Anda di halaman 1dari 50

Departemen Ortopedi dan Traumatologi Referat

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin November

KEGAWATDARURATAN OLAHRAGA

Oleh:

HASTRI ADHE RAMDHANY C014 172 026

RIA ANDRIANI AMRULLAH C014 181 058

GHANIAH ALVITA C014 181 089

MUTIA ILYAS C014 172 136

Residen Pembimbing

dr. Novra Yudithya Santoso

dr. Gerry Dwi Putro

Konsulen Pembimbing

Dr. dr. Muhammad Sakti Sp.OT (K)

DIBAWAKAN SEBAGAI TUGAS PADA KEPANITERAAN KLINIK BIDANG


STUDI ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : HASTRI ADHE RAMDHANY C014 172 026

RIA ANDRIANI AMRULLAH C014 181 058

GHANIAH ALVITA C014 181 089

MUTIA ILYAS C014 172 136

Judul : Kegawatdaruratan Olahraga

Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ortopedi
dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, November 2019

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Novra Yudithya Santoso dr. Gerry Dwi Putro

Supervisor

Dr. dr. Muhammad Sakti Sp.OT (K)


BAB I

PENDAHULUAN

Olahraga baik untuk kebugaran tubuh dan melindungi kita dari berbagai penyakit. Namun,

berolahraga secara berlebihan dan mengabaikan aturan berolahraga yang benar, malah

mendatangkan cedera yang dapat membahayakan diri. Cedera sering dialami oleh seorang

atlet, seperti cedera goresan, robek pada ligamen, atau patah tulang karena terjatuh.

Cedera tersebut biasanya memerlukan pertolongan yang profesional dengan segera.

Ada beberapa hal yang menyebabkan cedera akibat aktivitas olahraga yang salah. Aktivitas yang

salah ini karena pemanasan tidak memenuhi syarat, kelelahan berlebihan terutama pada otot,

dan salah dalam melakukan gerakan olahraga. Kasus cedera yang paling banyak terjadi,

biasanya dilakukan para pemula yang biasanya terlalu berambisi menyelesaikan target latihan atau

ingin meningkatkan tahap latihan. Cedera akibat berolahraga paling kerap terjadi pada

atlet, tak terkecuali atlet senior. Biasanya itu terjadi akibat kelelahan berlebihan karena

panjangnya waktu permainan atau terlalu banyaknya partai pertandingan yang harus diikuti. Cara

yang lebih efektif dalam mengatasi cedera adalah dengan memahami beberapa jenis cedera dan

mengenali bagaimana tubuh kita memberikan respon terhadap cedera tersebut. Juga, akan

dapat untuk memahami tubuh kita, sehingga dapat mengetahui apa yang harus

dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera, bagaimana mendeteksi suatu cedera agar tidak terjadi

parah, bagaimana mengobatinya dan kapan meminta pengobatan secara profesional.1

Cedera olahraga didefinisikan oleh Engebretsen et al. sebagai "setiap

kerusakan jaringan tubuh yang terjadi sebagai akibat dari olahraga atau latihan" Studi

terbaru telah menemukan bahwa atlet menopang 4 juta cedera terkait olahraga setiap

tahun dan membutuhkan sekitar 2,6 juta kunjungan ruang gawat darurat dengan biaya

hampir $ 2 miliar .Oleh karena itu, protokol standar untuk penyaringan dan
pemantauan cedera tersebut harus dilakukan, sebagai tambahan dari rencana

manajemen yang dapat diandalkan untuk mencegah komplikasi lanjutan, untuk

mencapai ini , penilaian kejadian, luas, dan keparahan cedera olahraga harus

dilakukan.1,2

Tenaga kesehatan yang dipercayakan untuk kesehatan dan keselamatan atlet

harus mengetahu kemungkinan cedera serius atau sakit mendadak ada di semua

olahraga, hal-hal yang berhubungan dengan level atau jenis permainan. Tidaklah

cukup bagi para profesional kesehatan untuk memperbarui sertifikasi resusitasi

kardiopulmoner (CPR) mereka setiap 2 tahun dan berharap yang terbaik. Profesional

kesehatan yang bekerja dengan atlet harus memiliki pemahaman unik tentang situasi

darurat yang dapat timbul dan harus memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk

mengelola keadaan darurat tersebut. Mereka harus mahir dalam perawatan darurat

olahraga.2

Perawatan darurat didefinisikan sebagai perawatan langsung yang diberikan

kepada orang yang terluka atau tiba-tiba sakit. Praktisi perawatan darurat harus mahir

dalam penganan cedera mendadak. serta memiliki keterampilan yang diperlukan

untuk mengelola kondisi sampai perawatan medis yang lebih pasti tersedia. Perawatan

darurat biasanya melampaui perawatan pertolongan pertama dan mungkin melibatkan

keterampilan yang lebih maju dan peralatan khusus. Ingat definisi ini. perawatan

darurat olahraga dapat didefinisikan sebagai perawatan langsung yang diberikan

kepada peserta olahraga yang cedera atau tiba-tiba sakit. Keadaan darurat olahraga

adalah bidang spesialisasi yang diperlukan untuk penyedia layanan kesehatan yang

terlibat dalam merawat individu yang aktif secara fisik.2


Perawatan Darurat Olahraga sangat dibutuhkan karena ada risiko cedera yang

melekat pada setiap olahraga. Pengenalan darurat terhadap keadaan darurat dan

perawatan yang tepat sangat penting untuk memberi atlet kesempatan terbaik untuk

bertahan hidup. Para profesional perawatan kesehatan olahraga harus menerima

cedera dan penyakit yang merupakan akibat langsung dari partisipasi olahraga (seperti

cedera tulang belakang, cedera kepala, dan patah tulang) serta penyebab tidak

langsung (seperti kelainan jantung bawaan dan keadaan darurat medis lainnya).

Kebutuhan peserta olahraga dengan jenis cedera dan penyakit ini jauh melampaui

perawatan pertolongan pertama.2

Mempersiapkan dan mengelola keadaan darurat olahraga harus merupakan upaya

tim. Setiap anggota tim harus memahami, menghormati, dan menghargai kemampuan

dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh anggota tim lainnya. Secara historis ada

situasi di mana pelatih atletik dan teknisi medis darurat berbeda dalam pendekatan

mereka dalam mengelola situasi darurat dalam olahraga. Sering perbedaan dalam

pendekatan ini dapat mengarah pada konfrontasi lapangan di lokasi darurat.2


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Preparing For Sport Emergency

Manajemen kedaruratan yang tepat dalam olahraga tidak terjadi secara kebetulan.

Persiapan adalah kunci untuk memastikan bahwa sumber daya dan prosedur yang

tepat ada untuk memastikan perawatan sebaik mungkin. Persiapan adalah proses yang

dinamis, dan perencanaan harus dimulai jauh sebelum cedera, permainan, atau bahkan

musim.2

Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan ketika mempersiapkan keadaan

darurat olahraga. Persiapan pra pertandingan untuk tenaga medis sangat penting untuk

diketahui. Dalam keadaan darurat, penting utnuk tenaga medis mengetahui lokasi

AED terdekat, seberapa jauh departemen A dan E terdekat, peralatan apa yang ada,

dan lain-lainnya. Persiapan ini dapat dibagi menjadi 4 entitas yang terpisah, yang

dapat dengan mudah dihafal menggunakan PREP.2,3

 Personnel - profesional perawatan kesehatan lainnya di situs

 Rule-aturan khusus olahraga untuk memasuki bidang permainan

 Environment - baik lingkungan langsung (lahan) dan lebih luas (terdekat A dan E

dll)

 Riwayat pemain

A. Personel

Anggota tim perawatan darurat olahraga tergantung pada tingkat permainan dan

ukuran institusi. Tim perawatan darurat olahraga di liga Sepak Bola Nasional
mungkin memiliki lebih banyak anggota tim liga sepak bola lokal. Semua personil

harus diidentifikasi dan dimasukkan dalam proses persiapan dan perencanaan.

Penting bahwa setiap anggota tim memahami kualifikasi,keahlian, dan keterbatasan

anggota lainnya. Personil pelayanan medis darurat dan dokter adalah anggota penting

dari tim kegawatdaruratan olahraga.Tim dokter memiliki berbagai tingkat pengalaman

dalam menangani keadaan darurat olahraga, tergantung pada spesialisasi medis dan

pelatihan tambahan. Selain personil pelayanan medis darurat dan dokter, pelatih atlet

juga dapat berperan dalam penanganan kasus emergensi dalam olahraga, paling tidak

pelatih harus dilatih dalam pertolongan pertama dan CPR untuk membantu seorang

atlet sampai bantuan lebih lanjut tiba.3

B.Aturan

Setiap olahraga individu memiliki aturannya sendiri untuk memungkinkan non-atlet

memasuki bidang permainan. Aturan-aturan ini umumnya dapat ditemukan di buku

peraturan resmi olahraga, yang salinannya biasanya dapat diperoleh secara online di

halaman federasi internasional olahraga. Beberapa contoh aturan dalam olahraga

yaitu:3

-Panduan Resmi GAA 2012

Bermain tidak boleh dihentikan untuk pemain yang cedera kecuali dalam keadaan luar

biasa - misalnya dalam hal pemain membutuhkan perawatan di lapangan atau

dikeluarkan dari bidang permainan. Semua cedera lain harus dirawat di luar lapangan.

(GAA 2012)
-Dewan Rugby Internasional

Dokter tim dan anggota tim yang tidak bermain lainnya hanya dapat memasuki bidang

permainan dengan izin dari wasit. Mereka lebih lanjut menyatakan bahwa anggota ini

dapat memasuki lapangan karena permainan hanya berlanjut jika wasit telah

memberikan izin. Kalau tidak, mereka tidak dapat melakukannya sampai bola mati.

(IRB 2012)

-Federasi Bola Basket Internasional

Seorang dokter dapat memasuki lapangan tanpa izin jika mereka menilai seorang

pemain yang cedera membutuhkan perawatan medis segera (FIBA 2012). Ada banyak

kesamaan antara pedoman untuk olahraga yang berbeda mengenai memasuki bidang

permainan, namun ini sudah tersedia, dan tenaga medis harus membiasakan diri

dengan ini sebelum mengerjakan setiap acara.

C.Lingkungan Hidup

Persiapan dalam kaitannya dengan lingkungan dapat secara luas dibagi menjadi

lingkungan langsung dan lingkungan yang lebih luas.3

-Lingkungan langsung

Termasuk cuaca, pertandingan yang sedang berlangsung dan gangguan oleh orang

lain yang hadir. Meskipun aspek-aspek ini tidak dapat dikontrol, penting bahwa

tenaga medis mengakui bahwa ini dapat mengganggu perawatan mereka.

-Lingkungan yang lebih luas

Peralatan Isi dari tas klinisi tim akan bervariasi tergantung pada jenis olahraga,

peralatan yang tersedia dan preferensi dokter (Brunkerand Kahn 2006)


Tabel 2.1 Perlengkapan dan obat-obatan untuk kegawatdaruratan dalam olahraga.3

General Ektremitas Kepala&leher/ Kulit Optional

Nerurologic

Towels Kinesiotape, Colar neck Alkohol swab Tensimeter

Zinc Oxide

Kapas swab Pre-Tape Face mask Cukur silet dan stetoskop

Spray removal tool krim cukur

Handscoon Elastic perban: penlight Pelumas oksigen

steril/tidak kulit(vaseline)

Ice packs sling Kit bandages Alat resusitasi

instan nasal( tampon) jantung

paru(CPR)

Heat pack Splints AED

Obat lain Tubigrip Blanket

(mis.,

Antibiotik

topikal,

antiinflamasi,

antibiotik,

antihistamin,

antiemetik,

glukagon,
aspirin,

cortisone,

glukosa oral)

-Perangkat trasportasi

Tergantung pada tingkat keparahan dari cedera atau penyakit. salah satu dari

sejumlah metode transportasi yang berbeda mungkin diperlukan untuk memindahkan

pasien. Kursi roda atau kursi pribadi (kursi roda yang dirancang untuk digunakan di

bidang atletik), maupun strechers(tandu medis) biasanya sering digunakan untuk

evakuasi keluar dari lapangan.Transportasi dengan ambulans mungkin diperlukan

dalam keadaan darurat yang lebih serius untuk mengantarkan ke rumah sakit terdekat.

Petugas perawatan darurat olahraga harus memastikan bahwa perangkat atau

kendaraan ini tersedia dan berfungsi.2

2.2 Assessment Kegawatdaruratan dalam olahraga

Tugas dokter tim dan tim medis lapangan meliputi pengamatan konstan pemain di

lapangan, sehingga jika ada pemain yang sakit atau cedera, akan segera diamati oleh

staf medis yang bertugas. Berkenaan dengan setiap pemain yang cedera, penting

untuk mengamati mekanisme cedera, karena ini akan membantu penangan

selanjutnya.4

Penilaian yang tepat atas cedera olahraga adalah keterampilan penting bagi

penyedia layanan kesehatan yang meliput acara olahraga. Keterlambatan dalam

perawatan seringkali dapat memperumit cedera (seperti dalam dislokasi dengan


kejang otot) atau bahkan mengurangi peluang untuk bertahan hidup (seperti pada

henti jantung).3

Berbagai metode penilaian akan diperkenalkan dalam bab ini. Banyak alat

penilaian ini dirancang untuk mengungkap tanda dan gejala yang akan berguna dalam

menentukan sifat penyakit atau cedera. Ketika menilai korban yang sakit atau terluka,

biasanya, satu gejala tidak cukup untuk menentukan kondisi. Biasanya diperlukan

beberapa tanda dan gejala untuk menggambarkan kondisinya.2,3

2.2.1 Penilaian Awal

Penilaian untuk mengetahuai adanya kondisi mengancam nyawa langsung dimulai

dengan memeriksa kesadaran atlet yang cedera dengan menggunakan AVPU maupun

menggunakan Glasgow Coma Scale.Namun dalam keadaan darurat, Skala AVPU

yang paling sering digunakan untuk menilai tingkat kesadaran.2

A. SKALA AVPU2

 A — Alert Jika korban dalam keadaan siaga. Nilai orientasinya terhadap waktu

(tanyakan, jam berapa?hari apa?tanggal berapa?), tempat (tanyakan, dimana anda

sekarang?), orang (tanyakan, siapa dia?, dan kegiatan (apa yang dia lakukan?)

Ketidakmampuan korban untuk mengenali waktu, tempat, orang, dan / atau

kegiatan mungkin merupakan indikasi cedera otak.

 V — Verbal : berespon terhadap rangsangan suara. Dapat dilakukan dengan

berbicara keras ditelinga korban, kemudian melihat apakah dia berspon atau tidak

 P — Pain: berespon terhadap rangsangan nyeri, dapat dilakukan dengan menekan

pangkal kuku atau menekan bagian tulang dada(sternum), dan dapat juga dengan

menekan bagian diatas mata


 U — Unresponsive, tidak berespon baik dengan rangsangan verbal maupun

dengan rangsangan nyeri.

B. Glasgow Coma Scale(GCS)4

Seorang pemain dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15 dari 15 secara fungsional

sepenuhnya terjaga dan berorientasi pada waktu, tempat, dan orang. Namun, setiap

pemain dengan GCS 14 atau kurang dari 15 dianggap memiliki cedera kepala yang

memerlukan pengangkatan dari bidang permainan.

Tabel 3.1 GCS skor

Saat mendekati pemain yang cedera, salah satu dari beberapa skenario klinis mungkin

muncul dengan sendirinya:.4

-Pemain Sepenuhnya waspada tanpa tanda-tanda atau gejala klinis

-Peringatkan pemain dengan tanda atau gejala neourogical


Pemain -Confused dengan atau tanpa tanda-tanda atau gejala neourogical

-Pemain sadar yang bernapas cukup

- Pemain tidak sadar dengan pernapasan tidak normal atau tanpa pernapasan

Ketika telah mengetahui status kesadaran pasien, maka penolong harus

memberikan penanganan awal untuk menghindari keadaan yang mengancam nyawa.

Penaganan awal yang dilakukan antara lain penilaian airway atau jalan nafas,

pernafasan. dan sirkulasi (ABC). dan beberapa tenaga medis menambahkan penilaian

terhadap deformitas (D) dan exposure (E). 2


2.3 Primary Survey5

1. Airway Maintenance dan Restriksi Vertebra Servikal


Semua pasien kondisi trauma dianggap mengalami cedera pada vertebra
servikal hingga dapat dibuktikan tidak mengalami cedera medulla spinalis.
Penilaian airway merupakan penilaian paling pertama yang harus dilakukan.
Penilaian airway meliputi: 5
 Jika pasien dapat berkomunikasi dengan baik dan jelas secara verbal,
maka tidak terdapat masalah terhadap jalan nafas.
 Inspeksi adanya benda asing yang dapat menghalangi jalan nafas,
adanya trauma pada wajah, mandibula, leher (laring/trakea) maupun
trauma lain yang dapat menyebabkan adanya sumbatan jalan nafas.
Pada tahap inspeksi juga diamati apakah pasien saat bernafas terdapat
retraksi atau menggunakan otot bantu pernafasan
 Mendengarkan bunyi nafas tambahan. Snoring (akibat lidah terjatuh
kebelakang), gurgling (akibat sumbatan benda cair), crowing/stridor
(akibat laryngospasm) menandakan adanya sumbatan parsial pada
jalan nafas.
 Palpasi ada nya deformitas, krepitasi pada wajah
 Amati kondisi pasien, pasien yang gelisah dan kasar mungkin berada
dalam kondisi hipoksia

Pada tahap ini dilakukan pembersihan jalan nafas dengan menggunakan finger
swab dan suction pada benda cair (darah, sekret, dll) yang menyumbat jalan nafas. 5

Jika pasien mengalami penurunan kesadaran (GCS <8) maka perlu diberikan
defenitive airway. Pada tahap awal membuka jalan nafas dapat dilakukan manuver
chin lift dan atau jaw thrust sambil menrestriksi gerakan berlebihan pada vertebra
servikal. Selain manuver, menjaga patensi jalan nafas dapat dilakukan menggunakan
alat bantu seperti nasofaringeal tube, orofaringeal tube, laryngeal mask airway.
Apabila dengan alat bantu masih kesulitan untuk menjaga patensi jalan nafas, dapat
menggunakan defenitive airway yaitu intubasi endotrakeal

Saat menjaga patensi jalan nafas, tidak boeh dilakukan gerakan berlebihan pada
vertebra servikal pasien bila dicurigai adanya spinal injury. Vertebra harus dilindungi
dan menrestriksi gerakan berlebihan untuk mencegah timbulnya defisit neurologis
hingga dapat dibuktikan tidak terdapat spinal injury. Proteksi vertebra servikal dapat
menggunakan rigid cervical collar/neck collar, namun bila diperlukan untuk menjaga
patensi jalan nafas, neck collar dapat dilepaskan dan gerakan pada vertebra servikal
ditahan secara manual. 5

Apabila pada saat membuka jalan nafas pasien muntah, maka pasien dimiringkan
ke lateral sambil tetap menjaga vertebra servikal Perlu dilakukan evaluasi berkala
terhadap patensi jalan nafas.5

2. Breathing dan Ventilasi

Apabila setelah memastikan airway tidak ada hambatan, maka gangguan pada
ventilasi harus dicari penyebabnya. Ventilasi yang baik memerlukan fungsi dari organ
paru, dinding dada dan diafragma. 5

 Inspeksi dilakukan dengan melihat adanya luka pada dinding dada, distensi
vena jugular, posisi trakea dan pergerakan dinding dada. Pengembangan dada
yang tidak simetris menandakan kemungkinan ada pneumothorax atau flail
chest.
 Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya abnormalitas seperti bunyi
hipersonor atau pekak.
 Auskultasi memastikan aliran udara dalam paru. Penurunan bunyi nafas pada
salah satu atau kedua hemithorax menandakan adanya trauma pada thorax.

Setiap pasien perlu diberikan terapi oksigen, dan jika pasien tidak diintubasi
oksigen harus diberikan melalui non rebreathing mask untuk mencapai oksigenasi
yang adekuat serta dilakukan pemantauan saturasi oksigen

Apabila pasien tidak dapat melakukan ventilasi spontan, maka diberikan bantuan
5
ventilasi menggunakan bag valve mask. Apabila dicurigai adanya tension
pneumothorax maka dilakukan needle dekompresi pada ICS 2, setinggi tepi atas
costa III
3. Sirkulasi dan Kontrol Perdarahan

Penurunan sirkulasi pada kondisi trauma dapat disebabkan oleh berbagai jenis
cedera. Perdarahan masif dapat menyebabkan kematian pada kondisi trauma. Setelah
tension pneumothorax telah disingkirkan sebagai penyebab shock, hipotensi dianggap
sebagai penyebab injury hingga dapat dibuktikan bukan penyebab hipotensi.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu: 5

 Kesadaran, ketika volume sirkulasi darah menurun, maka akan menyebabkan


penurunan kesadaran
 Perfusi, pasien dengan hipovolemia menunjukkan perubahan warna kulit
menjadi lebih pucat.
 Denyut nadi, denyut nadi yang cepat menunjukkan tanda hipovolemi,
pemeriksaan nadi dilakukan pada arteri sentral secara bilateral. Pemeriksaan
nadi meliputi kualitas, jumlah denyut tiap menit dan regularitas denyut.

Perlu ditentukan adanya perdarahan eksternal atau internal. Perdarahan eksternal


dapat diatasi pada primary survey dengan penekanan pada luka menggunakan perban
secara manual atau dengan bantuan elastic bandage. Jika perdarahan masih berlanjut,
dilakukan penekanan pada arteri disisi proksimal luka secara manual atau
menggunakan turniket. 5

Perdarahan internal dapat menyebabkan perdarahan masif, misalnya perdarahan


pada rongga thoraks, abdomen, retroperitoneum, pelvis dan tulang panjang. Pada
perdarahan internal mungki perlu dilakukan angioembolisasi. 5

Penanganan awal dilakukan sebelum penanganan defenitif dapat dilakukan.


Penanganan awal dilakukan dengan memasang 2 line kateter vena berukuran besar
untuk memberikan resusitasi cairan. Dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui
golongan darah, uji cross match, darah rutin, dan analisa gas darah. Bila IV line
perifer tidak dapat dilakukan, dapat melalui akses intraosseus, vena sentral atau
venous cutdown. Apabila tidak terdapat respon terhadap terapi cairan, maka
dilanjutan dengan transfusi darah
4. Disability
Pemeriksaan neurologis cepat dilakukan dengan memeriksa GCS. Penurunan
kesadaran menandakan penurunan oksigenasi ke otak atau trauma langsung
pada otak. 5
5. Eksposur dan Lingkungan

Lepaskan pakaian pasien agar memungkinkan pemeriksaan menyeluruh.


Setelah pemeriksaan, pasien diselimuti menggunakan selimut yang hangat untuk
mencegah hipotermia.

2.4 Secondary Survey5


Pemeriksaan secondary survey meliputi pemeriksaan dari ujung kepala hingga ujung
kaki serta pemeriksaan ulang seluruh tanda vital. 5

A. Anamnesis
Anamnenis dilakukan secara autoanamnesis apabila pasien sadar dan alloanamnesis
apabila pasien tidak sadar. Hal yang perlu dianamnesis antara lain:

1. Mekanisme Injury5

Informasi mengenai mekanisme injury penting karena dapat membantu


menentukan jenis trauma yang dialami. Informasi yang perlu diketahui mengenai
mekanisme injury antara lain:

- Dimana lokasi pasien sebelum terjadinya trauma/kecelakaan?


- Dimana lokasi pasien setelah terjadinya trauma/kecelakaan?
- Apakah pasien terjatuh? Jarak ketinggian jatuh, mekanisme mendarat serta
lokasi mendarat
- Apakah pasien tertindih oleh objek? Tentukan berat objek, lokasi injury dan
durasi penindihan.
- Apakah terdapat ledakan? Jarak pasien dari ledakan, besar ledakan.
- Apakah pasien terlibat dalam tabrakan kendaraan dengan pejalan kaki?
2. Lingkungan5
- Bagaimana kondisi lingkungan tempat terjadinya trauma
- Apakah pasien terekspos dengan temperatur ekstrem?
- Apakah terdapat pecahan benda tajam?
- Apakah ada sumber kontaminasi bakteri seperti lumpur, feses, air?
3. Kondisi sebelum Injury dan faktor predisposisi5
- Alergi
- Konsumsi obat
- Riwayat penyakit sebelumnya, kondisi kehamilan
- Konsumsi makanan terakhir
- Lingkungan dan eksposur
4. Saksi dan penolong di lokasi injury. 5
- Waktu injury
- Posisi pasien ditemukan
- Adanya darah dan jumlahnya
- Fraktur terbuka
- Luka terbuka
- Deformitas atau dislokasi
- Crush injury
- Kondisi neurologis pada ekstremitas
- Hambatan saat proses transportasi ke rumah sakit
- Perubahan kondisi status neurologis dan neurovaskular ekstremitas saat
transportasi
- Pemakaian perban dan splint
- Durasi pemakaian turniket

B. Pemeriksaan fisis
Pemerisaan fisis meliputi pemeriksaan terhadap kulit, fungsi neuromuskular, sirkulasi
dan integritas tulang serta ligamen. 5
1. Look and Ask
Melakukan inspeksi warna, luka, deformitas, bengkak pada seluruh tubuh.
Warna ekstremitas yang pucat menandakan aliran darah arteri tidak adekuat.
Ekstremitas yang mengalami pembengkakan menandakan adanya crush injury
dengan sindrom kompartemen. Pembengkakan atau ekimosis pada daerah sendi
atau subkutan pada tulang menandakan adanya injury muskuloskeletal.
Deformitas ekstremitas menandakan adanya injury pada muskuloksletal. Pada
kondisi pasien sadar, dapat dilakukan pemeriksaan neurologis secara volunter. 5
2. Feel

Palpasi ekstremitas untuk menentukan area sensasi sensoris, nyeri tekan,


pembengkakan disertai adanya deformitas menandakan adanya fraktur.
Hilangnya sensasi sensosris terhadap nyeri dan sentuhan menandakan cedera
pada saraf spinal atau saraf perifer. Nyeri tekan pada otot menandakan adanya
kontusio otot atau fraktur. Pada kondisi yang dicurigai fraktur, tidak perlu
dilakukan pemerksaan krepitasi atau memeriksa pergerakan tulang yang abnormal.
Pada pemeriksaan sendi, pergerakan sendi yang abnormal menandakan ruptur
tendon atau ligamen.

3. Evaluasi sirkulasi

Evaluasi sirkulasi pada secondary survey memastikan kondisi pasien.

2.5 Prinsip Immobilisasi Spinal Cord dan Log Roll4

Semua pemain olahraga yang dicurigai mengalami spinal injury berdasarkan


gejala klinis dan termasuk pasien yang tidak sadar harus diimobilisasi secara tepat dan
memadai untuk mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada saraf tulang belakang.
Prinsip dasar imobilisasi tulang belakang terdiri dari :

 Secara hati-hati dan pelan, ganti posisi kepala menjadi posisi netral relatif
terhadap tulang belakang dan pertahankan posisi ini. Jika dengan gerakan
lambat ini menyebabkan nyeri leher atau tulang belakang, kejang otot, tanda
atau gejala neurologis yang abnormal, lakukan imobilisasi pada kepala dalam
posisi semula, dan transfer pemain dalam posisi ini ke rumah sakit dengan
perangkat immobilisasi yang sesuai dan tersedia.
 Setelah posisi kepala diatur ulang dan distabilkan dengan hati-hati dan lembut,
dengan perlahan sejajarkan posisi tulang belakang ke posisi netral,
mengikuti prinsip yang sama seperti yang dinyatakan di atas.
 Jika pemain berbaring telentang, pemain harus dipindahkan ke atas papan
yang panjang (Rigid Spine Board). Ini dapat dilakukan dengan manuver
log-roll yang hati-hati, pelan dan terkoordinasi. Untuk mengubah posisi
pemain ke sisi tim medis, tempatkan RSB pada sisi belakang pemain dan
kemudian log-roll terkoordinasi dengan hati-hati untuk memindahkan pemain
ke RSB dalam posisi terlentang untuk immobilisasi.

Gambar . Posisi Log-rolling untuk menempatkan Rigid Spine Board.4

 Jika pemain dalam posisi berbaring telungkup, langkah-langkah terkoordinasi


secara hati-hati dilakukan oleh tim medis untuk terlebih dahulu mengatur
ulang posisi kepala pada posisi netral, lalu log-roll pemain ke sisinya, dan
log-roll pemain ke RSB ke posisi terlentang untuk immobilisasi.
Gambar. Teknik Log-roll pada pemain dengan posisi telungkup4

 Jika pemain telah tepat sejajar dalam posisi terlentang, stabilisasi servikal
dengan menggunakan tangan diubah menjadi imobilisasi eksternal
menggunakan perangkat eksternal, seperti blok persegi bebrbahan busa.

Gambar. Setelah dilakukan imobilisasi, pemain telah siap untuk ditransfer ke


rumah sakit4
2.6 Internal Injury

2.6.1 Sindrom Kompartemen


Sindrom kompartemen adalah peningkatan tekanan dalam kompartemen fasia yang
dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan. Meningkatnya tekanan dapat
disebabkan oleh peningkatan kompartemen konten (mis., berdarah ke kompartemen
atau bengkak setelah revaskularisasi) atau penurunan ukuran kompartemen (mis.,
pembalutan yang ketat). Sindrom kompartemen dapat terjadi di mana saja otot yang
terkandung dalam ruang fasia tertutup. Ingat, kulit dapat menjadi lapisan yang
merestriksi pada keadaan teratentu. Tempat paling sering terjadinya sindroma
kompartmen termasuk kaki bagian bawah, lengan bawah, kaki, tangan, daerah gluteal,
dan paha. Komplikasi sindrom kompartemen bersifat katastropik dan dapat
menyebabkan defisit neurologis, nekrosis otot, Volkmann’s kontraktur, infeksi,
rhabdomyolisis, keterlambatan penyembuhan patah tulang, kemungkinan amputasi
dan penurunan fungsi ginjal hingga gangguan ginjal akut 5,6

A. Assessment Sindrom Kompartemen


1. Faktor risiko sindrom kompartemen. 5,6
- Fraktur (terutama Tibia dan lengan bawah)
- Cedera yang di imobilisasi dalam balutan pakaian atau gips yang ketat
- Cedera parah pada otot (Crush Injury)
- Perdarahan
- Reperfusi
- Tekanan setempat yang berkepanjangan untuk ekstremitas
- Peningkatan permeabilitas kapiler sekunder reperfusi otot iskemik
- Luka Bakar
- Latihan berlebihan

2. Gejala Klinis
Gejala klasik sindrom kompartemen adalah 6P, yaitu pain out of proportion,
pain with passive stretching, pallor, paresthesias, paralysis, dan pulselessness.
nyeri adalah gejala primer paling sensitif pada pasien sindrom kompartemen.
Pulselessness adalah gejala akhir, dan sindrom kompartemen telah berlangsung
sebelum gejala ini muncul.7 Sindrom kompartemen merupakan diagnosis klinis
sehingga munculnya gejala klinis tersebut disertai faktor risiko dapat
menegakkan diagnosis sindrom kompartemen.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran tekanan intra-kompartemen menggunakan sistem transduser
arterial, slit catheter, dan sistem pengukuran self-contained. Tekanan normal
lengan bawah saat beristirahat adalah 8-9 mmHg. Diagnosis sindrom
kompartemen ditetapkan bila peningkatan >30mmHg dari tekanan diastol.
Sebagian klinisi juga menetapkan diagnosis sindrom kompartemen jika tekanan
kompartemen absolut lebih dari 30 mmHg.7 Hal ini dikarenakan tekanan >30
mmHg menyebabkan penurunan aliran darah kapiler, yang bisa
mengakibatkan kerusakan otot dan saraf akibat anoksia.5
B. Tatalaksana
Sindrom kompartemen tergantung pada waktu dan kondisi tekanan.
Sindrom kompartemen harus segera dibebaskan dalam durasi 6 jam sejak
onset sindrom kompartemen untuk mendapatkan fungsi ekstremitas yang
masih baik. Semakin tinggi tekanan kompartemen dan semakin lama, semakin
besar tingkat kerusakan neuromuskuler yang dihasilkan dan defisit
fungsional.5,6

Tatalaksana sindrom kompartemen yaitu:

- Mengindentifikasi dan melepaskan gaya kompresi eksternal.


- Melepaskan casting/pakaian dari kulit
- Menjaga ekstremitas setinggi jantung
- Pemberian cairan IV dan oksigen mungkin diperlukan
- Terapi defenitif yaitu fasciotomy. Prinsip Fasciotomy yaitu dilakukan dengan
eksisi yang adekuat, melepaskan semua kompartemen, menjaga fungsi
vital, debridemen serta penutupan luka post operasi setelah 7 hari.
1. Leg
Leg terdiri atas 4 kompartemen, yaitu kompartemen anterior, lateral, deep
posterior dan superficial posterior. Metode fasciotomy dapat menggunakan
metode 2 insisi. Metode 2 insisi dilakukan dengan:
- Insisi anterolateral diantara tuberositas tibia dan shaft fibula pada septum
intermuscular anterior.
- Insisi dilakukan sepanjang 25 cm
- Insisi transversus membantu mengidentifikasi septum intermusular
- Kompartemen anterior dan lateral dibebaskan dengan menghindari
n.peroneus superficial
- Insisi Medial dilakukan 2 cm dibelakang batas tibia dengan jarak antara
kedua insisi > 5 cm. Insisi Transversus dapat dilakukan antara kompartemen
deep posterior dan superficial posterior.
- Soleus dapat dilepaskan untuk menhilangkan kompresi deep posterior.

Gambar Metode Fasciotomy leg (a) Metode 4 insisi, (b) Metode 2 insisi

2. Thigh
Thigh terdiri atas 3 kompartemen, yaitu Komponen anterior, posterior dan
medial.
- Insisi dilakukan pada sisi lateral sesuai dengan panjang paha.
- Insisi pada fascia lata untuk dekompresi kompartemen anterior
- Vastus lateralis diretraksi ke anterior untuk memberikan dekompresi
kompartemen posterior.
- Insisi pada sisi medial untuk dekompresi kompartemen medial.

Gambar Metode Fasciotomy Thigh

3. Forearm
Forearm terdiri atas 3 kompartemen yaitu mobile wad, volar dan dorsal.
- Insisi pada sisi volar (area of Henry) dimulai 1 cm ke arah proksimal da n 2
cm ke arah lateral dari medial epicondyle menuju ke fleksor carpi ulnaris
hingga proksimal pergelangan tangan.
- Insisi dorsal dimulai di sisi distal lateral epicondyle hingga bagian tengah
pergelangan tangan.

Gambar Metode Fasciotomy Forearm


4. Hand
Kompartemen pada hand terdiri atas: 4 dorsal interossei, 3 palmar interossei,
Thenar, hypothenar, dan Adductor pollicis. Fasciotomy hand dilakukan
dengan cara:
- Fasciotomy menggunakan teknik empat insisi
- Satu insisi pada sisi radial digiti I untuk dekompresi kompartemen thenar.
- Dua insisi dorsal pada MCP digiti II dan MCP digiti IV untuk dekompresi
dorsal, palmar interossei dan adductor pollicis
- Satu insisi pada sisi ulna MCP digiti V.

Gambar Metode Fasciotomy Hand


5. Foot
Kompartemen foot terdiri atas 4 (medial, lateral, sentral dan interosseus)
namun ada klasifikasi yang membagi kompartemen foot menjadi 9 yaitu
medial, lateral, 4 interossesus, adductor hallucis, 2 sentral (superficial dan
deep). Fasciotomy foot dilakukan dengan cara:
- 2 insisi dorsal pada MTP II dan MTP IV. Fascia superficial dipisahkan dan
interossus diangkat dari metatarsal.
- 1 insisi medial pada MTP 1 atau insisi calcaneus secara posteromedia menuju
MTP

Gambar Metode Fasciotomy Foot

2.6.2 Spinal Shock

Spinal shock terjadi ketika medulla spinalis gagal sementara setelah cedera
terjadi. Bahkan bagian medulla tanpa kerusakan struktural mungkin tidak berfungsi. Di
bawah level cedera, otot-ototnya lembek, refleks tidak ada, dan sensasi hilang. Ini
jarang berlangsung selama lebih dari 48 jam dan selama periode ini sulit untuk
mengatakan apakah lesi neurologis lengkap atau tidak lengkap. Jika refleks primitif
(anal 'wink' dan refleks bulbocavernosus) tidak ada, kembalinya mereka biasanya tidak
menandai akhir 'spinal shock'; beberapa perbaikan neurologis dapat terjadi seiring
berjalannya waktu. 8
Spinal shock setelah peristiwa traumatis memengaruhi sebagian besar usia
muda; usia rata-rata adalah 29 tahun. Ini lebih sering terjadi pada pria (80%) daripada
pada wanita. Cidera medulla sering dikaitkan dengan fraktur-dislokasi, robeknya
ligamen, gangguan rotasi, serta robeknya diskus. Jika spinal shock tidak terkait dengan
cedera signifikan pada tulang belakang itu sendiri, maka prognosis untuk pasien ini
lebih menguntungkan daripada ketika fraktur hadir. Perawatan keseluruhan pasien
dengan spinal shock yang signifikan dan cedera menghadirkan tantangan besar karena
prognosis yang buruk, terutama pada pasien yang berada di puncak masa muda mereka.
Dua mekanisme umum menyebabkan spinal shock. Mengenai perawatan cedera
medulla spinalis, perawatan terbaik untuk cedera medulla spinalis primer adalah
pencegahan. Cedera yang terkait dengan peristiwa utama tidak dapat dipulihkan.
Namun, cedera sekunder seperti hipotensi dan hipoksia dapat dicegah. Manajemen
medis yang agresif dapat mengurangi pengaruhnya terhadap fungsi keseluruhan
pasien.5
a. Assessment
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional
Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan
mempublikasikan standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis
cedera medula spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969.
Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang
akurat dan komperhensif.
Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:
- Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di
seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5.
- Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk segmen
S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik.
- Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai kurang dari 3.
- Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3.
- Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.
Tabel Skala kerusakan berdasarkan American Spinal Injury
Association (ASIA) / International Medical Society of Paraplegia (IMSOP)
Grade Tipe Gangguan spinalis ASIA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi sensorik dan motorik
sampai S4-5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi fungsi
motorik terganggu sampai segmen sakral
S4-5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi
otot-otot motorik utama masih punya
kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level,
otot-otot motorik utamanya punya kekuatan >
3
E Normal Fungsi sensorik dan motorik normal
Seda
ngkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA revised 2000, terbagi atas:5
a. Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
b. Quadriplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan tidak komplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord
Injury Association yaitu :
(1) Central Cord Syndrome
(2) Brown Sequard Syndrome
(3) Anterior Cord Syndrome
(4) Posterior Cord Syndrome
(5) Cauda Equina Syndrome

Fase akut spinal cord injury (spinal shock) berlansung (2-3 minggu), cirinya:
- Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat
extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah
cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut
paraplegi.
- Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan dermatom di bawah lesi, hal yang
terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun
sensasi dalam.
- Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual)
Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran
pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus
pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di
dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar apabila
sudah penuh.
- Gangguan respirasi (tergantung letak lesi)

Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu
cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus respiratorius,
jika terkena maka diafragma pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga
dapat terkena gangguan pernafasan.9
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya spinal shock adalah
reflex bulbocavernosus. Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal
atau cedera radiks dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan
wajah harus dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau
hilang. Sensasi pada sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera
inkomplit. Reflex bulbocavernosus adalah suatu reflex yang ditandai dengan kontraksi
dari otot bulbospongiosus (otot spingter ani) ketika dorsum penis ditarik atau glans
penis dikompresi. Juga disebut refleks penis.10
Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah salah satu cara untuk mengetahui
apakah seseorang menderita shock spinal. Refleks ini merupakan refleks polysynaptic
yang berguna selain untuk mengetahui adanya syok spinal juga memperoleh informasi
tentang adanya cedera sumsum tulang belakang / Spinal Cord Injury (SCI).
Tes ini melibatkan pemantauan kontraksi sfingter anal sebagai respon terhadap
gerakan meremas pada glans penis/klitoris atau tertariknya kateter Foley11. Refleks ini
dimediasi oleh syaraf tulang belakang S2-S4.
Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang belakang sakral menunjukkan
syok spinal. Biasanya ini adalah salah satu refleks pertama yang kembali setelah syok
spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi sensorik setelah refleks telah kembali
menunjukkan adanya cidera spinal yang lengkap. Tidak adanya refleks ini dalam
kasus di mana syok tulang belakang tidak dicurigai dapat menunjukkan lesi atau
cedera medullaris konus atau cauda euina syndrome. Bulbokavernosus adalah istilah
awal untuk m.bulbospongiosus, sehingga refleks ini seharusnya disebut
"Bulbospongiosus refleks". 11
Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan bahwa cedera
komplit dari Conus Medullaris Sindrom. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan
dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada
conus medullaris atau cauda equina.

b. Tatalaksana
Pasien spinal shock harus dirawat di ICU, karena banyak komplikasi yang
dapat timbul karena cedera ini. Pengobatan metilprednison masih kontroversial dengan
beberapa uji coba menunjukkan manfaat sederhana dan beberapa lainnya menunjukkan
efek samping yang lebih negatif daripada manfaat. Jika pasien masih muda dan tidak
memiliki penyakit mendasar yang dapat diperburuk dengan penggunaan steroid,
percobaan singkat metilprednison harus dimulai mulai dengan loading dose 30 mg / kg
diikuti dengan dosis pemeliharaan 5 mg / kg / jam untuk 24 jam ke depan. Syok
neurogenik biasanya terjadi dengan lesi di atas level T6. Norepinefrin drip dan
penggunaan atropin secara bijaksana untuk bradikardia harus menjadi bagian dari
pengobatan awal. Akhirnya, dalam beberapa hari hipotensi membaik, dan infus (IV)
harus dikurangi secara bertahap. Dengan cedera serviks yang tinggi, fungsi diafragma
akan terganggu, dan pasien-pasien ini akan memerlukan trakeotomi dini karena mereka
akan bergantung pada ventilator. Trombosis vena dalam terlalu tinggi pada pasien ini.
Profilaksis harus dimulai sesegera mungkin dalam beberapa hari setelah cedera.
Manajemen jangka panjang pasien cedera syok tulang belakang selalu membutuhkan
perawatan tim multidisiplin antara layanan yang berbeda. Sekitar 60% dari pasien ini
akan memerlukan stabilisasi tulang belakang dengan intervensi bedah, dan ahli bedah
saraf atau profesional ortopedi harus dikonsultasikan lebih awal. Pasien spinal shock
perlu diawasi secara ketat, dan perlu gerakan secara teratur agar pasien tidak terjadi
ulkus tekan. 12

2.7 Trauma Medulla Spinalis3

2.7.1 Pendahuluan

Meskipun jarang terjadi dalam trauma kedokteran olahraga, kecelakaan yang


mengakibatkan cedera tulang belakang memiliki konsekuensi yang berat. Cidera
tulang belakang, dengan atau tanpa kerusakan pada medulla spinalis itu sendiri,
dikatakan terjadi sebanyak 2-3% dari semua cedera olahraga (Holtz dan Levi 2010).
Antara tahun1965 dan 1974 (sebelum aturan tackling diubah) di AS, 40 kematian
dicatat sebagai akibat cedera medulla spinalis pada atlet. Pada dasawarsa setelah
perubahan peraturan, jumlah kematian menurun menjadi hanya 14, dan pada dekade
berikutnya, menurun lebih jauh, menjadi hanya 5 kematian (Bailes et al 2007).
Namun, masih sangat penting untuk dapat mengenali dan mengelola potensi cedera
tulang belakang ketika itu terjadi.

Dari sumber yang berbeda mengenai insiden cedera sumsum tulang belakang,
tetapi umumnya disepakati bahwa cedera olahraga adalah penyebab paling umum
ke-3 atau ke-4 dari cedera medulla spinalis secara keseluruhan (tergantung pada
statistik negara mana yang dilihat). Terjatuh, kecelakaan lalu lintas jalan dan luka
tembak menempati peringkat di atas cedera olahraga sebagai penyebab utama cedera
tulang belakang (SCI). Tidak mengherankan, ada risiko cedera tulang belakang yang
lebih besar terkait dengan sports contact, dengan berbagai insiden yang dilaporkan.
Namun, risiko mengalami cedera medulla spinalis secara mengejutkan tidak terkait
dengan kekuatan tumbukan kepala atau leher, melainkan pada apakah atlet jatuh atau
tidak setelah penyerangan. C5 adalah vertebra yang paling sering terluka, dan ini
diduga karena level tulang belakang ini memiliki mobilitas terbesar.

Sebuah studi prospektif yang diterbitkan pada tahun 2009 menyelidiki kejadian cedera
tulang belakang akut di Irlandia. Ditemukan bahwa olahraga menyumbang 11% dari
semua cedera tulang belakang yang tercatat selama periode penelitian. Rincian
olahraga yang berhubungan dengan cedera tulang belakang diuraikan dalam diagram
lingkaran yang ditunjukkan. Penelitian itu juga menemukan tulang servikal paling
sering cedera (51%), diikuti oleh daerah lumbar (28%) dan toraks (21%) (Lenehan et
al 2009).

Gambar. Pie chart menunjukkan rincian olahraga yang paling sering dikaitkan dengan spinal injury3

2.7.2 Tanda dan Gejala3

* * Dapat menyebar ke bagian depan tubuh

** Ereksi terus-menerus yang disebabkan oleh perubahan aliran darah normal setelah trauma medulla
spinalis

** Jika ada tanda-tanda atau gejala ini pasien harus diimobilisasi dan segera dirujuk ke dokter **

2.7.3 Penyebab Trauma Medula Spinalis3

 Pukulan langsung ke tulang belakang - biasanya menyebabkan kontusio atau


fraktur
 Kompresi tulang belakang-biasanya menghasilkan sprain, kontusio atau
fraktur
 Pemuntiran / Torsi tulang belakang - biasanya menyebabkan sprain, tegang
atau patah tulang
 Axial Loading -Mekanisme ini sangat berbahaya ketika leher sedikit tertekuk,
karena ini akan menyebabkan tulang servikal keluar dari posisi lordotik
normalnya. Dalam posisi ini otot-otot tidak dapat membantu menghilangkan
kekuatan secara efektif. Gaya tekan/kompresi sedemikian rupa sehingga
menyebabkan efek 'tekuk' pada C spine. Biasanya gaya gaya yang diterima
diresap oleh diksus intervetebralis tetapi jika ada gaya yang diberikan
berlebihan, herniasi, fraktur, atau dislokasi dapat terjadi.

Gambar. Buckling pada tulang servikal akibat adanya axial loading3


Secara biomekanis. vertebra servikal yang diluruskan merespon gaya-gaya
pembebanan aksial seperti columna yang bersegmen, (a dan b) Axial loading pada
servikal awalnya akan menyebabkan deformitas kompresi pada disk intervertebralis,
(c) Ketika ada energi berlanjut dan deformitas kompresi maksimum tercapai, terjadi
deformitas membentuk sudut (d dan e) Vertebra tidak dapat mempertahankan posisi
fleksi oleh karena adanya fraktur, subluksasi atau dislokasi.

2.7.4 Klasifikasi Trauma Medulla Spinalis3

Komplit

Pada tipe ini melibatkan hilangnya fungsi neuromuskuler di bawah tingkat cedera,
termasuk segmen sakral paling distal, yang berlangsung lebih lama dari 48 jam.

Jenis cedera ini dapat terjadi akibat gangguan anatomi medulla spinalis, tetapi yang
paling umum adalah akibat iskemia, perdarahan, atau edema. Jenis cedera ini tidak
sering reversibel, tetapi setelah pembengkakan berkurang, peningkatan 1 level
vertebra dapat terjadi

Inkomplit

Tipe ini terjadi ketika fungsi motorik atau sensorik di bawah lokasi cedera dan di
segmen sakral paling distal

Bergantung pada lokasi benturan dan tingkat keparahannya, cedera tulang belakang
yang tidak lengkap dapat menyebabkan munculnya gejala yang disebut 'sindrom'. Ini
dijelaskan secara singkat di bawah ini:
Sindrom Korda Sentralis3

o Penyebab: Kerusakan pada bagian tengah medulla spinalis. Jenis cedera ini
diperkirakan akibat dari terjadinya iskemik / hemoragik ke traktus kortikospinalis.
Traktus yang ditempatkan lebih medial yang melayani ekstremitas atas lebih
terpengaruh sebagai akibat dari kerusakan sentral. Ini paling sering dikaitkan dengan
cedera hiper-ekstensi.

o Fungsi motorik: Kelemahan lebih menonjol pada ekstremitas atas daripada


ekstremitas bawah.

o Fungsi sensorik: Ada defisit sensorik di bawah tingkat lesi dan dapat menyebabkan
disfungsi kandung kemih dan disfungsi seksual

Sindrom Korda Anterior3

o Penyebab: Iskemia dari arteri spinal anterior ke dua pertiga anterior medula spinalis.
Tidak seperti sindrom korda sentralis, jenis cedera ini tidak dengan mekanisme yang
lain

o Fungsi motorik: Kehilangan fungsi total di bawah level cedera-dengan tidak adanya
kehilangan ekstremitas atas atau bawah.

o Fungsi sensorik: Hilangnya sensasi nyeri dan suhu yang disebabkan oleh kerusakan
pada jalur spinothalmic. Hilangnya sfingter dan disfungsi seksual.

Brown-Sequard:3

o Penyebab: Transisi hemitranseksi sebagian atau seluruhnya dari sumsum tulang


belakang. Sindrom ini jarang muncul dengan sendirinya, tetapi lebih sering bersamaan
dengan terjadinya sindrom korda sentralis

the patient may have unilateral motor loss with contralateral sensory loss, but this may
effect the upper extremities more than the lower.
o Motor function: Ipsilateral paralysis (caused by damage to the corticospinal tracts)
o Sensory function: Contralateral loss of sensitivity to pain and temperature (caused by
damage to the spinothalmic tracts which decussate at a spinal level) and loss of tactile
discrimination (Bell 2007).

Sindrom Korda Posterior3

o Penyebab: iskemia arteri spinal posterior

o Fungsi motorik: Sindrom ini jarang muncul secara klinis. Ini menyebabkan
hilangnya fungsi pada kolumna dorsalis; Namun, traktus kortikospinalis tetap utuh.
Oleh karena itu pasien mungkin mengalami kesulitan mengoordinasikan gerakan,
tetapi akan mempertahankan kekuatannya.

o Fungsi sensorik: Traktus spinothalmik tetap utuh, oleh karena itu sensasi tetap utuh.

2.7.5 Tatalaksana Trauma Medulla Spinalis3

Terlepas dari mekanisme atau tempat cedera, penatalaksanaan segera dari setiap
potensi cedera medulla

1. Imobilisasi pasien

2. Periksa ABCD (jalan napas, pernapasan, sirkulasi, disabilitas)

3. Menilai fungsi motorik

4. Menilai fungsi sensorik

5. Palpasi

6. Transfer

7. Menilai Range of Motion

Immobilisasi3

Hingga 20 tahun lalu diperkirakan hingga 25% dari cedera mendula spinalis dapat
diperparah setelah kecelakaan awal. Namun, teori ini sekarang sedang ditantang.
Sekarang diyakini bahwa kerusakan pada medula spinalis terjadi pada saat serangan
awal dan setiap pergerakan berikutnya tidak cukup untuk menjamin kerusakan medula
spinalis lebih lanjut (Kwan et al 2009). Selain itu, sebagian besar pasien tidak
memiliki ketidakstabilan tulang belakang, dan oleh karena itu tidak mendapat manfaat
dari imobilisasi.

Namun, tetap bahwa, untuk sejumlah pasien tertentu, imobilisasi tulang belakang
dapat diperlukan untuk mencegah konsekuensi yang lebih parah dari cedera tulang
belakang. Karenanya imobilisasi tulang belakang leher masih dipraktikkan secara luas
(NICE 2007). Namun, imobilisasi jangka panjang harus dihindari.

Imobilisasi melibatkan penggunaan semi-rigid collar neck dan blok neck. Collar
neck yang terlalu ketat berpotensi meningkatkan tekanan intra-kranial. Penelitian juga
menunjukkan semi-rigid collar neck memiliki efek sedikit dalam mencegah gerakan
intersegmental tulang belakang.
2 metode utama imobilisasi tulang belakang adalah:

 Stabilisasi manual
 Penggunaan perangkat ortotik-papan, bidai, collar neck
Memeriksa ABCD dari setiap pasien sangat penting sebelum penilaian tersier dapat
dilakukan. Pertama meyakinkan pasien. Kemudian periksa ABCD seperti diuraikan di
bawah ini.

Airway

 Pastikan jalan napas terbuka dan pasien bernafas. Jika tidak memulai CPR.
 Jika pasien merespons Anda dengan suara normal, aman untuk mengatakan
bahwa jalan napas itu paten
 Tanda-tanda jalan napas menglami obstruksi parsial termasuk:
 Adanya suara tambahan napas
 Adanya usaha napas tambahan
 Kesadaran menurun
 Suara yang berubah
 Pada pasien yang tidak sadar, 'mendengkur' dapat menjadi indikasi obstruksi
parsial
 Pastikan jalan napas paten, lakukan head tilt and chin lift untuk
mempertahankan jalan napas.

Pernafasan3

 Dengarkan suara nafas. Periksa laju pernapasan dan cari tanda-tanda sianosis.
 Jika sadar, tanyakan pada pasien apakah mereka merasa kesulitan menelan
atau bernapas?
Sirkulasi3

 Periksa denyut nadi dan CRT


 Perubahan warna kulit
 Jika tidak ada denyut nadi segera mulai RJP .
Disabilitas (status Neurologis)3

 Periksa kesadaran pasien menggunakan Glasgow Coma Scale.


 Ajukan pertanyaan yang sesuai untuk menilai apakah pasien mengalami
masalah memori jangka panjang atau pendek.
** Catatan ** Jika pada saat primary survey atau imobilisasi servikal terganggu oleh
head gear pemain, head gear ini dapat dilepas. Anda harus dilatih dengan benar untuk
melepaskan head gear ini. Head gear umumnya dipakai pada football Amerika, ice
hockey. Obeng listrik dan obeng normal dapat digunakan ketika melepaskan head
gear tersebut dari kepala untuk meminimalkan gerakan kepala. Namun, jika gagal,
cutting tool harus tersedia

Motorik

Tanpa menggerakkan pasien, periksa apakah pasien dapat menggenggam erat tangan
Anda (ini memeriksa persarafan dari servikal)

Kemudian periksa apakah pasien dapat melakukan dorsofleksi pada kedua


pergelangan kaki (tes ini dilakukan untuk memeriksa persarafan dari tulang belakang).
Jika ada defisit yang ditemukan, rujuk ke layanan darurat.

Sensorik

Dengan menggunakan jari tangan dan kuku Anda, rabalah dan berikan sensasi di atas
ekstremitas atas dan bawah pasien, punggung dan dada pasien tanyakan apakah
sensasi terasa sama pada satu segmen dibandingkan yang lain

Palpasi

Palpasi sepanjang tulang belakang untuk memeriksa segala kelainan bentuk atau
menjaga otot yang berlebihan.

Transfer

Memindahkan pasien pada spine board diperlukan jika kemungkinan trauma medulla
spinalis tidak dapat disingkirkan Ini harus dilakukan dengan teknik gerakan minimal
pada tulang belakang.. Teknik yang digunakan untuk melakukan transfer yang aman,
dan penggunaannya, dibahas di bawah ini.

Log Roll

Log rolling mungkin diperlukan untuk menempatkan pasien pada spine board, jika
kemungkinan adanya trauma medulla spinalis tidak dapat dikesampingkan dan
pemain harus dikeluarkan dari acara olahraga. Diperlukan minimal 3-4 orang untuk
mengendalikan bagian kepala, dada, panggul, dan anggota tubuh bagian bawah (pada
lutut dan kaki jika memungkinkan). Ini adalah manuver untuk menggulingkan pasien
ke sisi tim penolong sambil menjaga tulang belakang tetap sejajar, untuk
memungkinkan posisi mereka pada spine board atau pemeriksaan tulang belakang.

Lebih lanjut masalah yang diperdebatkan dalam transportasi termasuk spine board
devices. Ada 3 jenis yang umum digunakan; traditional long spinal board, split
devices dan vacuum mattress. Masing-masing memiliki fungsi, dan dijelaskan di
bawah ini

Long Board
Alat ini merupakan tipe imobilisasi tradisional pada tulang belakang, yang terdiri dari
papan datar dengan imobilisasi rangkap tiga. Papan ini terdiri dalam berbagai panjang
dan lebar dan dapat diisi. Namun, karena masalah dengan penekanan pada luka, atlet
tidak boleh diimobilisasi menggunakan alat ini selama lebih dari 30 menit.

Splint Devices

Papan imobilisasi ini populer karena mereka dapat menghindari log roll pada korban
terlentang. Lebih lanjut, di dalam korban kendaraan bermotor alat ini dapat membantu
membebaskan korban dari kendaraan. Namun, alat hanya dirancang untuk
pemindahan dan tidak boleh digunakan untuk membawa pasien jarak jauh. Demikian
pula mereka tidak cocok untuk atlet yang memiliki berat badan berlebih.

Vacum mattress

Akhir-akhir ini matras ini mulai populer. Perangkat ini terbuat dari double bag
polystyrene ball. Dengan ini memungkinkan alat ini dibentuk sesuai bentuk atlet
individu. Oleh karena itu tidak seperti perangkat lain, perangkat ini menghindari
terjadinya penekanan pada luka (Swartz et al 2009). Setelah udara dikeluarkan dari
plystyrene bag, perangkat ini menjadi kaku. Namun, karena potensi kebocoran
tusukan / katup, jika mattress vacuum digunakan, harus selalu ada perangkat alternatif
yang tersedia

Selama transfer pasien selalu menilai kembali GCS pasien dan memantau ABCD.

Menilai (Range of Motion)

Menilai ROM pasien sebelum memutuskan apakah pemain dapat kembali ke lapangan

Poin-poin penting :3

 Trauma medulla spinalis harus selalu dianggap sebagai kemungkinan pada


pasien yang tidak sadar.
 Jika pasien mengenakan helm - jangan melepasnya. Melepas helm bisa
menyebabkan kerusakan lebih lanjut !! Segala perawatan / imobilisasi harus
diberikan dengan helm yang masih melekat, kecuali:
 Pada keadaan dimana tidak dapat memeriksa ABCD (jalan napas,
pernapasan, sirkulasi, status neurologis, dan tingkat kesadaran).
 Jika helm menghalangi kesejajaran dari servikal
 Imobilisasi servikal harus dipertahankan sampai telah dilakukan penilaian
klinis yang lengkap, dan pencitraan (jika dianggap sesuai) telah selesai
dilakukan.
2.8 Dislokasi dan Fraktur3,13,14

2.8.1 Dislokasi

Dislokasi merupakan cedera yang umum terjadi di kalangan atlet. Dislokasi terjadi
saat tulang tergelincir dari sendi dengan kata lain tulang tidak berada di tempat yang
semestinya. Hal ini termasuk dalam kegawatdaruratan di bidang olahraga sebab jika
tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, ligament, dan
nervus.

Dislokasi sendi glenohumeral merupakan 50% dari semua dislokasi yang terjadi.
Umumnya sendi tersebut banyak terjadi. 90% merupakan dislokasi ke arah anterior
dan 4% merupakan dislokasi kea rah posterior. Beberapa cedera dapat mengakibatkan
morbiditas yang signifikan sehingga pentingnya untuk dikenali secara cepat

 Dislokasi adalah cedera pada sendi yang terjadi ketika tulang bergeser dan
keluar dari posisi normalnya
 Dislokasi dapat terjadi pada sendi besar maupun sendi kecil
 X-ray sering digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis dislokasi dan eksklusi
fraktur
 Waktu yang dibutuhkan untuk pulih bergantung pada sendi yang terkena, dan
adanya cedera yang berlanjut.
 Subluksasi, pegesaran dari sendi tetapi tidak sepenuhnya dislokasi. Masih
terdapat hubungan antar permukaan sendi. Subluksasi dapat menjadi masalah
kronik.
 sendi yang sering terjadi dislokasi adalah bahu, jari, lutut, pergelangan tangan,
dan siku.
 komplikasi yang dapat terjadi akibat dislokasi: robekan pada otot, tendon, dan
ligament di sekitarnya. Kerusakan nervus dan pembuluh darah.
 Dislokasi dapat terjadi karena jatuh, terlempar, atau keadaan yang
mengakibatkan tekanan pada sendi.
1.1 Dislokasi Bahu

Bahu memiliki ROM (range of motion) terbesar dibandingkan semua


sendi di tubuh, sehingga resiko terjadi dislokasi juga menjadi besar. sendi
glenohumeral memiliki permukaan articular yang dangkal dan diperdalam
dengan labrum glenoid. Bahu distabilisasi oleh ligament yang
menghubungkan humerus ke glenoid dan otot yang melintasi sendi.
Dislokasi anterior umumnya terjadi akibat abduksi kuat dan rotasi external.
Dislokasi posterior jarang terjadi dan diakibatkan oleh rotasi internal dan
adduksi

Pasien dengan dislokasi anterior biasanya tidak bisa untuk


menggerakkan bahu akibat nyeri yang dirasakan. Posisi lengan dalam keadaan
abduksi dan rotasi eksterna. Caput humerus dapat dirasakan di bagian anterior,
inferior, dan medial pada sebagian dislokasi bahu anterior.

Pasien dengan dislokasi posterior biasanya menempatkan lengannya


dalam posisi rotasi dan adduksi internal, dengan lengan pasien berada di
samping. Penilaian fungsi nervus axilla dievaluasi dengan merakan kontraksi
deltoid dan sesasi sentuhan ringan sepanjang lengan atas bagian lateral.

Penilaian awal dan tatalaksana dislokasi bahu sangat penting karena


ketika spasme otot terjadi, sangat sulit untuk direposisi tanpa anestesi. Tekhnik
traksi/countertraksi merupakan metode yang umum digunakan untuk
mereduksi dan sangat praktis digunakan di lapangan sesaat setelah injury.
Teknik ini dilakukan dengan menarik lengan yang cedera secara longitudinal
dan perlahan-lahan abduksi lengan sementara tangan lainnya melakukan
menipulasi di caput humerus. Seorang asisten membantu dengan melakukan
countertraksi dengan handuk mengelilingi torso atlit dan menarik dari arah
berlawanan. Setelah lengan dapat abduksi melewati kepala, caput humerus
seharusnya sudah kembali. Penilaian neurologis setelah reduksi perlu
dilakukan kembali, khususnya nervus axillaris. Untuk dislokasi inferior, traksi
dilakukan dengan posisi lengan hyperabduksi sementara asisten melakukan
countertraksi. Beri tekanan caput humerus ke atas sembari lengan adduksi.

1.2 Dislokasi finger

Cedera tangan dan jari sangat umum terjadi pada atlit. Mencakup
sekitar 9% dari cedera olahraga. Jari-jari rentan pada olahraga yang
membutuhkan penggunaan tangan dalam posisi terentang. Olahraga dengan
gerakan menyambar atau membuka menempatkan jari pada posisi yang lebih
rentan lagi.

Dislokasi jari umumnya tampak dengan jelas, evaluasi jari yang cedera
dengan benar untuk stabilitas, kelainan rotasi, ROM, dan system
neurovascular. Cidera tangan dan pergelangan tangan dikaitkan dalam
evaluasi cedera. Sendi Interphalangeal proksimal (PIP) dan distal tidak boleh
dilkaukan dengan traksi . sederhana karena dapat kontraksi jaringan lunak
sekitar sendi dan mencegah reduksi. Pada dislokasi PIP, fleksi PIP dan
translasi distal phalanx media meringankan sendi.

Dislokasi sendi interphalangeal, ligamentum collateral terkilir, dan


mallet fingers secara khusus dapat direduksi dan splinted dengan buddy taping.
Atlit dapat kembali bermain jika tidak ada cedera. Setelah permainan selesai,
dislokasi sendi PIP dorsal haru displinted dalam posisi sedikit fleksi untuk
mempertahankan reduksi. Dislokasi volar harus displinted dalam posisi
extensi.Jika atlit mengalami dislokasi metacarpophalangeal, untuk
melanjutkan permainan tidak disarankan.
1.3 Dislokasi Pinggul

Dislokasi pinggul adalah cedera olahraga yang sangat jarang. Namun,


mengenali dislokasi hip sangat penting karena manajemen dari dislokasi ini
berbeda dari sendi lainnya. Nekrosis avaskular pada caput femur adalah salah
satu masalah terbesar pada cedera ini. Dislokasi pinggul membutuhkan
identifikasi darurat dan transportasi ke rumah sakit sesegera mungkin untuk
perawatan yang tepat Panggul harus direduksi dalam waktu 6 jam dari waktu
cedera untuk mengurangi komplikasi ke arah nekrosis avascular.

Atlet yang mengalami dislokasi pinggul umumnya mengalami dampak


energi tinggi dengan pinggul dan lutut tertekuk. Posisi ini menempatkan
pinggul dalam orientasi yang tidak stabil. pada risiko perpindahan posterior
dari kekuatan diarahkan anterior ke posterior. Atlet paling sering mengalami
dislokasi posterior pinggul dan akan menahan pinggul tertekuk dan rotasi
internal. Panjang kaki sisi yang terkena lebih pendek daripada sisi
kontralateral. Pasien akan mengalami rasa sakit dengan berbagai gerakan
pinggul. Pemeriksaan neurovaskular diperlukan untuk cedera ini karena caput
femoralis dapat mengenai saraf sciatica.

Atlet harus berbaring telentang untuk manuver reduksi ini. Lutut


dilenturkan sekitar 90 ° sementara dokter memberikan traksi aksial pada kaki.
Seringkali, seorang asisten diperlukan untuk memberikan kontraksi ke bawah
dengan kedua tangan di atas tulang iliaka superior anterior atlit sementara
dokter memberikan traksi untuk mereduksi pinggul. Mengingat kerumitan dan
risiko menyebabkan cedera dan ketidaknyamanan lebih lanjut, kami
merekomendasikan transfer segera ke departemen darurat rumah sakit yang
dapat memberikan sedasi dan evaluasi radiografi pengurangan pinggul. Jika
kedatangan di fasilitas medis akan memakan waktu lebih dari 6 jam, reduksi
harus dipertimbangkan di lapangan.
1.4 Dislokasi Lutut
Dislokasi lutut adalah cedera olahraga yang tidak biasa, tetapi bisa
merupakan cedera yang sangat serius dengan indikasi bedah yang muncul jika
pasien memiliki gangguan pembuluh darah. Gangguan arteri poplitea terjadi
pada 20% hingga 40% dislokasi lutut. Dislokasi ini sangat sulit untuk
didiagnosis mengingat bahwa banyak pasien secara spontan berkurang
sebelum dokter memeriksa pasien.
Mungkin tidak ada kelainan bentuk lutut yang mengalami dislokasi
akut. Banyak dislokasi lutut berkurang secara spontan sebelum evaluasi oleh
dokter. Dokter harus sangat curiga terhadap cedera ini jika seorang atlet
menunjukkan ketidakstabilan multiplanar setelah cedera lutut. Identifikasi
segera dari cedera arteri poplitea adalah yang paling penting. Oleh karena itu,
denyut nadi distal harus diperiksa dan dibandingkan di kedua ekstremitas
bawah sebelum dan sesudah reduksi dilakukan. Fungsi saraf peroneal harus
dinilai sebelum dan sesudah reduksi. Cedera pada saraf peroneum sering
terjadi setelah dislokasi lutut.
Traksiditerapkan dengan terjemahan medial, lateral, anterior, atau
posterior tergantung pada arah dislokasi. Seringkali, traksi saja akan
mengurangi lutut. Tujuannya adalah untuk memperpanjang ekstremitas bawah.
Perawatan harus diambil untuk menghindari tekanan pada fossa poplitea
selama reduksi untuk menghindari cedera tambahan pada struktur
neurovaskular yang mungkin sudah diregangkan dari cedera. Setelah
dikurangi, lutut harus digerakkan dalam ekstensi. Dimpling kulit di atas
kondilus femoralis medial dapat mengindikasikan dislokasi posterolateral
dengan kondilus femoralis medial "button-holed" melalui kapsul medial.

1.5 Dislokasi Patella


Patela adalah tulang sesamoid terbesar dalam tubuh. Biasanya
dislokasi dengan cedera memutar atau kontak langsung dengan aspek anterior
lutut. Patela biasanya dislokasi lateral sehingga mengakibatkan gangguan
ligamentum patellofemoral medial. Para atlet sering melaporkan bahwa lutut
mereka memberi jalan dan bahwa mereka merasakan letupan ketika cedera
terjadi. Mekanisme yang dilaporkan mungkin bingung untuk cedera ligamen
anterior (ACL). Seringkali, patella berkurang secara spontan, membuat
diagnosis menjadi kurang jelas jika atlet tidak dapat mengidentifikasi dengan
jelas apa yang terjadi selama cedera. Dokter harus mempertimbangkan kedua
cedera saat diberikan riwayat ini. Pemeriksaan lutut yang cermat harus
membedakan dislokasi patella yang reduksi secara spontan dari cedera ACL
akut.
Dislokasi patela berhubungan dengan hemarthrosis. Jika pasien merasa
nyaman, pelacakan patella harus dinilai. Mobilitas patela dapat diperiksa
dengan menempatkan jari telunjuk dan ibu jari pada sisi medial dan lateral
patela. Patela digeser secara medial dan lateral menggunakan ibu jari
berlawanan pada tuberositas tibialis sebagai referensi untuk jumlah
terjemahan . Sangat membantu untuk membandingkan dengan patella lateral

1.6 Dislokasi Pergelangan Kaki


pergelangan kaki merupakan sekitar 45% dari cedera atletik. Namun,
dislokasi pergelangan kaki terisolasi tanpa fraktur jarang terjadi Mekanisme cidera
yang menggeser talus cenderung menyebabkan fraktur fibula distal, tibia, atau
keduanya. Dislokasi subtalar dapat terjadi pada atlet dan harus dipertimbangkan
ketika mengevaluasi cedera pergelangan kaki.

Dalam dislokasi fraktur pergelangan kaki dan dislokasi subtalar, atlet


akan sering melaporkan ketidaknyamanan yang parah. Kelainan bentuk
hindfoot dan pergelangan kaki akan terlihat jelas saat alas kaki dilepas.
Penilaian neurovaskular sangat penting. Kulit harus dievaluasi untuk luka
terbuka atau tenda, karena temuan ini memerlukan intervensi segera. Pada atlet
dengan dislokasi tibiotalar, seluruh kaki bergeser relative. terhadap tibia.
Gerakan pergelangan kaki akan sangat terbatas karena sendi pergelangan kaki
tidak kongruen. Pada atlet dengan dislokasi subtalar, kalkaneus akan
diterjemahkan medial atau lateral relatif terhadap talus. Atlet dapat mentolerir
pergerakan sendi pergelangan kaki karena artikulasi tibiotalar adalah kongruen.
Dislokasi subtalar berhubungan dengan mekanisme energi tinggi dan
mengunci kaki pada supinasi dengan dislokasi medial atau pronasi dengan
dislokasi lateral. Dislokasi subtalar bisa sulit untuk dikurangi di lapangan
sekunder karena tendon, ligamen, atau interposisi jaringan lunak lainnya
2.8.2 Fraktur

Fraktur disebabkan oleh kekuatan yang kuat, benturan, tekanan yang lebih
kuat dari tulang sendiri. Fraktur jika dibiarkan akan mengarah pada
komplikasi serius seperti shock hypovolemic, infeksi, atau sindrom
compartment.

Fraktur paling umum yang terkait dengan kejadian olahraga adalah


fraktur tibialis dan pergelangan kaki dan dislokasi yang paling umum adalah
bahu.

Berikut ialah penilaian yang sederhana dan logis dalam menangani fraktur

 Periksa keamanan tempat kejadian


 Ikuti prinsip-prinsip ABCD.
 Beri oksigen jika tersedia jika fraktur signifikan
 Kumpulkan anamnesis dari pemain / pengamat
 Tanyakan pasien (jika berbicara) tentang semua alergi, obat-obatan,
 PMHx, kapan terakhir kali makan, status tetanus dan mekanisme cedera
mereka
 Cari; pembengkakan, deformitas, memar, simetri, & luka overlay
 Kemudian rasakan pembengkakan / efusi sendi, nyeri tekan, krepitus (selalu
periksa sensasi & denyut nadi)
 Jika inspeksi menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi, ikuti diagram alir
pada gambar dibawah
 Menilai ROM & stabilitas aktif dan pasif (Sangat penting bahwa status
neurovaskular pasien dinilai sebelum dan setelah gerakan.
 Persiapkan atlet untuk kru ambulans

Manajemen ABCD pasien harus selalu diprioritaskan daripada fraktur atau


dislokasi. namun, jika pasien mengalami perdarahan hebat dan berisiko
meninggal karena kehilangan darah, membendung aliran darah harus
diprioritaskan daripada mengelola ABCD
1.1 Splinting
Splint sangat penting dalam pengelolaan fraktur dan dislokasi. Beberapa
manfaat meliputi
 Mengurangi rasa sakit
 Mengurangi resiko kehilangan darah
 Mengurangi tekanan pada luka
 Resiko emboli lemak menurun
Jenis splint yang digunakan adalah splint vakum dan splint kotak. Saat
memasang splint dianjurkan jangan terlalu erat karena dapat memotong
sirkulasi, merusak saraf, dan jaringan lunak. Jangan menggunakan splint
terlalu longgar sebab dapat mengurangi kemampuannya untuk bergerak,
kerusakan jaringan lunak.

 Box Splint

Terdiri dari 3 papan berlapis. 3 papan membungkus anggota badan dan


diamankan menggunakan Velcro. kaki dirancang untuk menjaga pergelangan
kaki dalam kondisi netral. Ini digunakan untuk menstabilkan cedera lutut,
pergelangan kaki dan patah tulang tibialis.

 Vacuum Splint
seperti kasur vakum yang digunakan pada pasien Spinal Cord Injury, matras
ini dapat menyesuaikan untuk mensupport komponen yang solid untuk anggota
tubuh cacat. Kehilangan udara dari splint membuat splint padat. Seperti kasur
vakum risiko bocor mungkin terjadi selalu hadir. Oleh karena itu splints
back-up harus selalu tersedia.
BAB 3

DAFTAR PUSTAKA

1. Shobian,Mohammad Sameer.Hamdi,Amre.S.Bakhamees,Wael Hassan. Magadm,


Bashair Mahmoud. Epidemiology of Sports-Related Injuries among Athletes in
Jeddah, Saudi Arabia.The Egyptian Journal of Hospital Medicine. 2017.Vol. 69 (6),
Page 2607-26132607

2. Robb S. Rehberg. Sport Emergency Care. A team Approach. SLACK


Incorporated.2007

3. Storan, Andrew et al. Recognition and Management of Sporting Emergencies: an


Introduction. 2013

4. Mahmood,Al jufaili S. Dr et al. Football Emergency Medicine Manual 2nd


Edition.FIFA Football for health F-MARC

5. The American College of Surgeons. Advanced trauma life support (ATLS®)


Student Course Manual: the ninth edition. 10th ed. The journal of trauma and acute
care surgery. Chicago: American College of Surgeons; 2018.

6. Donaldson J, Haddad B, Khan WS. The Pathophysiology, Diagnosis and Current


Management of Acute Compartment Syndrome. Open Orthop J. 2014;27(8):185–93.

7. Kistler JM, Ilyas AM, Thoder JJ. Forearm Compartment Syndrome: Evaluation and
Management. Hand Clin. 2018;34(1):54–60.

8. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and Fracture.


Igarss 2014. 2014. p. 1–5.

9. Roberts TT, Leonard GR, Cepela DJ. Classifications In Brief: American Spinal
Injury Association (ASIA) Impairment Scale. Clin Orthop Relat Res. 2017;

10. Wheeless CR. Bulbocavernosus Reflex [Internet]. 2012 [cited 2019 Jul 28].
Available from: http://www.wheelessonline.com/ortho/bulbocavernosus_reflex

11. Vodušek DB, Deletis V. Intraoperative Neurophysiological Monitoring of the


Sacral Nervous System. In: Neurophysiology in Neurosurgery. 2007. p. 197–217.
12. Ko H-Y. Revisit Spinal Shock: Pattern of Reflex Evolution during Spinal Shock.
Korean J Neurotrauma. 2018;14(2):47–54.

13. Skelley, Nathan W et al. “In-game Management of Common Joint Dislocations.”


Sports health vol. 6,3 (2014): 246-55.

14. Thompson, C.J. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition.

Anda mungkin juga menyukai