Setelah pada bagian sebelumnya telah dijelaskan anatomi dan kelainan pada
temporomandibular joint,maka pada bagian ini akan dijelaskan cara pemeriksaan pada
temporomandibular joint yang merupakan bagian utama dari tulisan ini.
Pemeriksaan klinis dimulai sejak pasien masuk kedalam ruangan. Penampilan secara
keseluruhan sering dapat menunjukkan kepribadiannya. Ia mungkin tenang dan dingin dalam
membicarakan gejala – gejala yang dialami atau nervus dan kurang dapat berbicara. Pasien
yang cemas cendrung gelisah duduknya, bermain – main dengan tangannya atau menggerak –
gerakkan kakinya. Kadang – kadang aktivitas parafungsional dari mandibula dapat dilihat
dengan jelas. Sebagai contoh misalnya pasien menghisap atau menggigit – gigit bibir,
menggerakkan rahang dari kiri ke kanan atau sebaliknya meletakkan tangan menyangga
dagu1.
Pemeriksaan temporomandibular joint ini dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
terhadap rentang pergerakan, bunyi sendi, rasa sakit dan nyeri dan pemeriksaan intra-oral
serta pemeriksaan radiografik.
1.Rentang Pergerakan
Pasien diminta untuk mebuka mulut lebar – lebar dan dengan bantuan sepasang kaliper atau
jangka, jarak antara tepi gigi seri atas dan bawah diukur. Nevakari (1960) melaporkan bahwa
jarak rata – rata pada pria 57,5 mm sedang pada wanita 54 mm. Dengan berdasar pada
pendapat ini, jarak lebih dari 40 mm pada orang dewasa dapat dianggap tidak normal.
Agerberg (1974) juga menemukan angka yang sama.jarak rata – rata pada pria 58,6 mm dan
pada wanita 53,3 mm. Batas terendah adalah 42 mm dan 38 mm. Tetapi penting untuk
mempertimbangkan juga kedalaman overbite yang ada. Pergerakan pada bidang horizontal
dapat diukur dengan pergeseran garis tengah insisal pada pergerakan lateral mandibula yang
eksterm ke salah satu sisi. Agerberg menemukan bahwa batas terendah dari jarak normal
adalah 5mm pada kedua jenis kelamin1.
Penyimpanagn mandibula selama gerak membuka mulut juga terlihat. Mungkin terjadi
penyimpangan ke arah atau menjauhi sisi yang terserang dengan disertai locking dan rasa
sakit. Sebagai contoh misalnya, rahang menyimpang ke arah sisi sendi yang terkunci
menunjukkan bahwa condyle yang terserang hanya merupakan komponen gerak membuka
mulut saja. Gerak meluncur ke depan tidak dapat terjadi. Sebaliknya, ada beberapa pasien
yang dapat menghasilkan bunyi dengan menggerakkan rahang menjauhi sisi yang terserang
dan kembali ke bagian tengah secara zig – zag ketika mulut dibuka lebih lebar1.
2.Bunyi Sendi
Kliking
Gejala ini paling sering menandakan adanya TMD dan dislokasi diskusi artikularis. Bunyi
kliking muncul saat rahang dibuka atau saat menutup. Umumnya bunyi tersebut hanya dapat
didengar oleh penderita, namun pada beberapa kasus, bunyi tersebut menjadi cukup keras
sehingga dapat didengar oleh orang lain. Bunyi tersebut dideskripsikan penderita sebagai
suara yang berbunyi 'klik'.
Di antara fossa dan kondil terdapat diskus yang berfungsi sebagai penyerap tekanan dan
mencegah tulang saling bergesekan ketika rahang bergerak. Bila diskus ini mengalami
dislokasi, dapat menyebabkan timbulnya bunyi saat rahang bergerak. Penyebab dislokasi bisa
trauma, kontak oklusi gigi posterior yang tidak baik atau tidak ada, dan bisa saja karena
gangguan tumbuh kembang rahang dan tulang fasial. Kondisi seperti ini dapat juga
menyebabkan sakit kepala, nyeri wajah dan teliga. Jika dibiarkan tidak dirawat, dapat
menyebabkan rahang terkunci.
Pada beberapa orang, terdapat pebedaan posisi salah satu atau kedua sendi temporomandibula
ketika beroklusi. Hal ini sering sekali terjadi pada pasien yang kehilangan gigi posteriornya.
Kepala kondil (berwarna biru) bisa saja mengalami penekanan terlalu keraas terhadap fossa
(berwarna hijau), dan menyebabkan kartilago diskusi rusak (berwarna merah). Kemudian
akan menarik ligamen terlalu kuat (berwarna kuning). Hal ini menunjukkan, bila oklusi
terlalu kuat, akan menyebabkan stress pada kedua sendi rahang.
Setiap kali terdapat kelainan posisi rahang yang disertai dengan tekanan berlebihan pada
sendi dan berkepanjangan atau terus menerus, dapat menyebabkan diskus (meniskus) robek
dan mengalami dislokasi berada didepan kondil. Dalam keadaan seperti ini, gerakan
membuka mulut menyebabkan kondil bergerak ke depan dan mendesak diskus di depannya.
Jika hal ini berkelanjutan, kondil bisa saja melompati diskus dan benturan dengan tulang
sehingga menyebabkan bunyi berupa kliking. Ini juga dapat terjadi pada gerakan sebaliknya.
Seringkali, bunyi ini tidak disertai nyeri sehingga pasien tidak menyadari bahwa bunyi
tersebut merupakan gejala suatu kelainan sendi temporomandibular5.
Krepitus
Krepitus sangat berbeda dari kliking. Krepitus merupakan bunyi mengerat atau menggesek
yang terjadi selama pergerakan mandibula, terutama pergerakan dari sisi yang satu dengan
sisi yang lain. Bunyi sering kali dapat lebih diketahui dengan perabaan dari pada
pendengaran. Hanya sedikit atau tidak ada keterangan tambahan yang diperoleh pada
penggunaan stetoskop untuk memeriksa bunyi sendi1.
Usaha dari pasien atau dokter gigi untuk membuka rahang yang terkunci akan menimbulkan
rasa sakit yang juga terasa pada sendi dan otot yang bergubungan dengannya.
Sendi dan oto diperiksa untuk mengetahui daerah – daerah yang nyeri. Setiap sendi diraba
perlahan – lahan ketika mulut digerakkan, dari depan tragus dan pada eksternal auditory
meatus.
Otot masseter dan temporalis, otot penguyah superficial mudah diraba melalui kulit dan kulit
kepala. Sebaliknya, otot petrigoid, hanya teraba secara intra-oral. Otot medial petrigoid teraba
pada permukaan dalam ramus mandibula dan kepala inferior yang besar dari lateral petrigoid,
dibelakang tuberositas maksila. Walaupun beberapa ahli menganjurkan untuk meraba
petrigoid, para ahli dewasa ini menemukan bahwa tindakan tersebut tidak memberikan
keterangan yang bermanfaat. Pemeriksaan itu sendiri sangat tidak enak bagi pasien dan sering
menyebabkan pasien mual1.
4.Pemeriksaan Intra-Oral
Pemeriksaan mulut yang meyelurh dilakukan untuk mengetahui kapasitas fungsional dari gigi
geligi. Pemeriksaan tersebut harus termasuk pemeriksaan keadaan patologi yang mungkin
merupakan penyebab dari gejala, baik sifat maupun pengaruhnya pada fungsi mandibula.
Contoh yang sering ditemukan adalah peradangan gusi pada geraham besar ketiga yang
sedang bererupsi sebagian. Rahang menyimpang untuk menghindari daerah yang sakit ini.
Gigi yang terserang periodontitis atau tambalan yang terlalu tinggi juga dapat menimbulakan
gejala yang sama1.
Bila keparahan kelainan tersebut mengurangi hasil pemeriksaan fungsional dari oklusi,
perawatan harus diarahkan untuk mengurangi gejala yang ada terlebih dahulu. Analisa dapat
dilanjutkan nanti dengan cara yang normal1.
Ada beberapa tehnik pencintraan untuk mendiagnosa kelainan sendi mulai dari foto ronsen
biasa sampai MRI, tetapi, yang akan dibahas hanya beberapa proyeksi seperti tomografi,
artgrafi, computed tomography (CT), dan MRI.
Tomography5
Tomography sendi temporomandibular dihasilkan melalui pergerakan yang sinkron antara
tabung X-ray dengan kaset film melalui titik fulkrum imaginer pada pertengahan gambaran
yang diinginkan termasuk juga Linear tomography dan complex tomography.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa tomografi merupakan metode yang baik untuk
menggambarkan perubahan tulang dengan arthrosis pada sendi temporomandibular.
Untuk mengevaluasi posisi kondil pada fossa glenoid, tomografi lebih terpercaya daripada
proyeksi biasa dan panoramik. Secara klinis, posisi kondil tetap merupakan aspek yang
penting dalam melakukan bedah orthognati and orthodontic studies. Kerugian yang paling
besar dalam tomografi adalah kurangnya visualisasi jaringan lunak sendi temporomandibular,
juga pada radiography biasa.
Arthrography5
Terdapat dua tehnik arthgraphy pada sendi temporomandibular. Pada single-contrast
arthography, media radioopak diinjeksikan ke rongga sendi atas atau bawah atau keduanya.
Pada double-contrast arthography, sedikit udara diinjeksikan ke dalam rongga sendi setelah
injeksi materi kontras.Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kedua
tehnik.
Jika sejumlah kecil bahan kontras medium air disuntikkan pada ruang superior dan inferior
sendi, diskus artikularis dan perlekatannya akan terlihatbatasnya dan posisinya bisa dilacak
sepanjang pergerakan mendibula.
Bagaimanapun, hanya ruang interior yang dibutuhkan untuk menetapkan posisi normal dan
abnormal dari diskus tehadap hubungannya dengan kondil selama translasi. Bentuk ruang
sendi (synovial cavities) akan bervariasi tergantung perubahan mulut apakah membuka atau
menutup dan kondil akan bertranslasi kedepan pada eminensia. Arthrogram ini merupakan
satu-satunya metode yang tersedia untuk melihat hubungan yang sebenarnya antara diskus
dan kondil yang dapat divisualisasikan, dan ia sangat penting untuk pnegakkan diagnosis
pada kelainan internal yang terjadi.
Keakuratan diagnosa posisi diskus 84% sampai 100% dibandingkan dengan the
corresponding cryosectional morphology dan dari penemuan bedah. Performasi dan adhesi
juga dapat ditunjukkan dengan teknik ini. Penelitian-penelitian telah menunjukkan
pentingnya diagnosis dan identifikasi kerusakan sendi temporomandibular internal. Penelitian
yang baru-baru ini dilakukan dengan menggunakan tehnik arthography, menunjukkan bahwa
arthography dapat meningkatkan keakuratan diagnosa perforasi dan adhesi diskusi Sendi
Temporomandibular dengan MRI.
Computed tomography5
Pada tahun 1980, computed tomography (CT) mulai diaplikasikan ankilosis sendi
temporomandibular, fraktur kondil, dislokasi dan perubahan osseous.
Pada laporan terdahulu, keakuratan dalam penentuan lokasi diskus tinggi (81%) jika
dibandingkan dengan CT dan penemuan bedah. Beberapa laporan mempertimbangkan bahwa
CT dapat menggantikan proyeksi arthrograpy dalam diagnosis dislokasi diskus pada kelainan
sendi temporomandibular. Bagaimanapun, keakuratan dari penentuan dislokasi diskus hanya
sekitar 40%-67% pada CT dalam studi material spesimen autopsi. Keakuratan dalam
perubahan osseus dari sendi temporomandibular dalam CT dibandingkan dengan material
cadaver sekitar 66%-87%. Beberapa laporan menunjukkan bahwa bukti arthrosis dalam
radiograf dapat atau tidak dapat dihubungkan dengan gejala klinis nyeri disfungsi. Jadi pasien
tanpa perubahan osseus changes di sendi temporomandibular, bisa saja merasa nyeri, dan
asien tanpa gejala abnormalitas tulang bisa bebas nyeri. CT bukanlah metode yang baik untuk
mendiagnosa kelainan sendi temporomandibular.
Magnetic Resonance Imaging pada sendi Temporomandibular.Beberapa penelitian telah
membandingkan MRi sendi temporomandibular dengan arthography dan CT. Hasil MRI juga
dibandingkan dengan observasi anatomi dan histologi. Pada penelitian terhadap spesimen
autopsi, keakuratan MRI mengevaluasi perubahan osseus adalah 60% sampai 100% dan
keakuratan mengevaluasi dislokasi diskus adalah 73% sampai 95. Semua penelitian diatas
menunjukkan bahwa MRI adalah metode terbaik untuk pencitraan jaringan keras dan jaringan
lunak sendi temporomandibular.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dislokasi diskus yang ditunjukkan MRI ternyata
memeliki hubungan dengan cliking, nyeri, dan gejala disfungsi Sendi Temporomandibular
lain. Setiap kali nyeri kliis dan gejala disfungsi sendi temporomandibular ditemukan tanpa
adanya dislokasi diskus pada MRI maja diduga diagnosis pencintraan tersebut false positive
atau false negative.
Walaupun beberapa penelitian menyetujui bahwa nyeri otot adalah salah satu aspek utama
kelainan TMJ, bukti perubahan patologis otot pengunyahan tidak diperhitungkan dalam
diagnosis pencitraan. Beberapa laporan menunjukkan MRI tidak hanya merupakan metode
yang akurat untuk mendeteksi posisi diskus tetapi juga merupakan teknik potensial untuk
mengevaluasi perubahan patologis oto pengunyahan pada kelainan Sendi
Temporomandibular. Akan tetapi, tidak ada laporan yang menghubungkan abnormalitas otot
penguyahan pada MRI dengan gejala klinis5.
-->
Referensi
1. Ogus , H.D dan P.A. Toller. 1990 . Gangguan Sendi Temporomandibula. Hipokrates. Jakarta
2. D, D.dixon. 1993. Anatomi untuk Kedokteran Gigi. Hipokrates. Jakarta
3. Houston, W.J.B. 1991. Diagnosis Ortodonti. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
4. http://www.scielo.br/pdf/jaos/v15n1/a16v15n1.pdf
5. http://www.PDGI online.com
6. Dara manja,cek. 2008. Bahan kuliah Radiologi Dental.
DISLOKASI TMJ
Pengertian Dislokasi Sendi Temporomandibula Dislokasi TMJ adalah
perubahan posisi kondilus terhadap fosa glenoid & terfiksasi pada
posisi yg bukan semestinya. Perubahan posisi ini disebabkan, baik
oleh trauma akut maupun trauma kronis & biasanya tidak dapat
kembalike posisi semula tanpa dilakukan manipulasi dari luar (Ogus
dkk., 1990).
Gambar 1.Potongan sagital sendi temporomandibula :
Mandibula (a) Kondilus (b) Prosesus koronoideus (c) Membrana
sinovial
(j)Diskusartikularis (k) Tuberkulum artikularis (l) Fosa glenoid (m)
Gambar
2.Posisi kondilus saat terjadinya Dislokasi Sendi Temporomandibula
A. Latar Belakang
Nyeri pada disfungsi TMJ dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya antara lain: adanya hiperfungsi atau disfungsi dari system musculoskeletal
(otot, ligamen) yang berkaitan dengan TMJ, hiperfungsi ini dapat diakibatkan dari kebiasaan-
kebiasaan buruk yang dilakukan seseorang seperti mengerat gigi, sering menguap,
mengunyah pada satu sisi, faktor degenerasi pada TMJ dapat menimbulkan gangguan fungsi
TMJ disebabkan adanya pembebanan yang terus menerus, faktor maloklusi gigi terutama
pertumbuhan gigi geraham belakang yang tidak normal dapat menyebabkan desakan yang
terus menerus serta adanya kelainan anatomi rahang dapat berakibat menimbulkan rasa nyeri
pada TMJ.
Pada diskus artikularis dapat terjadi aktifitas pergeseran yang meningkat sehingga
diskus mengalami over use menyebabkan fleksibilitas diskus menurun , bila hal ini berlanjut
dapat menyebabkan terjadinya ruptur atau inflamasi discus yang menyebabkan timbulnya
nyeri.
Pada otot terjadi hipertonus sebagai reaksi dari hiperfungsi system musculoskeletal
tersebut yang dapat menyebabkan hipertonus / spasme otot atau hipotonus yang dapat
menyebabkan terjadinya kelemahan otot dan inflamasi yang dapat menyebabkan timbulnya
nyeri.
Ligamen-ligamen yang berhubungan dengan TMJ juga akan mengalami kekakuan
sebagai akibat penekanan-penekanan dari kontraksi otot yang menyebabkan fleksibilitas dari
ligamen-ligamen tersebut akan berkurang atau menurun dapat menimbulkan kekakuan
hipomobile yang berakibat terjadi kontraktur serta menimbulkan laxity hipermobile yang
berakibat terjadi ruptur dan dapat menimbulkan rasa nyeri.
Pada saraf sensasi nyeri ditimbulkan karena adanya iskhemia lokal sebagai akibat dari
adanya hiperfungsi kontraksi otot yang kuat dan terus menerus atau mikrosirkulasi yang tidak
adekuat sebagai akibat dari disregulasi sistem simpatik dimana dengan adanya aktifasi
berlebihan pada sistem saraf simpatis akan menimbulkan mikrosirkulasi yang berakibat
nutrisi pada jaringan berkurang sehingga menyebabkan iskhemik pada jaringan tersebut maka
akan terjadi nyeri.
B. Struktur Anatomis yang Bekerja Saat Membuka Mulut
Dalam proses membuka dan menutup mulut, terdapat beberapa struktur anatomi yang
berperan yaitu otot membuka dan menutup mulut, sendi temporomandibula
(temporomandibula joint/TMJ). Otot membuka mulut terdiri dari otot pterygoideus lateralis,
dan otot suprahioid. Sedangkan otot yang berfungsi menutup mulut adalah otot master, otot
temporalis, ototpterigoideus medialis. Seperti yang terlihat pada Gambar 1.
C. Gangguan TMJ
Adapun tanda dan gejala dari gangguan TMJ adalah sebagai berikut :
1. Sakit atau gangguan yang terasa di rahang
2. Rasa sakit di sekitar telinga
3. Kesulitan menelan atau perasaan tidak nyaman ketika menelan
4. Rasa sakit di sekitar wajah
5. Suara clicking atau perasaan tidak mulus ketika mengunyah atau membuka mulut
6. Rahang terkunci, sehingga mulut sulit dibuka atau ditutup.
7. Sakit kepala
8. Gigitan yang tidak pas
9. Gigi-gigi tidak mengalami perlekatan yang sama karena ada sebagian gigi yang mengalami
kontak prematur (lebih awal dari yang lain)
Jubhari, Eri.H (2002) Proses Menua Sendi Temporomandibula pada Pemakai Gigitiruan Lengkap.
Cermin Dunia Kedokteran 137, 42-45.
Shulman DH, Shipman B, Willis FB (2009) Treating trismus with dynamic splinting: a case report.
Journal of Oral Science 51, 141-144.
Dhanrajani PJ, Jonaidel O (2002) Trismus: Aetiology, Differential Diagnosis and Treatment. Dental
Update 29, 88-94.
Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC. 1996. p. 306-309.
Kurnikasari, Erna, Perawatan Disfungsi Sendi Temporomandibula Secara Paripurna. FKG Unpad.
Louhenapessy J, Kaelani Y. Analisa Kelelahan Material Condylar Prosthesis dari Groningen
Temporomandibular Joint Prosthesis Menggunakan Metode Elemen Hingga. ITS Surabaya.
Schwartz, MW. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.2004.