KEGAWATDARURATAN OLAHRAGA
Oleh:
Residen Pembimbing
Konsulen Pembimbing
Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ortopedi
dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Pembimbing I Pembimbing II
Supervisor
PENDAHULUAN
Olahraga baik untuk kebugaran tubuh dan melindungi kita dari berbagai penyakit. Namun,
berolahraga secara berlebihan dan mengabaikan aturan berolahraga yang benar, malah
mendatangkan cedera yang dapat membahayakan diri. Cedera sering dialami oleh seorang
atlet, seperti cedera goresan, robek pada ligamen, atau patah tulang karena terjatuh.
Ada beberapa hal yang menyebabkan cedera akibat aktivitas olahraga yang salah. Aktivitas yang
salah ini karena pemanasan tidak memenuhi syarat, kelelahan berlebihan terutama pada otot,
dan salah dalam melakukan gerakan olahraga. Kasus cedera yang paling banyak terjadi,
biasanya dilakukan para pemula yang biasanya terlalu berambisi menyelesaikan target latihan atau
ingin meningkatkan tahap latihan. Cedera akibat berolahraga paling kerap terjadi pada
atlet, tak terkecuali atlet senior. Biasanya itu terjadi akibat kelelahan berlebihan karena
panjangnya waktu permainan atau terlalu banyaknya partai pertandingan yang harus diikuti. Cara
yang lebih efektif dalam mengatasi cedera adalah dengan memahami beberapa jenis cedera dan
mengenali bagaimana tubuh kita memberikan respon terhadap cedera tersebut. Juga, akan
dapat untuk memahami tubuh kita, sehingga dapat mengetahui apa yang harus
dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera, bagaimana mendeteksi suatu cedera agar tidak terjadi
kerusakan jaringan tubuh yang terjadi sebagai akibat dari olahraga atau latihan" Studi
terbaru telah menemukan bahwa atlet menopang 4 juta cedera terkait olahraga setiap
tahun dan membutuhkan sekitar 2,6 juta kunjungan ruang gawat darurat dengan biaya
hampir $ 2 miliar .Oleh karena itu, protokol standar untuk penyaringan dan
pemantauan cedera tersebut harus dilakukan, sebagai tambahan dari rencana
mencapai ini , penilaian kejadian, luas, dan keparahan cedera olahraga harus
dilakukan.1,2
harus mengetahu kemungkinan cedera serius atau sakit mendadak ada di semua
olahraga, hal-hal yang berhubungan dengan level atau jenis permainan. Tidaklah
kardiopulmoner (CPR) mereka setiap 2 tahun dan berharap yang terbaik. Profesional
kesehatan yang bekerja dengan atlet harus memiliki pemahaman unik tentang situasi
darurat yang dapat timbul dan harus memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk
mengelola keadaan darurat tersebut. Mereka harus mahir dalam perawatan darurat
olahraga.2
kepada orang yang terluka atau tiba-tiba sakit. Praktisi perawatan darurat harus mahir
untuk mengelola kondisi sampai perawatan medis yang lebih pasti tersedia. Perawatan
keterampilan yang lebih maju dan peralatan khusus. Ingat definisi ini. perawatan
kepada peserta olahraga yang cedera atau tiba-tiba sakit. Keadaan darurat olahraga
adalah bidang spesialisasi yang diperlukan untuk penyedia layanan kesehatan yang
melekat pada setiap olahraga. Pengenalan darurat terhadap keadaan darurat dan
perawatan yang tepat sangat penting untuk memberi atlet kesempatan terbaik untuk
cedera dan penyakit yang merupakan akibat langsung dari partisipasi olahraga (seperti
cedera tulang belakang, cedera kepala, dan patah tulang) serta penyebab tidak
langsung (seperti kelainan jantung bawaan dan keadaan darurat medis lainnya).
Kebutuhan peserta olahraga dengan jenis cedera dan penyakit ini jauh melampaui
tim. Setiap anggota tim harus memahami, menghormati, dan menghargai kemampuan
dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh anggota tim lainnya. Secara historis ada
situasi di mana pelatih atletik dan teknisi medis darurat berbeda dalam pendekatan
mereka dalam mengelola situasi darurat dalam olahraga. Sering perbedaan dalam
TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen kedaruratan yang tepat dalam olahraga tidak terjadi secara kebetulan.
Persiapan adalah kunci untuk memastikan bahwa sumber daya dan prosedur yang
tepat ada untuk memastikan perawatan sebaik mungkin. Persiapan adalah proses yang
dinamis, dan perencanaan harus dimulai jauh sebelum cedera, permainan, atau bahkan
musim.2
darurat olahraga. Persiapan pra pertandingan untuk tenaga medis sangat penting untuk
diketahui. Dalam keadaan darurat, penting utnuk tenaga medis mengetahui lokasi
AED terdekat, seberapa jauh departemen A dan E terdekat, peralatan apa yang ada,
dan lain-lainnya. Persiapan ini dapat dibagi menjadi 4 entitas yang terpisah, yang
Environment - baik lingkungan langsung (lahan) dan lebih luas (terdekat A dan E
dll)
Riwayat pemain
A. Personel
Anggota tim perawatan darurat olahraga tergantung pada tingkat permainan dan
ukuran institusi. Tim perawatan darurat olahraga di liga Sepak Bola Nasional
mungkin memiliki lebih banyak anggota tim liga sepak bola lokal. Semua personil
anggota lainnya. Personil pelayanan medis darurat dan dokter adalah anggota penting
dalam menangani keadaan darurat olahraga, tergantung pada spesialisasi medis dan
pelatihan tambahan. Selain personil pelayanan medis darurat dan dokter, pelatih atlet
juga dapat berperan dalam penanganan kasus emergensi dalam olahraga, paling tidak
pelatih harus dilatih dalam pertolongan pertama dan CPR untuk membantu seorang
B.Aturan
peraturan resmi olahraga, yang salinannya biasanya dapat diperoleh secara online di
yaitu:3
Bermain tidak boleh dihentikan untuk pemain yang cedera kecuali dalam keadaan luar
dikeluarkan dari bidang permainan. Semua cedera lain harus dirawat di luar lapangan.
(GAA 2012)
-Dewan Rugby Internasional
Dokter tim dan anggota tim yang tidak bermain lainnya hanya dapat memasuki bidang
permainan dengan izin dari wasit. Mereka lebih lanjut menyatakan bahwa anggota ini
dapat memasuki lapangan karena permainan hanya berlanjut jika wasit telah
memberikan izin. Kalau tidak, mereka tidak dapat melakukannya sampai bola mati.
(IRB 2012)
Seorang dokter dapat memasuki lapangan tanpa izin jika mereka menilai seorang
pemain yang cedera membutuhkan perawatan medis segera (FIBA 2012). Ada banyak
kesamaan antara pedoman untuk olahraga yang berbeda mengenai memasuki bidang
permainan, namun ini sudah tersedia, dan tenaga medis harus membiasakan diri
C.Lingkungan Hidup
Persiapan dalam kaitannya dengan lingkungan dapat secara luas dibagi menjadi
-Lingkungan langsung
Termasuk cuaca, pertandingan yang sedang berlangsung dan gangguan oleh orang
lain yang hadir. Meskipun aspek-aspek ini tidak dapat dikontrol, penting bahwa
Peralatan Isi dari tas klinisi tim akan bervariasi tergantung pada jenis olahraga,
Nerurologic
Zinc Oxide
steril/tidak kulit(vaseline)
paru(CPR)
(mis.,
Antibiotik
topikal,
antiinflamasi,
antibiotik,
antihistamin,
antiemetik,
glukagon,
aspirin,
cortisone,
glukosa oral)
-Perangkat trasportasi
Tergantung pada tingkat keparahan dari cedera atau penyakit. salah satu dari
pasien. Kursi roda atau kursi pribadi (kursi roda yang dirancang untuk digunakan di
dalam keadaan darurat yang lebih serius untuk mengantarkan ke rumah sakit terdekat.
Tugas dokter tim dan tim medis lapangan meliputi pengamatan konstan pemain di
lapangan, sehingga jika ada pemain yang sakit atau cedera, akan segera diamati oleh
staf medis yang bertugas. Berkenaan dengan setiap pemain yang cedera, penting
selanjutnya.4
Penilaian yang tepat atas cedera olahraga adalah keterampilan penting bagi
henti jantung).3
Berbagai metode penilaian akan diperkenalkan dalam bab ini. Banyak alat
penilaian ini dirancang untuk mengungkap tanda dan gejala yang akan berguna dalam
menentukan sifat penyakit atau cedera. Ketika menilai korban yang sakit atau terluka,
biasanya, satu gejala tidak cukup untuk menentukan kondisi. Biasanya diperlukan
dengan memeriksa kesadaran atlet yang cedera dengan menggunakan AVPU maupun
A. SKALA AVPU2
A — Alert Jika korban dalam keadaan siaga. Nilai orientasinya terhadap waktu
sekarang?), orang (tanyakan, siapa dia?, dan kegiatan (apa yang dia lakukan?)
berbicara keras ditelinga korban, kemudian melihat apakah dia berspon atau tidak
pangkal kuku atau menekan bagian tulang dada(sternum), dan dapat juga dengan
Seorang pemain dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15 dari 15 secara fungsional
sepenuhnya terjaga dan berorientasi pada waktu, tempat, dan orang. Namun, setiap
pemain dengan GCS 14 atau kurang dari 15 dianggap memiliki cedera kepala yang
Saat mendekati pemain yang cedera, salah satu dari beberapa skenario klinis mungkin
- Pemain tidak sadar dengan pernapasan tidak normal atau tanpa pernapasan
Penaganan awal yang dilakukan antara lain penilaian airway atau jalan nafas,
pernafasan. dan sirkulasi (ABC). dan beberapa tenaga medis menambahkan penilaian
Pada tahap ini dilakukan pembersihan jalan nafas dengan menggunakan finger
swab dan suction pada benda cair (darah, sekret, dll) yang menyumbat jalan nafas. 5
Jika pasien mengalami penurunan kesadaran (GCS <8) maka perlu diberikan
defenitive airway. Pada tahap awal membuka jalan nafas dapat dilakukan manuver
chin lift dan atau jaw thrust sambil menrestriksi gerakan berlebihan pada vertebra
servikal. Selain manuver, menjaga patensi jalan nafas dapat dilakukan menggunakan
alat bantu seperti nasofaringeal tube, orofaringeal tube, laryngeal mask airway.
Apabila dengan alat bantu masih kesulitan untuk menjaga patensi jalan nafas, dapat
menggunakan defenitive airway yaitu intubasi endotrakeal
Saat menjaga patensi jalan nafas, tidak boeh dilakukan gerakan berlebihan pada
vertebra servikal pasien bila dicurigai adanya spinal injury. Vertebra harus dilindungi
dan menrestriksi gerakan berlebihan untuk mencegah timbulnya defisit neurologis
hingga dapat dibuktikan tidak terdapat spinal injury. Proteksi vertebra servikal dapat
menggunakan rigid cervical collar/neck collar, namun bila diperlukan untuk menjaga
patensi jalan nafas, neck collar dapat dilepaskan dan gerakan pada vertebra servikal
ditahan secara manual. 5
Apabila pada saat membuka jalan nafas pasien muntah, maka pasien dimiringkan
ke lateral sambil tetap menjaga vertebra servikal Perlu dilakukan evaluasi berkala
terhadap patensi jalan nafas.5
Apabila setelah memastikan airway tidak ada hambatan, maka gangguan pada
ventilasi harus dicari penyebabnya. Ventilasi yang baik memerlukan fungsi dari organ
paru, dinding dada dan diafragma. 5
Inspeksi dilakukan dengan melihat adanya luka pada dinding dada, distensi
vena jugular, posisi trakea dan pergerakan dinding dada. Pengembangan dada
yang tidak simetris menandakan kemungkinan ada pneumothorax atau flail
chest.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya abnormalitas seperti bunyi
hipersonor atau pekak.
Auskultasi memastikan aliran udara dalam paru. Penurunan bunyi nafas pada
salah satu atau kedua hemithorax menandakan adanya trauma pada thorax.
Setiap pasien perlu diberikan terapi oksigen, dan jika pasien tidak diintubasi
oksigen harus diberikan melalui non rebreathing mask untuk mencapai oksigenasi
yang adekuat serta dilakukan pemantauan saturasi oksigen
Apabila pasien tidak dapat melakukan ventilasi spontan, maka diberikan bantuan
5
ventilasi menggunakan bag valve mask. Apabila dicurigai adanya tension
pneumothorax maka dilakukan needle dekompresi pada ICS 2, setinggi tepi atas
costa III
3. Sirkulasi dan Kontrol Perdarahan
Penurunan sirkulasi pada kondisi trauma dapat disebabkan oleh berbagai jenis
cedera. Perdarahan masif dapat menyebabkan kematian pada kondisi trauma. Setelah
tension pneumothorax telah disingkirkan sebagai penyebab shock, hipotensi dianggap
sebagai penyebab injury hingga dapat dibuktikan bukan penyebab hipotensi.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu: 5
A. Anamnesis
Anamnenis dilakukan secara autoanamnesis apabila pasien sadar dan alloanamnesis
apabila pasien tidak sadar. Hal yang perlu dianamnesis antara lain:
1. Mekanisme Injury5
B. Pemeriksaan fisis
Pemerisaan fisis meliputi pemeriksaan terhadap kulit, fungsi neuromuskular, sirkulasi
dan integritas tulang serta ligamen. 5
1. Look and Ask
Melakukan inspeksi warna, luka, deformitas, bengkak pada seluruh tubuh.
Warna ekstremitas yang pucat menandakan aliran darah arteri tidak adekuat.
Ekstremitas yang mengalami pembengkakan menandakan adanya crush injury
dengan sindrom kompartemen. Pembengkakan atau ekimosis pada daerah sendi
atau subkutan pada tulang menandakan adanya injury muskuloskeletal.
Deformitas ekstremitas menandakan adanya injury pada muskuloksletal. Pada
kondisi pasien sadar, dapat dilakukan pemeriksaan neurologis secara volunter. 5
2. Feel
3. Evaluasi sirkulasi
Secara hati-hati dan pelan, ganti posisi kepala menjadi posisi netral relatif
terhadap tulang belakang dan pertahankan posisi ini. Jika dengan gerakan
lambat ini menyebabkan nyeri leher atau tulang belakang, kejang otot, tanda
atau gejala neurologis yang abnormal, lakukan imobilisasi pada kepala dalam
posisi semula, dan transfer pemain dalam posisi ini ke rumah sakit dengan
perangkat immobilisasi yang sesuai dan tersedia.
Setelah posisi kepala diatur ulang dan distabilkan dengan hati-hati dan lembut,
dengan perlahan sejajarkan posisi tulang belakang ke posisi netral,
mengikuti prinsip yang sama seperti yang dinyatakan di atas.
Jika pemain berbaring telentang, pemain harus dipindahkan ke atas papan
yang panjang (Rigid Spine Board). Ini dapat dilakukan dengan manuver
log-roll yang hati-hati, pelan dan terkoordinasi. Untuk mengubah posisi
pemain ke sisi tim medis, tempatkan RSB pada sisi belakang pemain dan
kemudian log-roll terkoordinasi dengan hati-hati untuk memindahkan pemain
ke RSB dalam posisi terlentang untuk immobilisasi.
Jika pemain telah tepat sejajar dalam posisi terlentang, stabilisasi servikal
dengan menggunakan tangan diubah menjadi imobilisasi eksternal
menggunakan perangkat eksternal, seperti blok persegi bebrbahan busa.
2. Gejala Klinis
Gejala klasik sindrom kompartemen adalah 6P, yaitu pain out of proportion,
pain with passive stretching, pallor, paresthesias, paralysis, dan pulselessness.
nyeri adalah gejala primer paling sensitif pada pasien sindrom kompartemen.
Pulselessness adalah gejala akhir, dan sindrom kompartemen telah berlangsung
sebelum gejala ini muncul.7 Sindrom kompartemen merupakan diagnosis klinis
sehingga munculnya gejala klinis tersebut disertai faktor risiko dapat
menegakkan diagnosis sindrom kompartemen.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran tekanan intra-kompartemen menggunakan sistem transduser
arterial, slit catheter, dan sistem pengukuran self-contained. Tekanan normal
lengan bawah saat beristirahat adalah 8-9 mmHg. Diagnosis sindrom
kompartemen ditetapkan bila peningkatan >30mmHg dari tekanan diastol.
Sebagian klinisi juga menetapkan diagnosis sindrom kompartemen jika tekanan
kompartemen absolut lebih dari 30 mmHg.7 Hal ini dikarenakan tekanan >30
mmHg menyebabkan penurunan aliran darah kapiler, yang bisa
mengakibatkan kerusakan otot dan saraf akibat anoksia.5
B. Tatalaksana
Sindrom kompartemen tergantung pada waktu dan kondisi tekanan.
Sindrom kompartemen harus segera dibebaskan dalam durasi 6 jam sejak
onset sindrom kompartemen untuk mendapatkan fungsi ekstremitas yang
masih baik. Semakin tinggi tekanan kompartemen dan semakin lama, semakin
besar tingkat kerusakan neuromuskuler yang dihasilkan dan defisit
fungsional.5,6
Gambar Metode Fasciotomy leg (a) Metode 4 insisi, (b) Metode 2 insisi
2. Thigh
Thigh terdiri atas 3 kompartemen, yaitu Komponen anterior, posterior dan
medial.
- Insisi dilakukan pada sisi lateral sesuai dengan panjang paha.
- Insisi pada fascia lata untuk dekompresi kompartemen anterior
- Vastus lateralis diretraksi ke anterior untuk memberikan dekompresi
kompartemen posterior.
- Insisi pada sisi medial untuk dekompresi kompartemen medial.
3. Forearm
Forearm terdiri atas 3 kompartemen yaitu mobile wad, volar dan dorsal.
- Insisi pada sisi volar (area of Henry) dimulai 1 cm ke arah proksimal da n 2
cm ke arah lateral dari medial epicondyle menuju ke fleksor carpi ulnaris
hingga proksimal pergelangan tangan.
- Insisi dorsal dimulai di sisi distal lateral epicondyle hingga bagian tengah
pergelangan tangan.
Spinal shock terjadi ketika medulla spinalis gagal sementara setelah cedera
terjadi. Bahkan bagian medulla tanpa kerusakan struktural mungkin tidak berfungsi. Di
bawah level cedera, otot-ototnya lembek, refleks tidak ada, dan sensasi hilang. Ini
jarang berlangsung selama lebih dari 48 jam dan selama periode ini sulit untuk
mengatakan apakah lesi neurologis lengkap atau tidak lengkap. Jika refleks primitif
(anal 'wink' dan refleks bulbocavernosus) tidak ada, kembalinya mereka biasanya tidak
menandai akhir 'spinal shock'; beberapa perbaikan neurologis dapat terjadi seiring
berjalannya waktu. 8
Spinal shock setelah peristiwa traumatis memengaruhi sebagian besar usia
muda; usia rata-rata adalah 29 tahun. Ini lebih sering terjadi pada pria (80%) daripada
pada wanita. Cidera medulla sering dikaitkan dengan fraktur-dislokasi, robeknya
ligamen, gangguan rotasi, serta robeknya diskus. Jika spinal shock tidak terkait dengan
cedera signifikan pada tulang belakang itu sendiri, maka prognosis untuk pasien ini
lebih menguntungkan daripada ketika fraktur hadir. Perawatan keseluruhan pasien
dengan spinal shock yang signifikan dan cedera menghadirkan tantangan besar karena
prognosis yang buruk, terutama pada pasien yang berada di puncak masa muda mereka.
Dua mekanisme umum menyebabkan spinal shock. Mengenai perawatan cedera
medulla spinalis, perawatan terbaik untuk cedera medulla spinalis primer adalah
pencegahan. Cedera yang terkait dengan peristiwa utama tidak dapat dipulihkan.
Namun, cedera sekunder seperti hipotensi dan hipoksia dapat dicegah. Manajemen
medis yang agresif dapat mengurangi pengaruhnya terhadap fungsi keseluruhan
pasien.5
a. Assessment
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional
Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan
mempublikasikan standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis
cedera medula spinalis. Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969.
Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang
akurat dan komperhensif.
Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:
- Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di
seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5.
- Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk segmen
S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik.
- Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai kurang dari 3.
- Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi masih berfungsi
dan mayoritas memiliki kekuatan otot dengan nilai lebih dari 3.
- Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.
Tabel Skala kerusakan berdasarkan American Spinal Injury
Association (ASIA) / International Medical Society of Paraplegia (IMSOP)
Grade Tipe Gangguan spinalis ASIA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi sensorik dan motorik
sampai S4-5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi fungsi
motorik terganggu sampai segmen sakral
S4-5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi
otot-otot motorik utama masih punya
kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level,
otot-otot motorik utamanya punya kekuatan >
3
E Normal Fungsi sensorik dan motorik normal
Seda
ngkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA revised 2000, terbagi atas:5
a. Paraplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
b. Quadriplegi: Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan tidak komplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord
Injury Association yaitu :
(1) Central Cord Syndrome
(2) Brown Sequard Syndrome
(3) Anterior Cord Syndrome
(4) Posterior Cord Syndrome
(5) Cauda Equina Syndrome
Fase akut spinal cord injury (spinal shock) berlansung (2-3 minggu), cirinya:
- Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat
extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah
cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut
paraplegi.
- Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan dermatom di bawah lesi, hal yang
terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun
sensasi dalam.
- Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual)
Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran
pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus
pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di
dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar apabila
sudah penuh.
- Gangguan respirasi (tergantung letak lesi)
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu
cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus respiratorius,
jika terkena maka diafragma pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga
dapat terkena gangguan pernafasan.9
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya spinal shock adalah
reflex bulbocavernosus. Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal
atau cedera radiks dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan
wajah harus dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau
hilang. Sensasi pada sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera
inkomplit. Reflex bulbocavernosus adalah suatu reflex yang ditandai dengan kontraksi
dari otot bulbospongiosus (otot spingter ani) ketika dorsum penis ditarik atau glans
penis dikompresi. Juga disebut refleks penis.10
Bulbo Cavernosus Refleks atau BCR adalah salah satu cara untuk mengetahui
apakah seseorang menderita shock spinal. Refleks ini merupakan refleks polysynaptic
yang berguna selain untuk mengetahui adanya syok spinal juga memperoleh informasi
tentang adanya cedera sumsum tulang belakang / Spinal Cord Injury (SCI).
Tes ini melibatkan pemantauan kontraksi sfingter anal sebagai respon terhadap
gerakan meremas pada glans penis/klitoris atau tertariknya kateter Foley11. Refleks ini
dimediasi oleh syaraf tulang belakang S2-S4.
Tidak adanya refleks tanpa trauma sumsum tulang belakang sakral menunjukkan
syok spinal. Biasanya ini adalah salah satu refleks pertama yang kembali setelah syok
spinal. Tidak adanya fungsi motorik dan fungsi sensorik setelah refleks telah kembali
menunjukkan adanya cidera spinal yang lengkap. Tidak adanya refleks ini dalam
kasus di mana syok tulang belakang tidak dicurigai dapat menunjukkan lesi atau
cedera medullaris konus atau cauda euina syndrome. Bulbokavernosus adalah istilah
awal untuk m.bulbospongiosus, sehingga refleks ini seharusnya disebut
"Bulbospongiosus refleks". 11
Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan bahwa cedera
komplit dari Conus Medullaris Sindrom. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan
dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada
conus medullaris atau cauda equina.
b. Tatalaksana
Pasien spinal shock harus dirawat di ICU, karena banyak komplikasi yang
dapat timbul karena cedera ini. Pengobatan metilprednison masih kontroversial dengan
beberapa uji coba menunjukkan manfaat sederhana dan beberapa lainnya menunjukkan
efek samping yang lebih negatif daripada manfaat. Jika pasien masih muda dan tidak
memiliki penyakit mendasar yang dapat diperburuk dengan penggunaan steroid,
percobaan singkat metilprednison harus dimulai mulai dengan loading dose 30 mg / kg
diikuti dengan dosis pemeliharaan 5 mg / kg / jam untuk 24 jam ke depan. Syok
neurogenik biasanya terjadi dengan lesi di atas level T6. Norepinefrin drip dan
penggunaan atropin secara bijaksana untuk bradikardia harus menjadi bagian dari
pengobatan awal. Akhirnya, dalam beberapa hari hipotensi membaik, dan infus (IV)
harus dikurangi secara bertahap. Dengan cedera serviks yang tinggi, fungsi diafragma
akan terganggu, dan pasien-pasien ini akan memerlukan trakeotomi dini karena mereka
akan bergantung pada ventilator. Trombosis vena dalam terlalu tinggi pada pasien ini.
Profilaksis harus dimulai sesegera mungkin dalam beberapa hari setelah cedera.
Manajemen jangka panjang pasien cedera syok tulang belakang selalu membutuhkan
perawatan tim multidisiplin antara layanan yang berbeda. Sekitar 60% dari pasien ini
akan memerlukan stabilisasi tulang belakang dengan intervensi bedah, dan ahli bedah
saraf atau profesional ortopedi harus dikonsultasikan lebih awal. Pasien spinal shock
perlu diawasi secara ketat, dan perlu gerakan secara teratur agar pasien tidak terjadi
ulkus tekan. 12
2.7.1 Pendahuluan
Dari sumber yang berbeda mengenai insiden cedera sumsum tulang belakang,
tetapi umumnya disepakati bahwa cedera olahraga adalah penyebab paling umum
ke-3 atau ke-4 dari cedera medulla spinalis secara keseluruhan (tergantung pada
statistik negara mana yang dilihat). Terjatuh, kecelakaan lalu lintas jalan dan luka
tembak menempati peringkat di atas cedera olahraga sebagai penyebab utama cedera
tulang belakang (SCI). Tidak mengherankan, ada risiko cedera tulang belakang yang
lebih besar terkait dengan sports contact, dengan berbagai insiden yang dilaporkan.
Namun, risiko mengalami cedera medulla spinalis secara mengejutkan tidak terkait
dengan kekuatan tumbukan kepala atau leher, melainkan pada apakah atlet jatuh atau
tidak setelah penyerangan. C5 adalah vertebra yang paling sering terluka, dan ini
diduga karena level tulang belakang ini memiliki mobilitas terbesar.
Sebuah studi prospektif yang diterbitkan pada tahun 2009 menyelidiki kejadian cedera
tulang belakang akut di Irlandia. Ditemukan bahwa olahraga menyumbang 11% dari
semua cedera tulang belakang yang tercatat selama periode penelitian. Rincian
olahraga yang berhubungan dengan cedera tulang belakang diuraikan dalam diagram
lingkaran yang ditunjukkan. Penelitian itu juga menemukan tulang servikal paling
sering cedera (51%), diikuti oleh daerah lumbar (28%) dan toraks (21%) (Lenehan et
al 2009).
Gambar. Pie chart menunjukkan rincian olahraga yang paling sering dikaitkan dengan spinal injury3
** Ereksi terus-menerus yang disebabkan oleh perubahan aliran darah normal setelah trauma medulla
spinalis
** Jika ada tanda-tanda atau gejala ini pasien harus diimobilisasi dan segera dirujuk ke dokter **
Komplit
Pada tipe ini melibatkan hilangnya fungsi neuromuskuler di bawah tingkat cedera,
termasuk segmen sakral paling distal, yang berlangsung lebih lama dari 48 jam.
Jenis cedera ini dapat terjadi akibat gangguan anatomi medulla spinalis, tetapi yang
paling umum adalah akibat iskemia, perdarahan, atau edema. Jenis cedera ini tidak
sering reversibel, tetapi setelah pembengkakan berkurang, peningkatan 1 level
vertebra dapat terjadi
Inkomplit
Tipe ini terjadi ketika fungsi motorik atau sensorik di bawah lokasi cedera dan di
segmen sakral paling distal
Bergantung pada lokasi benturan dan tingkat keparahannya, cedera tulang belakang
yang tidak lengkap dapat menyebabkan munculnya gejala yang disebut 'sindrom'. Ini
dijelaskan secara singkat di bawah ini:
Sindrom Korda Sentralis3
o Penyebab: Kerusakan pada bagian tengah medulla spinalis. Jenis cedera ini
diperkirakan akibat dari terjadinya iskemik / hemoragik ke traktus kortikospinalis.
Traktus yang ditempatkan lebih medial yang melayani ekstremitas atas lebih
terpengaruh sebagai akibat dari kerusakan sentral. Ini paling sering dikaitkan dengan
cedera hiper-ekstensi.
o Fungsi sensorik: Ada defisit sensorik di bawah tingkat lesi dan dapat menyebabkan
disfungsi kandung kemih dan disfungsi seksual
o Penyebab: Iskemia dari arteri spinal anterior ke dua pertiga anterior medula spinalis.
Tidak seperti sindrom korda sentralis, jenis cedera ini tidak dengan mekanisme yang
lain
o Fungsi motorik: Kehilangan fungsi total di bawah level cedera-dengan tidak adanya
kehilangan ekstremitas atas atau bawah.
o Fungsi sensorik: Hilangnya sensasi nyeri dan suhu yang disebabkan oleh kerusakan
pada jalur spinothalmic. Hilangnya sfingter dan disfungsi seksual.
Brown-Sequard:3
the patient may have unilateral motor loss with contralateral sensory loss, but this may
effect the upper extremities more than the lower.
o Motor function: Ipsilateral paralysis (caused by damage to the corticospinal tracts)
o Sensory function: Contralateral loss of sensitivity to pain and temperature (caused by
damage to the spinothalmic tracts which decussate at a spinal level) and loss of tactile
discrimination (Bell 2007).
o Fungsi motorik: Sindrom ini jarang muncul secara klinis. Ini menyebabkan
hilangnya fungsi pada kolumna dorsalis; Namun, traktus kortikospinalis tetap utuh.
Oleh karena itu pasien mungkin mengalami kesulitan mengoordinasikan gerakan,
tetapi akan mempertahankan kekuatannya.
o Fungsi sensorik: Traktus spinothalmik tetap utuh, oleh karena itu sensasi tetap utuh.
Terlepas dari mekanisme atau tempat cedera, penatalaksanaan segera dari setiap
potensi cedera medulla
1. Imobilisasi pasien
5. Palpasi
6. Transfer
Immobilisasi3
Hingga 20 tahun lalu diperkirakan hingga 25% dari cedera mendula spinalis dapat
diperparah setelah kecelakaan awal. Namun, teori ini sekarang sedang ditantang.
Sekarang diyakini bahwa kerusakan pada medula spinalis terjadi pada saat serangan
awal dan setiap pergerakan berikutnya tidak cukup untuk menjamin kerusakan medula
spinalis lebih lanjut (Kwan et al 2009). Selain itu, sebagian besar pasien tidak
memiliki ketidakstabilan tulang belakang, dan oleh karena itu tidak mendapat manfaat
dari imobilisasi.
Namun, tetap bahwa, untuk sejumlah pasien tertentu, imobilisasi tulang belakang
dapat diperlukan untuk mencegah konsekuensi yang lebih parah dari cedera tulang
belakang. Karenanya imobilisasi tulang belakang leher masih dipraktikkan secara luas
(NICE 2007). Namun, imobilisasi jangka panjang harus dihindari.
Imobilisasi melibatkan penggunaan semi-rigid collar neck dan blok neck. Collar
neck yang terlalu ketat berpotensi meningkatkan tekanan intra-kranial. Penelitian juga
menunjukkan semi-rigid collar neck memiliki efek sedikit dalam mencegah gerakan
intersegmental tulang belakang.
2 metode utama imobilisasi tulang belakang adalah:
Stabilisasi manual
Penggunaan perangkat ortotik-papan, bidai, collar neck
Memeriksa ABCD dari setiap pasien sangat penting sebelum penilaian tersier dapat
dilakukan. Pertama meyakinkan pasien. Kemudian periksa ABCD seperti diuraikan di
bawah ini.
Airway
Pastikan jalan napas terbuka dan pasien bernafas. Jika tidak memulai CPR.
Jika pasien merespons Anda dengan suara normal, aman untuk mengatakan
bahwa jalan napas itu paten
Tanda-tanda jalan napas menglami obstruksi parsial termasuk:
Adanya suara tambahan napas
Adanya usaha napas tambahan
Kesadaran menurun
Suara yang berubah
Pada pasien yang tidak sadar, 'mendengkur' dapat menjadi indikasi obstruksi
parsial
Pastikan jalan napas paten, lakukan head tilt and chin lift untuk
mempertahankan jalan napas.
Pernafasan3
Dengarkan suara nafas. Periksa laju pernapasan dan cari tanda-tanda sianosis.
Jika sadar, tanyakan pada pasien apakah mereka merasa kesulitan menelan
atau bernapas?
Sirkulasi3
Motorik
Tanpa menggerakkan pasien, periksa apakah pasien dapat menggenggam erat tangan
Anda (ini memeriksa persarafan dari servikal)
Sensorik
Dengan menggunakan jari tangan dan kuku Anda, rabalah dan berikan sensasi di atas
ekstremitas atas dan bawah pasien, punggung dan dada pasien tanyakan apakah
sensasi terasa sama pada satu segmen dibandingkan yang lain
Palpasi
Palpasi sepanjang tulang belakang untuk memeriksa segala kelainan bentuk atau
menjaga otot yang berlebihan.
Transfer
Memindahkan pasien pada spine board diperlukan jika kemungkinan trauma medulla
spinalis tidak dapat disingkirkan Ini harus dilakukan dengan teknik gerakan minimal
pada tulang belakang.. Teknik yang digunakan untuk melakukan transfer yang aman,
dan penggunaannya, dibahas di bawah ini.
Log Roll
Log rolling mungkin diperlukan untuk menempatkan pasien pada spine board, jika
kemungkinan adanya trauma medulla spinalis tidak dapat dikesampingkan dan
pemain harus dikeluarkan dari acara olahraga. Diperlukan minimal 3-4 orang untuk
mengendalikan bagian kepala, dada, panggul, dan anggota tubuh bagian bawah (pada
lutut dan kaki jika memungkinkan). Ini adalah manuver untuk menggulingkan pasien
ke sisi tim penolong sambil menjaga tulang belakang tetap sejajar, untuk
memungkinkan posisi mereka pada spine board atau pemeriksaan tulang belakang.
Lebih lanjut masalah yang diperdebatkan dalam transportasi termasuk spine board
devices. Ada 3 jenis yang umum digunakan; traditional long spinal board, split
devices dan vacuum mattress. Masing-masing memiliki fungsi, dan dijelaskan di
bawah ini
Long Board
Alat ini merupakan tipe imobilisasi tradisional pada tulang belakang, yang terdiri dari
papan datar dengan imobilisasi rangkap tiga. Papan ini terdiri dalam berbagai panjang
dan lebar dan dapat diisi. Namun, karena masalah dengan penekanan pada luka, atlet
tidak boleh diimobilisasi menggunakan alat ini selama lebih dari 30 menit.
Splint Devices
Papan imobilisasi ini populer karena mereka dapat menghindari log roll pada korban
terlentang. Lebih lanjut, di dalam korban kendaraan bermotor alat ini dapat membantu
membebaskan korban dari kendaraan. Namun, alat hanya dirancang untuk
pemindahan dan tidak boleh digunakan untuk membawa pasien jarak jauh. Demikian
pula mereka tidak cocok untuk atlet yang memiliki berat badan berlebih.
Vacum mattress
Akhir-akhir ini matras ini mulai populer. Perangkat ini terbuat dari double bag
polystyrene ball. Dengan ini memungkinkan alat ini dibentuk sesuai bentuk atlet
individu. Oleh karena itu tidak seperti perangkat lain, perangkat ini menghindari
terjadinya penekanan pada luka (Swartz et al 2009). Setelah udara dikeluarkan dari
plystyrene bag, perangkat ini menjadi kaku. Namun, karena potensi kebocoran
tusukan / katup, jika mattress vacuum digunakan, harus selalu ada perangkat alternatif
yang tersedia
Selama transfer pasien selalu menilai kembali GCS pasien dan memantau ABCD.
Menilai ROM pasien sebelum memutuskan apakah pemain dapat kembali ke lapangan
Poin-poin penting :3
2.8.1 Dislokasi
Dislokasi merupakan cedera yang umum terjadi di kalangan atlet. Dislokasi terjadi
saat tulang tergelincir dari sendi dengan kata lain tulang tidak berada di tempat yang
semestinya. Hal ini termasuk dalam kegawatdaruratan di bidang olahraga sebab jika
tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, ligament, dan
nervus.
Dislokasi sendi glenohumeral merupakan 50% dari semua dislokasi yang terjadi.
Umumnya sendi tersebut banyak terjadi. 90% merupakan dislokasi ke arah anterior
dan 4% merupakan dislokasi kea rah posterior. Beberapa cedera dapat mengakibatkan
morbiditas yang signifikan sehingga pentingnya untuk dikenali secara cepat
Dislokasi adalah cedera pada sendi yang terjadi ketika tulang bergeser dan
keluar dari posisi normalnya
Dislokasi dapat terjadi pada sendi besar maupun sendi kecil
X-ray sering digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis dislokasi dan eksklusi
fraktur
Waktu yang dibutuhkan untuk pulih bergantung pada sendi yang terkena, dan
adanya cedera yang berlanjut.
Subluksasi, pegesaran dari sendi tetapi tidak sepenuhnya dislokasi. Masih
terdapat hubungan antar permukaan sendi. Subluksasi dapat menjadi masalah
kronik.
sendi yang sering terjadi dislokasi adalah bahu, jari, lutut, pergelangan tangan,
dan siku.
komplikasi yang dapat terjadi akibat dislokasi: robekan pada otot, tendon, dan
ligament di sekitarnya. Kerusakan nervus dan pembuluh darah.
Dislokasi dapat terjadi karena jatuh, terlempar, atau keadaan yang
mengakibatkan tekanan pada sendi.
1.1 Dislokasi Bahu
Cedera tangan dan jari sangat umum terjadi pada atlit. Mencakup
sekitar 9% dari cedera olahraga. Jari-jari rentan pada olahraga yang
membutuhkan penggunaan tangan dalam posisi terentang. Olahraga dengan
gerakan menyambar atau membuka menempatkan jari pada posisi yang lebih
rentan lagi.
Dislokasi jari umumnya tampak dengan jelas, evaluasi jari yang cedera
dengan benar untuk stabilitas, kelainan rotasi, ROM, dan system
neurovascular. Cidera tangan dan pergelangan tangan dikaitkan dalam
evaluasi cedera. Sendi Interphalangeal proksimal (PIP) dan distal tidak boleh
dilkaukan dengan traksi . sederhana karena dapat kontraksi jaringan lunak
sekitar sendi dan mencegah reduksi. Pada dislokasi PIP, fleksi PIP dan
translasi distal phalanx media meringankan sendi.
Fraktur disebabkan oleh kekuatan yang kuat, benturan, tekanan yang lebih
kuat dari tulang sendiri. Fraktur jika dibiarkan akan mengarah pada
komplikasi serius seperti shock hypovolemic, infeksi, atau sindrom
compartment.
Berikut ialah penilaian yang sederhana dan logis dalam menangani fraktur
Box Splint
Vacuum Splint
seperti kasur vakum yang digunakan pada pasien Spinal Cord Injury, matras
ini dapat menyesuaikan untuk mensupport komponen yang solid untuk anggota
tubuh cacat. Kehilangan udara dari splint membuat splint padat. Seperti kasur
vakum risiko bocor mungkin terjadi selalu hadir. Oleh karena itu splints
back-up harus selalu tersedia.
BAB 3
DAFTAR PUSTAKA
7. Kistler JM, Ilyas AM, Thoder JJ. Forearm Compartment Syndrome: Evaluation and
Management. Hand Clin. 2018;34(1):54–60.
9. Roberts TT, Leonard GR, Cepela DJ. Classifications In Brief: American Spinal
Injury Association (ASIA) Impairment Scale. Clin Orthop Relat Res. 2017;
10. Wheeless CR. Bulbocavernosus Reflex [Internet]. 2012 [cited 2019 Jul 28].
Available from: http://www.wheelessonline.com/ortho/bulbocavernosus_reflex