Amenorea DRI
Amenorea DRI
Definisi
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada
wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal,
atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual
sekunder.1,2,6 Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus,
hipofisis, ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer
umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui,
seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik.
Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak adanya haid
karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya pada ginatresia
himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain.3,4
Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid (menarche) bervariasi
lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukkan
bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi, dan kesehatan
umum.
Embriologi
Proses perkembangan seksual terbagi atas perkembangan gonad, organ genitalia
interna dan eksterna. Perkembangan gonad umumnya diawali dengan tumbuhnya
daerag gonadal ridge pada usia kehailan pada usia 5 minggu dan bermigrasinta sel
germinal primordial dari daerah yolk sac menuju gonadal ridge pada usia kehamilan 6
minggu. Saat itu status gonad dinyatakan sebagai indifferent gonad. Penentuan apakah
gonad akan menjadi ovarium atau testis ditentukan oleh ada atau tidak adannya testis
determining factor (TDF) yang berlokasi pada lengan pendek kromosom Y.
Kehadiran TDF akan merangsang sel sertoli yang akan menghasilkan Mullerian
inhibiting substances/ Anti Mullerian hormone serta sel Leydig yang akan
menghasilkan hormone testosterone. Mullerian inhibiting substances akan memicu
terjadinya regresi dari duktus Mulleri sementara testosterone akan mempertahankan
duktus Wolffian yang selanjutnya akan berdifferensiasi menjadi epididimis, vas
deferens dan vesikula seminalis. Perkembangan organ genitalia eksterna pada laki-laki
dipengaruhi oleh dihidrotestosteron (DHT), dengan adanya DHT akan terbentuk
scrotum dan penis. DHT sendiri terbentuk dari testosterone yang diaromatisasi oleh
enzin 5α-reduktase. Bila MIS tidak ada, maka akan terjadi regresi duktus Wolffii dan
duktus Mulleri tetap dipertahankan. ( Gambar1)
Gambar1. Determinasi seks pada laki-laki dan perempuan. Dikutip dari Yen
II. FISIOLOGI MENSTRUASI
Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan
(deskuamasi) endometrium. Proses menstruasi merupakan proses fisiologis yang terjadi
dari hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarium
axis). Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan
Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.1,2,4
Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase
dan satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan
kadar hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik
(feedback) antara hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan
umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan
umpan balik negatif jika kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi.
Tempat utama umpan balik terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada
hipotalamus.1,2,4
Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel
berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan
oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan
berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH;
folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan
folikel-folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun
peranannya pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel.
Perkembangan folikel yang cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun,
menunjukkan bahwa folikel yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH.
Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma jelas meninggi.
Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat
mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan
dengan lonjakan LH (LH-surge) pada pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya
ovulasi. LH yang meninggi itu menetap kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal.
Lonjakan LH yang cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya
pada tingkat yang matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya folikel
terjadi 16 – 24 jam setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya satu folikel yang
matang.1,2,4
Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola
dan bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi
dalam lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 8–9 hari setelah
ovulasi.4
Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron banyak,
dan luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon
itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 10–12 hari setelah ovulasi, korpus luteum
mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-kapiler dan
diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup korpus luteum
pada manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali terbentuk ia
berfungsi sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk berfungsinya
korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada ovarium
tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak terjadi
kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada siklus
haid normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh variasi
dalam fase folikular.4
III. EVALUASI AMENOREA
Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting dalam evaluasi amenorea.
Pertama, harus diketahui apakah amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu
diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan faktor-faktor yang dapat
menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit akut atau
menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit metabolik dan lain-lain.4
Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama; keadaan
tubuh penderita tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang berharga. Apakah
penderita pendek atau tinggi, apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah ciri-
ciri kelamin sekunder berkembang dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme;
semua ini penting untuk pembuatan diagnosis.
Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat diketahui adanya berbagai jenis
ginatresis, adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri, adanya tumor,
ovarium dan sebagainya.
Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan ginekologik, banyak
kasus amenorea dapat diketahui sebabnya. Apabila pemeriksaan klinik tidak memberi
gambaran yang jelas mengenai sebab amenorea, maka dapat dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan lanjutan.
Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu sistem
yang memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi yang normal
tergantung. Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik yang memilah
penyebab amenorea dalam 4 kompartemen, yaitu:
- Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract
- Kompartemen II : kelainan pada ovarium.
- Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior
- Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).
C. Agenesis gonadal
Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada
keadaan agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau
sindroma regresi testis embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis
eksterna sedikit meragukan, namun hampir menyerupai bentuk wanita. Ditemukan
hipoplasia labia, derajat tertentu fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan
muara uretra pada perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan.
Pada usia pubertas tidak terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin
meningkat. Umumnya penderita diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan
testis dianggap telah aktif selama kehidupan janin sehingga mampu menghambat
perkembangan duktus mulleri, tetapi fungsi sel leydig minimal. Tanpa informasi
yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja apa yang menjadi penyebab tidak
terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus diduga bahwa virus dan
metabolik yang berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun demikian hasil
akhirnya berupa hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki
kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.1
Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk
menghindari kemungkinan terjadi neoplasia.
Mashchak dkk, memberikan algoritma yang lebih sederhana dalam diagnosis etiologi
amenorrhea primer. Observasi yang dilakukan oleh Mashchak adalah dengan melihat ada
atau tidaknya gambaran seks sekunder/ payudara. Payudara sendiri dapat memberikan
informasi yang penting bahwa pasien telah terpapar dengan estrogen. Pasien amenorrhea
dibagi menjadi beberapa kelompok:
a. Kategori I: Pasien dengan uterus, tanpa perkembangan payudara
b. Kategori II : Pasien tanpa uterus, dengan perkembangan payudara
c. Kategori III: pasien tanpa uterus, tanpa perkembangan payudara
d. Kategori IV : pasien dengan uterus dan dengan perkembangan payudara
Pasien dengan uterus, tanpa perkembangan payudara kemungkinan disebabkan oleh
hipogonadotropik hipogonadism atau mengalami gonadal disgenesis. Penegakan diagnose
dapat dilakukan dengan mengukur serum FSH, yang biasanya meningkat pada pasien dengan
disgenesis gonad. Kadar serum LH biasanya dapat meningkat, atau bisa juga dalam batas
normal. Pasien dengan hipogonadotropik hipogonadism biasanya dijumpai serum LH dan
FSH yang rendah. Pasien dengan gonadal disgenesis didapatkan peningkatan nilai
gonadotropin dan memerlukan pemeriksaan analisis kromosom.
Pasien dengan kategori II dengan perkembangan payudara normal tanpa dijumpai uterus,
kemungkinan secara kongenital tidak memiliki uterus atau merupakan bentuk komplit dari
testicular feminization. Pada bentuk ini, dilakukan pemeriksaan testosterone untuk
membedakan pasien pada kelompok ini. Pada pasien yang uterusnya tidak ada secara
congenital, level testosterone dijumpai pada rentang normal untuk wanita, sementara pada
pasien dengan testicular feminization, serum testosterone berada pada rentang normal pria.
Pemeriksaan ini harus di konfirmasi dengan melakukan karyotyping untuk mendeteksi
munculnya kromosom Y pada pasien. Bila dijumpai gonad, dilakukan gonadektomi pada
usia 14 tahun atau setelah masa pubertas komplit.
Pasien dengan kategori III, dimana tidak terdapat perkembangan payudara dan uterus,
merupakan bentuk yang jarang. Pasien biasanya memiliki karyotyping XY, peningkatan
level gonadotropin dan testosterone pada rentang normal untuk wanita. Pasien ini berbeda
dengan disgenesis gonad karena pasien ini tidak memiliki uterus, secara klinis berbeda pula
dengan testicular feminization karena tidak ada perkembangan payudara. Pada pasien ini
biasanya mengalami gangguan enzim seperti 17 alpha hydroxilase dan 17.20 desmolase atau
mengalami testicular agonadism.
Pasien dengan kategori IV, dimana terdapat uterus dan perkembangan payudara biasanya
gangguan hipotalamus-hipofise dan ovarian axis terjadi setelah dimulainya pubertas, tetapi
belum komplit. Pasien seperti ini biasanya ditatalaksana seperti algoritma amenorrhea
sekunder.
Gambar 3. Pendekatan sistematis untuk pasien amenorrhea primer. Dikutip dari Mashchak
VIII. RINGKASAN
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada
wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal,
atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder.
Gangguan yang ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada uterus),
kompartemen II (gangguan pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada hipofisis
anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat).
Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang terjadi.
Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan
yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang
diberikan adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa.
Sedangkan kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan
memperbaiki kelainan anatomis selama hal itu dimungkinkan.
IX. DAFTAR RUJUKAN
1. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrynologi and infertility.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1994: 401-456
2. Scherzer WJ, McClamrock H. Amenorrhea. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA.
Novak’s gynecology. 12th edition. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996: 820-832
3. Baziad A, Alkaff Z. Pemeriksaan dan penanganan amenorea. Dalam: Baziad A,
Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z. Endokrinologi ginekologi. Edisi pertama. Jakarta:
Kelompok studi endokrinologi reproduksi Indonesia bekerjasama dengan Media
Aesculapius, 1993: 61-70
4. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999: 203-223
5. Jacoeb TZ, Rachman IA, Soebijanto S, Surjana EJ. Panduan endokrinologi
reproduksi. Jakarta: Bagian obstetric dan ginekologi FKUI/RSCM, 1985: 10-13
6. Yen SSC. Chronic anovulation caused by peripheral endocrine disorders. In: Yen
SSC, Jaffe RB. Reproductive Endocrinology. 3rd edition. Philadelphia: WB
Saunders Company, 1991: 577-673
7. Brewer JI, Decosta EJ. Textbook of Gynecology. 4th edition. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1967: 101-136
8. Coulam CB. Premature gonadal failure. Fertil Steril 1982, 38: 645-655
9. Yeko TR, Parsons AK, Marshall R, et all. Laparoscopic removal of mullerian
remnants in a woman with congenital absence of the vagina. Fertil Steril 1992, 57:
218-220
10. Hansen KA, Tho SPT, Gomez F. Nonfunctioning pituitary macroadenoma
presenting with mild hyperprolactinemia and amenorrhea. Fertil Steril 1999, 72:
663-665
11. Lee PA, Rock JA, Brown TR, et all. Leydig cell hypofunction resulting in male
pseudohermaphroditism. Fertil Steril 1982, 37: 675-679
12. Caufriez A. Male pseudohermaphroditism due to 17-ketoreductase deficiency:
report of a case without gynecomastia and without vaginal pouch. Am J Obstet
Gynecol 1986, 154: 148-149
13. Laatikainen T, Virtanen T, Apter D. Plasma immunoreactive β-endorphin in
exercise-associated amenorrhea. Am J Obstet Gynecol 1986, 154: 94-97
14. Reindollar RH, Novak M, Tho SPT, et all. Adult-onset amenorrhea: a study of 262
patients. Am J Obstet Gynecol 1986, 155: 531-543
15. Talbert LM, Raj MHG, Hammond MG, et all. Endocrine and immunologic studies
in a patient with resistant ovary syndrome. Fertil Steril 1984, 42: 741-744
16. Rebar RW, Connolly HV. Clinical features of young women with
hypergonadotropic amenorrhea. Fertil Steril 1990, 53: 804-810
17. Mashchak CA, Kletzky OA, Davajan V, Mischell DR. Clinical and laboratory
evaluation of patients wth primary amenorrhea. Obstet Gynecol 1981; 57: 715-21