Anda di halaman 1dari 5

Patofisiologi

Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang


belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Garg RK, 2014).

Gambar 2.1. Anatomi Lapisan Selaput Otak

Sumber : Schuenke, M., et al. 2007. Atlas of Head and


Neuroanatomy.

1st ed. United of States of America : Thieme.

Lapisan Luar (Dura mater)


Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat
yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang
membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang
epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan
jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit,
ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada
medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim
(Arvanitakis Z, 2015).
Lapisan Tengah (Araknoid)

Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan


dura mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan
piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi
cairan serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini
membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang
subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan
ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng
seperti dura mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya,
maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid
menembus dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus
venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke
dalam darah dari sinus venosus (Arvanitakis Z, 2015).

Lapisan Dalam (Pia mater)

Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak
berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural
terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan
membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk
jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng
yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat
melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater
lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan
saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.
(Arvanitakis Z, 2015).

Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal


Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga
dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid
merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi.
Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh
epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel
pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan
serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh
ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang
perivasikular. Hal ini penting untuk metabolisme susunan saraf pusat dan
merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang subaraknoid.
Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan
proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua sampai
lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari
sana ia memasuki ruang subaraknoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama
untuk absorbsi Cairan Serebrospinal ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses
absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar cairan dari ventrikel
menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang mengakibatkan
pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan mental dan
kelemahan otot (Menozzi F, 2007).

Mekanisme Terjadinya Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara


hematogen ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2
tahap yaitu mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran
basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen
dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan.
Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus
kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung
masuk ke subaraknoid. Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelah
infeksi primer (Schlossberg, 2011) .

Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk


kolonisasi dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid
parenkim otak, atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan
dapat menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan
dura dapat disebabkan oleh fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara
epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan koklear, VP shunt,
dan lain-lain. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan
meningitis. Meskipun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen,
kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak,
peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan serebospinal yang dapat berakhir
dengan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi (Jain SK, 2011).

Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia mater


dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung
terkumpul di daerah basal otak (Menkes, 2006).

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis


tuberculosis :

1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai
dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis
otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma
dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami
kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI,
kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan
strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta
bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial
VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya
permanen (Menozzi F, 2007).

2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah
kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di
dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang
meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna,
maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa
pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi
subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang
sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-
cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat
mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya
flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Schwartz, 2005).

3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis (Albert, 2011).

Daftar Pustaka

Garg RK. Tuberculosis of the central nervous system. Postgrad Med J. 2014;75(881):133–140.

Jain SK, Paul-Satyassela M, Lamichhane G, Kim KS, Bishai WR. Mycobacterium tuberculosis invasion and traversal across an
in vitro human blood-brain barrier as a pathogenic mechanism for central nervous system tuberculosis. J Infect Dis.
2011;193(9):1287–1295.

Arvanitakis Z, Long RL, Herschfield ES, Manfreda J, Kabani A, Kunimoto D, et al. M. tuberculosis molecular variation in CNS
infection: Evidence for strain-dependent neurovirulence. Neurology. 2015;50(6):1827–1832.

Menozzi F, Biochoff R, Fort E, Brennan M, Locht C. Molecular characterization of the mycobacterial heparin binding hemaglutanina
mycobacterial adhesin. Proc Natl Acad Sci USA. 2007;95(21): 12625–12630.

Anda mungkin juga menyukai