Anda di halaman 1dari 5

4.Maria menikmati masa kecil di desanya, Kema.

Namun, suatu hari wabah kolera menyerang desa


tersebut. Banyak penduduk yang meninggal, termasuk ayah dan ibu Maria. Maria yang ketika itu berusia
enam tahun beserta dua saudara kandungnya menjadi yatim piatu.

Selepas kepergian orangtuanya, Maria dan saudara-saudaranya diasuh oleh pamannya Ezau yang
merupakan seorang mayor dan bibinya Johana. Di rumah paman dan bibinya yang penuh kasih sayang
inilah mata Maria terbuka akan kesenjangan yang tercipta karena perbedaan status sosial sekaligus
gender. Setelah lulus dari Sekolah Desa, Maria tidak diberi kesempatan meneruskan sekolah karena ia
adalah seorang perempuan dan tidak berasal dari keluarga yang punya posisi penting di pemerintahan. Ia
menentang, tetapi itu sia-sia belaka.

Bergerak untuk perubahan

Pada usianya yang ke-18, Maria dilamar Jozef Frederik Calusung Walanda, seorang guru yang menempuh
pendidikan di Ambon. Jozef merupakan suami yang suportif dan mendorong kemauan Maria untuk
belajar. Sejak menikah dengan Jozef, nama Maria menjadi Maria Walanda Maramis.

Jozef mengajari Maria bahasa Belanda dan membelikan buku-buku yang penting. Maria mulai berpikir
untuk membebaskan kaum perempuan dari cengkeraman adat yang tidak menguntungkan dan dari pola
pendidikan Belanda. Pada 8 Juli 1917, Maria berhasil mendirikan perkumpulan perempuan yang diberi
nama Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya, disingkat PIKAT.

Sekolah ini memberi pendidikan mengenai kerumahtanggaan, pertolongan pertama pada kecelakaan,
dan bahasa Belanda. Cabang-cabang PIKAT lantas didirikan di luar daerah Minahasa, di Gorontalo, Poso,
Donggala, Makassar, bahkan di Pulau Jawa dan Kalimantan. Ia ingin proses kemajuan perempuan
berlangsung di mana-mana.

Di luar gemerlap kehidupan kaum kolonial, rasa nasionalisme Maria tumbuh. Teman-temannya
dianjurkan untuk sebisa mungkin menggunakan bahasa Melayu ketika berpidato atau bercakap-cakap
dengan orang asing. Maria juga selalu memakai pakaian daerah, kain, dan kebaya putih. Kepada banyak
orang, berkali-kali ia mengatakan, “Pertahankan bangsamu.”

Dewan kota
Maria juga memperjuangkan agar perempuan diberi suara dalam urusan kenegaraan serta diberi tempat
di Dewan Kota. Kiprahnya menyangkut vrouwenkiesrecht, hak pilih dan dipilih bagi perempuan. Ia
menulis banyak artikel tentang ini yang dimuat di koran setempat.

Usahanya berhasil, pada 1921 datang keputusan dari Batavia yang memperbolehkan perempuan
memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad. Setelah itu, kondisi fisik Maria menurun. Ia
meninggal karena sakit pada 22 April 1924 dalam usia 52 tahun.

Setelah Maria berpulang, banyak kemajuan yang dicapai bangsa kita, khususnya yang menyangkut
perwujudan cita-citanya. PIKAT maju pesat. Pada 1930-an, perempuan diberi kesempatan untuk duduk
dalam Locale Raden atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Maria diangkat sebagai Pahlawan Nasional
pada 20 Mei 1969. [*/NOV

5.Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad
atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan
dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada
sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan
pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps
Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe
sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.

Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia
menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara.
Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan
Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.

Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikannya
dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan Rp1.000.[1]

6.Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tanggal 4 Januari 1800 merupakan anak
sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun ketika mengikuti jejak ayahnya
memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama Kapitan Pattimura sedang mengangkat
senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan
daerah sekitarnya.

Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para Raja dan Patih bergerak ke Saparua untuk
membantu perjuangan Kapitan Pattimura sehingga tindakan Belanda yang akan mengambil alih Benteng
Beverwijk luput dari perhatian.

Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatas-namakan rakyat
menyatakan menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 Oktober 1817 Benteng Beverwijk jatuh ke tangan
Belanda tanpa perlawanan.

Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena semakin berkurangnya
persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw. Di antarapasukan itu
terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja dan Patih dari Nusalaut.

Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, namun
berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta
Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan Negeri
Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele, teriakan yang
menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.

Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru
musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi berambut panjang terurai ke
belakang dengan sehelai kain berang (kain merah) terikat di kepala.

Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusalaut untuk
menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada kaum perempuan dari Ulath dan
Ouw untuk turut mendampingi kaum laki-laki di medan pertempuran.
Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut bertempur.
Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher Meyer, Vermeulen
Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal Eversten.

Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat,
ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para Opsir
Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis.

Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan
dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw
diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.

Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam
kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura
dan tawanan lainnya.

Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes
membebaskan Martha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap
dijatuhi hukuman mati.

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan
tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang Ayah.

Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang
ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia.

Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke Nusalaut dan ditahan di
benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati bagi ayahnya.
Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat eksekusi, kemudian
Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk dan tinggal bersama guru
Soselissa.

Sepeninggal ayahnya, Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan berkeliaran seperti orang
kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu.

Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina Tiahahu beserta 39
orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara
paksa di perkebunan kopi.

Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin memburuk, ia menolak
makan dan pengobatan.

Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina Tiahahu menghembuskan
nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan militer ke
Laut Banda.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei
1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai