Anda di halaman 1dari 19

REFERENSI ARTIKEL

SINDROM PARANEOPLASTIK

DISUSUN OLEH :

Dhea Qiasita G99181019


Dinda Carissa G99172060
Dini Estri M G99172061
Irsyad Hapsoro R G99172093

PEMBIMBING :
dr. Joko Purnomo, Sp.B(K) Onk

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH ONKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Referensi artikel dengan judul:

Sindrom Paraneoplastik

Hari, tanggal : Rabu, 11 Juli 2018

Oleh:

Dhea Qiasita G99181019


Dinda Carissa G99172060
Dini Estri M G99172061
Irsyad Hapsoro R G99172093

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel

dr. Joko Purnomo, Sp.B(K) Onk


NIP. 19690624 201001 1 002
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom paraneoplastik adalah sindrom klinis yang melibatkan efek sistemik


nonmetastatik yang menyertai penyakit keganasan. Dalam arti luas, sindrom-sindrom ini
adalah kumpulan gejala yang dihasilkan dari substansi yang dihasilkan oleh tumor, dan
berefek sistemik atau pada tempat yang jauh dari daerah tumor. Gejala-gejalanya bisa berupa
endokrin, neuromuskular atau muskuloskeletal, kardiovaskular, kutaneus, hematologi,
gastrointestinal, renal, dan lain-lain. Sejumlah besar pasien kanker menunjukkan keterlibatan
CNS. Sindrom paraneoplastik mungkin merupakan manifestasi pertama atau paling menonjol.
Ketika seorang pasien yang tidak diketahui menderita kanker datang dengan salah satu
sindrom paraneoplastik yang “khas”, diagnosis kanker harus dipertimbangkan dan diselidiki.
Sindrom paraneoplastic terjadi pada sekitar 10% - 15% pasien dengan penyakit ganas.
Meskipun frekuensi relatif mereka, sindrom paraneoplastic penting untuk dikenali, karena
beberapa alasan:
1) Sindrom ini mungkin merupakan manifestasi awal dari neoplasma okultisme.
2) Pada pasien yang terkena, sindrom ini dapat mewakili masalah klinis yang signifikan
dan bahkan mungkin mematikan.
3) Sindrom ini mungkin meniru penyakit metastatik dan oleh karena itu mengacaukan
pengobatan.
4) Sindrom ini dapat berfungsi sebagai TUMOR MARKER pada pasien yang
sebelumnya diobati untuk mendeteksi kekambuhan, atau pada pasien yang menjalani
TERAPI ADJUVAN untuk memandu perawatan lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Sindrom paraneoplastik adalah penyakit atau gejala yang merupakan konsekuensi dari
kehadiran kanker di dalam tubuh, tetapi bukan karena keberadaan setempat dari sel-sel
kanker. Fenomena ini dimediasi oleh faktor humoral (oleh hormon atau sitokin)
diekskresikan oleh sel tumor atau oleh respon imun terhadap tumor. Sindrom
paraneoplastik tipikal pada pasien usia menengah ke atas, dan mereka paling sering datang
dengan kanker paru-paru, payudara, ovarium atau sistem limfatik (limfoma). Kadang-
kadang gejala sindrom paraneoplastic tampak sebelum diagnosis keganasan, yang telah
dihipotesiskan berhubungan dengan patogenesis penyakit. Dalam paradigma ini, sel-sel
tumor mengekspresikan antigen yang dibatasi jaringan (seperti protein neuronal), memicu
respon imun anti-tumor yang mungkin sebagian atau, jarang, benar-benar efektif dalam
menekan pertumbuhan dan gejala tumor. Pasien kemudian datang memeriksakan diri
ketika respon kekebalan tumor ini memecah toleransi kekebalan tubuh dan mulai
menyerang jaringan normal yang mengekspresikan protein (misalnya neuronal).

B. Patofisiologi

Ketika tumor muncul, tubuh dapat menghasilkan antibodi untuk melawannya dengan
mengikat dan menghancurkan sel-sel tumor. Sayangnya, pada beberapa kasus, antibodi ini
bereaksi silang dengan jaringan normal dan menghancurkannya, yang dapat menyebabkan
gangguan paraneoplastik. Sebagai contoh, antibodi atau sel T yang diarahkan melawan
tumor dapat keliru menyerang sel-sel saraf normal. Deteksi antibodi anti-saraf
paraneoplastic pertama kali dilaporkan pada tahun 1965.
Dalam kasus lain, sindrom paraneoplastic dihasilkan dari produksi dan pelepasan zat
aktif secara fisiologis oleh tumor. Tumor dapat menghasilkan hormon, prekursor hormon,
berbagai enzim, atau sitokin. Beberapa kanker menghasilkan protein yang diekspresikan
secara fisiologis dalam rahim oleh sel embrio dan janin tetapi tidak diekspresikan oleh sel
dewasa normal. Zat ini dapat berfungsi sebagai penanda tumor (misalnya,
carcinoembryonic antigen [CEA], alpha-fetoprotein [AFP], antigen karbohidrat 19-9 [CA
19-9]). Lebih jarang, tumor dapat mengganggu jalur metabolisme normal atau metabolisme
steroid. Akhirnya, beberapa sindrom paraneoplastic adalah idiopatik.

C. Klasifikasi

Sindrom paraneoplastik umumnya dapat diklasifikasikan menjadi neurologis dan non


neurologis, dan non-neurologis dapat dibagi lagi menjadi beberapa subtipe.
Non-Neurologi

Endokrinologi Hematologi

Neurologi  Cushing Syndrome  Granulositosis


 SIADH  Polisitemia
 Lambert-Eaton
 Hiperkalsemia  Trousseau sign
myasthenic syndrome
 Hipoglikemia  Endokarditis
 Degenerasi
 Sindrom Karsinoid thrombotik non
paraneoplastik
 Polisitemia bakterial
cerebellar
 Anemia
 Ensefalomielitis Demam
Mukokutaneus Lain-lain
 Ensefalitis limbik
 Acanthosis nigricans  Glomerulonefrits  Infeksi
 Ensefalitis batang
otak  Dermatomiositis membranosa  Non-infeksi

 Opsoclonus  Leser-Trelat sign  Osteomalasia yang


Paraneoplastik  Necrolytic migratory diinduksi tumor
 Ensefalitis reseptor erythema  Sindrom Stauffer
Anti-NMDA  Sweet’s syndrome
 Polimiolitis  Papilomatosis
kutaneus florid
 Pyoderma
gangrenosum
 Acquired generalized
hypertrichosis

D. Sindrom Paraneoplastik Neurologis


1. Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS)

Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS) adalah gangguan autoimun dari


neuromuscular junction. Gangguan autoimun ini ditandai dengan kelemahan otot
anggota badan, hiporefleksia, dan dysautonomia. Hal tersebut adalah hasil dari reaksi
autoimun, di mana antibodi terbentuk terhadap saluran kalsium gerbang voltage di
neuromuscular junction. Sekitar 60% orang dengan LEMS disebabkan oleh
keganasan, biasanya karena small cell lung cancer, oleh karena itu dianggap sebagai
sindrom paraneoplastic. Orang yang berisiko terkena LEMS umumnya berusia lebih
dari 40 tahun, meskipun itu bisa terjadi pada usia berapa pun.

Penegakkan diagnosis biasanya dikonfirmasi dengan elektromiografi dan tes


darah. Jika penyakit tersebut terkait dengan kanker, pengobatan kanker dapat
meredakan gejala LEMS. Perawatan lainnya yang sering digunakan adalah steroid,
azathioprine dan imunoglobulin intravena, yang berfungsi untuk menekan sistem
kekebalan tubuh, serta pyridostigmine dan 3,4-diaminopyridine yang berfungsi untuk
meningkatkan transmisi neuromuskular.

2. Paraneoplastic cerebellar degeration

PCD terjadi karena reaksi autoimun yang ditargetkan terhadap komponen dari
sistem saraf pusat (khususnya sel Purkinje). Hal tersebut dipicu ketika sel-sel tumor
(paling sering ovarium atau kanker payudara) memproduksi protein yang
diekspresikan di otak (protein neuronal Purkinje disebut cdr2). Hal tersebut memicu
respon kekebalan anti-tumor yang dapat signifikan secara klinis, juga memicu respon
imun anti-neuronal. Pasien biasanya mengeluh kesulitan berjalan, yang berlangsung
selama berminggu-minggu hingga bulan. Gejala awalnya dapat meliputi diplopia dan
vertigo. Kehilangan ketangkasan, tidak dapat berjalan, dysarthria, dan oscillopsia yang
terkait dengan nystagmus muncul. Gangguan biasanya dapat membuat pasien lumpuh.
Keluhan juga dapat disertai dengan disfungsi sistem motorik halus atau kognitif.

Pada gambaran pencitraan mungkin didapatkan atrofi cerebellar difus, sedangkan


pada tes CSF biasanya ditampilkan pleocytosis limfositik dan sedikit peningkatan
konsentrasi protein selama fase awal gangguan. Pengobatan dengan imunosupresi
untuk mengobati keganasan yang mendasari, jarang menghasilkan perbaikan yang
signifikan. Pasien dengan PCD dan limfoma Hodgkin didominasi laki-laki dan lebih
muda daripada perempuan. Gangguan ini sering berkembang pada pasien yang sudah
dirawat karena limfoma Hodgkin. Jenis PCD ini juga tampaknya secara molekuler
heterogen. PCD yang terkait dengan limfoma Hodgkin tampaknya memiliki prognosis
yang lebih baik untuk pemulihan. Perbaikan spontan terlihat pada 15% kasus dalam
satu waktu, dan satu pasien meningkat secara signifikan dengan efektif pengobatan
limfoma Hodgkin.

3. Myasthenia Gravis Syndrome

Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun langka yang mempengaruhi


neuromuscular junction dari otot rangka. Sistem kekebalan tubuh menciptakan
antibodi terhadap reseptor asetilkolin post synaps. Sehingga onconeural antibodi yang
dihasilkan terhadap kanker adalah agen penyebab dari keadaan
penyakit.Paraneoplastic myasthenia gravis biasanya terkait dengan thymoma.
Thymoma ini umumnya tidak langsung menghasilkan gejala.

Lebih dari 50% dari pasien myasthenia gravis datang dengan keluhan-keluhan
yang berkaitan dengan mata sebagai gejala awal mereka. Gejala yang muncul meliputi
ptosis (penurunan kelopak mata) dan diplopia (penglihatan ganda). Sekitar 15% dari
pasien myasthenia gravis datang dengan gejala yang melibatkan otot-otot wajah dan
tenggorokan yang dapat mengakibatkan perubahan suara, kesulitan menelan terdapat
masalah saat mengunyah, kehilangan ekspresi wajah. Pada miastenia gravis,
kelemahan dari otot proksimal terjadi sebelum menyebar ke otot distal.

Tatalaksana untuk miastenia gravis belum ditemukan obat yang standar.


Perawatan umum yang digunakan untuk mengobati miastenia gravis antara lain obat
antikolinesterase dan agen imunosupresif. Selain itu dapat juga dilakukan operasi
pengangkatan kelenjar timus (thymectomy).

4. Paraneoplastic Opsoclonus-Myoclonus Syndrome

Paraneoplastic Opsoclonus-Myoclonus Syndrome (OMS) adalah gangguan


neurologis yang jarang terjadi. Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara
pasti, namun merupakan hasil dari proses autoimun yang melibatkan sistem saraf. Hal
tersebut adalah kondisi yang sangat langka, bisa mungkin terjadi 1 kali dalam
10.000.000 orang per tahun. Sekitar setengah dari semua kasus berhubungan dengan
neuroblastoma dan sebagian besar lainnya diduga terkait dengan neuroblastoma
derajat rendah yang dapat menurun spontan sebelum deteksi. OMS ini adalah salah
satu dari sedikit paraneoplastic sindrom yang terjadi pada anak-anak dan orang
dewasa, meskipun mekanisme disfungsi kekebalan yang mendasari sindrom dewasa
mungkin agak berbeda. Hal tersebut merupakan hipotesis bahwa infeksi virus (seperti
St. Louis ensefalitis, EpsteinBarr, Coxsackie B, atau enterovirus) menyebabkan sisa
kasus. OMS umumnya tidak dianggap sebagai penyakit menular. OMS juga tidak
diteruskan secara genetik.

E. Sindrom Paraneoplastik Non-Neurologis


1. Kelainan endokrin
a. Sindroma cushing
Etiologi: produksi ACTH ektopik dan produk menyerupai ACTH.
Sering terjadi pada: small-cell lung cancer, karsinoma pancreas, tumor neural,
timoma
Manifestasi klinis: obesitas abdominal, stria, hipertensi, mudah lelak, moon face,
hump, depresi, amenore dan hiperpigmentasi.
DD: Penyakit cushing (55%), overproduksi CRH.
Patofisiologi: -

b. SIADH
Etiologi: ADH
Sering terjadi pada: small-cell lung cancer, keganasan CNS
Manifestasi klinis: hiponatremia, pusing, mual, muntah, kejang, koma
DD: -
Patofisiologi: hormone ADH berfungsi membuka aquaporin sehingga air pada
duktus kolektivus ginjal dapat diserap. Kekurangan hormone ADH menyebabkan
banyak air yang dieksresikan tubuh

c. Hiperkalsemi
Etiologi: PTHrP, TGF-α, TNF, IL-1
Sering terjadi pada: kanker paru (skuamous sel), kanker payudara, karsinoma
renal, multiple myeloma, T-cell leukimia, karsinoma ovarian
Manifestasi klinis: Iritabilitas neuromuscular, perubahan kardiovaskular, parestesi
perifer, kram, tetanus, kejang, bronkospasm, ansietas, aritmia, CHF
DD: -
Patofisiologi: tumor ganas yang seringkali berakibat pada defisiensi vitamin D,
kekurangan magnesium karena kurangnya kinerja ginjal, tumor yang
menghasilkan kalsitonin dan ketidakseimbangan hormone paratiroid
menyebabkan adanya hipokalsemia.

d. Hipoglikemi
Etiologi: insulin atau produk seperti insulin, IGF-II
Sering terjadi pada: fibrosarkoma, karsinoma mesenkimal lain, karsinoma
hepatoseluler
Manifestasi klinis: disforia ringan, kejang, penurunan kesadaran, kerusakan otak
permanen, kematian (jarang)
DD: -
Patofisiologi: produksi dan sekresi berlebih dari IGF-II mengakibatkan
hipoglikemi rekurens

e. sindroma karsinoid
Etiologi: Serotonin, Bradikinin
Sering terjadi pada: adenoma bronkial, karsinoma pancreas, karsinoma gaster
Manifestasi klinis: diare, kemerahan pada wajah, lesi pada endocardium
DD: -
Patofisiologi: tumor karsinoid menghasilkan subtans vasoaktif seperti serotonin
dan bradikinin. Serotonin mengakibatkan diare sementara bradikinin
mengakibatkan flushing.

2. Kelainan hematologic
a. Granulositosis
Etiologi: G-CSF
Sering terjadi pada: limfoma
Manifestasi klinis: WBC > 15x109/L
DD: -
Patofisiologi: dihasilkan oleh growth factor yang diproduksi oleh tumor

b. Polisitemia
Etiologi: Eritopoietin
Sering terjadi pada: Karsinoma renal, hemangioma cerebellar, karsinoma
hepatoseluler
Manifestasi klinis: EPO > 109/L, Hb 200g/L
DD: -
Patofisiologi: ekspresi EPO berlebih yang merupakan target HIF mendasari
adanya polisitemia

c. Tanda trousseau
Etiologi: Musin
Sering terjadi pada: Karsinoma Pankreas, Karsinoma Bronkogenik
Manifestasi klinis: hiperkoagulability, terbentuknya blood clot, vaskulitis
DD: -
Patofisiologi: -
d. Endocarditis non-bakterial
Etiologi: Hiperkoagulability
Sering terjadi pada: Kanker tingkat akhir, adenoma paru dan pankreas
Manifestasi klinis: Iskemik emboli, murmur jantung (-),
DD: -
Patofisiologi: adanya koagulopati, mikroskopik edema, degenerasi dari kolagen
dan efek local dari musin yg dihasilkan oleh karsinoma

e. Anemia
Etiologi: -
Sering terjadi pada: Neoplasma thymik
Manifestasi klinis: Hb < 7gr, pucat, lemas
DD:
Patofisiologi: terjadinya anemia hemolitik

3. Kelainan musculoskeletal
a. Akantosis
Etiologi: imunologis, EGF
Sering terjadi pada: karsinoma gaster, karsinoma paru, karsinoma uterus
Manifestasi klinis: plak hiperpegmentasi bewarna abu-coklat di leher, area lipatan
dan anogenital. Pruritus, hiperkeratosis pada telapak tangan
DD: -
Patofisiologi: -

b. Dermatomiositis
Etiologi: Imunologis
Sering terjadi pada: karsinoma bronkogenik, karsinoma mammae
Manifestasi klinis: kelemahan proksimal yang progresif, nyeri otot, rumah
heliotrope, eritem, teleangiektasis, papula eritematous
DD: -
Patofisiologi: -

c. Tanda leser-trelat
Etiologi: Reaksi inflamasi
Sering terjadi pada: adenokarsinoma gaster, limfoma, karsinoma sel skuamosa,
kanker kolon
Manifestasi klinis: keratosis seboroik dengan dasar inflamasi
DD: -
Patofisiologi: -

d. Nekrolitik eritem
Etiologi: -
Sering terjadi pada: glukagonoma
Manifestasi klinis: eritem, papula, vesikel dan pustule yang berkembang menjadi
lepuh dan neksrosis epidermis
DD: -
Patofisiologi: -

e. Sweet’s syndrome
Etiologi: -
Sering terjadi pada: leukimia
Manifestasi klinis: dermatosis neutrofilik, demam, leukositosis, papula
eritematouos
DD: -
Patofisiologi: -

f. Florid kutaneus papilomatosis


Etiologi: -
Sering terjadi pada: adenokarsinoma gaster, mammar, buli-buli, dan hepatobilier
Manifestasi klinis: papilloma kutaneus pada abdomen, ekstremitas dan wajah.
DD: -
Patofisiologi: -

g. Pyoderma gangrenosum
Etiologi: imunologik
Sering terjadi pada: myelositik leukimia
Manifestasi klinis: jaringan nekrotik dan ulkus dalam pada kaki. Papula nyeri
dengan eksudat hemoragik dan dasar nekrotik
DD: -
Patofisiologi: -

h. Hipertrikosis
Etiologi: -
Sering terjadi pada: -
Manifestasi klinis: abnormalitas pertumbuhan rambut (sindroma serigala)
DD: -
Patofisiologi: -

4. Others
a. Glomerulonephritis
Etiologi: Tumor antigen, kompleks imun
Sering terjadi pada: tumor padat pada paru dan kolon, keganasan hematologik
Manifestasi klinis: sindroma nefrotik,
DD: -
Patofisiologi: -

b. Osteomalasia
Etiologi: FGF-23
Sering terjadi pada: hemangioperisitoma, fosfaturick mesenkimal tumor
Manifestasi klinis: hipofosfatemia, hiperfosfaturia, nyeri tulang, glikosuria,
normokalkasemia
DD: -
Patofisiologi: -

c. Sindroma stauffer
Etiologi: -
Sering terjadi pada: karsinoma sel renal
Manifestasi klinis: disfungsi liver
DD: -
Patofisiologi: -

F. Pemeriksaan Penunjang

Pasien dengan suspek sindrom paraneoplastik harus menjalani pemeriksaan lengkap


laboratorium antara lain pemeriksaan lab darah, urin dan Liquor Cerebro Spinal (LCS).
Pemeriksaan lain yang lebih selektif ditentukan oleh jenis atau klasifikasi dari sindrom
paraneoplastik yang dicurigai.
Elektroforesis protein dari serum dan LCS dapat menggambarkan perubahan dari
kadar albumin dan peningkatan dari beta-globulins serta gamma-globulins. Gamma-
globulins selalu meningkat pada pasien dengan kelianan autoimun, walaupun sindrom
paraneoplastic ataupun bukan. Pemeriksaan autoantibodi dapat mengonfirmasi asal dari
sindrom paraneoplastic. Kebanyakan autoantibodi pada sindrom paraneoplastik
menyerang struktur sistem persarafan.
Endoskopi berguna untuk mendeteksi tumor pada sistem respirasi dan gastrointestinal.
Endoskopi juga dapat digunakan untuk memperoleh sampel biopsi. Biopsi kulit pada
pasien dengan papul juga penting untuk membedakan lesi yang jinak dengan keganasan.
Pemeriksaan pecitraan dapat berupa whole-body scans untuk mendeteksi tumor yang
mendasari sindrom paraneoplastik. Fluoro-deoxyglucose positron emission tomography
(FDG-PET) scans dapat mendeteksi tumor yang sangat kecil dan khususnya untuk pasien
dengan kelainan neurologi.
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat mengetahui adanya anemia. Anemia bisa
disebabkan oleh berbagai macam kanker maupun tumor jinak. Pemeriksaan
mikroskopik sel darah putih dapat membantu diagnosis dari leukemia dan
kelainan yang behubungan dengan Limfoma. Hypereosinofilia sering ditemukan
pada Limfoma Hodgkin. Dan jumlah trombosit harus diperiksa pada pasien
dengan gejala Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).
Laju Endap Darah (LED) biasanya meningkat pada pasien kanker. LED juga
dapat menjadi penanda non-spesifik dari inflamasi yang mungkin saja meningkat
pada berbagai kondisi seperti infeksi maupun kelainan reumatologi.
Enzim darah juga dapat mengalami perubahan pada tumor jinak maupun
ganas. Peningkatan kadar SGOT, SGPT, Lactate Dehydrogenase (LDH) dan
Alkaline Phospatase (ALP) sering ditemukan pada keganasan sistem
gastrointestinal meskipun juga bisa ditemukan pada kelainan tulang dan otot.
Tumor marker berguna untuk diagnosis kanker dengan penampilan klinis
yang sehat atau “silent” tapi kebanyakan tidak spesifik untuk mendeteksi asal
kankernya. Misal Carcinoembryonic Antigens (CEA) meningkat pada tumor
payudara, paru-paru dan sistem gastrointestinal. Selain itu Prostat-Spesific
Antigen (PSA) dapat mendeteksi kelainan prostat, termasuk tumor jinak, kanker
bahkan proses inflamasi.
2. Pemeriksaan Autoantibodi
Banyak pasien sindrom paraneoplastic memiliki autoantibodi yang
menyerang berbagai jaringan tubuh. Autoantibodi tersebut paling sering
menyerang struktur sistem persarafan. Contoh autoantibodi pada sindrom
paraneoplastik yaitu :
- Anti-Hu (Antineuronal nuclear antibody 1/ ANNA-1) untuk mendeteksi
pasien dengan paraneoplastic subacute sensory neuropathy dana tau
encephalomyelitis
- Anti-Ri (Antineuronal nuclear antibody 2/ ANNA-2) untuk mendeteksi
opsoclonus/myoclonus syndrome
- Antibodi yang menyerang amphiphysin (protein vesikel sinaps) terdapat
pada serum pasien sindrom paraneoplastic dengan bentuk stiff man
syndrome
- Antineuronal antibodies Ma1 dan Ma2 (Anti-Ta) berhubungan dengan
protein di otak dan testis
- Anti-Yo atau Anti-Purkinje cell antibody 1 (APCA-1) untuk mendeteksi
sindrom paraneoplastic dengan cerebellar degeneration

3. Pemeriksaan Radiologi
Dapat digunakan untuk mencari tumor primer pada pasien dengan sindrom
paraneoplastic. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara lain:
- CT-Scan dan MRI whole body untuk mendeteksi tumor primer dan
metastasisnya
- PET dan Single-photon emission computed tomography (SPECT) scan
dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan kelainan neurologi
dan membedakan sebabnya apakah sindrom paraneoplastik atau bukan
- FDG-PET scan dapat mengevaluasi tumor sebesar 6-8 mm dimanapun
pada tubuh dan mungkin positif walaupun X-Ray dan CT-Scan
memberikan hasil negatif

G. Penatalaksanaan

Penanganan yang tepat sindrom paraneoplastik tergantung pada jenis, tingkat


beratnya, dan respon terapi kanker yang mendasari. Tujuan pengobatan mengontrol gejala
dan kanker yang mendasari. Pada pasien dengan gejala ringan dan tumor yang
kemosensitif, dengan pemberian kemoterapi cukup menghilangkan gejala. Tapi bila gejala
berat dan tumor lanjut atau tumor yang kurang sensitif, perlu terapi spesifik.
Sindrom paraneoplastik akibat dari overproduksi hormon atau sitokin umumnya
berhasil ditangani dengan keberhasilan terapi antikanker dan akan timbul lagi bila residif.
Terapi tambahan diperlukan seperti pada sindrom Cushing dengan obat penghambat
produksi kortisol (aminoglutetimid atau ketokonazol), hiperkalsemia dengan hidrasi dan
bifosfonat. SIADH dengan pembatasan cairan dan demeklosiklin, oncogenic osteomalacia
dengan fosfat dan vitamin D sering bermanfaat untuk mengurangi gejala.
Gejala-gejala yang berhubungan dengan sindrom neurologi autoimun selalu
berhubungan dengan kerusakan neuron yang umumnya bersifat ireversibel saat diagnosis
ditegakan. Perbaikan peningkatan kualitas hidup dengan perangsang nafsu makan seperti
medroksiprogesteron asetat dapat meningkatkan berat badan pada 50% pasien dengan
cancer-associates anorexia-cachexia. Eritropoietin dapat mengurangi fatigue pada pasien
dengan cancer-related anemia.
Jika pasien sudah dipastikan memiliki antibodi spesifik dalam serum yang
menyebabkan sindrom paraneoplastk, maka bisa diberikan imunosupresan seperti.
Pengobatan lainya yaitu dengan intravenous immunoglobulin, steroid ataupun plasma
exchange. Beberapa pasien dengan paraneoplastic pemphigus membaik dengan pemberian
rituximab.
Pembedahan ditujukan untuk tumor primernya. Beberapa sindrom paraneoplastic
dapat membaik dengan cepat tanpa operasi di tumor primernya, contoh hypertrophic
osteoarthropathy dengan operasi pada nervus vagus ipsilateral dapat menghilangkan gejala.
Operasi lain yaitu pada pasien dengan ektopik ACTH syndrome, bilateral adrenalectomy
dengan terapi pengganti hormone merupakan terapi yang paling efektif. Pasien dengan
Thymoma harus dilakukan complete surgical resection pada tumor untuk mengilangkan
sindrom paraneoplastik seperti myasthenia gravis.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Sindrom paraneoplastik adalah penyakit atau gejala yang merupakan konsekuensi dari
kehadiran kanker yang dimediasi oleh faktor humoral (oleh hormon atau sitokin) yang
diekskresikan oleh sel tumor atau oleh respon imun terhadap tumor.
2. Tanda dan gejala sindrom paraneoplastik sering muncul bahkan sebelum tumor atau
kanker yang mendasarinya terdeteksi.
3. Penatalaksanaan sindrom paraneoplastik tidak hanya mengobati gejala yang muncul
saja, tapi target utamanya adalah mengobati tumor yang mendasarinya.

B. Saran
Sindrom paraneoplastik dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada
gejala-gejala umum seperti demam, mual-muntah, tidak nafsu makan dan lain-lain apabila
terdapat faktor-faktor yang mendukung kearah adanya tumor maupun kanker. Terlebih lagi
apabila gejala-gejala yang muncul khas untuk sindrom paraneoplastik, maka harus dilakukan
pemeriksaan terhadap adanya tumor yang mendasari.
DAFTAR PUSTAKA

Lancaster E. Paraneoplastic disorders. Continuum (Minneap Minn) 2015 Apr. 21 (2 Neuro-


oncology): 452-75.

Pelosof, L., & Gerber, D. (n.d.). Paraneoplastic Syndromes: An Approach to Diagnosis and
Treatment. Retrieved April 24, 2015, from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2931619/

Rees J. Paraneoplastic neurological disorders. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2014 Aug.


85(8): e3.

Sahu, J. K., & Prasad, K. The opsoclonus--myoclonus syndrome.Practical Neurology, 2011.


11, 3.

Sugiyono S. dan Abdulmuthalib. Sindrom Paraneoplastik. Dalam: Aru W, Bambang S,Idrus


A, Marcellus S, Siti S, editors. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima jilid II. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. hlm. 2951-2953.

Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (n.d.). Retrieved April 24, 2015,
from http://emedicine.medscape.com/article/246650-overview#aw2aab6b2b3

Titulaer, M.J., Lang, B. and Verschuuren, J.J.G.M. Lambert-Eaton myasthenic syndrome:


from clinical characteristics to therapeutic strategies. Lancet Neural. 2011. Vol.
10:1098-1107.

Yoo, M., Bediako, E., & Akca, O. (n.d.). Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
(SIADH) Secretion Caused by Squamous Cell Carcinoma of the Nasopharynx: Case
Report. Retrieved April 24, 2015, from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2671796/

Williamson BT, Foltz L, Leitch HA. Autoimmune Syndromes Presenting as a Paraneoplastic


Manifestations of Myodysplastic Syndrome: Clinical Features, Course, Treatment and
Outcome. Hematol Rep. 2016 May 10. 8(2):6480.

Anda mungkin juga menyukai