Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS & REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBUARI 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

KATARAK KONGENITAL

Oleh:
Mutia Ilyas
C014172102
Pembimbing
dr. Deby Trisnawaty Mansyur

Supervisor
dr. Adelina T. Poli, Sp.M, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa laporan kasus dan
referat dengan judul Katarak Senilis Matur, yang disusun oleh:

Nama : Mutia Ilyas


NIM : C014172136
Asal Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Telah diperiksa dan dikoreksi, untuk selanjutnya dibawakan sebagai tugas pada
bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada
waktu yang telah ditentukan.

Makassar, Februari 2019

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Adelina T. Poli, Sp. M, M.Kes dr. Deby Trisnawati Mansyur

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. HP
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 7 Bulan
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Makassar/Indonesia
Pekerjaan : -
Alamat : Gorontalo
No. Register : 109489
Tanggal pemeriksaan : 14-2-2019
Rumah sakit : RS. Universitas Hasaanuddin
Pemeriksa : dr. HF

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Bercak pada kedua mata
Anamnesis Terpimpin
Seorang bayi berusia 7 bulan diantar oleh ibunya datang ke poli mata
dengan keluhan munculnya bercak putih pada kedua mata bayi. Bercak putih
pada kedua mata diperhatikan muncul saat usia bayi 3 bulan. Awalnya bercak
putih muncul berukuran kecil, lama kelamaan bertambah besar. Riwayat mata
merah, air mata berlebih dan kotoran mata berlebih tidak ada. Riwayat demam
tinggi, dan kejang tidak ada. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat imunisasi dasar
lengkap sesuai umur. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat pasien pernah dikonsul ke bagian THT dan bagian tumbuh kembang
anak dan hasilnya terdapat gangguan pada pendengaran dan gangguan tumbuh
kembang.

3
Riwayat kelahiran bayi lahir secara normal, cukup bulan, langsung
menangis ditolong oleh bidan. BBL: 2,5 kg dan PL: 48 cm. Riwayat dirawat di
inkubator tidak ada. Riwayat kehamilan ibu pernah menderita demam disertai
ruam-ruam pada badan pada saat usia kandungan 2 bulan. Pasien merupakan
anak tunggal.

PEMERIKSAAN FISIS
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Sakit berat/ Gizi baik/ Compos mentis
Tekanan darah : tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 112 kali/menit
Pernafasan : 28 kali/menit
Suhu : 36,8 derajat celcius

III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI


STATUS LOKALIS
1. Inspeksi

4
(a)

(b) (c)
Gambar 1. (a) Oculus Dextra et Sinistra, (b) Oculus Dextra, (c) Oculus Sinistra
2. PEMERIKSAAN OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Bola mata Kesan normal Kesan normal

Normal ke segala arah Normal ke segala arah

Mekanisme muskular

Kornea Jernih Jernih

5
Pemeriksaan OD OS
Tensi okuler Tn Tn
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Massa tumor Tidak ada Tidak ada
Glandula preaurikuler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran

3. Tonometer ( I Care)
TOD = 8 mmHg
TOS = 8 mmHg
4. Visus
VOD : Blink to the light (+)
VOS : Blink to the light (+)
5. Light Sense
Refleks Cahaya Refleks Cahaya Tidak
Langsung Langsung

OD (+) (+)

OS (+) (+)

6. Penyinaran Oblik
No Pemeriksaan Oculus Dextra Oculus Sinistra
1 Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
2 Kornea Jernih Jernih
3 Bilik mata depan Normal Normal
4 Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
5 Pupil Bulat, refleks cahaya (+) Bulat, refleks cahaya (+)
6 Lensa Keruh Keruh

6
7 Refleks Fundus (-) (-)
8 Nystagmus (+) (+)
9 Tes Hirschberg Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi

7. Funduskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan

8. Slit Lamp
- SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih,BMD normal, iris
coklat kripte (+), pupil bulat sentral, refleks cahaya (+), lensa
keruh
- SLOS : Konjungtiva hiperemis-), kornea jernih, BMD normal, iris
coklat kripte (+), pupil bulat sentral, refleks
cahaya (+), lensa keruh

9. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Laboratorium RSWS (25-01-2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Penanda Infeksi TORCH

Anti TOXO IgG 0 <8

Anti TOXO IgM 0,02 <0,65

Anti CMV IgG 43 <6

7
Anti CMV IgM 0,82 <0,9

Anti Rubella IgG 366 <14

Anti Rubella IgM 7,08 <1,2

Hasil Laboratorium RSUH (14-02-2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

WBC 10.7 [10^3/mm3] 10.0-16.0

RBC 4.44 [10^6/mm3] 4.00-6.00

HGB 11,5 g/dl 13.5-19.5

HCT 33.9 % 44.0-64.0

PLT 318 [10^3/mm3] 200-400

PT 13.5 detik 10 – 14

INR 1.09 -

APTT 31.2 detik 26.4-37.6

Ureum 18 mg/dl 0-53

Creatinine 0.4 mg/dl 0.6-1.3

SGOT 28 U/L < 35

SGPT 24 U/L < 45

Anti HCV Non reaktif Non reaktif

8
HbsAg Non reaktif Non reaktif

10. Hasil Pemeriksaan Echocardiography (3-12-2018)


-Tidak tampak VSD
-Tidak tampak PFO maupun ASD
- PDA (+) ukuran 3 mm
-Kontraktilitas LV baik, EF 66%

Kesan : PDA (Patent Ductus Arteriosus)

9
11. Hasil Pemeriksaan Ultrasonografi

Kesan :
-Gain 45 desible (dB)
-Tampak lensa keruh, vitreus jernih
-Retina, sclera dan N. Optik dalam batas normal

10
V. RESUME
Seorang bayi berusia 7 bulan diantar oleh ibunya datang ke poli mata
dengan keluhan munculnya bintik putih pada kedua mata bayi. Bintik putih
pada kedua mata diperhatikan muncul saat usia bayi 3 bulan. Awalnya bercak
putih muncul berukuran kecil, lama kelamaan bertambah besar. Riwayat mata
merah, air mata berlebih dan kotoran mata berlebih tidak ada. Riwayat demam
tinggi, dan kejang tidak ada. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat imunisasi dasar
lengkap sesuai umur. Riwayat pasien pernah dikonsul ke bagian THT dan
bagian tumbuh kembang anak dan hasilnya terdapat gangguan pada
pendengaran dan gangguan tumbuh kembang. Riwayat kehamilan ibu pernah
menderita demam dan ruam pada badan saat usia kandungan 2 bulan.
Dari pemeriksaan oftalmologi, pada mata kiri dan kanan kedua lensa
keruh. Nistagmus ada. Pada pemeriksaan tonometri, didapatkan TOD = 8
mmHg, TOS = 8 mmHg. Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD : blink to the
light, VOS : blink to the light. Pada pemeriksaan Slit lamp, SLOS : BMD
normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa keruh. SLOD :
BMD normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa keruh

VI. DIAGNOSIS
ODS Katarak Kongenital
Sindrom Rubella Kongenital
VII. DIAGNOSIS BANDING
Retinoblastoma
Retinopaty of prematurity
Ablasio retina

VII. PENATALAKSANAAN
Operasi Katarak

11
IX. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

X. DISKUSI
Pasien ini didiagnosa dengan katarak kongenital berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan
bercak putih pada kedua mata sejak usia 3 bulan. Awalnya bercak putih muncul
berukuran kecil, lama kelamaan bertambah besar. Riwayat pasien pernah dikonsul ke
bagian THT dan bagian tumbuh kembang anak dan hasilnya terdapat gangguan pada
pendengaran dan gangguan tumbuh kembang. Riwayat pada kehamilan ibu pernah
menderita demam tinggi disertai dengan ruam pada badan pada saat usia kandungan 2
bulan.
Dari hasil pemeriksaan oftalmologi didapatkan lensa keruh di kedua mata,
adanya nistagmus. Dari hasil pemeriksaan penunjang, hasil pemeriksaan penanda
infeksi TORCH didapatkan Anti CMV IgG dan Anti Rubella IgG dan IgM
meningkat. Hasil pemeriksaan echocardiography didapatkan kesan PDA.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang diatas
mendukung untuk didiagnosis sebagai suatu katarak kongenital. Bercak putih yang
muncul saat usia 3 bulan, dan hasil pemeriksaan oftalmologi didapatkan lensa keruh
pada kedua mata dan adanya nistagmus sesuai dengan definisi dari katarak
kongenital yaitu katarak kongenital adalah perubahan pada kebeningan struktur lensa
mata yang muncul pada saat kelahiran bayi atau segera setelah bayi yang berusia
kurang dari satu tahun. Selanjutnya untuk penyebab mengapa didiagnosis sebagai
suatu katarak kongenital didukung oleh gejala-gejala yang ditemukan pada pasien
seperti adanya gangguan pendengaran, gangguan jantung, gangguan tumbuh
kembang dan hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan titer Anti-IgG Rubella

12
yang sangat tinggi. Semua hasil yang didapatkan tersebut mengarah ke sindrom
rubella kongenital yang dapat menjadi penyebab terjadinya katarak kongenital pada
pasien ini.

13
KATARAK KONGENITAL

I. PENDAHULUAN

Katarak pediatrik adalah kekeruhan lensa yang terjadi pada anak-anak.


Kekeruhan lensa ini dapat diketahui segera setelah bayi lahir, atau dapat terjadi
selama masa perkembangan anak. Katarak pada anak dapat bersifat kongenital
maupun dapatan (acquired). Katarak bersifat kongenital antara lain disebabkan oleh
genetik, infeksi intrauterin, berkaitan dengan sindroma, ataupun idiopatik, sedangkan
katarak yang dapatan disebabkan oleh kelainan metabolik dan trauma. 12

Katarak adalah kekeruhan pada lensa sehingga cahaya sulit mencapai retina
dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina.7 Katarak kongenital adalah
perubahan pada kebeningan struktur lensa mata yang muncul pada saat kelahiran bayi
atau segera setelah bayi yang berusia kurang dari satu tahun. Sebuah katarak disebut
kongenital bila ada saat lahir, atau dikenal juga sebagai infantile cataract, jika
berkembang pada usia 6 bulan setelah lahir. 4

Katarak kongenital terjadi pada sekitar 3 pada 10 000 kelahiran hidup.2


Penelitian di Inggris didapatkan hasil bahwa insidensi dari katarak kongenital dan
infantil tertinggi pada tahun pertama kehidupan, yaitu 2,49 per 10.000 anak. Insidensi
katarak bilateral lebih tinggi jika dibandingkan yang unilateral, akan tetapi tidak
dapat dibedakan oleh jenis kelamin dan tempat. Penelitian yang dilakukan di RS
Saiful Anwar Malang dilaporkan kelompok katarak pediatrik non traumatik,
penyebab terbanyak adalah idiopatik yaitu sebanyak 25 penderita.(80,6%), diikuti
oleh infeksi maternal akibat rubella sebanyak 4 penderita (12,9%), herediter pada 1
penderita (3,2%), dan 1 penderita (3,2%) berhubungan dengan periode kritis dapat
menyebabkan terjadinya ambliopia anterior dysgenesis syndrome seperti peter's
anomaly.12

14
Katarak kongenital jika tidak diintervensi segera akan mengakibatkan
beberapa komplikasi yang serius. Katarak kongenital dapat memicu terjadinya “mata
malas” atau ambliopia. Keadaan ambliopia ini kemudian memicu masalah lain seperti
nistagmus, strabismus, dan ketidakmampuan untuk menyempurnakan gambaran
terhadap objek. Hal ini akan sangat mempengaruhi kemampuan belajar, kepribadian,
dan penampilan, lebih jauh lagi mempengaruhi seluruh kehidupan anak saat dewasa
nanti.

II. ANATOMI LENSA DAN FISIOLOGI LENSA

1. Anatomi lensa
Lensa mata berbentuk bikonveks, avaskuler, transparan, dengan diameter 9
mm, dan tebal sekitar 5 mm. Lensa terdiri dari kapsul, epitel lensa, korteks dan
nukleus. Anterior lensa berhubungan dengan humor aqueous, ke posterior
berhubungan dengan corpus vitreus. Di posterior iris, lensa digantung pada prosesus
siliaris oleh zonula Zinii (ligamentum suspensorium lentis), yang melekat pada
ekuator lensa, serta menghubungkannya dengan corpus siliare. Zonula Zinii berasal
dari lamina basal epitel tidak berpigmen prosesus siliare. Zonula Zinii melekat pada
bagian ekuator kapsul lensa, 1,5 mm pada bagian anterior dan 1,25 pada bagian
posterior.5

15
Gambar 1. Anatomi mata5

Permukaan lensa pada bagian posterior lebih cembung daripada permukaan


anterior. Lensa diliputi oleh kapsula lentis, yang bekerja sebagai membran
semipermeabel, yang dapat dilewati air dan elektrolit sebagai sumber nutrisi. Di
bagian anterior terdapat epitel subkapsuler sampai ekuator. Epitel subkapsuler ini
berperan dalam proses metabolisme dan menjaga sistem normal dari aktivitas sel,
termasuk biosintesa dari DNA, RNA, protein dan lipid.5,
Substansi lensa terdiri dari nukleus dan korteks, yang terdiri dari lamel-lamel
panjang yang konsentris. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai
dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga
lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nukleus dan korteks
terbentuk dari lamellae konsentris yang panjang. Tiap serat mengandung inti yang
pipih dan terdapat di bagian pinggir lensa dekat ekuator, yang berhubungan dengan
epitel subkapsuler. Serat-serat ini saling berhubungan di bagian anterior.

16
Gambar 2. Struktur lensa7

Sebanyak 65% bagian dari lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein
(kandungan protein tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali
mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Protein lensa terdiri dari water
soluble dan water insoluble. Water soluble merupakan protein intraseluler yang terdiri
dari alfa (α), beta (β) dan delta (δ) kristalin, sedang yang termasuk dalam water
insoluble adalah urea soluble. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di
kebanyakan jaringan lain. Pada lensa tidak terdapat serat nyeri, pembuluh darah atau
saraf.5

Gambar 4. Biokimia lensa7

17
2. Fisiologi Lensa
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Supaya hal
ini dapat dicapai, maka daya refraksinya harus diubah-ubah sesuai dengan sinar yang
datang sejajar atau divergen. Perubahan daya refraksi lensa disebut akomodasi. Hal
ini dapat dicapai dengan mengubah lengkungnya lensa terutama kurvatura anterior.14
Untuk memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi,
menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai
ukurannya yang terkecil, dalam posisi ini daya refraksi lensa diperkecil sehingga
berkas cahaya pararel akan terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda
dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa
yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh daya
biasnya. Kerjasama fisiologik antara korpus siliaris, zonula dan lensa untuk
memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan
pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa perlahan-lahan akan berkurang.5
Secara fisiologi lensa mempunyai sifat tertentu yaitu kenyal atau lentur karena
memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung, jernih atau
transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan, dan terletak di tempatnya.8
Pada fetus, bentuk lensa hampir sferis dan lemah. Pada orang dewasa lensanya lebih
padat dan bagian posterior lebih konveks. Proses sklerosis bagian sentral lensa,
dimulai pada masa kanak-kanak dan terus berlangsung secara perlahan-lahan sampai
dewasa dan setelah ini proses bertambah cepat dimana nukleus menjadi lebih besar
dan korteks bertambah tipis. Pada orang tua lensa menjadi lebih besar, lebih gepeng,
warna kekuning-kuningan, kurang jernih dan tampak sebagai grey reflex atau senile
reflex, yang sering disangka sebagai katarak. Karena proses sklerosis ini, lensa
menjadi kurang elastis dan daya akomodasinya pun berkurang. Keadaan ini disebut
presbiopia, pada orang Indonesia dimulai pada umur 40 tahun.5

18
III. EMBRIOLOGI LENSA
Lensa mata berasal dari surface ectoderm. Proses pembentukan lensa dimulai
pada kehamilan umur 3-4 minggu (embrio 4mm), mula-mula sel surface ectoderm
mendekati optic vesiclel yang sedang berkembang dan menebal membentuk lens
placode yang sedang berkembang dan menebal membentuk cekungan ke arah optic
cup serta membentuk celah lensa. Proses ini terus berlanjut sampai celah menutup
dan terbentuk vesicle lensa yang terpisah dari surface ectoderm. Setelah vesikel lensa
terbenfuk, proses selanjutnya adalah pemanjangan sel dinding posterior vesikel dan
mulai mengisi rongga vesikel lensa sampai rongga vesikel terisi penuh. Sel-sel inilah
yang merupakan primary fiber cells. Sel-sel yang tidak membentuk primary fiber
cells akan menjadi sel epitel lensa yang persisten.
Lensa mata terdiri dai tiga bagian utama yaitu kapsul lensa, sel epitel lensa
(pada bagian anterior) dan sel serat lensa. Kapsul lensa merupakan basement
membrane yang transparant yang mengelilingi seluruh lensa (membungkus lensa).
Kapsul lensa terus dibentuk. selapis demi selapis seumur hidup. Kapsul anterior lensa
dibentuk oleh sel epitel lensa dan kapsul posterior dibentuk oleh sel serat lensa yang
memanjang (elongating fiber cells). Lapisan kapsul lensa yang baru dibentuk akan
terletak pada sisi basal dari sel epitel lensa dan bila terbentuk lapisan kapsul lensa
yang baru, lapisan yang sebelumnya akan terdorong keluar. Sel epitel lensa yang
terletak di dalam kapsul lensa anterior merupakan persistent coboidal monolayer of
lens epithelial. Sel epitel lensa bagian sentral bersifat persisten (idak pernah
membelah diri ataupun berdiferensiasi), sedangkan pada bagian anterior ekuator
adalah zone germinative atau proliferative dimana sel epitel lensa pada daerah ini
akan mengalami mitosis (membelah diri) dan memanjang, serta bergerak ke anterior
dan posterior membentuk sel serat lensa.14

19
Gambar 5. Perkembangan lens vesicle dan proses invaginasi ke cup optic.14

Gambar 6. Tahap pembentukan struktur lensa.14

IV. ETIOLOGI
Katarak terbentuk saat protein di dalam lensa menggumpal bersama-sama
membentuk sebuah clouding atau bentuk yang menyerupai permukaan. Ada banyak
alasan yang menyebabkan katarak kongenital, yaitu antara lain:5,11
1) Herediter (isolated – tanpa dihubungkan dengan kelainan mata atau sistemik)
seperti autosomal dominant inheritance.
2) Herediter yang dihubungkan dengan kelainan sistemik dan sindrom
multisistem.
 Kromosom seperti Down’s syndrome (trisomy 21), Turner’s syndrome.
 Penyakit otot skelet atau kelainan otot seperti Stickler syndrome,
Myotonicdystrophy.
 Kelainan sistem saraf pusat seperti Norrie’s disease.

20
 Kelainan ginjal seperti Lowe’s syndrome, Alport’s syndrome.
 Kelainan mandibulo-fasial seperti Nance-Horan cataract-dental
syndrome.
 Kelainan kulit seperti Congenital icthyosis, incontinentia pigmenti.
3) Infeksi seperti toxoplasma, rubella, cytomegalovirus, herpes simplex, sifilis,
poliomielitis, influenza, Epstein-Barr virus saat hamil.
4) Obat-obatan prenatal (intra-uterine) seperti kortikosteroid dan vitamin A
5) Radiasi ion prenatal (intra-uterine) seperti X-rays
6) Kelainan metabolik seperti diabetes pada kehamilan dan galaktosemia.
7) Tapi penyebab terbanyak pada kasus katarak adalah idiopatik, yaitu tidak
diketahui penyebabnya.

SINDROM RUBELLA KONGENITAL11


Congenital Rubella Syndrome (CRS) adalah suatu kumpulan gejala penyakit
terdiridari katarak (kekeruhan lensa mata), penyakit jantung bawaan, gangguan
pendengaran, dan keterlambatan perkembangan, termasuk keterlambatan bicara dan
disabilitas intelektual. Sindrom rubella kongenital disebabkan infeksi virus rubella
pada janin selama masa kehamilan akibat ibu tidak mempunyai kekebalan terhadap
virus rubella. Seorang anak dapat menunjukkan satu atau lebih gejala CRS dengan
gejala tersering adalah gangguan pendengaran. Jika infeksi virus rubella terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester pertama sering menyebabkan Congenital Rubella
Syndrome. CRS mengakibatkan terjadinya abortus,bayi lahir mati, prematur dan
cacat apabila bayi tetap hidup. Nama lain CRS ialah Fetal Rubella Syndrome. Cacat
bawaan (Congenital defect) yang paling sering dijumpai ialah tuli sensoneural,
kerusakan mata seperti katarak, gangguan kardiovaskular, dan retardasi mental.
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan yaitu melalui droplet yang
dikeluarkan oleh seseorang yang terinfeksi rubella, setelah terkena droplet, virus ini
akan mengalami replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia

21
terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan
tertutup, virus rubella dapat menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang
sama dengan penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa
penularan 1 minggu sebelum dan 4 hari setelah onset ruam (rash). Pada episode ini,
Virus rubella sangat menular.

Manifestasi Klinis
Rubella merupakan penyakit infeksi diantaranya 20–50% kasus bersifat
asimptomatis. Gejala rubella hampir mirip dengan penyakit lain yang disertai ruam.
Gejala klinis untuk mendiagnosis infeksi virus rubella pada orang dewasa atau pada
kehamilan adalah:
1. Infeksi bersifat akut yang ditandai oleh adanya ruam makulopapular.
2. Suhu tubuh >37,20C
3. Artralgia/artrhitis, limfadenopati, konjungtivitis.
CRS yang meliputi 4 defek utama yaitu :
a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi sebelum
umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-satunya gejala yang
timbul.
b. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis pulmonal.
c. Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri sendiri.
d. Retardasi mental dan beberapa kelainan lain antara lain:
- Purpura trombositopeni ( Blueberry muffin rash )
- Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan lain-lain.

V. PATOGENESIS11
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung.
Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat.
Dalam secret faring dan urin bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam jumlah
banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi

22
dengan CRS dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah
kelahiran. Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan
sel akiba virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi
selama viremia ibu, menyebabkan daerah nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel
vili korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen
pembuluh darah, virus rubella kemudian masuk ke dalam sirkulasi janin sebagai
emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan
kerusakan organ janin. Hal ini yang dapat menyebabkan gangguan pada organ seperti
mata, jantung dan telinga.
Apabila virus rubella menginfeksi lensa embrionik, dapat memperlambat
pembelahan dan maturasi sel, sehingga menyebabkan degenerasi serabut lensa,
kegagalan mempertahankan keadaan dehidrasi lensa, terjadi nekrosis dan akhirnya
lensa menjadi berwarna keruh. Terdapat area sentral yang terdiri dari serabut lensa
yang berdegenerasi dan tidak dapat mengubah asam amino menjadi protein, sehingga
sel tersebut tidak memiliki organel. Serabut lensa sekunder kemudian menyelubungi
area sentral lensa embrionik tersebut dan menyebabkan kekeruhan. Katarak dapat
terjadi apabila ibu terinfeksi rubella sebelum minggu ke-9 hingga ke-11 kehamilan.
Progresivitas katarak dapat terjadi setelah lahir karena lensa yang belum matur dapat
berperan sebagai reservoir untuk virus, hal ini dapat berlangsung hingga usia 3
tahun13

VI. KLASIFIKASI KATARAK KONGENITAL

Klasifikasi katarak kongenital berdasarkan morfologi penting, karena dapat


menunjukkan etiologi kemungkinan, diwariskan dan efek pada penglihatan. Adapun
klasifikasi berdasarkan morfologi adalah sebagai berikut:
a. Katarak nuclear adalah katarak yang terbatas pada nukleus lensa embrio atau
janin. Katarak bisa padat atau halus dengan kekeruhan berbentuk serbuk/seperti
debu (Gambar 6A). Berhubungan dengan mikrophthalmos.

23
b. Katarak lamellar, mempengaruhi lamella tertentu dari lensa baik anterior dan
posterior (Gambar 6B) dan dalam beberapa kasus dikaitkan dengan ekstensi radial
(Gambar 6C). Katarak lamellar mungkin AD, terjadi pada bayi dengan gangguan
metabolik dan infeksi intrauterin.
c. Katarak koroner (supranuclear), katarak terletak di korteks dalam dan
mengelilingi inti seperti mahkota (Gambar 6D). Biasanya sporadis dan hanya
sesekali yang bersifat herediter.
d. Katarak blue dot (cataracta punctata caerulea - Gambar 6E) yang umum dan tidak
berbahaya, dan dapat bersamaan dengan katarak jenis lain.
e. Katarak sutura, di mana kekeruhan mengikuti sutura Y anterior atau posterior.
(Gambar 6F).
f. Katarak polaris anterior (Gambar 7A), bisa flat atau kerucut ke ruang anterior
(katarak piramidal - Gambar 7B). Katarak piramidal sering dikelilingi oleh daerah
katarak kortikal dan dapat mempengaruhi penglihatan. Berhubungan dengan
katarak polaris anterior termasuk membran pupil persisten (Gambar 7C), aniridia,
anomali Peters dan lenticonus anterior.
g. Katarak polaris posterior (Gambar 7D) kadang-kadang berhubungan dengan sisa-
sisa hyaloid persisten (Mittendorf dot), lenticonus posterior dan vitreous primer
hiperplastik persisten.
h. Katarak central oil droplet (Gambar 7E), khas pada galaktosemia.
i. Katarak membranosa, jarang dan mungkin terkait dengan Hallermann-Streiff-
François sindrom. Terjadi ketika bahan lentikular sebagian atau seluruhnya
menyerap kembali meninggalkan sisa kapur putih-materi lensa yang terjepit di
antara kapsul anterior dan posterior (Gambar 7F).

24
Gambar 6. Morfologi katarak kongenital2

25
Gambar 7. Morfologi katarak kongenital2

VII. DIAGNOSIS
Seharusnya dilakukan pemeriksaan mata pada seluruh bayi baru lahir sebagai
skrinning, Pemeriksaan red reflex pada ruang gelap menggunakan oftalmoskop

26
secara simultan pada kedua mata. Pemeriksaan ini disebut juga illumination test , red
reflex test atau Brückner test .
Retinoskop melalui pupil yang tidak berdilatasi. Dapat memprediksikan katarak
aksial pada anak-anak preverbal
Anamnesis
Gejala klinis pada katarak kongenital adalah silau, bercak putih pada pupil
disebut leukokoria, penglihatan berkurang, cahaya tidak dapat melalui lensa, karena
tidak lagi transparan. Pada anak yang lebih tua mata bisa berubah. Ini disebut
strabismus, atau dikenal dengan juling. Terjadi karena mata tidak bisa fokus dengan
baik.10 Pemeriksaan mata secara menyeluruh dapat menegakkan diagnosis dini
katarak kongenital. Lensa yang keruh dapat terlihat tanpa bantuan alat khusus dan
tampak sebagai warna keputihan pada pupil yang seharusnya berwarna hitam. Bayi
gagal menunjukkan kesadaran visual terhadap lingkungan di sekitarnya dan kadang
terdapat nistagmus. Diperlukan anamnesa yang detail tentang hambatan tumbuh
kembang anak, pola makan anak, lesi-lesi kulit, kelainan-kelainan perkembangan
yang lain serta riwayat keluarga di dalam mendiagnosa katarak kongenital.
Pemeriksaan Okular
Pemeriksaan dengan slit lamp pada kedua bola mata tidak hanya melihat
adanya katarak tetapi juga dapat mengidentifikasi waktu terjadinya saat di dalam
rahim dan jika melibatkan sistemik dan metabolik. Pemeriksaan dilatasi fundus
direkomendasikan untuk pemeriksaan kasus katarak unilateral dan bilateral. Bila
fundus okuli tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan oftalmoskopi indirek, maka
sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi.2
Pemeriksaan Penunjang
Pada katarak kongenital, pemeriksaan laboratorium yang dilakukan seperti
hitung jenis darah, titer TORCH, tes reduksi urin, red cell galactokinase, pemeriksaan
urin asam amino, kalsium dan fosfor. Pemeriksaan darah dan rontgen perlu dilakukan
untuk mencari kemungkinan penyebab.9

27
VIII. PENATALAKSANAAN1
Pertimbangan waktu sangat penting dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Katarak total bilateral memerlukan operasi awal ketika usia anak 4-6 minggu
untuk mencegah penurunan perkembangan stimulus ambliopia. Jika kelainan
asimetris yang sudah berat, mata dengan katarak harus ditangani terlebih
dahulu.
2. Katarak parsial bilateral mungkin tidak memerlukan pembedahan. Dalam
kasus yang meragukan, mungkin lebih bijaksana untuk menunda operasi,
kekeruhan lensa dan fungsi visual dimonitor dan dilakukan intervensi nanti
jika penglihatan memburuk.
3. Katarak total unilateral harus dioperasi segera (mungkin dalam hitungan hari)
diikuti oleh terapi anti-amblyopia agresif, meskipun yang hasilnya sering
minimal. Waktu intervensi harus seimbang dengan saran bahwa intervensi
dini (<4 minggu) dapat menyebabkan peningkatan risiko glaukoma sekunder
berikutnya. Jika katarak terdeteksi setelah usia 16 minggu maka prognosis
penglihatan sangat minimal.
4. Katarak parsial unilateral biasanya dapat diamati atau diperlakukan secara
non-pembedahan dengan dilatasi pupil dan mungkin oklusi kontralateral
untuk mencegah ambliopia.
5. Tindakan bedah diindikasikan apabila reflek fundus tidak tampak. Tindakan
bedah yang dikenal adalah iridektomi optis, disisio lensa, ekstraksi linier dan
ekstraksi dengan aspiras
a. Rehabilitasi optikal setelah operasi
Pemilihan optical device untuk koreksi aphakia tergantung pada beberapa
faktor. Kacamata merupakan metoda yang paling aman, mudah diatur sesuai
pertumbuhan tetapi tidak ideal pada kasus aphakia monokular.
Intra Ocular Lense (IOL)4,6
Pada anak-anak sangatlah penting untuk mengkoreksi afakia sesegera mungkin
setelah pembedahan. Salah satu pilihan adalah untuk menanam sebuah IOL

28
ketika katarak di ekstraksi. Sayangnya hal tersebut bukanlah hal yang sederhana.
Saat lahir lensa manusia lebih sferis dibanding orang dewasa. Lensa tersebut
mempunyai kekuatan sekitar 30D, dimana mengkompensasi untuk jarak axial
lebih dekat dari mata bayi. Hal ini turun sekitar 20-22D setiap 5tahun. Artinya
bahwa sebuah IOL yang memberikan penglihatan normal pada seorang bayi
akan membuat miopia yang signifikan saat dia lebih tua. Hal tersebut merupakan
komplikasi lanjut karena perubahan kekuatan kornea dan perpanjangan axial dari
bola mata. Perubahan-perubahan ini paling cepat terjadi bebrapa tahun pertama
Lensa kontak merupakan metode yang paling popular pada kasus aphakia
monokular tetapi mempunyai resiko tinggi untuk mengalami infeksi mata dan
ulkus kornea. ehidupan dan hal ini hampir tidak mungkin untuk memprediksi
kekuatan lensa untuk bayi.
Penanaman IOL implantation hampir menjadi hal yang rutin untuk anak yang
lebih besar, Koreksi penggunaan IOL pada anak-anak masih kontroversi. Tanpa
IOL, bayi akan membutuhkan lensa kontak. Beberapa sumber mengatakan
dilakukan pemasangan IOL saat memasuki usia masuk sekolah, ada juga yang
mengatakan bahwa IOL dipasang segera setelah operasi dan saat hendak
memasuki usia sekolah dilakukan koreksi kembali. Jika tidak dihendaki
pemasangan IOL dapat dipertimbangkan pula optical devices lainnya seperti
kacamata maupun lensa kontak untuk melakukan koreksi pada kondisi afakia

Perawatan pasca operasi 1


 Terapi medis
Jika seluruh korteks dapat diangkat maka inflamasi setelah operasi
tanpa IOL, biasanya ringan sehingga dapat diberikan antibiotik topikal dan
steroid topikal sekitar 2 minggu. Pada kasus aphakia, pemberian midriasis
dilanjutkan beberapa minggu menggunakan atropin atau agen lainnya. Steroid

29
topikal diberikan lebih agresif pada pemasangan IOL dan steroid oral
diberikan bila heavy pigmented irides.
 Manajemen ambliopia
Terapi ambliopia penting dilakukan secepat mungkin setelah operasi.
Pada pasien aphakia, kacamata atau lensa kontak diberikan 1 minggu setelah
operasi. Patching diindikasikan pada kasus katarak unilateral atau katarak
bilateral dimana ditutup mata yang lebih baik. Part time occlusion pada
neonatus untuk merangsang penglihatan binokular dan menghambat
strabismus. Regimen yang popular : jumlah jam mata ditutup sesuai dengan
usia anak dalam bulan. Misalnya mata ditutup 1 jam pada usia 1 bulan setiap
hari. Maksimal 8 jam pada usia 8 bulan.
 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi setelah operasi katarak berbeda antara
anak dan dewasa. Retina detachment, makular edema dan abnormalitas kornea
jarang pada anak-anak. Angka kejadian infeksi dan perdarahan sama antara
anak dan dewasa. Glaukoma pada anak-anak aphakia dapat terjadi beberapa
tahun kemudian.

IX. KOMPLIKASI
Tanpa intervensi yang segera, katarak kongenital dapat memicu terjadinya
“mata malas” atau ambliopia. Keadaan ambliopia ini kemudian memicu masalah lain
seperti nistagmus, strabismus, dan ketidakmampuan untuk menyempurnakan
gambaran terhadap objek. Hal ini akan sangat mempengaruhi kemampuan belajar,
kepribadian, dan penampilan, lebih jauh lagi mempengaruhi seluruh kehidupan anak.4
Ambliopia yang terjadi dapat berupa ambliopia sensoris (ambliopia ex anopsia)
akibat makula lutea yang tidak cukup mendapat rangsangan dan ambliopia eksanopia
akibat kerusakan permanen pada saraf penglihatan.14 Operasi katarak pada anak-anak

30
memiliki komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan pada orang dewasa. Komplikasi
pasca operasi adalah sebagai berikut:2
1. Kekeruhan capsular posterior hampir menyeluruh jika kapsul posterior masih
dipertahankan pada anak di bawah usia 6 tahun. Hal ini juga lebih penting pada
anak-anak karena efek ambliogeniknya. Insiden kekeruhan berkurang saat
capsulorhexis posterior dikombinasikan dengan vitrektomi.
2. Glaukoma akhirnya berkembang pada sekitar 20% dari mata.
 Closed-angle glaucoma dapat terjadi pada periode pasca operasi segera di
mata microphthalmic sekunder karena terdapat penyumbatan pupil.
 Secondary open-angle galucoma dapat berkembang bertahun-tahun setelah
operasi awal, karena itu penting untuk memantau tekanan intraokular jangka
panjang.
3. Ablasio retina merupakan komplikasi yang jarang terjadi dan biasanya terlambat.
Ablasio retina lebih sering terjadi pada bedah katarak kongenital. Sering timbul
sangat lambat, sekitar 35 tahun setelah operasi. Jika beberapa pasien mengeluh
tiba-tiba kehilangan penglihatan, bahkan meskipun bertahun-tahun setelah operasi
katarak kongenital, hal tersebut dianggap sebagai akibat dari ablasio retina sampai
dibuktikan terdapat penyebab yang lain7

X. PROGNOSIS4,7
Prognosis visus tergantung dari age of onset, jenis katarak (unilateral/bilateral,
total/parsial), ada tidaknya kelainan mata yang menyertai katarak, tindakan operasi
(waktu, teknik, komplikasi) dan rehabilitasi visus pasca operasi.1 Prognosis
penglihatan pasien dengan katarak congenital yang memerlukan pembedahan tidak
sebaik prognosis untuk pasien senilis. Adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali
syaraf optikus atau retina, membatasi tingkat pencapaian penglihatan pada pasien.
Secara umum, aphakia bilateral mempunyai kemampuan visual yang lebih baik
dibandingkan aphakia monocular

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Kanski JJ Bowling B. Congenital Cataract in Clinical Ophthalmology A


Systematic Approach Seventh Edition. UK : Elsevier. 2011.303.
2. Jugnoo S. R., Carol D. and for the British Congenital Cataract Interest Group,
Measuring and Interpreting the Incidence of Congenital Ocular Anomalies:
Lessons from a National Study of Congenital Cataract in the UK(Investigative
Ophthalmology and Visual Science. 2001;42:1444-1448.). Available from:
www.iovs.org/misc/terms.shtml
3. Katarak kongenital. Available in:
http://www.perdami.or.id/?page=content.view&alias=custom_88
4. Vaughan & Asbury : oftalmologi umum / Paul Riordian-Eva, John P. Whitcher ;
alih bahasa, Brahm U. Pendit ; editor bahasa Indonesia, Diana Susanto. Ed 17.
Jakarta : EGC, 2009
5. Wijana NSD. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Abadi Tegal. Jakarta : 1993.
190-196.
6. Khurana AK. Disease of the Orbit. Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition, page
: 280-283
7. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. FKUI. Jakarta : 2007. 201-204.
8. RNIB. 2012. Congenital cataract. Available
from:http://www.rnib.org.uk/eyehealth/eyeconditions/conditionsac/Pages/congeni
tal_cataracts.aspx
9. Boshour M, et al. 2012. Congenital cataract. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1210837-followup#showall

32
10. Fecoretta C, et al. 2012. Congenital cataract. Available
from:http://www.merckmanuals.com/professional/pediatrics/eye_defects_and_co
nditions_in_children/congenital_cataract.html
11. Fitriany, Julia. Husna, Yulia. 2018. Sindrom Rubella Kongenital. Jurnal Averrous
Vol.4 No.1
12. Retno W, Lely. Radika H,K Kristina.Katarak Pediatrik: Profil Klinik dan Faktor
Determinan Hasil Terapi. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 27 No. 3, Februari
2013
13. Josiah, Irma. Sovani, Iwan dkk. 2017. Manifestasi Okular dan Non Okular
Sindrom Rubella Kongenital Pada Penderita Katarak Kongenital. MEDICINUS
Vol. 6 No. 3 Juni 2017 – September 2017
14. Lukitasari, Arti. 2010. Lensa Mata. Jurnal kedokteran Syiah Kuala Volume l0
Nomor 3 Desember 2010

33

Anda mungkin juga menyukai