Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

“LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


DENGAN GUILLAIN BARRE SYNDROME ”

NAMA KELOMPOK 3:

1. Echa Kania Diva (PO.71.20.4.16.005)


2. Ilun Chairunisyah Napitu (PO.71.20.4.16.014)
3. Labibah Mahmuda (PO.71.20.4.16.017)
4. Putri Ayu Amalia (PO.71.20.4.16.023)
5. S.T Devi Aryanti U (PO.71.20.4.16.031)

Dosen Pembimbing : Sukma Wicaturatmashudi, M.Kep, Sp.KMB

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESISA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
D0IV KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan bimbingannya, penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini.
Makalah ini penulis ajukan sebagai salah satu persyaratan unutk mendapat nilai
tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Keperawatan Kritis program studi DIV
keperawatan, sekaligus sebagai ajang latihan bagi kami dalam penyusunan makalah. Di
mana makalah ini mengajukan serangkaian penjelasan tentang “Laporan Pendahuluan
dan Asuhan Keperawatan dengan Guillain Barre Syndrome.
Penulisan sebagai penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mohon maaf bila pembaca menemukan
berbagai bentuk kesalahan dan juga bila ada sarapan dan kritik yang bersifat yang bersifat
membangun sangat dinantikan dengan lapang dada.
Akhir kata penulis berharap, semoga makalah itu dapat mermanfaat, bagi kita
semua.

Palembang, 21 Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1


A. Latar Belakang................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
C. Tujuan.............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
A. Pengertian ........................................................................................................................ 3
B. Etiologi ............................................................................................................................. 4
C. Pathogenesis .................................................................................................................... 5
D. Patofisiologi ..................................................................................................................... 6
E. Tanda dan Gejala ......................................................................................................... 12
F. Komplikasi..................................................................................................................... 13
G. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................... 13
H. Penatalaksanaan ........................................................................................................... 14
I. Terapi Farmakologi ...................................................................................................... 16
J. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Guillain Bare Syndrome ................................ 17
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 28
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 28
B. Saran .............................................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 29
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Destruksi myelin ............................................................................................... 7


Gambar 2. Proses Kekebalan tubuh merusak saraf ............................................................. 9
Gambar 3. Pathway Guillain Barre Syndrome .................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom Guillain Barre / Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan
protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer).
Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan
cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan
tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna
(Inawati, 2010)
Sindrom Guillain Barree merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai
pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan
kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik (Japardi, 2002).
Sindrom Guillain Barree adalah suatu penyebab disabilitas jangka panjang yang penting
untuk sedikitnya 1,000 orang tiap tahun di Amerika Serikat. Karena GBS terjadi pada umur
yang relatif muda dan harapan hidup yang masih panjang setelah GBS,setidaknya 50.000
orang di Amerika Serikat mengalami efek residual dari GBS. Lebih kurang 40% pasien
yang diopname dengan GBS akan memerlukan rehabilitasi saat dirawat.
Di Indonesia sendiri, angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-
40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak
nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48
kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun
2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Mikail, 2012).
Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit GBS relatif jarang
ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir ternyata jumlah kasusnya terus
mengalami peningkatan. Meskipun bukan angka nasional negara Indonesia, data RSCM
tidak dapat dipisahkan dengan kasus yang terjadi di negara ini, karena RSCM merupakan
salah satu Rumah Sakit pusat rujukan nasional. Berdasarkan fakta di atas perlu kita
mengenal penyakit GBS secara lebih rinci.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sindrom guillain barre?
2. Bagaimana penyebab terjadinya sindrom guillain barre?
3. Apa saja tanda dan gejala dari sindrom guillain barre?
4. Bagaimana patofisiologi sindrom guillain barre?
5. Apa saja komplikasi dari sindrom guillain barre?
6. Bagaimana penatalaksanaan untuk klien guillain barre?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang mengalami sindrom guillain barre?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan penyakit Sindrom Guillain Barre
2. Untuk mengetahui yang menyebabkan penyakit Sindrom Guillain Barre
3. Untuk mengetahui pathogenesis penyakit Sindrom Guillain Barre
4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Sindrom Guillain Barre
5. Untuk mengetahui komplikasi dari penyakit Sindrom Guillain Barre
6. Untuk mengetahui penatalaksanaaan penyakit Sindrom Guillain Barre
7. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang mengalami
penyakit Sindrom Guillain Barre

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Sindrom Guillain Barre / Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan
protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer).
Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan
cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan
tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna
(Inawati, 2010)
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas,
suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya
sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom.
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic
Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang
terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-
kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.
GBS adalah penyakit yang biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus
ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur
bedah. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per
100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini
dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.
Parry mengatakan bahwa, Gullaine Barre Syndrom adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi,
2002).

3
Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang
diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas
tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik,
sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati
demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif,
paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun,
terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus
berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa
(Judarwanto, 2009).
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre Syndrom
(GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem
syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi
kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan
sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi
menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon
sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis,
Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome,
Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

B. Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum dapat
diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit ini
sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan
saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa
muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu

4
kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita
membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada
ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling
sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan
Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh
Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini
dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa minggu
sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Diare
5. Peradangan saluran nafas atas
6. Kelelahan
7. Demam
8. Kehamilan / dalam masa nifas
9. Penyakit sistematik :
a. Keganasan
b. Systemic lupus erythematosus
c. Tiroiditis
10. Penyakit Addison

C. Pathogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

5
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada SGB, gangliosid
merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi
terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin
ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri
diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh
manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung
protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh
Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada
akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk
merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T
merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag
di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan
penghantaran impuls saraf.

D. Patofisiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.

6
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf,
namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem
saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin.

Gambar 1. Destruksi myelin

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal
sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik
kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak
ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.

7
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan
diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin
banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-
sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan
sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi
lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara
pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga
apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan
kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf
spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju
dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai
saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara
pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif,
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung
myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.

8
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe
aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini
terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf
akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan
paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering
setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih
cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer
dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat
juga ikut terlibat.

Gambar 2. Proses Kekebalan tubuh merusak saraf

9
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis
pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan
fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan
dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai
fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase
plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal,
serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang
masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja

10
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan
samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Gambar 3. Pathway Guillain Barre Syndrome

11
E. Tanda dan Gejala
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas
bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia.
Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal,
tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering
dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif
lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui
seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka
sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa
ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan
N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan Fungsi Otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic
profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan
otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan Pernafasan

12
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila
tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita.
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.

F. Komplikasi
1. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.
2. Tetraparese oleh karena penyebab lain.
3. Hipokalemia.
4. Kelumpuhan otot pernafasan
5. Dekubitus.
6. Paralisis otot persisten
7. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
8. Aspirasi
9. Retensi urin
10. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
11. Nefropati, pada penderita anak
12. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
13. Aritmia jantung
14. Ileus

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Lumbar puncture
Memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang
normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan
protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, meungkin diperlukan
pemeriksaaan seri fungsi lumbal (perlu diulang dalam beberapa hari).

13
2. Elektromiografi
Hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom yang timbul. Kecepatan
konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik
yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
3. Darah lengkap
Terlihat adanya leukosit pada fase awal
4. Foto rontgen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan seperti
atelectasis dan pneumonia
5. Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemmapuan
inspirasi.

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan pemeliharaan
fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa,
mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk
pasien dan keluarga.
1. Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler
Jika vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik.
Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilator
dalam beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai kemajuan
gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi. Jika sistem saraf
otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah
(hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau
dengan ketat. Pemantauan jantung akan memungkinkan disritmia teridentifikasi dan
diobati dengan depat. Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh Valsava
maneuver, batuk, suksioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini
harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

14
2. Plasmaferesis
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk
menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan
secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma
diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan
kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien
memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.
3. Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan SGB.
Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit
stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri
merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara.
Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan
narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak
mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal
pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan
narkotik.
4. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per
oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter
dan perawat.
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan
ini,terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang
memberikan kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis,
mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu untuk
meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien yang
mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan sendiri
pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat
masalah. Harus disediakan cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui

15
bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat
membantu mengatasi ketakutan.
6. Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan
keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur tentang
intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperbolehkan untuk
membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan pemulihan. Kadang
pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka membutuhkan banyak waktu
perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil secara berlebihan jika merasa tidak
aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk membiarkan keluarga menghabiskan
sebagian waktu lebih banyak bersama pasien. Dengan menyediakan perawat primer
dapat memberikan pasien dan keluarga rasa aman, mengetahui bahwa ada seseorang
yang dapat menjadi sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien
dan keluarga harus dilakukan secara.

I. Terapi Farmakologi
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di
unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang
kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan
waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya
penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik,
berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih

16
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
- Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
tiap 15 hari sampai sembuh.
- Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

J. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Guillain Bare Syndrome


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap
ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain
mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan mengobservasi
klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-paru, yang sering
mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Anamnesis
- Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama,
pendidikan, dan sebagainya
- Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum
maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.

17
- Riwayat Penyakit, meliputi:
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul,
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir
sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya
adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan
gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan
disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam
tanda-tanda vital.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien
mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai
resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
- Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan

18
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang
secara sadar biasa digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien
untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian
terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan
terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri
dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis
dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan
mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat
insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat
(hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
- B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi
saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan

19
frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi
biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi
saluran napas.

- B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi yang
berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan
ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi transien ) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
- B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
1) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan
keperawatan.
2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien
GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental
klien mengalam perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
- Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
- Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralis ocular.
- Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.

20
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah,
dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
- Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4) System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS
tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara
umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .
5) Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum
derajat reflexs dalam respons normal.
6) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
7) System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami
penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
- B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
- B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-
otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
kurang terpenuhi.

21
- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas
pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak
dibantu orang lain.
c. Pemeriksaan Diagnostik
- Diagnosis GBS sangat bergantung pada :
- Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
- Lumbal pungs dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan
kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.
- Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf.
Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi
saraf.
- Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap
cytomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan
respons imun pada antigen saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
- Uj fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan
nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas
pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
b. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, dan konduksi listrik jantung.
c. Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
e. Cemas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.

22
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Pola napas tidak Tujuan : dalam waktu 3x24 1. Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas 1. Menjadi parameter monitoring serangan gagal
efektif b.d jam setelah diberikan tambahan, perubahan irama dan napas dan menjadi data dasar intervensi
kelemahan tindakan pola napas kedalaman, penggunaan otot bantu selanjutnya
progresif cepat kembali efektif. pernapasan
otot-otot 2. Evaluasi keluhan sesak napas bak 2. Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran
pernapasan dan Kriteria hasil : secara secara verbal maupun nonverbal bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
ancaman gagal subjektif sesak napas (-) ireguler,takikardia dan perubahan pola napas.
pernapasan ,RR 16-20x/menit. Tidak 3. Beri ventilasi mekanik 3. Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian
menggunakan otot bantu sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
pernapasan, gerakan dada perkembangan kearah kemunduran, yang
normal mengndikasikan kearah memburuknya kekuatan
otot pernapasan
4. Lakukan pemeriksaan kapasitas vital 4. Penurunan kapasitas vital dhubungkan dengan
pernapasan kelemahan otot-otot pernapasan saat
menelan,sehingga hal ini menyebabkan
kesukaran saat batuk dan menelan, dan adanya
indikasi memburuknya fungsi pernapasan.
5. Kolaborasi :

23
Pemberian humidifikasi oksigen 5. Membantu pemenuhan oksigen yang sangat
3L/Menit dperlukan tubuh dengan kondisi laju metabolism
sedang meningkat
2. Resiko tinggi Tujuan : penurunan curah 1. Auskultasi TD, bandingkan kedua 1. Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi
penurunan curah jantung tidak terjadi lengan, ukur dalam keadaan ventrikel, hipertensi juga fenomena umum karena
jantung b.d berbaring, duduk, atau berdiri bila nyeri cemas pengeluaran katekolamin
perubahan Kriteria hasil : stabilitas memungkinkan
frekuensi, irama, hemodinamik baik 2. Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi 2. Penurunan curah jantung mengakibatkan
dan konduksi menurunnya kekuatan nadi.
listrik jantung 3. Catat murmur 3. Menunjukkan gangguan aliran darah dalam
jantung, (kelainan katup, kerusakan septum, atau
fibrasi otot papilar).
4. Pantau frekuensi jantung dan irama 4. Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukkan komplikasi disritma.
5. Kolaborasi : 5. Dapat meningkatkan saturasi oksgean dalam
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi darah
3. Resiko gangguan Tujuan : pemenuhan nutrisi 1. Kaji kemampuan klien dalam 1. Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang
nutrisi : kurang klien terpenuhi pemenuhan nutrisi klien oral adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena
dari kebutuhan kurang makanan

24
tubuh b.d Kriteria hasil : setelah 2. Monitor komplikasi akibat paralisis 2. Ilius paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi
ketidakmampuan dirawat tiga hari klien tidak akibat insufisisensi aktivitas aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini,
mengunyah dan terjadi komplikasi akibat parasimpatis makanan melalui intravena dipertimbangkan
menelan penurunan asupan nutrisi diberikan oleh dokter dan perawat mementau
makanan bising usus sampai terdengar
3. Indikasi jika klien tidak mampu menelan melalui
3. Berikan nutrisi via NGT oral
4. Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral
4. Berikan nutrisi via oral bila paralis diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati
menelan berkurang
4. Gangguan Tujuan : dalam waktu 3x24 1. Kaji tingkat kemampuan klien dalam 1. Merupakan data dasar untuk melakukan
mobilitas fisik jam setelah diberikan melakukan mobilitas fisik intervensi selanjutnya
b.dkerusakan tindakan mobilitas klien 2. Dekatkan alat dan sarana yang 2. Bila pemulihan mulai untuk dlakukan, klien
neuromuscular, meningkat atau teradaptasi dibutuhkan klien dalam pemenuhan dapat hipotensi ortostatik ( dari disfungsi otonom
penurunan aktivitas sehari-hari ) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat
kekuatan otot, Kriteria hasil : peningkatan tidur untuk menolong mereka mengambil posisi
dan penurunan kemampuan dan tidak duduk tegak
kesadaran. terjadi thrombosis vena
profunda dan emboli paru

25
merupakan ancaman klien 3. Hindari factor-faktor yang 3. Individu paralisis mempunyai kemungkinan
paralisis yang tidak mampu memungkinkan terjadinya trauma mengalalmi kompresi neuropati, paling sering
menggerakkan ekstremitas, pada saat klien melakukan mobilisasi saraf ulnar dan peritoneal
dekubitus tidak terjadi 4. Sokong ekstremitas yang mengalami 4. Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi
paralisis fungsional dan memberikan latihan rentang gerak
secara pasif paling sedikit dua kali sehari
5. Monitor komplikasi gangguan 5. Deteksi awal thrombosis vena profunda dan
mobilitas fisik dekubitus sehingga dengan penemuan yang cepat
penanganan lebih mudah dilaksanakan.
6. Mencegah deformities kontraktur dengan
menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati
6. Kolaborasi dengan tim fisisoterapis dean lathan rentang gerak
5. Cemas b.d Tujuan : dalam waktu 1x24 1. Bantu klien mengekspresikan 1. Cemas berkelanjutan dapat memberikan dampak
kondisi sakit dan jam setelah diberikan perasaan marah, kehilangan, dan serangan jantung selanjutnya
prognosis intervensi kecemasan takut
penyakit yang hilang atau berkurang 2. Kaji tanda verbal dan non verbal 2. Reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan
buruk kecemasan, dampingi klien, dan rasa agitasi, marah dan gelisah
Kriteria hasil : mengenal lakukan tundakan bila menunjukkan
perasaannya, dapat perilaku merusak

26
mengidentifikasi penyebab 3. Hindari konfrantasi 3. Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
atau factor yang menurunkan kerja sama, dan mungkin
mempengaruhinya, dan memperlambat penyembuhan
menyatakan cemas 4. Mulai melakukan tindakkan untuk 4. Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
berkurang mengurangi kecemasan. Beri perlu
lingkungan yang tenang dan suasana
penuh istirahat
5. Orientasikan klien terhadap prosedur 5. Orientasi dapat menurunkan kecemasan
rutin dan aktivitas yang diharapkan

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sindroma Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf
perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut.
2. Sindroma ini dapat disebabkan oleh adanya Infeksi, Vaksinasi, Pembedahan, Penyakit
sistematik.
3. Kerusakan saraf yang terjadi pada Sindroma Guillain Bare adalah melalui mekanisme
imunlogi.
4. Manifestasi Klinis dari Sindrom Guillain Bare ini, antara lain: kelumpuhan, gangguan
sensibilitas, gangguan saraf kranial, gangguan fungsi otonom, kegagalan pernapasan,
dan papiledema.
5. Pengkajian meliputi: anamnesa: identitas klien, keluhan, riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan diagnostic.
6. Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang
paling berat dari GBS adalah gagal napas.
7. Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi
pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya
infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat insufisiensi
pernapasan.

B. Saran
Demikian makalah ini kami susun sebagaimana mestinya semoga bermanfaat bagi kita
semua khususnya bagi tim penyusun dan semua mahasiswa dan mahasiswi kesehatan pada
umumnya. Kami sebagai penyusun menyadari akan keterbatasan kemampuan yang
menyebabkan kekurangsempurnaan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun materi,
bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya agar makalah selanjutnya
dapat lebih baik.

28
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.

Indari, Ayu. 2014. Askep Klien dengan Sindroma Guillain Barre.


http://ayundari1702.blogspot.com/2014/05/askep-klien-dengan-sindroma-
guillain.html. Diakses tanggal 21 Agustus 2019.

Jukarnain.,2011.” Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem


Persarafan”. Makassar.

29

Anda mungkin juga menyukai