenesis gonad dan agenesis mullerian. Penderita dengan feminisasi
testikuler merupakan pseudohermafrodit pria. Kata pria disini, didasarkan pada
gonad yang dimiliki penderita; jadi individu ini memiliki testes dan kariotipe XY.
Pseudohermafrodit artinya bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis gonad-
nya; jadi, individu tersebut secara fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau sangat
kurangnya rambut kemaluan dan ketiak.1,2,3,4,7
Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria
dengan kegagalan virilisasi. Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi
suatu spektrum dengan bentuk insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi
kelainan ini melalui X-linked recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap
reseptor androgen intraseluler.1 Diagnosis klinik harus dipertimbangkan pada
keadaan berikut: 4
Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka
kadang-kadang tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Testis yang berada
intraabdominal perlu dilakukan tindakan pengangkatan karena 10% dari kasus
dengan testis intraabdominal dapat menjadi ganas. Bila telah diputuskan untuk
mengangkat testis, maka perlu diberikan pengobatan substitusi hormon.3,4
V. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN II
A. Sindroma Turner
Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma
yang terdiri atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus
valgus. Penderita-penderita ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris
agak membesar pada beberapa kasus, sehingga mereka dibesarkan sebagai
wanita.1,3,4
Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif.
Pola kromosom pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam
bentuk mosaik 45-XO/46-XX. Angka kejadian adalah satu di antara 10.000
kelahiran bayi wanita. Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa jaringan
parut mesenkhim (streak gonads), dan saluran Muller berkembang dengan adanya
uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa, berhubung tidak adanya
pengaruh dari estrogen.1,3,4
Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat
dijumpai tubuh yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai
dengan puting susu jauh ke lateral, payudara tidak berkembang, rambut ketiak dan
pubis sedikit atau tidak ada, amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut
belakang yang rendah, ruas tulang tangan dan kaki pendek, osteoporosis, gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan
sebagainya. Pada pemeriksaan hormonal ditemukan kadar hormon gonadotropin
(FSH) meninggi, estrogen hampir tidak ada, sedang 17-kortikosteroid terdapat
dalam batas-batas normal atau rendah.4
Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus yang klasik
berhubung dengan gejala-gejala klinik dan tidak adanya kromatin seks. Pada kasus-
kasus yang meragukan, perlu diperhatikan dua tanda klinik yang penting yang
dapat dipakai sebagai pegangan untuk menduga sindrom Turner, yaitu tubuh yang
pendek yang disertai dengan pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder yang
sangat minimal atau tidak ada sama sekali.4
B. Disgenesis gonad XY
Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang
teraba, kadar testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual
dikenal sebagai sindroma Swyer. Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi
pada usia pubertas gagal terjadi perkembangan mammae dan amenorea primer.
Gonad hampir seluruhnya berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati pun
terdapat kromosom Y yang secara sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad
primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat melaksanakan fungsi-fungsi testis,
termasuk supremasi duktus Mulleri. Sel-sel hillus dalam gonad mungkin mampu
memproduksi sejumlah androgen; maka dapat terjadi sedikit virilisasi, seperti
pembesaran klitoris pada usia pubertas. Pertumbuhan normal; tidak terdapat cacat
penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge dapat terjadi pada berbagai usia,
ekstirpasi gonadal streaks harus dilakukan segera setelah diagnosis dibuat, tanpa
memandang usia.1

C. Agenesis gonadal
Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada
keadaan agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau
sindroma regresi testis embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis
eksterna sedikit meragukan, namun hampir menyerupai bentuk wanita. Ditemukan
hipoplasia labia, derajat tertentu fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan
muara uretra pada perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan.
Pada usia pubertas tidak terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin
meningkat. Umumnya penderita diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan
testis dianggap telah aktif selama kehidupan janin sehingga mampu menghambat
perkembangan duktus mulleri, tetapi fungsi sel leydig minimal. Tanpa informasi
yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja apa yang menjadi penyebab tidak
terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus diduga bahwa virus dan
metabolik yang berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun demikian hasil
akhirnya berupa hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki
kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.1
Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk
menghindari kemungkinan terjadi neoplasia.

D. Sindroma ovarium resisten


Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan gangguan
haid ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan
istilah sindroma ovarium insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin.
Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang
banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor
gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun.3,15
Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin
ditegakkan baik secara klinis mau pun secara laboratoris dan histopatologis. Secara
klinis kelainan ini ditandai dengan sindroma yang terdiri dari gangguan haid berupa
oligomenorea sampai amenorea, sedangkan secara laboratoris dijumpai
hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih
dijumpai struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang
masih utuh.3
Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin
walaupun terdapat folikel-folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit
autoimun. Laparotomi diperlukan untuk sampai pada diagnosis yang benar dengan
menghasilkan evaluasi histologis ovarium yang adequat. Pemeriksaan ini dapat
memperlihatkan adanya folikel-folikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik
dengan penyakit autoimun. Karena kelainan ini jarang dan kesempatannya sangat
kecil untuk dapat hamil bahkan dengan pemberian gonadotropik eksogen dosis
tinggi, Speroff berpendapat bahwa tidak ada manfaat untuk melakukan laparotomi
untuk biopsi ovarium pada setiap penderita amenorea, gonadotropin tinggi, dan
normal kariotipe.1
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka
pengobatannya lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan
pemberian substitusi siklik estrogen dan progesteron. 3
VI. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN III
A. Gangguan hipofisis anterior
Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita harus
tertuju pada adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya amenorea,
penderita dengan perkembangan tumor hipofisis yang perlahan dapat muncul
beberapa tahun sebelum tumor menjadi besar dan dapat dideteksi secara radiologis.
Untungnya, tumor maligna tidak terlalu banyak dijumpai. Sampai dengan tahun
1989 tidak lebih dari 40 kasus yang dilaporkan di literatur internasional. Tetapi
tumor jinak dapat menimbulkan problem sebab dapat berkembang dan terjadi
pendesakan ruangan maupun jaringan lain, tumor akan tumbuh ke atas, akan
menekan chiasma nervi optici yang menyebabkan hemianopsia bitemporalis.
Dengan ukuran tumor yang kecil, kelainan visual kadang sulit dideteksi.1,4
B. Amenorea galaktorea
Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan galaktorea dan
berbagai keadaan gangguan menstruasi mulai dari menstruasi yang normal sampai
amenorea yang diikuti dengan infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin
berkaitan dengan hiperprolaktinemia ketika adenoma hipofisis yang menekan
nervus optikus, traktus nervus optikus, chiasma nervi optici atau nervus kranialis
yang lain..1,2,6,7
Prolaktin merupakan polipeptida yang terdiri atas 200 asam dengan berat
molekul antara 19.000 – 22.000 Dalton. Prolaktin dihasilkan oleh sel-sel laktotrof
yang terletak di dalam bagian distal lobus anterior kelenjar hipofisis.
Hiperprolaktinemia adalah suatu gejala yang merupakan hasil dari suatu spektrum
yang luas dari kelebihan produksi laktotrof dari prolaktin dengan keadaan mulai
dari ukuran hipofisis yang normal sampai perubahan adenomatosa dengan
pembesaran hipofisis.1,3
Bromokriptin diketahui dapat digunakan untuk mengembalikan siklus ovulasi
dan fertilitas pada beberapa penderita dengan anovulasi hipotalamus, termasuk bila
mereka memiliki prolaktin darah yang normal. Di lain pihak, bromokriptin dan
klomifen sitrat dapat secara sinergi sebagai induksi ovulasi, kemungkinan karena
memiliki tempat kerja yang berlainan.1,3
Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat
hormon pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin,
melainkan juga hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik
hubungan fungsional antara kedua sistem tersebut sangat kecil, maka dapat
disimpulkan bahwa tripeptida TRH sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine
releasing factor). Yang mempunyai arti lebih besar dari TRH atau PRF dalam
pengaturan prolaktin adalah faktor penghambat prolaktin (prolactine inhibiting
factor, PIF), yang susunan kimianya juga belum dapat dibuktikan sampai sekarang.
Dibawah pengaruh meningkatnya steroid seks dalam serum, maka pengeluaran PIF
dari hipotalamus akan ditekan. Peristiwa ini akan mengakibatkan meningkatnya
sekresi prolaktin.3
Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin, respon
dari stress, makanan (khususnya makanan yang banyak mengandung asam amino),
hipotiroid primer, tumor-tumor hipotalamus-hipofisis. Adenoma hipofisis yang
memproduksi prolaktin umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar
prolaktin (sering > 100 ng/mL). Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma
dapat menekan batang hipofisis, menghambat transport dari dopamin dan faktor-
faktor hipotalamus-hipofisis, dengan hasil hiperprolaktinemia dan berbagai tingkat
hipopituitarism. Penderita dengan hiperprolaktinemia ringan harus dilakukan
eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan pemeriksaan untuk menentukan keadaan
hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari penekanan massa.1
Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika termasuk
diantaranya adalah makroadenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, dan
proses inflamasi seperti sarkoid, kista arakhnoid, dan penyakit metastase.
Peningkatan kadar FSH, LH, α subunit, subunit β LH dalam sirkulasi menunjukkan
adanya suatu adenoma gonadotropin. Peningkatan basal FSH, LH, subunit α, dan β
LH telah terdeteksi pada lebih dari 40% penderita dengan nonsekresi, adenoma
hipofisis yang memproduksi gonadotropin.1
VII. GANGGUAN PADA KOMPARTEMEN IV
A. Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia
Obesitas dapat diasosiasikan dengan amenorea, tetapi amenorea pada penderita
dengan obesitas biasanya berhubungan dengan anovulasi, dan keadaan
hipogonadotropin tidak dapat diketahui meskipun penderita juga didapatkan
gangguan emosional yang berat. Sebaliknya pengurangan berat badan secara
mendadak, dengan berbagai macam cara, dapat menyebabkan terjadinya keadaan
hipogonadotropin. Diagnosis dari keadaan amenorea hipotalamus ini juga
merupakan hasil dari disingkirkannya adanya tumor hipofisis.1,2,6,7
Anoreksia nervosa terjadi kebanyakan pada wanita muda terutama wanita dari
kelas menengah ke atas di bawah umur 25 tahun, tetapi sekarang terjadi juga pada
berbagai tingkat sosial ekonomi. Beberapa kondisi yang bisa menegakkan diagnosis
anoreksia nervosa adalah: umur berkisar antara 10-30 tahun, kehilangan berat
badan 25% atau 15% di bawah berat normal, adanya episode makan berlebihan
(bulimia), overaktif, baradikardi, amenorea, tidak ditemukan kelainan medis, tidak
ditemukan gangguan psikiatri. Karakteristik lain diantaranya: konstipasi, tekanan
darah yang rendah, hiperkarotenemia, diabetes insipidus.1,6
B. Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea)
Pada abad ke-20, telah ada suatu kewaspadaan bahwa para atlit wanita, dan wanita
yang memerlukan suatu latihan keras seperti penari balet, tari modern, didapatkan
insidens yang signifikan adanya gangguan menstruasi sampai adanya amenorea,
keadaan ini disebut supresi hipotalamus. Dua pertiga pelari memiliki fase luteal,
yang pendek sehingga terjadi anovulasi. Bila latihan keras tersebut dimulai
sebelum menars, menars mungkin akan terlambat sampai lebih kurang 3 tahun, dan
kejadian menstruasi yang tidak teratur akan menjadi lebih tinggi.1,2,6,7
Kemunculan amenorea ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu suatu kadar kritis
dari lemak tubuh dan efek dari stress itu sendiri. Para atlit wanita yang senantiasa
ikut kompetisi/perlombaan memiliki 50% kadar lemak lebih sedikit dibanding
dengan atlit yang bukan kompetitor.1,6,13

C. Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann


Suatu kondisi yang jarang pada wanita, yaitu ditandai oleh adanya sindroma
hipogonadotropik-hipogonadism kongenital yang berhubungan dengan anosmia
atau hiposmia, dikenal sebagai sindroma Kallmann. Untuk mempermudah
mengingat gambaran gejalanya sering disebut juga sebagai sindroma amenorea dan
anosmia. Pada wanita, gejala yang muncul berupa amenorea primer,
perkembangan seksual infantil, kadar gonadotropin rendah, kariotipe wanita
normal, dan ketidakmampuan untuk mempersepsi aroma. Seringkali penderita
tidak menyadari adanya gangguan penciuman tersebut. Gonad mampu untuk
memberikan respon terhadap gonadotropin; dengan demikian induksi ovulasi
dengan gonadotropin eksogen bisa berhasil.1,2,6,7
Sindroma Kallmann mempunyai kaitan dengan defek anatomi yang spesifik.
Pemeriksaan MRI (seperti juga pemeriksaan postmortem) memperlihatkan bahwa
terdapat hipoplasia atau tidak ada sulkus olfaktorius di rhinencephalon. Defek
ini mengakibatkan kegagalan olfactory axonal dan GnRH neuronal bermigrasi
dari placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang memproduksi GnRH berasal dari
area olfaktorius dan bermigrasi selama embriogenesis sepanjang nervus kranialis
yang menghubungkan hidung dan forebrain. Terjadinya sindroma ini sebagai
akibat mutasi yang melibatkan gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang
berisi kode pembentukan protein yang mengatur fungsi yang diperlukan untuk
migrasi neuronal.1,6,7

Mashchak dkk, memberikan algoritma yang lebih sederhana dalam diagnosis etiologi
amenorrhea primer. Observasi yang dilakukan oleh Mashchak adalah dengan melihat ada
atau tidaknya gambaran seks sekunder/ payudara. Payudara sendiri dapat memberikan
informasi yang penting bahwa pasien telah terpapar dengan estrogen. Pasien amenorrhea
dibagi menjadi beberapa kelompok:
a. Kategori I: Pasien dengan uterus, tanpa perkembangan payudara
b. Kategori II : Pasien tanpa uterus, dengan perkembangan payudara
c. Kategori III: pasien tanpa uterus, tanpa perkembangan payudara
d. Kategori IV : pasien dengan uterus dan dengan perkembangan payudara
Pasien dengan uterus, tanpa perkembangan payudara kemungkinan disebabkan oleh
hipogonadotropik hipogonadism atau mengalami gonadal disgenesis. Penegakan diagnose
dapat dilakukan dengan mengukur serum FSH, yang biasanya meningkat pada pasien dengan
disgenesis gonad. Kadar serum LH biasanya dapat meningkat, atau bisa juga dalam batas
normal. Pasien dengan hipogonadotropik hipogonadism biasanya dijumpai serum LH dan
FSH yang rendah. Pasien dengan gonadal disgenesis didapatkan peningkatan nilai
gonadotropin dan memerlukan pemeriksaan analisis kromosom.

Pasien dengan kategori II dengan perkembangan payudara normal tanpa dijumpai uterus,
kemungkinan secara kongenital tidak memiliki uterus atau merupakan bentuk komplit dari
testicular feminization. Pada bentuk ini, dilakukan pemeriksaan testosterone untuk
membedakan pasien pada kelompok ini. Pada pasien yang uterusnya tidak ada secara
congenital, level testosterone dijumpai pada rentang normal untuk wanita, sementara pada
pasien dengan testicular feminization, serum testosterone berada pada rentang normal pria.
Pemeriksaan ini harus di konfirmasi dengan melakukan karyotyping untuk mendeteksi
munculnya kromosom Y pada pasien. Bila dijumpai gonad, dilakukan gonadektomi pada
usia 14 tahun atau setelah masa pubertas komplit.

Pasien dengan kategori III, dimana tidak terdapat perkembangan payudara dan uterus,
merupakan bentuk yang jarang. Pasien biasanya memiliki karyotyping XY, peningkatan
level gonadotropin dan testosterone pada rentang normal untuk wanita. Pasien ini berbeda
dengan disgenesis gonad karena pasien ini tidak memiliki uterus, secara klinis berbeda pula
dengan testicular feminization karena tidak ada perkembangan payudara. Pada pasien ini
biasanya mengalami gangguan enzim seperti 17 alpha hydroxilase dan 17.20 desmolase atau
mengalami testicular agonadism.

Pasien dengan kategori IV, dimana terdapat uterus dan perkembangan payudara biasanya
gangguan hipotalamus-hipofise dan ovarian axis terjadi setelah dimulainya pubertas, tetapi
belum komplit. Pasien seperti ini biasanya ditatalaksana seperti algoritma amenorrhea
sekunder.

Gambar 3. Pendekatan sistematis untuk pasien amenorrhea primer. Dikutip dari Mashchak

VIII. RINGKASAN
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada
wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal,
atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder.
Gangguan yang ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada uterus),
kompartemen II (gangguan pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada hipofisis
anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat).
Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang terjadi.
Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan
yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang
diberikan adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa.
Sedangkan kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan
memperbaiki kelainan anatomis selama hal itu dimungkinkan.
IX. DAFTAR RUJUKAN
1. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrynologi and infertility.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1994: 401-456
2. Scherzer WJ, McClamrock H. Amenorrhea. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA.
Novak’s gynecology. 12th edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996: 820-832
3. Baziad A, Alkaff Z. Pemeriksaan dan penanganan amenorea. Dalam: Baziad A,
Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z. Endokrinologi ginekologi. Edisi pertama. Jakarta:
Kelompok studi endokrinologi reproduksi Indonesia bekerjasama dengan Media
Aesculapius, 1993: 61-70
4. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999: 203-223
5. Jacoeb TZ, Rachman IA, Soebijanto S, Surjana EJ. Panduan endokrinologi
reproduksi. Jakarta: Bagian obstetric dan ginekologi FKUI/RSCM, 1985: 10-13
6. Yen SSC. Chronic anovulation caused by peripheral endocrine disorders. In: Yen
SSC, Jaffe RB. Reproductive Endocrinology. 3rd edition. Philadelphia: WB
Saunders Company, 1991: 577-673
7. Brewer JI, Decosta EJ. Textbook of Gynecology. 4th edition. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1967: 101-136
8. Coulam CB. Premature gonadal failure. Fertil Steril 1982, 38: 645-655
9. Yeko TR, Parsons AK, Marshall R, et all. Laparoscopic removal of mullerian
remnants in a woman with congenital absence of the vagina. Fertil Steril 1992, 57:
218-220
10. Hansen KA, Tho SPT, Gomez F. Nonfunctioning pituitary macroadenoma
presenting with mild hyperprolactinemia and amenorrhea. Fertil Steril 1999, 72:
663-665
11. Lee PA, Rock JA, Brown TR, et all. Leydig cell hypofunction resulting in male
pseudohermaphroditism. Fertil Steril 1982, 37: 675-679
12. Caufriez A. Male pseudohermaphroditism due to 17-ketoreductase deficiency:
report of a case without gynecomastia and without vaginal pouch. Am J Obstet
Gynecol 1986, 154: 148-149
13. Laatikainen T, Virtanen T, Apter D. Plasma immunoreactive β-endorphin in
exercise-associated amenorrhea. Am J Obstet Gynecol 1986, 154: 94-97
14. Reindollar RH, Novak M, Tho SPT, et all. Adult-onset amenorrhea: a study of 262
patients. Am J Obstet Gynecol 1986, 155: 531-543
15. Talbert LM, Raj MHG, Hammond MG, et all. Endocrine and immunologic studies
in a patient with resistant ovary syndrome. Fertil Steril 1984, 42: 741-744
16. Rebar RW, Connolly HV. Clinical features of young women with
hypergonadotropic amenorrhea. Fertil Steril 1990, 53: 804-810
17. Mashchak CA, Kletzky OA, Davajan V, Mischell DR. Clinical and laboratory
evaluation of patients wth primary amenorrhea. Obstet Gynecol 1981; 57: 715-21

Anda mungkin juga menyukai