Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanent (PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010).
1.1.2 Etiologi
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan
cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer, cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)
1.1.3 Klasifikasi
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan
menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
a. CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
b. CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
c. CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial
1.1.7 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung
terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang
membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri
dalam rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya
membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi
deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak ke
arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur
kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik
bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan
(coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup).
1.1.8 Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera
kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari
gangguana neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan
dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan darah
sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini
menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah peru-peru berperan dalam proses
dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus. Kerusakan
difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama
fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau
jalan napas oral di samping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat
dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap dipasang, diberi
bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk meminimalkan
resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan
jalan napas paten ketika mengamati perkembangan kejang dan
mencegah cedera lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup
sebelum spasitisitas otot terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang
diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat gigit plastik harus
dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi
obat. Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan
pernapan, maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus dipantau
dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi dengan obat ini,
dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin untuk
mempertahankan konrol terhadap kejang.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala
dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga
atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat
sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari
tulang temporal.
g. Penatalaksanaan
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala
dimulai segera setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga
kesehatan pra-rumahsakit. Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera
kepala berfokus pada pengkajian system secara cepat dan penatalaksanaan
jalan napas definitive, intervensi yang dapat berdampak positif terhadap
hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia, yang telah
terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam
memberikan pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National
Traumatic Coma Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan
kondisi/suasana yang optimal maka pemulihan akan berfungsi kembali :
1. Penatalaksanaan jalan napas
Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera
kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan
kesadaran, dan hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi
pasien pada tahap awal cedera. Evaluasi lanjut terhadap status neurologis
dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda
herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis
awal, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral.
2. Hiperventilasi
Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume
intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan
agresif akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg.
PCO2 harus dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2
<25mmHg hiperventilasi harus dicegah.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan
meningkatkan perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan
penggunaan vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk
menurunkan tahanan intracranial terhadap aliran darah.
3. Cairan
Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan
agar nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa
penderita. Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang
berakibat buruk pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang
digunakan untuk resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer
laktat. Kadar Natrium perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat
menyebabkan odema otak yang harus dihindari.
4. Obat
a. Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial,
umumnya dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan
bolus intra vena dengan cepat. Untuk penderita hipotensi tidak
boleh karena akan memperberat hipovolemi.
b. Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan
TIK, kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim
0,3-0,5 mg/kg bb IV
c. Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan
tidak memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
d. Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek
hipotensi tak diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut.
Tidak dianjurkan pada resusitasi akut
e. Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita
trauma kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti
konvulsan hanya berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang,
tidak minggu yang berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu
pertama saja.
2) Secondary Survey
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah,
sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan,
fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar
kejadian, tidak bisa beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap
dan mencium bau, sulit mencerna/menelan makanan.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
c. Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala
d. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur
invasif.
C. Rencana Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1: Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK
NOC :
- Circulation status
- Tissue Prefusion : cerebral
Kriteria Hasil :
- Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
Tidak ada ortostatikhipertensi
Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih
dari 15 mmHg)
- Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
Memproses informasi
Membuat keputusan dengan benar
- Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat
kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter
NIC :
Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial)
1. Berikan informasi kepada keluarga
2. Set alarm
3. Monitor tekanan perfusi serebral
4. Catat respon pasien terhadap stimuli
5. Monitor tekanan intrakranial pasien dan respon neurology terhadap
aktivitas
6. Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal
7. Monitor intake dan output cairan
8. Restrain pasien jika perlu
9. Monitor suhu dan angka WBC
10. Kolaborasi pemberian antibiotik
11. Posisikan pasien pada posisi semifowler
12. Minimalkan stimuli dari lingkungan
Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau
laserasi
4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB
7. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Monitor adanya tromboplebitis
9. Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi
Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.