Anda di halaman 1dari 5

Aku Ingin Menjadi “Tukang Sampah”

Sebuah kisah yang berawal dari sebuah impian. Impian seorang anak yang tidak pernah
diinginkan oleh siapapun. Impian yang tidak memerlukan perjuangan untuk mengejar
ilmu hingga setinggi-tingginya. Akan tetapi, bagi seorang anak tidak pernah mengeluh
menempatkan hati besarnya untuk selalu melindungi seorang wanita perkasa dengan rasa
sayang dan tulus. Bunda. Seperti itulah sebutan anak tersebut kepada seorang wanita
perkasa itu.

“Bunda, bunda, adek pergi sekolah dulu yah. Assalamu’alaikum.” ucap seorang anak
berseragam merah putih sambil menggeggam tangan bundanya.

“Waalaikumussalam, hati-hati dek.” sahut bunda.

Matahari memamerkan keindahannya saat dia bergegas menuju ke sekolah sambil


menikmati hangatnya sang surya. Langkah kakinya semakin dipercepat tanpa sadar aku
pun berlari, menyadari waktu semakin mendekati batas yang sudah ditentukan. Tepat di
depan gerbang, dia bejumpa dengan segerombolan anak-anak seusianya dan mereka pun
melebarkan senyum masing-masing. Merasa sangat lelah, dia duduk sejenak dengan
menatap satu per satu situasi berbeda dalam ruangan kelas. Hiruk pikuk kelas semakin
meredam, ketika seorang wanita tanpa tanda jasa melepaskan senyuman dan menyapa
mereka.

“Berdiri.” ucap ketua kelas.

“Assalamualaikum ibu guru.” ucap serentak siswa di kelas.

“Waalaikumussalam anak-anak.” jawab salam guru.

“Duduk.” ucap kembali ketua kelas.

“Hari ini, ibu akan membagikan hasil ujian matematika. Nah, sebelum ibu bagikan apakah
kalian merasa kesulitan mengerjakan soal ujian matematikanya?” tanya guru.

“Kesulitan bu.” jawab serentak siswa.

“Meskipun kalian beranggapan demikian, ada seorang anak di kelas ini yang berhasil
mendapat 100 dan dia bukanlah juara kelas namun punya semangat belajar juga bisa
menjadi contoh buat kalian untuk terus semangat belajar.” ucap guru.
“Waaah, siapa yaah ?” sahut beberapa siswa diiringi rasa penasaran.

“Dia adalah Akmal.” jawab guru dengan bangga.

“Waah,selamat Akmal.” ucap siswa sambil bersalaman dengan Akmal.

“Terimakasih teman-teman.” Ucap Akmal dengan terharu dan bangga.

“Semangat Akmal untuk menjadi lebih baik dapat kalian contohkan yah.” ujar guru
kepada siswa di kelas.

“Baik bu.” ucap siswa serentak.

“Baiklah, sekarang kita lanjutkan pelajaran pada hari ini.” ucap guru tegas.

Pergantian pelajaran diakhiri dengan mata pelajaran kesenian. Sebelum waktunya


beranjak dari sekolah. Seorang guru seni yang terkenal dengan kesabarannya di antera
sekolah. Ibu Rima.

“Berdiri.” ucap ketua kelas.

“Assalamualaikum ibu guru.” ucap serentak siswa di kelas.

“Waalaikumussalam anak-anak.” jawab salam guru.

“Duduk.” ucap kembali ketua kelas.

“Baiklah, berhubung kesenian hari ini adalah jam mata pelajaran terakhir. Coba kalian
gambar diri kalian ingin menjadi apa nanti kedepannya. Gambarkan di kertas gambar
kalian masing-masing. Diwarnai dengan rapi ya.” ujar guru.

“Baik bu.” ucap siswa serentak.

Enam puluh menit telah berlalu.

“Hayo, anak-anak waktu sudah habis. Dikumpulkan gambar kalian. Bagi yang piket kelas
silahkan piket dulu sebelum pulang.” ucap guru dengan pandangannya tertuju ke masing-
masing siswa.

“Baik bu.” ucap siswa serentak dengan menyerahkan gambar masing-masing ke guru.

Satu per satu siswa mengumpulkan hasil gambar mereka. Sesampai di kantor, Ibu Rima
belum beranjak pulang. Rasa penasaran yang bergejolak mendorong Ibu Rima memeriksa
satu per satu hasil gambar anak-anak tadi. Berbagai macam impian anak-anak. Sebagian
imajinasi. Sebagian nyata adanya. Dari nilai 50 sampai dengan 100, tidak satupun yang
mendapat nilai 100. Hingga di pertengahan. Ibu Rima terpaku dengan satu gambar.
Impian menjadi tukang sampah.

“Kenapa ia ingin menjadi tukang sampah? Padahal teman-temannya ada yang ingin jadi
superhero, dokter, polisi, tapi kenapa anak ini impiannya jadi tukang sampah?” gumam
guru dengan mengerinyitkan dahi.

Keberadaan anak ini pun dicari-cari oleh Ibu Rima.

“Nak, kemana Akmal?” tanya Ibu Rima.

“Sudah pulang bu, tadi piket sebentar terus buru-buru pulang karena mau bantu
bundanya.” ucap salah satu siswa yang sedang piket.

“Kenapa dengan bundanya?” tanya Ibu Rima penasaran.

Ternyata dibaliknya ada alasan yang mengaharukan. Perubahan diri Akmal bukanlah
tanpa sebab. Suatu situasi yang sangat menekankan batin Akmal untuk menuntut ilmu
lebih bergejolak. Situasi tersebut terjadi dua bulan lalu. Terpaan embun bersamaan
dengan dinginnya pagi tidak mengalahkan langkah kaki bunda Akmal untuk
menyambung hidup. Tidak seperti biasa, pagi ini sang surya mulai tidak menampakkan
wajahnya. Langit berkelabu. Gemuruh mulai terdengar. Tetesan-tetesan air dari langit
mulai berjatuhan. Bunda hanya berbekal pelindung kepala. Badan yang berbalut jas oren.
Tangan menggenggam setongkat sapu dan sekantong bungkus sampah yang setiap detik
tidak terlepas olehnya. Bunda mulai melangkahkan kakinya mencari perlindungan.
Tampak raut wajahnya merasa lelah didukung dengan lipatan-lipatan kecil mulai meluas.
Bola matanya tidak berhenti memandang sekeliling. Dari arah yang tidak disangka-
sangka, melaju cepat, dan ugal-ugalan hingga menyudutkan bunda. Bunda tergeletak tak
berdaya. Tangan memegang erat kaki yang meluncurkan cairan merah dengan hebatnya.
Mata hanya menatap satu titik. Sebuah sapu pun menjadi akhir dari tatapan bunda
sebelum akhirnya menutup mata. Suara kekhawatiran mulai berkerumun menjadi satu.

Hiruk pikuk suasana sekolah memuncak saat jam istirahat. Akmal yang belum sempat
mengisi kekosongan perut, tiba-tiba dipanggil Ibu Ina. Wali kelas untuk ke ruangan guru.
“Bagaimana, bu?” tanya Akmal penasaran.

Raut wajah ibu Ina memusar pada kesedihan.

“Akmal, sebenarnya ibu tidak mau memberitahukan ini ke kamu. Tapi, ibu rasa kamu
harus perlu tahu. Apapun yang ibu beritahukan ke kamu ini. Ibu akan selalu berada di
samping kamu.” ucap Ibu Ina cemas.

“Ibu buat saya khawatir saja, ada apa bu?” tanya Akmal penasaran diiringi kecemasan.

“Ibu kamu tadi pagi mengalami kecelakaan, sekarang ada di rumah sakit.” jawab Ibu Ina
sedikit ragu.

“Apaaaa? Bunda kecelakaan? Nggaak mungkin, bundaa.” teriak Akmal histeris.

Dekapan Ibu Ina berusaha menenangkan Akmal. Namun, tidak sanggup untuk
ditenangkan. Segera Akmal dan Ibu Ina ke rumah sakit. Baru kaki melangkah. Bau kimia
mencekam. Bagaikan perasaan Akmal yang berantakan. Akmal dan Ibu Ina
melangkahkan kaki secepat kilat tanpa menghiraukan kepadatan yang mereka lalui. Tepat
pada satu ranjang berselimut putih terbaring sesosok wanita yang sangat disayanginya
malah melebarkan bibirnya seperti tidak terjadi apa-apa.

“Bunda,,bunda,,maafkan adek. Adek janji tidak akan nakal lagi. Adek janji akan jadi anak
pintar dan rajin sholat.” ucap Akmal tersedu-sedu.

“Kenapa Akmal minta maaf? Semua ini bukan salah Akmal. Bunda tidak apa-apa Akmal.
Bunda baik-baik saja.” ujar bunda sambil mengelus kepala Akmal.

“Bagaimana kabarnya bu?” tanya Ibu Ina sedikit cemas.

“Bu Ina, terimakasih sudah temenin Akmal temui saya. Alhamdulillah, saya tidak apa-
apa. Hanya kata dokter, kaki saya mengalami cidera ringan.” jawab bunda sambil
tersenyum.

“Iya bu, tidak apa-apa. Semoga lekas sembuh yah bu. Akmal sangat khawatir.” ujar Ibu
Ina lega.

“Aamiin, terimakasih bu.” ucap bunda.


Dua bulan terlewati sejak kejadian itu, Akmal menepati janjinya kepada bunda. Ibarat
pepatah, sedikit demi sedikit akan menjadi bukit. Setiap pulang sekolah, Akmal tiada
keinginan untuk bermain. Satu tujuan utama Akmal setiap sepulang sekolah adalah
bunda. Hitungan hari tidak akan pernah terlepas bagi Akmal untuk membantu bunda
membersihkan dedaunan yang terbengkalai di pinggiran aspal.

“Bunda, sini adek yang nyapu. Bunda istirahat saja.” pinta Akmal sambil memegang sapu
milik bundanya.

“Adek pulang saja, belajar dan kerjain tugas sekolahnya.” ujar bunda.

“Adek kerjain tugasnya malam bunda, sekarang adek harus bantuin bunda. Adek tidak
mau, bunda kenapa-kenapa lagi. Adek harus melindungi bunda.” ucap Akmal dengan
tenang.

Bibir bunda melebar diringi mata yang berkaca-kaca. Terdengar suara dari jarak jauh.

“Tiin..tiin.” suara klakson mobil.

“Astagfirullah, ckckck.” ucap Akmal kaget.

“Adek tidak apa-apa ?” tanya bunda khawatir.

“Iyah bunda, adek tidak apa-apa.” jawab Akmal sedikit kaget.

“Kenapa mereka harus membawa kendaraan kebut-kebutan tanpa memikirkan orang di


sekelilingnya?” gumam Akmal heran.

Penasaran Ibu Rima memudar tanpa sadar bulir-bulir air dari mata membasahi pipinya.
Lihat dan baca tiap poin dari yang tertulis dari gambar Akmal. Topi, rompi, dan sapu
merupakan atribut seorang pahlawan di jalan. Aku ingin menjadi tukang sampah.
Melindungi bunda dari bahaya. Membawa bunda pulang dengan selamat. Ibu Rima
melebarkan bibirnya diiringi dengan rasa bangga kepada Akmal. Tanpa rasa ragu sedikit
pun, Ibu Rima memberikan nilai 100 atas kebaikan hati Akmal.

Semoga cerita pendek ini membangkitkan motivasi buat menetapkan rasa syukur kepada
Allah yang merupakan sutradara sekaligus pembuat skenario terbaik untuk hidup kita.

Anda mungkin juga menyukai