Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Decompression sickness atau dalam Bahasa Indonesia disebut penyakit dekompresi, ini
merupakan suatu kecelakaan yang timbul akibat penurunan tekanan lingkungan yang mendadak.
Hal ini biasanya terjadi pada penyelam yang naik ke permukaan secara cepat tanpa
mempertimbangkan tekanan disetiap meter ketika menuju ke permukaan. Penyakit ini memiliki
gold period yaitu 24 jam setelah kejadian.
RUBT (Ruang Udara Bertekanan Tinggi) atau juga disebut ruang hiperbaric merupakan terapi di
mana penderita harus ada disuatu ruangan bertekanan tinggi dan bernafas dengan oksigen murni
(100%) pada tekanan udara lebih besar dari pada udara atmosfer normal. Terapi hiperbaric
merupakan salah satu terapi yang diberikan pada penderita decompression sickness, untuk
mengurangi kandungan nitrogen dalam tubuh.

Tidak banyak juga pembahasan ataupun jurnal yang membahas mengenai penyakit dekompresi.
Terjadinya penyakit dekompresi (DCS) sangat jarang terjadi dan jumlah penyelam aktif di seluruh
dunia tidak diketahui. Menurut South Pacific Underwater Medicine Society (SPUMS) dan
European Underwater and Baromedical Society dalam Obat Menyelam dan Hiperbarik yang baru
dikeluarkan, tingkat perkiraan penyakit dekompresi sekitar 2,8 kasus dari 10.000 kali penyelaman.
Mereka melihat bahwa kejadian di penyelam gua lebih rendah dari jumlah kasus yang diharapkan.
Praktik dan pelatihan selam yang tepat harus dipertimbangkan untuk pencegahan DCS. (Pulley.
2012 dalam Christina L. Javier. Decompression of Sickness)

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin mengetahui bagamana konsep medis
dari penyakit dekompresi (Decompression Sickness) dan bagamana asuhan keperawatan dari
penyakit dekompresi.

1
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Pembaca dapat memahami Asuhan Keperawatan pada Klien Decompression Sickness.

2. Tujuan Khusus
a. Pembaca mengetahui pengertian decompression sickness
b. Pembaca mengetahui faktor risiko decompression sickness
c. Pembaca mengetahui etiologi decompression sickness
d. Pembaca mengetahui klasifikasi decompression sickness
e. Pembaca mengetahui patofisiologi decompression sickness
f. Pembaca mengetahui manifestasi klinis decompression sickness
g. Pembaca mengetahui pemeriksaan penunjang decompression sickness
h. Pembaca mengetahui komplikasi decompression sickness
i. Pembaca mengetahui penatalaksanaan medis decompression sickness

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penyakit Dekompresi (Caisson’s Disease)


Penyakit dekompresi adalah suatu penyakit atau kelainan-kelainan yang disebabkan oleh
pelepasan dan mengembangkannya gelembung gelembung gas dari fase larut dalam darah atau
jaringan akibat penurunan tekanan disekitarnya. Penyakit dekompresi merupakan penyakit
akibat kerja penyelaman yang disebabkan oleh pelepasan dan mengembangnya gelembung gas
dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan lingkungan yang mendadak.
Fenomena ini sering terjadi di daerah kepulauan yang banyak memiliki sumberdaya manusia
sebagai penyelam alam, dimana dengan keterbatasan pengetahuan sering terjadi kecelakaan
penyelaman. Kecelakaan ini sering tidak teratasi lantaran kurangnya pengetahuan dan tenaga
ahli medis dibidang penyakit dekompresi, sehingga banyak jiwa yang tidak tertolong dan
mengidap penyakit dekompresi yang membawa cacat pada organ tubuh manusia. (Sophia,
2004).
Penyakit Dekompresi (PD) adalah penyakit dengan berbagai tingkat keluhan dan gejala,
yang dapat menggangu seluruh sistem organ tubuh dengan penyebab yang sama yaitu
terbentuknya gelembung N2 dalam jaringan dan darah. Gelembung terjadi akibat
berkurangnya tekanan barometer yang menyertai penyembulan (ascent) dalam upaya
mengakhiri penyelaman. PD dapat terjadi pada setiap saat dari sejak dimulainya
penyembulan, tetapi biasanya menjadi jelas setelah 24 jam. Gelembung N2 dapat terjadi pada
berbagai jaringan, dan dapat menyebabkan rasa terganggu (rasa tidak enak), bahkan rasa nyeri.
Dalam pembuluh darah, gelembung udara tersebut menjadi emboli yang dapat menyumbat
pembuluh darah penderitanya.
Ashari (2007) mengemukakan bahwa penyakit dekompresi biasanya diakibatkan oleh
pembentukan gelembung gas, yang dapat menyebar ke seluruh tubuh, yang menyebabkan
berbagai macam gangguan. Beberapa macam gas bersifat lebih mudah larut dalam lemak.
Nitrogen misalnya, 5 kali lebih larut dalam lemak daripada dalam air. Rata-rata 40-50% cedera
akibat dekompresi serius mengenai susunan saraf pusat. Mungkin wanita mempunyai resiko
yang lebih besar karena memiliki lebih banyak lemak dalam tubuhnya. Selain itu, DCS juga
dapat terjadi di daerah ketinggian, misalnya orang yang menyelam di danau suatu gunung atau
menggabungkan menyelam kemudian melakukan penerbangan.
2.2 Etiologi
Decompression sickness mungkin juga disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya, adalah
pembentukan gelembung dalam darah atau jaringan sepanjang atau setelah penurunan tekanan
lingkungan. Bekerja di daerah udara tekan juga bisa menyebabkan penyakit dekompresi.
Menurut Naval Safety Center yang ditulis oleh Ibu Kelsey Leo, waktu menyelam seperti
menyelam terlalu lama dan menyelam terlalu cepat bisa memicu penyakit ini. Salah satu alasan

3
utama pendakian cepat adalah mungkin karena panik Pendakian terkendali tidak boleh lebih
dari 10 meter per menit untuk menghindari DCS. Saat permukaan terlalu cepat, bisa
menyebabkan tekanan tinggi kemudian gelembung nitrogen terbentuk dalam darah. Setelah
pembentukan gelembung nitrogen dari darah akan meluas dan terkumpul ke dalam sendi,
jaringan dan bagian tubuh lainnya. Gelembung bisa menghalangi sirkulasi darah yang akan
menyebabkan kematian. (Bulmann 1984 dalam Christina L. Javier. Decompression of
Sickness).

2.3 Faktor-faktor Penyebab


a. Lingkungan
1. Besarnya tekanan: besarnya tekanan lebih cenderung menyebabkan terjadinya DCS
2. Repetitif eksposur: penyelaman repetitif atau ascents ke altitudes di atas 5.500 meter
(18.000) dalam waktu singkat (beberapa jam) juga meningkatkan risiko
mengembangkan peningkatan DCS.
3. Tingkat pendakian: pendakian yang cepat, semakin besar risiko mengembangkan
ketinggian DCS. Individu terkena pesat decompression (kenaikan tingkat tinggi) di
atas 5.500 meter (18.000 ft) mempunyai risiko yang lebih besar dari ketinggian DCS
yang terkena ketinggian yang sama, tapi lebih rendah dari kenaikan harga.
4. Waktu di ketinggian: Semakin panjang durasi penerbangan ke altitudes dari 5.500
meter (18.000 ft) dan di atas, semakin besar risiko DCS.
5. Melakukan penyelaman sebelum terbang: Divers yang naik ke ketinggian tanpa
terlebih dahulu mengambil cukup waktu untuk mengeluarkan nitrogen terlarut dalam
tubuhnya akan meningkatkan risiko pengembangan DCS.
6. Diving sebelum ke ketinggian: DCS dapat terjadi bahkan jika terbang dengan
ketinggian berbeda-beda misalnya, penyelam scuba di Eritrea yang melintas dari
pantai ke Asmara di dataran tinggi 8.000 kaki ( 2400 m) dapat beresiko terkena DCS.
7. Diving di ketinggian: Menyelam di permukaan air yang di atas ketinggian 1.000 kaki
(300 m) misalnya Danau Titicaca tanpa menggunakan alat khusus.

b. Individu
1. Umur: Ada beberapa laporan yang menunjukkan risiko yang lebih tinggi dari
ketinggian DCS dengan meningkatnya usia.
2. Sebelumnya cedera: Ada beberapa indikasi yang baru-baru ini bersama anggota
tubuh atau cedera mempengaruhi individu untuk mengembangkan penyakit
dekompresi terkait bubbles.
3. Ambient suhu: Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa setiap terpapar udara
dingin, ambient temperatur dapat meningkatkan risiko peningkatan DCS. Resiko
dekompressi dapat dikurangi dengan peningkatan suhu Ambient selama
decompression pada penyelaman dalam air dingin.
4. Tipe tubuh: Biasanya, orang yang memiliki tingkat lemak tubuh tinggi memiliki
resiko yang lebih besar terkena DCS, akibat kurangnya pasokan darah, nitrogen
disimpan dalam jumlah yang lebih besar dalam jaringan lemak. Terdapat teori bahwa

4
nitrogen dapat tereabsorpsi dengan mudah ke dalam jaringan lemak, jadi penyelam
yang memiliki berat badan berlebih memiliki risiko yang lebih besar untuk
mengalami penyakit dekompresi. Meskipun lemak mewakili hanya 15 persen dari
tubuh dewasa biasa, jumlah ini lebih dari separuh dari total jumlah nitrogen (sekitar
1 liter) biasanya larut dalam tubuh.
5. Aktivitas: Sangat menarik bahwa aktivitas memiliki efek positif dan negatif.
Aktivitas fisik setidaknya 12 jam sebelum menyelam dapat memproduksi protein
yang melindungi tubuh dan menurunkan risiko penyakit dekompresi. Di sisi lain,
aktivitas fisik kurang dari 12 jam sebelum penyelaman dapat meningkatkan sejumlah
gas mikronuklei di mana dapat membentuk gelembung dan meningkatkan insidensi
penyakit dekompresi. Melakukan aktivitas fisik sesaat setelah menyelam dapat
meningkatkan risiko pembentukan gelembung karena tekanan darah meningkat dan
gelembung dapat dengan mudah ditransfer dari vena ke arteri dalam sistem sirkulasi.
6. Jenis kelamin: Secara teori, wanita memiliki risiko tinggi mengalami penyakit
dekompresi karena wanita secara khusus memiliki massa lemak tubuh yang lebih
tinggi. Tetapi belum ada penelitian yang dapat membuktikan hal ini.
7. Konsumsi alkohol/dehidrasi: efek dari konsumsi alkohol meningkatkan kerentanan
untuk DCS melalui peningkatan dehidrasi, salah satu studi menyimpulkan bahwa
konsumsi alkohol tidak meningkatkan risiko DCS. Studi menyimpulkan bahwa
ketegangan yang tinggi permukaan air pada umumnya dianggap membantu dalam
mengendalikan ukuran gelembung, dan menghindari dehidrasi.
8. Patent poramen ovale: Sebuah lubang antara atrial kamar di jantung dalam janin
biasanya ditutup dengan flap dengan pertama breaths saat lahir. Dalam menyelam,
ini dapat berkenaan dengan urat darah halus darah dan microbubbles gas yang susah
untuk kembali secara langsung ke arteries (termasuk arteries ke otak, jantung dan
saraf tulang belakang) daripada melewati paru-paru, di mana gelembung akan dapat
disaring oleh paru-paru kapiler sistem Dalam sistem arterial, bubbles (gas arterial
emboli) jauh lebih berbahaya karena blok sirkulasi dan menyebabkan infraction
(lapisan mati akibat hilangnya aliran darah). Di otak, mengakibatkan infraction
stroke, pada saraf tulang belakang dapat menyebabkan kelumpuhan, dan di jantung
mengakibatkan serangan jantung.
2.4 Klasifikasi Penyakit
Ashari (2007) mengemukakan bahwa penyakit Caisson terbagi atas 2 tipe, yakni:
a. Tipe I yang lebih ringan, tidak mengancam nyawa, dan ditandai dengan rasa nyeri pada
persendian dan otot-otot serta pembengkakan pada limfonodus. Gejala yang paling umum
dari CD adalah nyeri persendian yang awalnya ringan kemudian memberat seiring waktu
dan dirasakan terutama bila melakukan gerakan. CD tipe I ditandai dengan satu atau
beberapa dari gejala berikut:
1. Rasa nyeri ringan yang menetap setelah 10 menit onset (niggles), Nyeri adalah gejala
klinis yang paling sering pada penyakit dekompresi tipe ringan dan biasanya
dideskripsikan seperti nyeri tumpul, nyeri terhujam, dan nyeri seperti sakit gigi dan

5
biasanya terjadi pada persendian, tendon, dan jaringan. Sendi bahu biasanya
merupakan sendi yang paling sering terkena. Kadangkala penyelam menganggap hal
ini sebagai suatu tarikan biasa sebuah otot yang overexercise.
2. Pruritus, atau “skin bends” yang menyebabkan rasa gatal atau terbakar pada kulit, dan
3. Cutis marmorata yaitu ruam papul/plak pada kulit berwarna biru-merah yang tersebar
pada bagian tubuh. Ruam pada kulit biasanya beraneka warna atau menyerupai marmer
atau papular, atau ruam yang menyerupai plak. Pada kasus tertentu yang jarang
menyerupai kulit jeruk. Cutis marmorata ini disebabkan oleh amplifikasi emboli gas
dalam kapiler kutaneus. Keterlibatan kelenjar limfe jarang dan biasanya ditandai
dengan edema pitting yang tidak nyeri

b. Penyakit dekompresi tipe II


Penyakit dekompresi tipe II merupakan masalah serius dan dapat menyebabkan kematian.
Manifestasinya bisa berupa gangguan respirasi, sirkulasi, dan biasanya gangguan nervus
perifer dan atau gangguan susunan saraf pusat. Emboli gas pada arteri (AGE) adalah
manifestasi DCS tipe II yang paling berbahaya yang terjadi bila ada kenaikan ketinggian.
AGE terjadi bila gelembung udara terbentuk di arteri dan mengalir ke otak, jantung, atau
paru-paru. Penyakit DCS tipe II memiliki karakteristik yaitu gejala-gejala pulmoner, syok
hipovolemia, dan keterlibatan sistem saraf. Gejala-gejala klinis biasanya mulai segera
tetapi bisa juga tertunda sampai 36 jam.
a. Sistem saraf Medulla spinalis adalah lokasi tersering pada penyakit dekomrpesi tipe
II, yang gejalanya menyerupai trauma medulla spinalis. Nyeri pada tulang belakang
dapat mulai beberapa menit sampai jam usai menyelam dan dapat berujung pada
paresis, paralisis, parestesia, dan hilangnya kontrol spinchter, dan nyeri pada badan
bagian bawah.
b. Mata
Ketika penyakit dekompresi mengenai otak, banyak gejala yang dapat terjadi.
Skotomata negatif, nyeri kepala, gangguan penglihatan, pusing, perubahan status
mental dapat terjadi
c. Telinga Jika mengenai labirinti, penyakit dekompresi dapat memberikan gejala mual,
muntah, vertigo, dan nystagmus, serta tinnitus dan ketulian parsial.
d. Pulmo Jika mengenai pulmo, penyakit dekompresi dapat memberikan gejala berupa
perasaan terbakar pada substernal ketika inspirasi, batuk non produktif yang dapat
menjadi paroksismal, dan distres pernapasan yang berat
e. Sistem sirkulasi Dapat terjadi peningkatan hematokrit sesuai dengan kedalaman
penyelaman. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya syok hipovolemia.

Tabel 1
Tabel Gangguan Penyakit Dekompresi
Jenis Gangguan Penyakit Keterangan
1. Sistem saraf pusat: Minimal 80% PD melibatkan sistem saraf.
a. Medulla spinalis: nyeri punggung yang Setiap gangguan saraf dapat enjadi
dapat menjalar ke abdomen. permanen. Gangguan saraf dapat dipicu

6
b. Mati rasa dan paraesthesla. oleh penyelaman singkat dan gejalanya
c. Cerebral: gangguan penglihatan (diplobia dapat timbul dalam waktu yang singkat.
blind spots),
d. hemiplegia (lumpuh satu sisi tubuh),
e. hilang kesadaran,
f. gangguan bicara,
g. nyeri kepala, bingung, ganggguan
keseimbangan (sempoyongan).
h. Tremor, konvulsi (kejang-kejang)
2. Sistem skelet: nyeri sendi. Sering diawali dengan kaku sendi atau
rasa tak nyaman Sendi yang terkena sering
dalam posisi tertekuk/the bends
3. Sistem Kardoivaskular dan respirasi: Dyspnoea, nyeri dada, dan batuk dapat
a. dyspnoe, disebabkan obstruksi A. Pulmonalis oleh
b. nyeri dada,batuk gelembung Nitrogen.
c. serangan jantung
d. Emboli udara (gelembung udara yang
menyumbat pembuluh udara)
e. Henti jantung (cardiac arrest)
4. Kulit: Marbled skin menunjukkan adanya PD
a. Pruritus (gatal-gatal) yang serius
b. Rasi, kulit seperti campak
c. Bercak-bercak biru (blueish marbling)
5. Sistem gastro intestinal:
a. Anorexia
b. Nausea dan vomitus
c. Hematorresis
d. Kejang abdominal
e. Diare yang berdarah
6. Darah: gangguan pembekuan darah Gang. Pembekuan darah melibatkan
kerusakan endotel.

2.5 Patofisiologi
Selama menyelam, udara dihirup pada tekanan yang lebih besar dari biasanya, menyebabkan
peningkatan jumlah nitrogen yang terlarut dalam jaringan tubuh. Semakin lama dan dalam
menyelam, semakin besar jumlah nitrogen yang akan dilarutkan sampai semua jaringan jenuh.
Selama pendakian, nitrogen harus dihilangkan saat tekanan ambien menurun. Idealnya, selama
pendakian yang direncanakan dengan pengurangan tekanan ambien yang terkendali, nitrogen
berdifusi ke gradien tekanan dari jaringan ke darah vena dan masuk ke alveoli untuk dihembuskan.
Namun, jika laju pendakian terlalu besar, gas bisa keluar dari larutan dan membentuk gelembung
dalam jaringan. Gelembung dapat menyebabkan kerusakan melalui distorsi jaringan, penyumbatan
vaskular atau stimulasi mekanisme kekebalan yang menyebabkan edema jaringan,
hemokonsentrasi dan hipoksia. (Bennet, michael, Dr. Decompression illness. 2006)

7
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis penyakit dekompresi (Caisson’s Disease)
1. Anamnesis
 Lokasi penyelaman
 Waktu kejadian
 Maksimum kedalaman saat penyelaman
 Waktu yang dihabiskan saat penyelaman
 Peralatan-peralatan yang digunakan
 Keadaan pasien sebelum, selama, dan setelah penyelaman
 Pertolongan pertama yang diberikan
 Apakah ada gejala seperti kelelahan, kelemahan, keringat, malaise, atau anoreksia
 Gejala-gejala muskuloskeletal seperti nyeri sendi, tendonitis, krepitus, nyeri tulang
belakang, atau ekstremitas yang memberat
 Gejala perubahan status mental seperti kebingungan, tidak sadar, perubahan kepribadian
 Gejala mata dan telinga: diplopia, penglihatan kabur, paresis otot-otot ekstraokular,
tinnitus, atau gangguan pendengaran
 Gejala-gejala pada kulit seperti gatal
 Gejala-gejala pulmoner, seperti sesak, batuk nonproduktif, atau hemoptisis
 Gejala-gejala kardiak, seperti nyeri dada tertusuk atau terbakar.
 Gejala-gejala gastrointestinal, seperti nyeri perut, inkontinensia alvi, nausea atau muntah
 Gejala-gejala genitourinaria, seperti inkontinensi urine atau retensi urine
 Gejala-gejala neurologis seperti parestesia, parese, paralisis, migrain, vertigo, disarthria,
atau ataksia Gejala-gejala limfatik
2. Pemeriksaan Fisik
 Umum – lemas, atau syok
 Status mental – ada tidaknya disorientasi
 Mata – defek lapangan pandang, perubahan pada pupil, ada tidaknya gelombang udara
pada pembuluh darah retina, atau nystagmus
 Mulut – tanda Liebermeister (daerah pucat yang berbatas tegas pada lidah)
 Pulmo – takipnea, gagal napas, distres pernapasan, hemoptisis
 Jantung – takikardia, hipotensi, disritmia, atau Hamman sign
 Gastrointestinal – muntah
 Genitourinaria – distensi kandung kemih, menurunnya produksi urin
 Neurologi – hiperestesia, hipoestesia, paresis, kelemahan spinchter ani, menghilangnya
refleks bulbocavernosus, defisit motorik dan sensorik, kejang fokal, kejang umum, atau
ataksia
 Muskuloskeletal – menurunnya ROM
 Limfatik – limfadema
 Kulit – gatal, hiperemia, sianosis, atau pucat

8
Manifestasi Klinis berdasarkan Tipe penyakit:
a. Decompression sickness Tipe 1 :
 Sakit ringan yang sembuh dalam waktu 10 menit onset (niggles)
 Pruritus (kulit membungkuk)
 Ruam kulit (bintik-bintik atau maling pada kulit atau ruam papular atau plaquelike)
 Kulit kulit jeruk (jarang)
 Pitting edema
 Anoreksia, mual
 Kelelahan berlebihan
 Kusam, dalam, berdenyut, sakit gigi jenis sakit di sendi, tendon, atau tisuue (tikungan)
 Gerakan ekstremitas terbatas dengan suara berderak saat sendi bergerak
b. Decompression sickness Tipe 2 :
 Gejala menirukan trauma tulang belakang (nyeri punggung bawah, paresis,
kelumpuhan, parestesia, kehilangan kontrol sfingter)
 Sakit kepala atau gangguan penglihatan
 Pusing
 Penglihatan terowongan
 Perubahan status mental
 Mual, muntah, fertigo, nistagmus, tinnitus, dan anusa parsial
 Ketidaknyamanan substernal pada inspirasi, perbekalan tidak produktif yang bisa
menjadi paroksismal, dan mengurangi gangguan pernapasan.
 Emfisema subkutan
 Tanda dan gejala syok hipovolemik atau embolisasi gas arterial
 Tergantung dimana perjalanan emboli gas, kemungkinan tanda dan gejala infark
miokard, stroke dan kejang.
(Lippincott, William & Wilkins. 2008. Multisystem Disorder. Wolters Kluwer)
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pada penderita yang dicurigai mengalami penyakit dekompresi yang disertai dengan
perubahan status mental, maka hal-hal yang pelu dievaluasi adalah:
a. Darah rutin: Pada pasien yang datang gejala neurologik yang persisten dalam beberapa
minggu setelah cedera bisa didapatkan hematokrit (Hct) sebanyak 48% atau lebih.
 Pada penderita yang dicurigai mengalami penyakit dekompresi yang disertai
dengan perubahan status mental, maka hal-hal yang pelu dievaluasi adalah kadar
glukosa darah, darah lengkap, kadar natrium, magnesium, kalsium, dan fosfor,
saturasi oksigen, kadar etanol dan skrining obat-obatan lainnya, level
karboksihemoglobin.
 Pada penderita yang dicurigai mengalami penyakit dekompresi yang disertai
dengan syok, maka hal-hal yang perlu dievaluasi adalah kadar glukosa darah, darah

9
lengkap, elektrolit dan ureum kreatinin, asam laktat, PT/aPTT/INR, level
karboksihemoglobin
b. Analisis gas darah: Saturasi oksigen
c. Menentukan alveolar-arterial gradient pada pasien dengan suspek emboli.
d. Creatinine Phosphokinase (CPK): Periksa elektrolit (Natrium, kalium, kalsium, fosfor)
dan ureum kreatinin, asam laktat, level karboksihemoglobin. Karena peningkatan CPK
menunjukkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh mikroemboli.
2. Radiologi
a. Foto toraks, untuk mencari bukti adanya pneumotoraks, pneumomediastinum,
emfisema subkutis, pneumoperikardium, perdarahan alveolar, dan menurunnya aliran
darah pulmoner yang disebabkan oleh emboli pulmoner nirogen.
b. CT Scan kepala, jika status mental tidak membaik dengan menggunakan terapi
hiperbarik, pertimbangkan etiologi lain.
c. MRI, untuk melihat ada tidaknya lesi fokal medulla spinalis, atau kerusakan jaringan
otak akibat embolisasi gas arterial
3. Pemeriksaan penunjang lainnya, meliputi EKG dan/atau evaluasi saturasi oksigen. Dengan
diagnosis Banding:
a. Pneumothoraks
b. Pneumonia
c. Pneumomediastinum
d. Stroke Hemoragik
e. Penyebab kardiogenik seperti cardiac arrest

2.8 Penatalaksanaan
a. Rekompresi & oksigen (utama)
Tujuan rekompresi:
 Memperkecil gelembung gas
 Gejala hilang saat dekompresi sampai ke permukaan
 Gelembung gas larut
Tujuan oksigenasi:
 Perbaikan jaringan hipoksia
 Kurangi tekanan nitrogen larut
 Terapi sebaiknya dilakukan dalam 6-8 jam pertama
 Terapi sesuai jenis PD
b. Medikamentosa:
1. Cairan dan elektrolit
2. Anti platelet
3. Anti edema
4. Anti konvulsan (bila kejang)
5. Digitalis (kalau perlu)
 Terapi yang segera dilakukan: bila kondisi pasien stabil
1. Pasien dirawat di ruangan intermediate
2. Posisi kepala lebih rendah dari badan

10
3. Berikan oksigen 100%
4. Siapkan infus intravena
5. Berikan carian NS 500ml dalam 1jam dilanjutkan dengan 500ml dalam 4 jam
6. Bila pasien tidak stabil manajemen dilakukan di ruangan critical care. Lakukan
monitoring ABC. Pada kasus berat dengan komplikasi cardiopulmonary arest
lakukan manajemen sesuai standar ACLS
7. Pasien harus diperiksa kemungkinan adanya trauma fisik yang menyertai
komplikasi menyelam.
 Investigasi:
1. Rontgen foto thoraks untuk mengetahui adanya pneumothoraks atau
pneumomediastinum
2. EKG untuk menyingkirkan penyebab dari jantung bila gejala utama yang dominan
adalah nyeri dada
3. Analisa gas darah bila pasien sesak nafas atau saturasi oksigen rendah
 Terapi definitif: terapi definif emergency diving adalah terapi rekompresi segera
1. Bila dicurigai adanya DCI atau CAGE (cerebral arterial gas embolism), segera
hubungi spesialis diving medicine setelah kondisi pasien stabil
2. Bila diagnosis cedera karena menyelam telah jelas, jangan rawat pasien di bangsal
neurologi atau penyakit dalam untuk investigasi karena:
a. Departemen ini tidak memiliki fasilitas untuk rekompresi
b. Terapi yang lambat pada DCI dan CAGE akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas
Pengobatan Oksigenasi Hiperbarik (OHB) adalah suatu cara pengobatan secara medik
yang dilakukan terhadap pasien di dalam ruangan udara bertekanan tinggi
(RUBT/Hiperbaric chamber) sambil bernafas oksigen murni (O2: 100%). Oksigen
hiperbarik adalah suatu cara pengobatan dimana pasien menghirup oksigen murni (100%)
pada tekanan udara lebih besar dari pada tekanan udara atmosfir normal. pengobatan
oksigen hiperbarik ini,berpangaruh pada pengiriman oksigen secara sistematik,dimana
terjadi peningkatan 2-3 kali lebih besar daripad atmosfir biasa.
Pada dasarnya pengobatan OHB ditujukan pada jaringan yang mengalami hipoksia
(kekurangan oksigen) atau iskemik (kekurangan aliran darah), yang pada keadaan
tersebutreaksi radikal bebas sangat meningkat. Manfaat lain dari pemberian OHB adalah:
meningkatnya daya hidup sel dan jaringan, membentuk neovaskularisasi dan proliferasi
jaringan yang hal ini penting untuk proses penyembuhan luka; meningkatkan kemampuan
butir darah putih (lekosit) dalam membasmi penyakit; membunuh kuman secara langsung;
dan mengobati penyakit emboli udara serta penyakit dekompresi (penyakit akibat salah
prosedur menyelam).
Macam Mekanisme Yang Menunjukkan Manfaat Yang Diperoleh Dengan Pengobatan
Oksigen Hiperbarik. Beberapa mekanisme berikut menerengkan manfaat diperoleh
berkaitan dengan pemberian oksigen hiperbarik secara berkala. Baik sebagai pengobatn
tunggal ataupun biasanya lebih sering berupa pengobatan kombinasi dengan prosedur

11
medis atau bedah lainnya, mekanisme tersebut berperan untuk mempercepat proses
penyembuhan kondisi atau keadaaan yang masih dapat diobati.
a. Hiperoksigenasi
Memberikan pertolongan segera terhadap jaringan yang miskin perfusi di daerah yang
aliran darahnya buruk. Peningkatan tekanan di dalam RUBT (Ruang Udara Bertekanan
Tinggi) menghasilkan peningkatan konsentrasi oksigen plasma selama 10-15 kali lipat.
Ini diwujudkan pada nilai oksigen arterial yaitu antara 1500-2000 mmHg, serta
menghasilkan peningkatan sebesar 4 kali lipat pada proses difusi oksigen di kapiler.
Meskipun bentuk hiperoksigenasi ini hanya bersifat sementara, mnamun hal ini akan
sangat berguna dengan berjalanya waktu pengobatan untuk mempertahanka
nkelangsungan hidup jaringan, hingga kerusakan terkoreksi atau suatu suplai darah
terbentuk.
b. Neovaskularisasi
Menunjukkan adanya suatu respon yang tidak langsung dan respon lambat terhadap
pemberian oksigen hiperbarik. Efek terapeutiknya meliputi meningkatkan pemecahan
fibroblast, pembentukan kolagen barudan angiogenesis neovaskulerseperti kapiler pada
di daerah kerusakan yang sulit jaringan akibat terbentuk radiasi, osteomyelitisrefrakter
dan ulkus kronis.
c. Hiperoksia
Akan meningkatkan aktivitas anti mikroba oksigen hiperbarik menyebabkan
terlambatnya toksin dan inaktivasi toksin pada infeksi kuman klostridium perfringens
(gas Gangren). HIpoksia menyebabkan fagositosis dan membunuh sel darah putihyang
teroksidasi, serta meningkatkan aktivitas Aminoglikosida. Penemuan terbaru
menunjukkan adanya perpanjangan efek pasca pemberian antibiotic
d. Efek Penekanan Langsung
Menggunakan konsep hokum Boyle untuk mengurangi volume intravaskuler atau gas
bebas lainnya. selama lebih dari seabad lamanya mekanisme ini dibentuk sebagai dasar
pengobatan OHB (Oksigen Hiperbarik) sebagai pengobatan standaruntuk penyakit
dekompresi dan emboli gas artericerebral (CAGE), yang biasanya berkaitan dengan
para penyelam.
e. Hiperoksia
Menyebabkan timbulnya vasokonteiksi. Ini terjadi tanpa disertai komponen hipoksia
dan sangat menolong di dalam di dalam penanganan kompartemen syndrome
intermediate serta penyakit iskemia akut lainnya pada cedera ekstremitas, dan juga
mengurangi timbulnya edema interstitial pada jaringan yang dicangkok (graft).
Penelitian pada aplikasi OHB terdapat pada penanganan luka baker telah
mengidentifikasikan suatu penurunan yang bermaknapada kebutuhan cairan
untukresusitasi, bilamana pengobatan OHB ditambahkan terhadap protocol penanganan
standar luka bakar.

2.9 Pencegahan
JOTC Diving Team (2005) memaparkan bahwa untuk mencegah terjadinya penyakit
Caisson ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni:
12
1. Pastikan bahwa penyelam yang melakukan penyelaman memahami tabel selam dan
teknik dekompresi yang baik.
2. Perlu diperhatikan bahwa jika penyelaman makin lama dan dalam, maka keakuratan
tabel selam makin minim.
3. Berhati-hati dalam menggunakan tabel dekompresi serta lakukan penambahan waktu
untuk dekompresi.
4. Penyelam yang telah mengalami penyakit dekompresi tidak boleh menyelam lagi
selama 3-4 minggu dan dapat diperpanjang untuk kasus yang berat.
5. Jika penyelam memiliki riwayat penyakit dekompresi pada tulang belakang dan otak,
maka penyelam tidak boleh lagi menyelam melebihi kedalaman 10 meter.
6. Menghindari minum beralkohol sebelum menyelam.
7. Menggunakan kecepatan naik 8-10 m/menit tiap kali menyelam.

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
1. Primary Survey
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlukaan,
tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi
diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien.
Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi,
secondary survey, dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABC-nya trauma,
dan berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan
berpatokan pada urutan berikut:
 Airway, menjaga jalan nafas disertai control servikal
 Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
 Circulation, disertai kontrol perdarahan
 Disability, status neurologis
 Exposure enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia.

A. Airway and Cervical Spine Control


Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula ataupun maksila, fraktur laring ataupun trakea. Usaha untuk
membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai
dengan melakukan chin lift dan jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara
dianggap bahwa jalan nafas bersih; walaupun demikian, penilaian ulang terhadap
airway harus tetap dilakukan.
Permasalahan:
1) Jalan napas tidak efektif b/d peningkatan secret akibat batuk

13
Kriteria Hasil: pola napas kembali efektif
Intervensi:
 Observasi jumlah dan karakter sputum
R/ peningkatan sputum akan menambah kesulitan bernapas
 Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas tambahan
R/ bunyi napas menurun/tidak ada bila jalan napas mengalami obstruksi karena
perdarahan
 Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
R/ chin lift dan jaw thrust memungkinkan memudahkan pernapasan
 Observasi pola batuk dan karakter secret
R/ sputum berdarah dapat diakibatkan karena kerusakan jaringan
 Kolaborasi dalam pemberian oksigen
R/ memaksimalkan bernapas dan mengurangi kerja paru

B. Breathing dan Ventilasi


Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada
saat bernafas mutlak diperlukan untuk pertukaran O2 dan mengeluarkan CO2 dari
tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Dada penderita harus
dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan
masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara ataupun
darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan
dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.

Permasalahan:
1) Kerusakan pertukaran gas b/d akumulasi nitrogen
Kriteria Hasil: menunjukan ventilasi yang normal
Intervensi:
 Catat frekuensi dan kedalaman pernapasan dan penggunaan otot bantu
R/ takipnea dan dispnea dapat menyertai gangguan pertukaran gas
 Observasi adanya perubahan pernapasan
R/ memungkinkan terjadinya bahaya lebih lanjut
 Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan yang disarankan
R/ mempercepat proses pemulihan

C. Circulation dan Kontrol Perdarahan


1) Volum Darah dan Cardiac Output
Perdarahan merupakan penyebab kematian pasca bedah yang mungkin dapat
diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi
harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan
demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita.

14
Ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik ini, yakni tingkat kesadaran, warna kulit, dan
nadi.
2) Perdarahan
Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal
dihentikan dengan penekanan pada luka.

Permasalahan:
1) Perubahan perfusi jaringan b/d kurangnya suplai darah ke jaringan
Kriteria Hasil : menunjukan peningkatan perfusi yang efektif Intervensi
Intervensi:
 Kaji Tanda-tanda vital
R/ mengetahui keadaan umum klien
 Observasi adanya perubahan warna kulit
R/ warna kulit dapat menunjukan tanda bahwa terjadi gangguan suplai
ke jaringan
 Palpasi nadi yang besar seperti a. femoralis atau a. karotis (kiri kanan)
R/ untuk mengetahui kekuatan, kecepatan dan irama nadi
 Kolaborasi dalam pemberian cairan dan elektrolit
R/ mendukung volume sirkulasi

D. Disability (Neurologic Evaluation)


Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran serta ukuran dan reaksi pupil.
Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU.
A: Alert (sadar)
V: Verbal/Vokal. Respons terhadap rangsangan vocal
P: Pain. Respons terhadap rangsangan nyeri
U: Unresponsive. Tidak ada respons.

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem scoring yang sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan sebagai pengganti AVPU.
Bila belum dilakukan pada survei primer, harus dilakukan pada secondary survey pada
saat pemeriksaan neurologis.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau penurunan
perfusi otak, ataupun disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran
menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun
demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia ataupun hipovolemia
sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab
penurunan kesadaran, dan bukan alkoholisme, sampai terbukti sebaliknya.

15
Permasalahan:
Walapun sudah dilakukan segala usaha pada penderita dengan trauma kapitis,
penurunan keadaan pada penderita dapat terjadi, dan kadang terjadi dengan cepat.
Lucid intervaL pada perdarahan epidural adalah contoh penderita yang sebelumnya
masih dapat berbicara tapi sesaat kemudian meninggal. Diperlukan evaluasi ulang
yang sering untuk dapat mengenal adanya perubahan neurologis. Mungkin perlu
kembali ke primary survey untuk memperbaiki airway, oksigenasi dan ventilasi, serta
perfusi. Bila diperlukan konsul sito ke ahli bedah saraf dapat dilakukan pada primary
survey.
E. Exposure/Kontrol Lingkungan
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting, guna
memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka, penting agar penderita tidak
kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan yang cukup hangat, dan
diberikan cairan intra vena yang sudah dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh
penderita, bukan rasa nyaman petugas kesehatan.

Permasalahan:
Penderita trauma mungkin datang ke ruang operasi sudah dalam keadaan
hipotermia, dan kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dan darah. Masalah
seperti ini sebaiknya diatasi dengan control perdarahan yang dilakukan secara dini. Ini
mungkin hanya dapat dicapai dengan tindakan operatif atau pemasangan fiksasi
eksternal pada fraktur pelvis. Usaha menjaga suhu tubuh penderita harus ilakukan
dengan sungguh-sungguh.

2. Secondary Survey
Pada secondary survey dengan pasien dekompresi kita dapat mengetahui keparahan yang
terjadi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri badan dan sendi b/d peningkatan metabolisme dalam tubuh
Kriteria Hasil: klien tidak menunjukan ekspresi nyeri
Intervensi
o Tentukan karakteristik nyeri R/ membantu mengevaluasi nyeri yang dirasakan
o Tentukan penyebab nyeri yang dirasakan R/ memaksimalkan dalam menangani
nyeri
o Kaji pernyataan verbal dan non-verbal klien tentang nyeri R/ kesesuaian antara
respon verbal dan non verbal dapat memudahkan perawat dalam mengetahui
intensitas nyeri
o Ajarkan tekhnik menejemen nyeri R/ tekhnik menejemen nyeri atau pengalihan
nyeri dapat mengurangi nyeri yang dirasakan misalnya seperti bimbingan imajinasi
atau visualisasi.

16
o Kolaborasi dalam pemberian analgetik R/ dapat mengurangi nyeri yang dirasakan
apabila sudah tidak dapat menahan nyeri

2. Intoleransi aktivitas b/d manifestasi klinis yang terjadi


Kriteria Hasil: Menunjukkan teknik/perilaku yang melakukan kembali melakukan aktivitas
Intervensi:
o Tingkatkan tirah baring/duduk. Berikan lingkungan tenang: batasi pengunjung
sesuai keperluan. R/ meningkatkan istirahat dan ketenangan. Menyediakan energy
yang digunakan untuk penyembuhan
o Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit yang baik. R/ meningkatkan
fungsi pernapasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk
menurunkan resiko kerusakan jaringan.
o Lakukan tugas dengan cepat dan sesuai toleransi. R/ memungkinkan periode
tambahan istirahat tanpa gangguan.
o Berikan antikonvulsan bila perlu R/ membatasi pergerakan yang dapat
meningkatkan keparahan klien

17
KASUS
Pasien datang ke rumah sakit di antar oleh rekannya dalam keadaan tidak sadar. Rekan pasien yang
mengantar mengatakan 30 menit yang lalu pasien menyelam di pantai dan setelah dipermukaan
tidak lama kemudian pasien pingsan. Setelah sadar pasien mengeluh mengalami kelemahan
ekstremitas bawah setelah menyelam, sesak, nyeri pada persendian, dan nyeri kepala, dan mati
rasa pada ekstremitas bawah. Hasil tanda-tanda vital didapatkan, TD: 90/80mmHg, RR: 24x/mnt,
N: 100x/mnt, S : 35,50C. Hasil lab didapatkan, Leukosit 8.200/ul, Eritrosit: 5,10 juta/ul, Hb: 16%,
Trombosit: 198.000/ul, Glukosa test: 111mg/Dl. Tampak parapharese inferior, aktivitas pasien
selalu dibantu keluarga, napas cepat. Hasil radiologi, foto thorax terdapat emboli pada paru-paru.
Hasil MRI, terdapat nekrosis iskemik metafisis dan diafisis sum-sum tulang. Kekuatan otot:

5555 5555
1111 1111

Data Fokus
DATA SUBJEKTIF DATA OBJEKTIF
1. Rekan pasien yang mengantar 1. Hasil tanda-tanda vital didapatkan, TD
mengatakan 30 menit yang lalu pasien : 90/80mmHg, RR: 24x/mnt, N:
menyelam di pantai 100x/mnt, S : 35,50C
2. dan setelah dipermukaan tidak lama 2. Tampak parapharese inferior, aktivitas
kemudian pasien pingsan pasien selalu dibantu keluarga, napas
3. pasien mengeluh mengalami cepat. Hasil radiologi, foto thorax
kelemahan ekstremitas bawah setelah terdapat emboli pada paru-paru,
menyelam, 3. Hasil radiologi, foto thorax terdapat
4. sesak, emboli pada paru-paru.
5. nyeri pada persendian, 4. Hasil MRI, terdapat nekrosis iskemik
6. dan nyeri kepala, metafisis dan diafisis sum-sum tulang
7. dan mati rasa pada ekstremitas bawah. 5. Hasil lab didapatkan, Leukosit
8.2000/ul, Eritrosit: 5,10 juta/ul, Hb:

18
16%, Trombosit: 198.000/ul, Glukosa
test: 111mg/Dl
6. Kekuatan otot : 5555 5555
1111 1111

Analisa Data
DATA FOKUS PROBLEM ETIOLOGI
DATA SUBJEKTIF Hambatan Gangguan
1. Rekan pasien yang mengantar mobilitas fisik neuromuskular
mengatakan 30 menit yang lalu pasien (00085)
menyelam di pantai
2. Setelah dipermukaan tidak lama
kemudian pasien pingsan
3. Setelah sadar pasien mengeluh mengalami
kelemahan ekstremitas bawah setelah
menyelam
4. Klien mengeluh nyeri pada persendian
5. Klien mengeluh nyeri kepala
6. Klien mengeluh mati rasa pada
ekstremitas bawah
DATA OBJEKTIF
1. Hasil TTV : TD : 90/80mmHg, N:
100x/mnt, S : 35,50C
2. Hasil lab didapatkan, Leukosit 8.2000/ul,
Eritrosit: 5,10 juta/ul, Hb: 16%,
Trombosit: 198.000/ul, Glukosa test:
111mg/Dl.
3. Tampak parapharese inferior
4. Aktivitas pasien selalu dibantu keluarga,
5. Hasil MRI, terdapat nekrosis iskemik
metafisis dan diafisis sum-sum tulang
6. Kekuatan otot :

19
5555 5555
1111 1111

DATA SUBJEKTIF Ketidakefektifan Gangguan


1. Rekan pasien yang mengantar pola napas (00032) neuromuskular
mengatakan 30 menit yang lalu pasien
menyelam di pantai
2. Setelah dipermukaan tidak lama
kemudian pasien pingsan
3. Setelah sadar pasien mengeluh sesak
DATA OBJEKTIF
1. Hasil TTV: RR: 24x/mnt
2. Napas klien tampak cepat.
3. Hasil radiologi, foto thorax terdapat
emboli pada paru-paru

DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular (00085)
2. Ketidaefektifan pola napas b.d gangguan neuromuskular (00032)

RENCANA KEPERAWATAN
Hari, DIAGNOSA TUJUAN & KRITERIA INTERVENSI
Tanggal / KEPERAWATAN HASIL
Jam
Hambatan mobilitas Setelah dilakukan Peningkatan mekanika tubuh
fisik b.d gangguan tindakan keperawatan (0140)
neuromuskular selama 7x24 jam. 1. Kaji komitmen pasien
(00085) Masalah hambatan untuk belajar dan
mobilitas fisik teratasi. menggunakan postur
Dengan kriteria hasil: tubuh yang benar

20
1. Dapat 2. Kaji pemahaman pasien
menggerakkan tentang mekanika tubuh
ekstremitas yang benar
bawah 3. Bantu untuk
2. Nyeri sendi menghindari duduk
berkurang atau dengan posisi yang
hilang sama dalam jangka
3. Hasil MRI tidak waktu yang lama
terdapat Terapi latihan: ambulasi
nekrosis iskemik (0221)
4. Kekuatan otot : 1. Sediakan tempat tidur

5555 5555 berketinggian rendah

5555 5555 2. Bantu pasien untuk


perpindahan
5. Mati rasa pada
ekstremitas Kolaborasi
berkurang atau 1. Dengan dokter dan
hilang fisioterpi untuk terapi
hyperbaric
Ketidaefektifan pola Setelah dilakukan Manajemen jalan napas (3140)
napas b.d gangguan tindakan keperawatan 1. Posisikan pasien untuk
neuromuskular selama 3x24 jam. memaksimalkan
(00032) Masalah ventilasi
ketidakefektifan pola 2. Auskultasi suara napas
napas teratasi. Dengan 3. Monitor status
kriteria hasil: pernapasan dan
1. Keluhan sesak oksigenasi
berkurang Monitor pernapasan (3350)
2. Hasil TTV 1. Monitor kecepatan,
dalam batas irama, kedalaman dan
kesulitan bernafas

21
normal, RR: 16- 2. Catat pergerakan dada,
24x/mnt ketidaksimetrisan,
3. Hasil foto penggunaan otot-otot
thorax, emboli bantu nafas
tidak ada atau 3. Monitor pola nafas
berkurang 4. Monitor saturas oksigen
4. Tidak ada
penggunaan Kolaborasi
otot-otot bantu 1. Dengan dokter dalam
nafas pemberian terapi
5. Tidak ada oksigen
pengunaan nafas
cuping hidung

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit dekompresi adalah suatu penyakit atau kelainan yang disebabkan oleh pelepasan
dan pengembangan gelembung-gelembung gas dari fase terlarut dalam darah atau jaringan-
jaringan akibat penurunan tekanan disekitarnya. Manifestasi yang paling umum mencakup
parestesia, hypesthesia, nyeri sendi. Tanda dan gejala yang lebih serius meliputi kelemahan
motorik, ataksia, dispnea, disfungsi sfingter uretra dan dubur, syok dan kematian.
Penggunaan oksigen dengan tekanan untuk mempercepat difusi gas dan resolusi
gelembung, alasan untuk pengobatan dengan oksigen hiperbarik (HBO2) mencakup
pengurangan langsung volume gelembung.

3.2 Saran
1. Kepada penyelam agar lebih memperhatikan hal-hal yang dapat membahayakan diri,
dan berlatih kepada penyelam profesional dan berpengalaman.
2. Kepada instansi mengadakan seminar dan pelatihan dari persiapan menyelam hingga
teori-teori yang digunakan dalam menyelam dan pertolongan pertama pada
decompression sickness.
3. Kepada masyarakat awam agar segera dibawa ke Rumah sakit atau pelayanan
kesehatan terdekat apabila terjadi decompression sickness pada rekannya agar
mendapat pertolongan pertama.

23
DAFTAR PUSTAKA

Rijadi, R.M. Penyakit Dekompresi. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. Lembaga
Kesehatan Kelautan TNI AL. P: 89-103.
Bahar, Azhari. Penyakit Dekompresi. Slide Kuliah: Sisten Neuropsikiatri.2009.
Aziz Andi. 2010. Studi Kasus Sindroma Caisson Pada Penyelam Kompressor Di Pulau Barrang
Lompo Makassar. Skripsi. FIK UIN ALAUDDIN MAKASSAR. http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/3519/1/ISI.PDF. Diakses tanggal 17 Agustus 2019.
NANDA International. 2018. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC

24

Anda mungkin juga menyukai