Anda di halaman 1dari 14

PEMERIKSAAN TEMPOROMANDIBULAR JOINT

Setelah pada bagian sebelumnya telah dijelaskan anatomi dan kelainan pada
temporomandibular joint,maka pada bagian ini akan dijelaskan cara pemeriksaan pada
temporomandibular joint yang merupakan bagian utama dari tulisan ini.
Pemeriksaan klinis dimulai sejak pasien masuk kedalam ruangan. Penampilan secara
keseluruhan sering dapat menunjukkan kepribadiannya. Ia mungkin tenang dan dingin dalam
membicarakan gejala – gejala yang dialami atau nervus dan kurang dapat berbicara. Pasien
yang cemas cendrung gelisah duduknya, bermain – main dengan tangannya atau menggerak –
gerakkan kakinya. Kadang – kadang aktivitas parafungsional dari mandibula dapat dilihat
dengan jelas. Sebagai contoh misalnya pasien menghisap atau menggigit – gigit bibir,
menggerakkan rahang dari kiri ke kanan atau sebaliknya meletakkan tangan menyangga
dagu1.
Pemeriksaan temporomandibular joint ini dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
terhadap rentang pergerakan, bunyi sendi, rasa sakit dan nyeri dan pemeriksaan intra-oral
serta pemeriksaan radiografik.

1.Rentang Pergerakan
Pasien diminta untuk mebuka mulut lebar – lebar dan dengan bantuan sepasang kaliper atau
jangka, jarak antara tepi gigi seri atas dan bawah diukur. Nevakari (1960) melaporkan bahwa
jarak rata – rata pada pria 57,5 mm sedang pada wanita 54 mm. Dengan berdasar pada
pendapat ini, jarak lebih dari 40 mm pada orang dewasa dapat dianggap tidak normal.
Agerberg (1974) juga menemukan angka yang sama.jarak rata – rata pada pria 58,6 mm dan
pada wanita 53,3 mm. Batas terendah adalah 42 mm dan 38 mm. Tetapi penting untuk
mempertimbangkan juga kedalaman overbite yang ada. Pergerakan pada bidang horizontal
dapat diukur dengan pergeseran garis tengah insisal pada pergerakan lateral mandibula yang
eksterm ke salah satu sisi. Agerberg menemukan bahwa batas terendah dari jarak normal
adalah 5mm pada kedua jenis kelamin1.
Penyimpanagn mandibula selama gerak membuka mulut juga terlihat. Mungkin terjadi
penyimpangan ke arah atau menjauhi sisi yang terserang dengan disertai locking dan rasa
sakit. Sebagai contoh misalnya, rahang menyimpang ke arah sisi sendi yang terkunci
menunjukkan bahwa condyle yang terserang hanya merupakan komponen gerak membuka
mulut saja. Gerak meluncur ke depan tidak dapat terjadi. Sebaliknya, ada beberapa pasien
yang dapat menghasilkan bunyi dengan menggerakkan rahang menjauhi sisi yang terserang
dan kembali ke bagian tengah secara zig – zag ketika mulut dibuka lebih lebar1.

2.Bunyi Sendi
Kliking
Gejala ini paling sering menandakan adanya TMD dan dislokasi diskusi artikularis. Bunyi
kliking muncul saat rahang dibuka atau saat menutup. Umumnya bunyi tersebut hanya dapat
didengar oleh penderita, namun pada beberapa kasus, bunyi tersebut menjadi cukup keras
sehingga dapat didengar oleh orang lain. Bunyi tersebut dideskripsikan penderita sebagai
suara yang berbunyi 'klik'.
Di antara fossa dan kondil terdapat diskus yang berfungsi sebagai penyerap tekanan dan
mencegah tulang saling bergesekan ketika rahang bergerak. Bila diskus ini mengalami
dislokasi, dapat menyebabkan timbulnya bunyi saat rahang bergerak. Penyebab dislokasi bisa
trauma, kontak oklusi gigi posterior yang tidak baik atau tidak ada, dan bisa saja karena
gangguan tumbuh kembang rahang dan tulang fasial. Kondisi seperti ini dapat juga
menyebabkan sakit kepala, nyeri wajah dan teliga. Jika dibiarkan tidak dirawat, dapat
menyebabkan rahang terkunci.
Pada beberapa orang, terdapat pebedaan posisi salah satu atau kedua sendi temporomandibula
ketika beroklusi. Hal ini sering sekali terjadi pada pasien yang kehilangan gigi posteriornya.
Kepala kondil (berwarna biru) bisa saja mengalami penekanan terlalu keraas terhadap fossa
(berwarna hijau), dan menyebabkan kartilago diskusi rusak (berwarna merah). Kemudian
akan menarik ligamen terlalu kuat (berwarna kuning). Hal ini menunjukkan, bila oklusi
terlalu kuat, akan menyebabkan stress pada kedua sendi rahang.
Setiap kali terdapat kelainan posisi rahang yang disertai dengan tekanan berlebihan pada
sendi dan berkepanjangan atau terus menerus, dapat menyebabkan diskus (meniskus) robek
dan mengalami dislokasi berada didepan kondil. Dalam keadaan seperti ini, gerakan
membuka mulut menyebabkan kondil bergerak ke depan dan mendesak diskus di depannya.
Jika hal ini berkelanjutan, kondil bisa saja melompati diskus dan benturan dengan tulang
sehingga menyebabkan bunyi berupa kliking. Ini juga dapat terjadi pada gerakan sebaliknya.
Seringkali, bunyi ini tidak disertai nyeri sehingga pasien tidak menyadari bahwa bunyi
tersebut merupakan gejala suatu kelainan sendi temporomandibular5.

Krepitus
Krepitus sangat berbeda dari kliking. Krepitus merupakan bunyi mengerat atau menggesek
yang terjadi selama pergerakan mandibula, terutama pergerakan dari sisi yang satu dengan
sisi yang lain. Bunyi sering kali dapat lebih diketahui dengan perabaan dari pada
pendengaran. Hanya sedikit atau tidak ada keterangan tambahan yang diperoleh pada
penggunaan stetoskop untuk memeriksa bunyi sendi1.

3.Rasa Sakit dan Nyeri

Usaha dari pasien atau dokter gigi untuk membuka rahang yang terkunci akan menimbulkan
rasa sakit yang juga terasa pada sendi dan otot yang bergubungan dengannya.

Sendi dan oto diperiksa untuk mengetahui daerah – daerah yang nyeri. Setiap sendi diraba
perlahan – lahan ketika mulut digerakkan, dari depan tragus dan pada eksternal auditory
meatus.

Otot masseter dan temporalis, otot penguyah superficial mudah diraba melalui kulit dan kulit
kepala. Sebaliknya, otot petrigoid, hanya teraba secara intra-oral. Otot medial petrigoid teraba
pada permukaan dalam ramus mandibula dan kepala inferior yang besar dari lateral petrigoid,
dibelakang tuberositas maksila. Walaupun beberapa ahli menganjurkan untuk meraba
petrigoid, para ahli dewasa ini menemukan bahwa tindakan tersebut tidak memberikan
keterangan yang bermanfaat. Pemeriksaan itu sendiri sangat tidak enak bagi pasien dan sering
menyebabkan pasien mual1.

4.Pemeriksaan Intra-Oral

Pemeriksaan mulut yang meyelurh dilakukan untuk mengetahui kapasitas fungsional dari gigi
geligi. Pemeriksaan tersebut harus termasuk pemeriksaan keadaan patologi yang mungkin
merupakan penyebab dari gejala, baik sifat maupun pengaruhnya pada fungsi mandibula.
Contoh yang sering ditemukan adalah peradangan gusi pada geraham besar ketiga yang
sedang bererupsi sebagian. Rahang menyimpang untuk menghindari daerah yang sakit ini.
Gigi yang terserang periodontitis atau tambalan yang terlalu tinggi juga dapat menimbulakan
gejala yang sama1.

Faktor –faktor berikut harus diperhatikan :


1. Hubungan Oklusi.
2. Freeway space.
3. Overjet dan overbite.
4. Gigi yang tanggal.
5. Protesa, bila ada.
6. Atrisi dan bekas abrasi.
7. Kontak gigi prematur1.

Bila keparahan kelainan tersebut mengurangi hasil pemeriksaan fungsional dari oklusi,
perawatan harus diarahkan untuk mengurangi gejala yang ada terlebih dahulu. Analisa dapat
dilanjutkan nanti dengan cara yang normal1.

5.Pemeriksaan radigrafik sendi temporomandibular

Ada beberapa tehnik pencintraan untuk mendiagnosa kelainan sendi mulai dari foto ronsen
biasa sampai MRI, tetapi, yang akan dibahas hanya beberapa proyeksi seperti tomografi,
artgrafi, computed tomography (CT), dan MRI.

Tomography5
Tomography sendi temporomandibular dihasilkan melalui pergerakan yang sinkron antara
tabung X-ray dengan kaset film melalui titik fulkrum imaginer pada pertengahan gambaran
yang diinginkan termasuk juga Linear tomography dan complex tomography.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa tomografi merupakan metode yang baik untuk
menggambarkan perubahan tulang dengan arthrosis pada sendi temporomandibular.
Untuk mengevaluasi posisi kondil pada fossa glenoid, tomografi lebih terpercaya daripada
proyeksi biasa dan panoramik. Secara klinis, posisi kondil tetap merupakan aspek yang
penting dalam melakukan bedah orthognati and orthodontic studies. Kerugian yang paling
besar dalam tomografi adalah kurangnya visualisasi jaringan lunak sendi temporomandibular,
juga pada radiography biasa.

Arthrography5
Terdapat dua tehnik arthgraphy pada sendi temporomandibular. Pada single-contrast
arthography, media radioopak diinjeksikan ke rongga sendi atas atau bawah atau keduanya.
Pada double-contrast arthography, sedikit udara diinjeksikan ke dalam rongga sendi setelah
injeksi materi kontras.Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kedua
tehnik.
Jika sejumlah kecil bahan kontras medium air disuntikkan pada ruang superior dan inferior
sendi, diskus artikularis dan perlekatannya akan terlihatbatasnya dan posisinya bisa dilacak
sepanjang pergerakan mendibula.
Bagaimanapun, hanya ruang interior yang dibutuhkan untuk menetapkan posisi normal dan
abnormal dari diskus tehadap hubungannya dengan kondil selama translasi. Bentuk ruang
sendi (synovial cavities) akan bervariasi tergantung perubahan mulut apakah membuka atau
menutup dan kondil akan bertranslasi kedepan pada eminensia. Arthrogram ini merupakan
satu-satunya metode yang tersedia untuk melihat hubungan yang sebenarnya antara diskus
dan kondil yang dapat divisualisasikan, dan ia sangat penting untuk pnegakkan diagnosis
pada kelainan internal yang terjadi.
Keakuratan diagnosa posisi diskus 84% sampai 100% dibandingkan dengan the
corresponding cryosectional morphology dan dari penemuan bedah. Performasi dan adhesi
juga dapat ditunjukkan dengan teknik ini. Penelitian-penelitian telah menunjukkan
pentingnya diagnosis dan identifikasi kerusakan sendi temporomandibular internal. Penelitian
yang baru-baru ini dilakukan dengan menggunakan tehnik arthography, menunjukkan bahwa
arthography dapat meningkatkan keakuratan diagnosa perforasi dan adhesi diskusi Sendi
Temporomandibular dengan MRI.

Computed tomography5
Pada tahun 1980, computed tomography (CT) mulai diaplikasikan ankilosis sendi
temporomandibular, fraktur kondil, dislokasi dan perubahan osseous.
Pada laporan terdahulu, keakuratan dalam penentuan lokasi diskus tinggi (81%) jika
dibandingkan dengan CT dan penemuan bedah. Beberapa laporan mempertimbangkan bahwa
CT dapat menggantikan proyeksi arthrograpy dalam diagnosis dislokasi diskus pada kelainan
sendi temporomandibular. Bagaimanapun, keakuratan dari penentuan dislokasi diskus hanya
sekitar 40%-67% pada CT dalam studi material spesimen autopsi. Keakuratan dalam
perubahan osseus dari sendi temporomandibular dalam CT dibandingkan dengan material
cadaver sekitar 66%-87%. Beberapa laporan menunjukkan bahwa bukti arthrosis dalam
radiograf dapat atau tidak dapat dihubungkan dengan gejala klinis nyeri disfungsi. Jadi pasien
tanpa perubahan osseus changes di sendi temporomandibular, bisa saja merasa nyeri, dan
asien tanpa gejala abnormalitas tulang bisa bebas nyeri. CT bukanlah metode yang baik untuk
mendiagnosa kelainan sendi temporomandibular.
Magnetic Resonance Imaging pada sendi Temporomandibular.Beberapa penelitian telah
membandingkan MRi sendi temporomandibular dengan arthography dan CT. Hasil MRI juga
dibandingkan dengan observasi anatomi dan histologi. Pada penelitian terhadap spesimen
autopsi, keakuratan MRI mengevaluasi perubahan osseus adalah 60% sampai 100% dan
keakuratan mengevaluasi dislokasi diskus adalah 73% sampai 95. Semua penelitian diatas
menunjukkan bahwa MRI adalah metode terbaik untuk pencitraan jaringan keras dan jaringan
lunak sendi temporomandibular.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dislokasi diskus yang ditunjukkan MRI ternyata
memeliki hubungan dengan cliking, nyeri, dan gejala disfungsi Sendi Temporomandibular
lain. Setiap kali nyeri kliis dan gejala disfungsi sendi temporomandibular ditemukan tanpa
adanya dislokasi diskus pada MRI maja diduga diagnosis pencintraan tersebut false positive
atau false negative.
Walaupun beberapa penelitian menyetujui bahwa nyeri otot adalah salah satu aspek utama
kelainan TMJ, bukti perubahan patologis otot pengunyahan tidak diperhitungkan dalam
diagnosis pencitraan. Beberapa laporan menunjukkan MRI tidak hanya merupakan metode
yang akurat untuk mendeteksi posisi diskus tetapi juga merupakan teknik potensial untuk
mengevaluasi perubahan patologis oto pengunyahan pada kelainan Sendi
Temporomandibular. Akan tetapi, tidak ada laporan yang menghubungkan abnormalitas otot
penguyahan pada MRI dengan gejala klinis5.

-->
Referensi
1. Ogus , H.D dan P.A. Toller. 1990 . Gangguan Sendi Temporomandibula. Hipokrates. Jakarta
2. D, D.dixon. 1993. Anatomi untuk Kedokteran Gigi. Hipokrates. Jakarta
3. Houston, W.J.B. 1991. Diagnosis Ortodonti. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta
4. http://www.scielo.br/pdf/jaos/v15n1/a16v15n1.pdf
5. http://www.PDGI online.com
6. Dara manja,cek. 2008. Bahan kuliah Radiologi Dental.
DISLOKASI TMJ
Pengertian Dislokasi Sendi Temporomandibula Dislokasi TMJ adalah
perubahan posisi kondilus terhadap fosa glenoid & terfiksasi pada
posisi yg bukan semestinya. Perubahan posisi ini disebabkan, baik
oleh trauma akut maupun trauma kronis & biasanya tidak dapat
kembalike posisi semula tanpa dilakukan manipulasi dari luar (Ogus
dkk., 1990).
Gambar 1.Potongan sagital sendi temporomandibula :
Mandibula (a) Kondilus (b) Prosesus koronoideus (c) Membrana
sinovial
(j)Diskusartikularis (k) Tuberkulum artikularis (l) Fosa glenoid (m)
Gambar
2.Posisi kondilus saat terjadinya Dislokasi Sendi Temporomandibula

Klasifikasi Dislokasi TMJ



Berdasarkan arah Dislokasi :
- Ke arah anterior (“forward dislocation”).
- Ke arah posterior (“backward dislocation”).
- Ke arah superior/kranial (“upward dislocation”).
- Ke arah medial/lateral (“outward dislocation”).

Berdasarkan saat kejadiannya :
- Terjadi akibat trauma (dislokasi traumatik).
- Terjadi secara spontan : disebabkan adanya kelainan anatomis
&fungsi TMJ.
Berdasarkan perjalanannya :
- Dislokasi akut : identik dgn dislokasi traumatik, terjadi mendadak &
baru pertama kali
dialami.
- Dislokasi kronis : dislokasi yg telah berlangsung lama.
- Dislokasi kronis rekurent : identik dgn dislokasi spontan, sering
kambuh.

Berdasarkan posisinya :
- Dislokasi unilateral (satu sisi).
- Dislokasi bilateral (dua sisi).
Gangguan Temporomandibular Joint

A. Latar Belakang

Nyeri pada disfungsi TMJ dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya antara lain: adanya hiperfungsi atau disfungsi dari system musculoskeletal
(otot, ligamen) yang berkaitan dengan TMJ, hiperfungsi ini dapat diakibatkan dari kebiasaan-
kebiasaan buruk yang dilakukan seseorang seperti mengerat gigi, sering menguap,
mengunyah pada satu sisi, faktor degenerasi pada TMJ dapat menimbulkan gangguan fungsi
TMJ disebabkan adanya pembebanan yang terus menerus, faktor maloklusi gigi terutama
pertumbuhan gigi geraham belakang yang tidak normal dapat menyebabkan desakan yang
terus menerus serta adanya kelainan anatomi rahang dapat berakibat menimbulkan rasa nyeri
pada TMJ.
Pada diskus artikularis dapat terjadi aktifitas pergeseran yang meningkat sehingga
diskus mengalami over use menyebabkan fleksibilitas diskus menurun , bila hal ini berlanjut
dapat menyebabkan terjadinya ruptur atau inflamasi discus yang menyebabkan timbulnya
nyeri.
Pada otot terjadi hipertonus sebagai reaksi dari hiperfungsi system musculoskeletal
tersebut yang dapat menyebabkan hipertonus / spasme otot atau hipotonus yang dapat
menyebabkan terjadinya kelemahan otot dan inflamasi yang dapat menyebabkan timbulnya
nyeri.
Ligamen-ligamen yang berhubungan dengan TMJ juga akan mengalami kekakuan
sebagai akibat penekanan-penekanan dari kontraksi otot yang menyebabkan fleksibilitas dari
ligamen-ligamen tersebut akan berkurang atau menurun dapat menimbulkan kekakuan
hipomobile yang berakibat terjadi kontraktur serta menimbulkan laxity hipermobile yang
berakibat terjadi ruptur dan dapat menimbulkan rasa nyeri.
Pada saraf sensasi nyeri ditimbulkan karena adanya iskhemia lokal sebagai akibat dari
adanya hiperfungsi kontraksi otot yang kuat dan terus menerus atau mikrosirkulasi yang tidak
adekuat sebagai akibat dari disregulasi sistem simpatik dimana dengan adanya aktifasi
berlebihan pada sistem saraf simpatis akan menimbulkan mikrosirkulasi yang berakibat
nutrisi pada jaringan berkurang sehingga menyebabkan iskhemik pada jaringan tersebut maka
akan terjadi nyeri.
B. Struktur Anatomis yang Bekerja Saat Membuka Mulut

Dalam proses membuka dan menutup mulut, terdapat beberapa struktur anatomi yang
berperan yaitu otot membuka dan menutup mulut, sendi temporomandibula
(temporomandibula joint/TMJ). Otot membuka mulut terdiri dari otot pterygoideus lateralis,
dan otot suprahioid. Sedangkan otot yang berfungsi menutup mulut adalah otot master, otot
temporalis, ototpterigoideus medialis. Seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur anatomi saat membuka mulut

Temporomandibular joint ( TMJ ) adalah persendiaan dari kondilus mandibula dengan


fossa gleinodalis dari tulang temporal. Temporomandibula merupakan sendi yang
bertanggung jawab terhadap pergerakan membuka dan menutup rahang mengunyah dan
berbicara yang letaknya dibawah depan telinga (Gambar 2).
Gambar 2. Temporomandibular Joint

Membuka dan menutup mulut merupakan gerakan disadari. Sebagaimana diketahui


bersama bahwa terjadinya gerakan merupakan kerja motorik dari otot. Dalam hal ini, yang
berfungsi untuk mengatur pergerakan TMJ dan musculus sekitar TMJ ialah sistem saraf.
Inervasi pada daerah temporomandibula ialah N.Trigeminus (N.V)

C. Gangguan TMJ

Sendi temporomandibula merupakan satu-satunya sendi di kepala, sehingga bila


terjadi sesuatu pada salah satu sendi ini, maka seseorang mengalami masalah yang serius.
Masalah tersebut berupa nyeri saat membuka, menutup mulut, makan, mengunyah, berbicara,
bahkan dapat menyebabkan mulut terkunci. Kelainan sendi temporomandibula disebut
dengan disfungsi temporomandibular. Salah satu gejala kelainan ini munculnya bunyi saat
rahang membuka dan menutup. Bunyi ini disebut dengan clicking yang seringkali, tidak
disertai nyeri sehingga pasien tidak menyadari adanya kelainan sendi temporomandibular.
Gangguan temporomandibular (temporomandibular disorder; TMD) adalah istilah
yang luas, dengan dibagi menjadi penyakit sendi yang sesungguhnya (true joint disease;
TMJ) dan sindroma nyeri / disfungsi miofasial (myofascial pain/ dysfunction syndrome;
MPD).
Istilah gangguan sendi temporomandibular (temporomandibular joint; TMJ) secara
salah untuk menggambarkan keadaan sendi sendiri bukan merupakan sumber utama
disfungsi. Gangguan musculoskeletal, dibandingkan dengan penyakit sendi, lebih sering
merupakan sumber gejala dan keluhan di rahang atau daerah pembiasan di kepala dan leher.
Keluhan ini dapat berupa nyeri di wajah, leher, bahu, dan punggung; nyeri kepala;
ketidakmampuan menemukan posisi istirahat bagi rahang; kesulitan membuka mulut; dan
nyeri pada pengunyahan.
Etiologi disfungsi temporomandibula sampai saat ini masih banyak diperdebatkan dan
multifaktorial, beberapa penulis menyatakan sebagai berikut.
Stress emosional merupakan penyebab utama disfungsi temporomandibula. Factor
factor etiologi disfungsi sendi dibagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu :
1. Faktor predisposisi
Merupakan factor yang meningkatkan resiko terjadinya dsifungsi sendi. Terdiri dari :
a. Keadaan sistemik. Penyakit sistemik yang sering menimbulkan gangguan sendi
temporomandibula adalah rematik
b. Keadaan structural. Keadaan structural yang mempengaruhi sendi temporomandibular adalah
oklusi dan anatomi sendi, meliputi :
1) Hilangnya gigi posterior openbite anterior
2) Impaksi molar 3
3) Overbite yang lebih dari 6-7 mm, dll
2. Faktor inisiasi (presipitasi)
Merupakan factor yang memicu terjadinya gejala-gejala disfungsi sendi
temporomandibula misalnya kebiasaan parafungsi oral dan trauma yang diterima sendi
temporomandibula. Trauma pada dagu dapat menimbulkan traumatic atritis sendi
temporomandibula.
Beberapa tipe parafungsi oral seperti kebiasaan menggigit pipi, bibir, dan kuku dapat
menimbulkan kelelahan otot, nyeri wajah, dan keausan pada gigi-gigi.
Kebiasaan menerima telepon dengan gagang telepon disimpan antara telinga dan bahu,
posisi duduk atau berdiri/berjalan dengan kepala lebih ke depan dapat mengakibatkan
kelainan fungsi fascia otot, karena seluruh fascia dalam tubuh saling memiliki keterkaitan
maka adanya kelainan pada salah satu organ tubuh mengakibatkan kelainan pada organ
lainnya
3. Factor Perpetuasi
Merupakan factor etiologi dalam gangguan sendi temporomandibula yang
menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan sehingga gangguan ini bersifat menetap,
meliputi tingkah laku sosial, kondisi emosional, dan pengaruh lingkungan sekitar.

Adapun tanda dan gejala dari gangguan TMJ adalah sebagai berikut :
1. Sakit atau gangguan yang terasa di rahang
2. Rasa sakit di sekitar telinga
3. Kesulitan menelan atau perasaan tidak nyaman ketika menelan
4. Rasa sakit di sekitar wajah
5. Suara clicking atau perasaan tidak mulus ketika mengunyah atau membuka mulut
6. Rahang terkunci, sehingga mulut sulit dibuka atau ditutup.
7. Sakit kepala
8. Gigitan yang tidak pas
9. Gigi-gigi tidak mengalami perlekatan yang sama karena ada sebagian gigi yang mengalami
kontak prematur (lebih awal dari yang lain)

D. Pemeriksaan Klinis dan Diagnosis Gangguan TMJ

Pemeriksaan klinis untuk pasien dengan kemungkinan gangguan fungsi/penyakit TMJ


sebagian besar didasarkan atas pengamatan/ pemanfaatan, palpasi dan auskultasi.
1. Oklusi.
Gangguan oklusi secara umum bisa langsung diperiksa, yaitu misalnya gigitan silang
(crossbite), gigitan dalam (deep overbite), gigi supra erupsi dan daerah tak bergigi yang tidak
direstorasi, adanya bruxism.
2. Pembukaan antar insisal
Pembukaan antar insisal bervariasi lebarnnya, tetapi biasanya pada orang dewasa
sekitar 40 hingga 50 mm.
3. Pergerakan lain
Pergeseran lateral juga diukur, biasanya pada titik atau garis tengah, dan dibandingkan
kesimetrisannya (angka yang didapat biasanya 8 hingga 10 mm). gangguan internal misalnya
dislokasi discus, akan membatasi pergeseran ke sisi yang berlawanan.
4. Palpasi
Palpasi otot pengunyahan secara bimanual, terutama otot maseter dan temporalis serta
otot leher dan bahu.

Dalam mendiagnosis pasien diperlukan riwayat yang menyeluruh. Keluhan utama


yang paling sering dirasakan pada penyakit/gangguan fungsi sendi temporomandibula adalah
rasa nyeri dan rasa tidak enak, yang disertai dengan kliking atau keluhan sendi lainnya.
1. Rasa sakit/nyeri. Bila pasien merasakan adanya rasa nyeri, maka yang paling penting untuk
diketahui adalah lokasi, sifat, dan lama terjadinya rasa nyeri/sakit tersebut.
2. Bunyi sendi. Jika pasien mengeluh adanya bunyi sendi atau kliking (suara berkeretak), maka
saat timbulnya dan perubahan pada suara sendi tersebut merupakan informasi yang perlu
diketahui.
3. Perubahan luas pergerakan. Penyembuhan kliking seringkali diikuti oleh keluhan baru, yaitu
nyeri akut dan berkurangnya luas pergerakan yang nyata, khususnya pada jarak antar insisal,
dimana penemuan inimerupakan petunjuk utama terjadinya closed lock.
4. Perubahan oklusi. Beberapa penderita mengeluhkan perubahan gigitan. Keluhan ini dapat
merupakan tanda terjadinya perubahan degenerative tingkat lanjut atau spasme otot akut.
5. Informasi keadaan kolateral. Setelah riwayat utama diperiksa secara menyeluruh, selanjutnya
dapat dikumpulkan informasi keadaan kolateral. Kondisi-kondisi lain yang mengenai kepala
dan leher, seperti sinusitis akut atau kronis, sakit pada telinga, dll.
6. Perawatan sebelumnya. Kronologi perawatan sebelumnya baik pemberian obat, mekanis,
maupun secara bedah juga dicatat.
7. Stress. Untuk menentukan dengan tepat keadaan emosional pasien biasanya dibutuhkan
beberapa kunjungan dengan kemungkinan pengiriman/rujukan untuk evaluasi psikologis, dan
terapi control stress selanjutnya.

E. Dampak Gangguan TMJ

1. Permasalahan dalam proses makan


Berkurangnya kemampuan membuka mulut menyebabkan berkurangnya asupan
nutrisi penderita trismus. Penderita tidak sanggup memakan makanan dalam porsi yang biasa.
Penderita biasanya akan mengalami penurunan berat badan dan mengalami kekurangan gizi.
Hal ini perlu diperhatikan bila penderita tersebut membutuhkan suatu proses penyembuhan
setelah menjalani proses pembedahan, khemoterapi, atau radiasi. Kehilangan berat badan
sebesar 10 % dari berat badan awal memiliki indikasi terjadi intake gizi dan kalori yang
kurang pada penderita.
Masalah di atas juga timbul akibat gangguan menelan pada penderita trismus, hal
tersebut berhubungan dengan pembentukan bolus makanan yang terganggu akibat proses
salivasi dan pergerakan lidah yang tidak sempurna. Selain itu akan banyak ditemukan sisa
makanan yang tidak seluruhnya ditelan. Kombinasi dari gangguan pada otot mastikasi,
pembentukan bolus yang tidak sempurna dan peningkatan dari sisa makanan akan
menyebabkan aspirasi dari sisa makanan tersebut.

2. Permasalahan dalam kesehatan gigi dan mulut


Gangguan dalam membuka mulut akan dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan
gigi dan mulut. Kesehatan gigi dan mulut yang jelek akan dapat menimbulkan karies yang
dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi yang lebih lanjut terutama pada mandibula
akan menyebabkan terjadinya osteoradionekrosis. Osteoradionekrosis ini terdapat pada
penderita kanker yang menjalani terapi pada mandibula. Meskipun jarang terjadi, gangguan
ini dapat mengganggu fungsi rahang dan menjadi fatal. Hal ini terjadi akibat matinya jaringan
tulang mandibula oleh radiasi. Pada keadaan ini terapi yang dibutuhkan adalah oksigen
hiperbarik.

3. Permasalahan dalam proses menelan dan berbicara.


Kebanyakan dari penderita trismus akan mengalami gangguan menelan dan berbicara.
Berbicara akan terganggu jika mulut tidak dapat terbuka secara normal sehingga bunyi yang
dihasilkan tidak akan sempurna. Proses menelan akan terganggu jika otot mengalami
kerusakan, laring tidak akan sanggup dielevasikan secara sempurna saat bolus makanan
melaluinya.

4. Permasalahan akibat immobilasi sambungan rahang


Meskipun gejala utama trismus adalah ketidakmampuan dalam membuka mulut, hal
lain yang sangat perlu mendapat perhatian adalah permasalahan pada temporomadibular
joint. Saat temporomadibular joint mengalami immobilisasi, proses degeneratif akan timbul
pada sambungan tersebut, perubahan ini hampir mirip dengan perubahan yang terjadi pada
proses artritis, dan biasanya akan diikuti oleh nyeri dan proses inflamasi. Jika tidak ditangani
segera proses ini akan terus berlanjut dan kerusakan akan menjadi permanen. Dan juga akan
dapat timbul proses degenarasi pada otot-otot pengunyah sehingga jika terus berlanjut akan
menimbulkan atropi pada otot tersebut.

F. Respon Imunitas Rongga Mulut


Saat terjadi trismus yang salah satunya disebabkan oleh inflamasi bakteri, tubuh akan
merespon dengan respon inflamasi salah satunya edema yang ditunjukkan oleh adanya
bengkak. Dimana, edema ini kemungkinan berada pada M.Pterygoideus medialis sehingga
menyebabkan trismus.

G. Pencegahan dan Penanganan Gangguan TMJ

Dalam melakukan perawatan terhadap gangguan TMJ sangatlah rumit. Namun


perawatan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara. Perawatan
sendiri/fisioterapi/terapi fisik:Pasien dapat melakukan sendiri kompres dengan lap panas.
Caranya : di atas lap diletakkan botol berisi air panas, lama terapi 10-15 menit dilakukan
terus-menerus sekurang-kurangnya 3 minggu. Pemijatan sekitar sendi, sebelumnya dengan
krim mengandung metal salisilat. Latihan membuka dan menutup mulut secara perlahan
tenpa terjadi deviasi, dilakukan di depan cermin. Caranya: garis median pasien ditandai, lalu
pasien disuruh membuka-menutup mulut di depan cermin tanpa terjadi penyimpangan garis
median. Fisioterapi dengan alat seperti Infrared yang berguna untuk menghilangkan nyeri,
relaksasi otot superficial, menaikan aliran dara superficial, dll.
Perawatan dengan Obat Analgetik seperti Aspirin, Asetaminophen, Ibuprofen ; Anti
inflamasi seperti Naproxen dan Ibuprofen ; dll.
Memakai alat di dalam mulut Splin oklusal atau Michigan splin. Fungsi splin oklusal
adalah menghilangkan gangguan oklusi, mensatbilkan hubungan gigi dan sendi, merlaksasi
otot, menghilangkan kebiasaan parafungsi, melindungi abrasi terhadap gigi, mengurangi
beban sendi temporomandibula, menghilangkan rasa nyeri akibat disfungsi sendi
temporomandibula berikut otot-ototnya, sebagai alat diagnostic untuk memastikan bahwa
oklusi lah yang menyebabkan rasa nyeri dan gejala-gejala yang sulit diketahui sumbernya.
Bila gejala-gejala gangguan sendi temporomandibula sudah hilang pada pasien dan
posisi kondilus sudah stabil pada tempatnya, otot-otot pengunyahan sudah normal, kondisi
psikologik pasien sudah stabil, postur tubuh sudah normal maka dapat dilakukan perawatan
berikutnya yaitu perawatan ortodontik, pembuatan gigi tiruan cekat, pembuatan gigi tiruan
lepasan (jika memang dibutuhkan).
DAFTAR PUSTAKA

Jubhari, Eri.H (2002) Proses Menua Sendi Temporomandibula pada Pemakai Gigitiruan Lengkap.
Cermin Dunia Kedokteran 137, 42-45.
Shulman DH, Shipman B, Willis FB (2009) Treating trismus with dynamic splinting: a case report.
Journal of Oral Science 51, 141-144.
Dhanrajani PJ, Jonaidel O (2002) Trismus: Aetiology, Differential Diagnosis and Treatment. Dental
Update 29, 88-94.
Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC. 1996. p. 306-309.
Kurnikasari, Erna, Perawatan Disfungsi Sendi Temporomandibula Secara Paripurna. FKG Unpad.
Louhenapessy J, Kaelani Y. Analisa Kelelahan Material Condylar Prosthesis dari Groningen
Temporomandibular Joint Prosthesis Menggunakan Metode Elemen Hingga. ITS Surabaya.
Schwartz, MW. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.2004.

Anda mungkin juga menyukai