Anda di halaman 1dari 6

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/7911/5/BAB%20II.

pdf
TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI PERPOLISIAN MASYARAKAT DI WILAYAH
HUKUM POLDA JABAR

A. Pendahuluan

Cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-


undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu unsur penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat adalah terciptanya kondisi Kamtibmas yang stabil sehingga dapat
mendukung semua komponen masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya.
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan erat antara Kamtibmas
yang stabildengan meningkatnya perputaran roda pembangunan. Begitu pentingnya
stabilitas kemananan untuk diwujudkan guna mendukung gerak perekonomian
negara, sehingga banyak negara yang menempatkan program stabilitas keamanan
sebagai prioritas utama dalam rencana program pembangunannya.
Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya heterogen, sangat
berkepentingan agar stabilitas keamanan tetap terpelihara, sebagaimana diketahui
heterogenitas yang melekat dalam lingkup nasional meliputi agama, suku, budaya,
ekonomi. Pada saat heterogenitas dapat dikelola dengan baik tentu akan
berdampak positif bagi pembangunan secara makro. Misalnya, keberagaman
budaya dapat menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan asing untuk berkunjung
ke Indonesia. Namun sebaliknya, ketika heterogenitas tidak dapat dikelola dengan
baik akan berpotensi memunculkan sikap saling curiga mencurigai antar anggota
masyarakat, yang pada akhirnya dapat memicu lahirnya berbagai konflik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini kondisi Kamtibmas di Indonesia
mengalami goncangan, yang ditandai dengan meningkatnya indeks kriminalitas,
serta semakin berangamnya jenis-jenis kejahatan yang terjadi. Ketika tingkat
kriminalitas mengalami peningkatan hal ini pertanda lemahnya kontrol institusional
dari aparat penegak hukum, disamping perlambang ketidakberdayaan institusi
dalam menjamin keamanan dan ketertiban.
Apabila dilihat dari perspektif kriminologis, kondisi ini mengindikasikan
semakin hancurnya pertahanan komunitas (masyarakat) dari serangan kejahatan.
Meningkatnya angka kriminalitas juga dipandang sebagai pertanda
munculnya disfungsi public security yang bermakna adanya ketidaksolidan dalam
kerja sama membangun pertahanan kolektif dari jeratan kasus kejahatan.
Munculnya disfungsi public security, bisa terjadi karena masyarakat
memandang bahwa tugas untuk menjaga stabilitas Kamtibmas hanyalah tugas
kepolisian, sehingga masyarakat tidak peduli pada kondisi keamanan yang ada di
sekitarnya. Padahal, menyerahkan semua masalah Kamtibmas kepada aparat
kepolisian bukanlah tindakan bijaksana, mengingat masih banyak kendala yang
dihadapi oleh kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dalam memelihara
Kamtibmas.
Karena itu, untuk mengubah agar public security semakin mantap, maka
pelibatan masyarakat dalam memelihara Kamtibmas merupakan salah satu
solusinya.
Salah satu model pelibatan masyarakat dalam menjaga Kamtibmas,
adalah Community Policing[1], yaitu suatu metode yang mana Polisi dan
masyarakat bekerjasama sebagai mitra untuk mengidentifikasi, menentukan skala
prioritas, dan memecahkan berbagai masalah yang sedang dihadapi. Menurut
Parsudi Suparlan Pemolisian Komuniti (community policing) adalah sebuah corak
pemolisian yang proaktif, yang menekankan pada pelayanan dan pengayoman
warga komuniti atau umum, dengan tidak menafikan fungsinya sebagai penegak
hukum (Suparlan: 2005)
Konsep community policing bergulir bersama-sama dengan “problem-
oriented policing” (POP), yang pada waktu pemunculannya pertama merupakan
pendekatan yang cukup radikal terhadap konsep tradisional berkaitan dengan
peranan dasar polisi. Herman Goldstein yang merupakan pencetus gagasan POP,
mengatakan bahwa tugas pemolisian dihambat oleh“cara reaktif”, yaitu yang baru
bergerak apabila ada laporan atau permintaan publik. (Rahardjo, 2002 : 34)
Sebelum konsep perpolisian masyarakat diterapkan, tugas dan peran
kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan
hukum dilakukan secara konvensional (tradisional), yaitu polisi dianggap hanya
bertugas untuk menangkap penjahat dengan cara-cara yang sifatnya represif. Polisi
cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai alat pemegang otoritas, dan
institusi kepolisian dipandang sekedar alat negara, sehingga pendekatan
kekuasaan lebih banyak mewarnai pelaksanaan tugas kepolisian.
Dalam perpolisian tradisional, peran polisi hanya terbatas pada respon atas
kejadian yang diterimanya saja tidak diperluas hingga upaya pengidentifikasian
serta penyelesaian masalah di masyarakat dan yang paling utama, dalam
perpolisian tradisional polisi bersifat reaktif terhadap kejadian. Akibatnya,
muncullah berbagai peristiwa tragis di tengah-tengah masyarakat seperti, polisi
menembak warga sipil yang tidak berdosa, penganiayaan yang dilakukan oleh
aparat kepolisian, serta perlakuan-perlakuan buruk lainnya yang mengarah pada
pelanggaran HAM. Ini semua menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada aparat
penegak hukum menjadi menurun.
Adanya tekad dari jajaran Polri untuk mengubah pola penanganan Kamtibmas,
melalui penerapan Polmas, sejatinya merupakan salah satu komitmen Polri untuk
menampilkan eksistensinya dengan paradigma baru. Reaktualisasi peran dan tugas
ini memang diperlukan, seiring dengan bergulirnya era reformasi yang telah
mengubah kesadaran seluruh komponen bangsa untuk melakukan pembenahan dan
pembaharuan atas berbagai ketimpangan, kinerja dan hal-hal yang dianggap tidak
professional serta proporsional menuju masyarakat demokratis. (Sutanto : 2006)
Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya
pemerintahan Orde Baru pada Tahun 1998, keinginan masyarakat agar Polri segera
mengubah paradigmanya, dari pendekatan militeristik menjadi pendekatan
kemitraan semakin deras digulirkan. Langkah awal komitmen Polri untuk
melakukan pembaharuan secara internal ditandai dengan pemisahan institusi ini
dari ABRI (TNI), terhitung sejak tanggal 1 April 1999[2]. Sejak keputusan pemisahan
Polri dari ABRI, pelan tapi pasti, Polri berupaya melakukan berbagai perubahan
yang mendasar baik secara struktural, instrumental, maupun kultural. Karena itu,
sebagai respon atas keinginan Polri mereformasi dirinya, Polri secara konsisten
menerapkan konsep perpolisian masyarakat.
Pada dasarnya, proses lahirnya Polmas di lingkungan Polri adalah
menyempurnakan konsep, kebijakan, dan praktik pembinaan masyarakat, terutama
yang dilakukan oleh para Babinkamtibmas, yang telah berlangsung lama di
lingkungan Polri. Namun, demikian praktik masyarakat sebagai mitra sejajar Polri
dalam memecahkan masalah merupakan hal baru.
Polmas menciptakan pola hubungan dan peran baru antara polisi dan
masyarakat. Tentu saja, dalam konteks ini kedua belah pihak perlu melakukan
perubahan dasar. Polisi tidak dapat bekerja sendiri karenanya harus memanfaatkan
sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat. Polisi juga bahu membahu dan
membuat keputusan bersama untuk memecahkan masalah dalam masyarakat.
Akhirnya melalui proses uji coba, dan pembentukan model yang dimotori
oleh berbagai lembaga donor, seperti IOM, JICA/Jepang, Asian Foundation,
Partnership, dan UNHCR, pada tanggal 13 Oktober 2005, dengan Keputusan Kapolri
No. Pol Skep/737/X/2005 secara resmi Perpolisian Masyarakat menjadi kebijakan
yang harus diterapkan oleh seluruh jajaran Polri.
B. Implementasi Perpolisian Masyarakat di Kewilayahan
Dalam Polmas, aparat Polri sebagai inti pembina Kamtibmas akan berperan dalam
tataran fasilitator, sebagai pembimbing dan akan mengarahkan masyarakat
agar mampu menyelesaikan berbagai masalah yang mereka hadapi tanpa
menimbulkan ekses masalah baru yang lebih berat, yang akan bermuara pada
terganggunya Kamtibmas secara menyeluruh.
Karena itu, dengan diterapkannya Polmas, maka anggapan bahwa tugas dan
tanggung jawab dalam menjaga dan memelihara Kamtibmas hanya di pundak polisi
harus segera ditinggalkan. Menempatkan tugas dan tanggung jawab memelihara
Kamtibmas tidak hanya pada pundak polisi tetapi juga masyarakat tentunya sangat
wajar mengingat sejatinya pihak yang lebih mengetahui akar permasalahan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat serta solusi praktis penyelesaiannya adalah
masyarakat itu sendiri, terlebih apabila dikaitkan banyaknya kendala yang dihadapi
oleh Polri.
Implementasi Polmas di wilayah hukum Polda Jabar tampaknya bukan hal yang
baru, namun sudah lama menjadi perhatian dari pimpinan, sebagaimana tertuang
dalam Kebijakan Kapolda dalam rangka Membangun Kemitraan dan Meningkatkan
Kerjasama dengan Semua Pihak untuk Lebih Memantapkan Dukungan kepada
Seluruh Jajaran Polda Jabar dalam Penegakan Supremasi Hukum.
Hal ini diperjelas dalam salah satu misi yang diemban oleh Polda Jabar yaitu
“Mengembangkan Perpolisian Masyarakat (Community Policing) yang Berbasis pada
Masyarakat Patuh Hukum”.
Dalam rangka mendukung terwujudnya kemitraan melalui konsep Perpolisian
Masyarakat, Polda Jabar beserta jajarannya secara konsisten dan kontinyu telah
melaksanakan berbagai kegiatan.
Pola dan metode yang dipergunakan dalam mengimplementasikan
Polmas, tentunya berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Kondisi ini dapat terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan kondisi sosial
budaya dari masing-masing wilayah sehingga permasalahan yang munculpun dapat
berbeda-beda. Sekalipun demikian, perbedaan tersebut tidak menyebabkan inti
dari Polmas menjadi terabaikan.
Secara umum pola-pola kegiatan yang dapat dilakukan guna membangun dan
menciptakan kemitraan dengan masyarakat adalah melalui dialog dengan
masyarakat, baik secara formal maupun informal, guna menampung sekaligus
menemukan solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat,
berpartisipasi dalam kegiatan warga, bekerja dengan badan-badan sosial dan turut
ambil bagian dalam program yang bersifat edukatif dan rekreatif bersama-sama
dengan komponen-komponen masyarakat.
Khusus di wilayah hukum Polda Jabar, beberapa Polres telah melaksanakan
beberapa kegiatan yang merupakan wujud nyata dari penerapan Polmas, Misalnya,
program “Polri Mitra Masyarakat, Masyarakat Mitra Polisi” yang dicanangkan oleh
jajaran kepolisian di wilayah hukum Polres Cianjur. Konkritisasi dari program ini
adalah mengintensifkan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat baik secara
formal maupun informal, menyelenggarakan dialog interaktif bekerja sama dengan
stasiun radio lokal, aparat Polri secara periodik berkesempatan untuk menjadi
Inspektur upacara di sekolah-sekolah. Kesemuanya itu dilakukan dalam upaya
mendekatkan Polri dengan masyarakat serta dalam upaya mengetahui secara
langsung permasalahan-permalahan yang dihadapi masyarakat sekaligus membantu
dalam pemecahannya. Di samping itu, di setiap Polres telah dibentuk Forum
Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang bertujuan untuk mendekatkan dan
memperbaiki hubungan Polisi dengan masyarakat, sehingga polisi mampu
mengidentifikasi masalah di tingkat bawah sekaligus menemukan solusinya.
Tantangan dan Hambatan Perpolisian Masyarakat
Sekalipun penerapan konsep Polmas di wilayah hukum Polda Jabar sudah berjalan
dengan baik, namun tidak berarti dalam pelaksanaannya tidak menghadapi
kendala. Di antara berbagai kendala yang muncul, nampaknya faktor sumber daya
manusia, fasilitas pendukung, serta partisipasi aktif dari masyarakat dan
pemerintah daerah, merupakan kendala utama, sehingga memerlukan pembenahan
segera.
Sumber daya manusia merupakan salah satu komponen penting dalam mendukung
suksesnya Polmas. Ketersediaan sumber daya manusia yang dimaksud tidak hanya
terbatas pada kuantitas tetapi juga kualitas. Harus diakui ratio aparat Polri di
wilayah Hukum Polda Jabar dengan jumlah penduduk yang harus dilayaninya masih
jauh dari ideal. Kondisi ini tentunya menyulitkan aparat Polri untuk memberikan
pelayan yang terbaik kepada masyarakat, termasuk dalam kerangka penerapan
Polmas. Di samping itu, banyaknya anggota Polri yang belum memahami konsep
Polmas secara benar berpengaruh juga terhadap efektifitas program ini. Sekalipun
demikian, Polda Jabar telah berupaya untuk mengatasinya dengan melakukan
berbagai pelatihan.
Hal yang sama dihadapi pula dalam kaitan fasilitas pendukung. Dengan
diterapkannya Polmas tentunya intensitas pertemuan antara aparat polisi dan
masyarakat diharapkan semakin sering. Padahal lingkup wilayah Polmas sangat
luas. Belum tersedianya fasilitas pendukung, seperti kendaraan operasional, alat
komunikasi yang memadai turut mempengaruhi efektifitas Polmas. Karena itu,
dalam mengatasi masalah ini, aparat Polri di Polda Jabar tidak pernah berhenti
menghimbau masyarakat serta Pemerintah Daerah untuk mendukung pelaksanaan
program-program Polmas. Karena bagaimanapun juga suksesnya program ini akan
memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah.
Partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam Polmas dirasakan masih kurang. Hal ini
muncul mengingat masih ada sebagian masyarakat yang memandang tugas dan
tanggung jawab dalam pemeliharaan Kamtibmas semata-mata tugas aparat
kepolisian. Padahal, Polmas menekankan pentingnya kemitraan aktif antara polisi
dan masyarakat, khususnya dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah.
Keberhasilan jangka panjang Polmas untuk mentrasformasikan peran aparat
penegak hukum sangat tergantung pada kesediaan pemerintah daerah untuk
bekerja sama secara efektif. Ketidak pahaman kalangan eksekutif dan legislatif di
daerah mengenai Polmas sering menjadi hambatan dalam pelaksanaan Polmas
sehingga tidak berlebihan apabila partisipasi dalam implementasi Polmas masih
rendah.
Keterlibatan Pemerintah Daerah dalam Polmas tidak hanya dari aspek dukungan
sarana prasarana atau finansial saja tetapi lebih dari itu, Pemerintah Daerah harus
memberikan respon transformasi itu secara aktif dengan mengarahkan pola
pemerintahannya untuk lebih berorientasi pada masyarakat pula. Para pemimpin
politik dan aparat pemerintah harus berupaya untuk mengarahkan sumber daya
yang tersedia untuk mengatasi persoalan ini.
Kedepan, tantangan yang dihadapi Polda Jabar dalam menyukseskan program
Polmas adalah bagaimana menciptakan Polri masa depan yang mantap serta terus
menerus mampu beradaptasi dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan
politik masyarakat serta Polri yang mampu bermitra dengan masyarakat,
mengingat kemitraan merupakan pilar utama keberhasilan Polmas.
Polri juga harus mampu membangun interaksi sosial yang erat dengan masyarakat,
sehingga keberadaaanya harus menjadi simbol persahabatan antara warga
masyarakat dengan polisi. Keberadaan polisi harus mampu menghadirkan rasa
aman di tengah-tengah masyarakat sekaligus mampu mengedepankan tindakan
pencegahan kejahatan (crime prevention).
Penutup
Perpolisian masyarakat merupakan upaya sinergis dari institusi kepolisian dan
masyarakat untuk bekerjasama membangun mekanisme, pola, strategi hingga
komunikasi dua arah, dalam mewujudkan keamanan lingkungan.
Dalam Polmas, masyarakat tidak lagi ditempatkan sekedar obyek yang harus
dilindungi oleh polisi, namun masyarakat bersama-sama dengan polisi menjadi
subyek partisipatif untuk menegakkan prinsip keamanan lingkungan.
Untuk mencapai harapan tersebut Polri berupaya menciptakan kondisi masyarakat
yang sadar Kamtibmas sehingga masyarakat sendiri yang memiliki daya tangkal,
daya cegah dan partisipasi terhadap diri dan lingkungannya terhadap setiap
ancaman Kamtibmas;
Pemolisian masyarakat hanya dapat diterapkan secara efektif apabila
adanya dukungan maksimal dari berbagai pemangku
kepentingan (stakeholders) baik dari dalam institusi kepolisian sendiri maupun
diluar institusi kepolisian.
Akhirnya, agar masyarakat madani (Civil Society), sebagaimana yang dicita-citakan
dapat terwujud maka perlu dibangun konsep pengelolaan negara yang berorientasi
pada kepentingan masyarakat, salah satunya melalui penerapan konsep Perpolisian
Masyarakat (Community Policing).

daftar pustaka
Kunarto, (2001), Bunga Rampai Polri Mandiri Menengok Ke Belakang Menatap Masa
Depan, Panitia Workshop Wartawan Polri, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, (2002), Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia,Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
Suparlan, Parsudi, (2005), Community Policing sebagai Paradigma Polisi
Sipil, makalah pada Seminar Nasional Profesionalisme Polri di antara Harapan
dan Kenyataan, Lembang, Jawa Barat.
Sutanto, (2006) Polmas Paradigma Baru, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu
Kepolisian, Jakarta

[1] Banyak istilah yang dipergunakan untuk mengartikan Community Policing, seperti:
pemolisian masyarakat, pemolisian komuniti, perpolisian masyarakat. Dalam tulisan ini penulis akan
mempergunakan istilah perpolisian masyarakat sebagai terjemahan dari community policing, sesuai
dengan Keputusan Kapolri No. Pol Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan
Stategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
[2] Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 BAB XII tentang Pertahanan dan Keamanan Nehara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan
Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang
menegaskan rumusan tugas, fungsi dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan
kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
peran dan fungsi masing-masing

Anda mungkin juga menyukai