Anda di halaman 1dari 13

FINAL REPORT FOR 2014 – 2015

KONSIL LSM INDONESIA

Date February 29th, 2016

Author Lusi Herlina

Project/ Forum for Business, Government and CSO Sector


Programmatic Cooperation

Organization Konsil LSM Indonesia (Indonesian NGO Council)

Country of implementation Indonesia

Project No. 76-03-04-091

Period Covered April 1, 2014 – December 31, 2015

1 CONTEXT OF THE PROJECT OR PROGRAM

 Describe important changes and challenges in the context of the project or program. Also
comment on the implications for implementation.

1.1. Important changes in the context of the project or program.

Konteks utama yang melatarbelakangi program ini adalah posisi LSM yang lemah dibanding
pemerintah dan perusahaan serta kurangnya kepercayaan antara satu dengan yang lain dalam
bekerja sama mewujudkan demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Lemahnya posisi LSM
berkaitan dengan kekuatan internal dan eksternal organisasi yang kurang memiliki posisi tawar
dibanding pemerintah dan perusahaan. Isu akuntabilitas dalam internal organisasi seperti
orientasi organisasi, manajemen organisasi dan keberlanjutan (utamanya sumber pendanaan),
bahkan pada tata kepengurusan pun masih menjadi permasalahan yang serius dalam
organisasi. Sementara akuntabilitas kepada pihak eksternal seperti membangun legitimasi dari
para pemangku kebijakan dan juga dengan perusahaan belum menjadi isu prioritas dalam
organisasi. Dalam kondisi banyaknya permasalahan tersebut LSM kurang dalam hal posisi tawar
ketika berelasi dengan perusahaan dan pemerintah.

Konteks lainnya yaitu kurangnya kepercayaan antar sektoral (LSM, pemerintah dan
perusahaan). Perbedaan cara pandang lama (sebelum reformasi) masih melekat hingga kini.
LSM masih beranggapan bahwa pemerintah masih menggunakan pendekatan (paradigma) lama
dalam pemberdayaan masyarakat, dan demokrasi hanya prosedural tanpa perlu menerapkan
demokrasi substansial. Pada tahun 2001, Teten Masduki (aktivitas ICW)1 melihat bahwa suara
sumbang terhadap LSM mulai ramai dibicarakan baik hubungannya dengan pemerintah
maupun sektor swasta. LSM ada yang terlibat dalam penyimpangan dana JPS (jaring pengaman
sosial), KUT, Bulog atau menjadi pendukung fanatik salah satu kekuatan politik tertentu. Dan
tidak jarang dijumpai ada LSM yang digugat oleh masyarakat yang memperjuangkannya.

1Makalah berjudul “Public Accountaility Ornop” disampaikan pada lokakarya sehari dengan topik "Akuntabilitas Publik dan Ornop: Isu dan
Pelaksanaan" pada 14 November 2001 di Hotel Saphir, Yogyakarta.
Pada saat yang sama (era tahun 2000-an) jumlah LSM di Indonesia terus bertambah dari segi
jumlah hingga mencapai ribuan. Hal ini dipicu oleh kebijakan lembaga-lembaga dana
internasional yang mensyaratkan bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan LSM dalam
menjalankan proyek-proyek pembangunan yang didanai mereka. Selanjutnya yang terjadi
adalah pejabat pemerintah ramai-ramai mendirikan LSM untuk menjalankan proyek-proyek
tersebut. Sehingga pada era tersebut wajah LSM sebagai aktor reformasi menjadi “kusam”
dengan partisan, korupsi, pemerasan, orientasi profit dan seterusnya. Sementara LSM yang
sungguh-sungguh bekerja merasa dirugikan dengan hadirnya LSM abal-abal (pseudo LSM), dan
tidak ada mekanisme menegakkan kode etik bagi LSM untuk menjalankan perannya.

Berdasarkan runtutan peristiwa di masa lalu, stigma negatif terhadap LSM terimbas hingga kini,
baik pada kalangan pemerintah maupun perusahaan. Keberadaan Konsil LSM Indonesia
merupakan salah satu perlawanan terhadap stigma negatif atas keberadaan LSM. Konsil LSM
Indonesia mempunyai mekanisme standard minimal akuntabilitas LSM yang menjadi pedoman
bagi anggota Konsil LSM untuk menjalankan aktivitasnya. Konsil meyakini dengan membangun
komunitas LSM yang kuat dan sehat, maka kepercayaan akan tumbuh dari berbagai kalangan.
Sebagai bentuk komitmen, Konsil telah melaksanakan dua kali assesment akuntabilitas kepada
anggota Konsil LSM yaitu pada tahun 2011 dan pada 2014. Pada Tahun 2015, Konsil LSM juga
sudah menerbitkan Jurnal Akuntabilitas OMS dan buku Standar Minimal Akuntabilitas LSM dan
sudah dilauncing dalam diskusi publik yang melibatkan pemerintah, perusahaan dan Organisasi
Masyarakat Sipil. Strategi lainnya adalah membangun forum-forum komunikasi kemitraan
antara LSM, perusahaan dan pemerintah melalui dukungan ICCO yang dimulai pada 2014.

Terjadi perubahan yang signifikan dari tahun 2014 dan 2015 baik pada tingkat nasional maupun
daerah. Pada tingkat nasional, konteks pada tahun 2014, pemerintah sedang menyusun
perencanaan nasional dan salah satu yang ingin didorong pemerintah adalah meningkatnya
peran para pihak baik LSM dan perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan. Pada saat
yang sama Konsil LSM sedang gencar dalam mendorong kemitraan antara LSM, perusahaan dan
pemerintah di daerah. Perhatian kemitraan utamanya adalah mendorong terjadinya
komunikasi yang intensif dan kerja sama dalam konteks membangun kesadaran untuk
menegakkan prinsip-prinsip HAM dan pembangunan berkelanjutan. Beberapa kegiatan
berkaitan kemitraan dipublikasikan di website Konsil LSM Indonesia. Pada tahun 2015, upaya-
upaya yang dilakukan Konsil LSM Indonesia telah menjadi referensi dalam laporan Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), suatu lembaga lintas sektor di tingkat pusat
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.

Paragraf terakhir, Hal 18


Untuk mendapat bayangan tentang reputasi LSM yang berpotensi menjadi mitra,
perusahaan dapat bertanya pada masyarakat setempat maupun mengontak beberapa
pihak sebagai sumber informasi. Konsil LSM berfokus meningkatkan akuntabilitas dan
kemampuan LSM (http://konsillsm.or.id/). Lembaga donor internasional, LSM lain yang
sebelumnya pernah menjalin kerja sama, serta jaringan LSM di tingkat nasional dan
internasional yang juga menjalankan kegiatan mereka di Indonesia dapat memberikan
masukan. KADIN sebagai organisasi kamar dagang di Indonesia (http://www.bsd-
kadin.org/) dan lembaga seperti Indonesian Business Links (IBL) (http://www.ibl.or.id)
serta Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) (http://filantropi.or.id/) juga bisa menjadi
sumber informasi tentang kemampuan dan reputasi LSM sekaligus memberikan arahan
tentang CSR di Indonesia secara umum. Perusahaan tentu harus mewaspadai LSM yang
terbentuk secara tiba-tiba demi mengambil keuntungan dari ketersediaan dana CSR
perusahaan.
paragraf 1, hal 32
Pertimbangkan apakah ada sumber daya yang bisa membantu Anda bekerja sama
dengan perusahaan. Konsil LSM berfokus meningkatkan akuntabilitas dan kemampuan
LSM (http://konsillsm.or.id/) dan bisa menjadi sumber pengetahuan dan bantuan.

Pada tingkat nasional akuntabilitas LSM masih menjadi perhatian utama, hal ini selaras dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2015 – 2019 yang banyak
menekankan adanya peran serta LSM dan perusahaan dalam berbagai bidang di kementerian.

Pada tingkat nasional, Konsil LSM juga memperkuat jejaring dengan CCPHI (Partnership for
Sustainable Community), Indonesian Bussiness Links (IBL), APINDO dan juga membangun
jaringan bersama antara LSM di Jakarta (ASSPUK, PEKA, PPSW, PIRAC, dan LP3ES) untuk strategi
kemitraan dengan perusahaan. Dan pada akhir tahun 2015, bertambah jaringan baru dengan
dua perusahaan yaitu PT. Maybank dan PT. Unilever. Sebelumnya, juga sudah jaringan dengan
Price Waterhouse Cooper (PWC) dan PT. Siemens. Upaya-upaya yang dilakukan ini belum
secara signifikan berkontribusi pada konteks perubahan dalam hal mendapatkan kepercayaan
publik terhadap LSM. Namun setidaknya melalui komunikasi dan merajut kerja sama dengan
jaringan merupakan seed capital untuk mempromosikan nilai-nilai akuntabilitas LSM kepada
pihak-pihak lain.

Pada tingkat daerah, berdasarkan assessment Konsil LSM pada tahun 2014, secara internal
posisi LSM berada pada kategori partly compliance dengan standar minimal akuntabilitas LSM.
Hal ini dibuktikan dengan assesment standar minimal yang telah dilakukan terhadap 67 dari 99
lembaga anggota Konsil LSM. Dari jumlah tersebut, kategori compliance 46 %, partly
compliance 52 %, dan not compliance 2 %. Perubahan yang diharapkan dimana mekanisme kode
etik sungguh-sungguh diterapkan di dalam komunitas LSM belum tercapai sepenuhnya. Selaras
dengan kerja-kerja penguatan LSM, dalam konteks umum, pada tahun 2014 dan 2015 ada
beberapa program lembaga-lembaga donor yang menyelenggarakan penguatan kapasitas
kelembagaan bagi LSM mitranya seperti Program TFCA-Kehati, Setapak 1 – The Asia Foundation
dan MAMPU DFAT. Dan beberapa mitra program mereka ada beberapa yang juga anggota
Konsil LSM Indonesia. Sebagai contoh, salah satu mitra program TFCA-Kehati adalah anggota
Konsil LSM yaitu Gemawan di Kalimantan Barat. Dengan demikian dapat dimaknakan bahwa
memperkuat mekanisme penerapan kode etik LSM mulai dianggap penting dalam konteks
pencapaian program.

Empat provinsi wilayah program menunjukkan kontribusinya pada konteks tumbuhnya


kepercayaan perusahaan dan pemerintah pada LSM, utamanya pada tahun 2015. Pada tahun
2014 belum menunjukkan adanya kepercayaan dari perusahaan dan pemerintah. Stigma
negatif masih kuat karena pengalaman buruk kerja sama antara LSM dan perusahaan di masa
lalu. Pemerintah juga belum tumbuh kepercayaan yang kuat akan akuntabilitas LSM. Melalui
komunikasi intensif antara Konsil sekretariat dan Konsil LSM di daerah, maka ada beberapa
strategi yang perlu diubah disesuaikan dengan masing-masing provinsi. Pertama, strategi
merangkul pemerintah dalam mengundang perusahaan. Strategi ini cukup efektif diterapkan di
dua provinsi yaitu Kesbangpolinmas di Sumatera Utara dan Bappedalda di Sumatera Barat.
Perusahaan-perusahaan yang diundang tersebut belum mengenal Konsil LSM secara lebih
dekat, sehingga dengan kehadiran mereka Konsil LSM mengenalkan adanya kode etik yang juga
diterapkan oleh LSM. Hal ini cukup efektif diterima dan memperlancar komunikasi selanjutnya.
Kedua, strategi mengubah paradigma bahwa kerja sama dengan perusahaan hanya berbicara
soal dana CSR menjadi kerja sama LSM dan perusahaan bisa dilakukan dengan banyak cara
(diversifikasi pola kerja sama). Sumatera Utara dan Sulawesi Tenggara secara signifikan
mengalami perkembangan dalam hal kerja sama – kerja sama yang dilakukan.
Mulai menguatnya posisi LSM terhadap perusahaan dan pemerintah. LSM mulai diterima
sebagai kekuatan penyeimbang bagi perusahaan dimana sejumlah perusahaan bersedia untuk
dilakukan audit sosial. Hasil audit sosial dapat dilihat dalam lampiran. PT. Tirta Sibayakindo di
Sumatera Utara merupakan perusahaan air minum yang tergolong besar di Sumatera Utara
bersedia menerima masukan dari masyarakat melalui audit sosial. PT. Sampoerna (perusahaan
rokok), PT. Indonesia Logistik Power (penyedia energi), dan PT. Semen Padang bersedia untuk
dinilai oleh masyarakat mengenai bisnis operasinya di Sumatera Barat. PT. Bangun Wakatobi
bersedia dilakukan penilaian oleh masyarakat sebagai penerima manfaat program CSR di
Sulawesi Tenggara. Selain kepada perusahaan, LSM mempunyai posisi tawar bagi pemerintah
dalam hal kebijakan-kebijakan strategis terkait HAM dan corporate social responsibility (CSR).
Sebagai contoh Yankomas (pelayanan komunikasi untuk masyarakat) sebagai ruang pengaduan
persoalan-persoalan HAM menjadikan LSM (khususnya Konsil LSM) menjadi ujung tombak
pelayanan yang didukung oleh Kantor Kemenkumham Sulawesi Tenggara. Di Sumatera Barat,
Konsil LSM mulai mendiskusikan aturan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) secara
setara bersama pemerintah.

Menguatnya kepercayaan di antara perusahaan, pemerintah dan LSM. Menguatnya


kepercayaan ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan jumlah kerja sama antara perusahaan
dan LSM dalam kurun waktu dua tahun (2014-2015). Kerja sama antara LSM dan perusahaan
tidak hanya kerja sama dalam hal pemanfaatan dana CSR tetapi juga dikembangkan kerja sama
dengan model-model lainnya. Perubahan ini dinilai cukup signifikan dimana pada tahun 2014
hanya 3 kerja sama antara LSM dengan perusahaan, dan pada tahun 2015 terjadi 19 kerja sama
baik dengan perusahaan maupun pemerintah.

Menguatnya kerja sama ini juga berkontribusi pada berkurangnya pendanaan dari lembaga
donor kepada LSM di Indonesia. Tercatat untuk tahun 2015, hampir 20% anggota Konsil LSM
Indonesia tidak beroperasi lagi, LSM-LSM tersebut tidak mempunyai orang dan kantor sehingga
dapat dinyatakan tidak ada. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 139,957 organisasi baik
yayasan dan perkumpulan dengan rincian 65,577 organisasi (nasional dan daerah) tercatat di
Kementerian Dalam Negeri RI, 25,406 organisasi (charity dan kemanusiaan) tercatat di
Kementerian Sosial, dan 48,866 organisasi tercatat di Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia.2 Jumlah tersebut kemungkinan sudah berkurang karena minimnya pendanaan dari

2
Laporan Indeks Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil Tahun 2014. MSI-USAID dan Konsil LSM Indonesia.
lembaga donor. Oleh karena itu adanya tumbuhnya kerja sama LSM dan perusahaan dapat
memperbaiki keberlanjutan LSM di masa mendatang. Melalui program kemitraan yang
didukung oleh ICCO saja, bila dikonversi dalam bentuk nilai rupiah jumlahnya cukup memadai
(lihat tabel di bawah ini), apalagi bila kerja sama – kerja sama LSM, perusahaan dan pemerintah
terus diperluas dan berlanjut.

Dalam konteks filantropi perusahaan, hasil penelitian PIRAC dan Dompet Dhuafa3 mencatat ada
1416 kegiatan filantropi selama tahun 2014 yang dilakukan oleh 400 perusahaan. Bila
dibandingkan dengan tahun 2013, terjadi peningkatan sebesar lebih kurang 4 Triliun rupiah.
Dilihat dari jenis perusahaan, sebagian besar pelaku filantropi perusahaan adalah jenis
perusahaan besar. Pada tahun 2014, perusahaan nasional sebesar 52%, perusahaan
internasional sebesar 25% dan perusahaan lokal sebesar 23%. Dalam konteks ini dapat
dikatakan bahwa penguatan filantropi perusahaan terjadi pada nasional, sehingga untuk daerah
masih sedikit peluang-peluang pendanaan dari filantropi perusahaan yang dapat diharapkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ruang-ruang membangun kemitraan belum
cukup memadai baik untuk memperkuat keberlanjutan LSM maupun dalam rangka menjalin
kemitraan antara LSM, perusahaan dan pemerintah. Keberhasilan kerja sama di tingkat daerah
mempunyai pengaruh yang besar bagi LSM untuk menepis pandangan lama yang enggan untuk
bekerja sama dengan perusahaan dan pemerintah dengan alasan perbedaan paradigma.
Namun disadari untuk menuju adanya kerja sama LSM dan perusahaan di daerah masih
terkendali oleh sedikitnya filantropi perusahaan yang mendukung. Sebagian besar berada di
tingkat nasional. Oleh karena itu komunitas LSM perlu daya tarik yang kuat untuk
menghidupkan filantropi perusahaan di tingkat daerah sebagai sumber dana alternatif yang
berkelanjutan.

1.2. Challenges in the context of the project or program

1.2.1. Sumatera Utara


Konsil LSM telah berhasil menjalin komunikasi yang baik dengan beberapa perusahaan seperti
Bank Sumut dan PT. Tirta Sibayakindo. Komunikasi ini berlanjut pada kerja sama menjalankan

3
Presentasi PIRAC pada acara public ekspose, 15 Juni 2015 berjudul “Trend Filantropi Perusahaan di Indonesia
2014: Perkembangan & Perbandingan.
diskusi tematik bertema HAM, Pembangunan Berkelanjutan, dan Akuntabilitas LSM dengan
Bank Sumut sementara dengan PT. Tirta Sibayakindo bekerja sama dalam hal melakukan audit
sosial. Kerja sama dengan Bank Sumut tidak terjadi sekali tetapi sudah dua kali selama periode
program 2014 – 2015. Awalnya kerja sama ini dengan PKPA Medan dan Konsil LSM, yang
selanjutnya Bank Sumut membuka akses program CSR-nya kepada LSM-LSM lainnya di Sumut.

Bila dilihat dari tantangan yang dihadapi, ada beberapa hal yaitu tidak ada aturan CSR yang
mengatur program CSR sektor perbankan dan air minum, posisi LSM dalam hal sumber dana
yang dibatasi, kurangnya contoh-contoh keberhasilan program-program CSR atau sejenisnya
antara LSM dan perusahaan. Secara ideal perbankan bisa saja tidak melaksanakan program
berkaitan dengan masyarakat, namun ada aturan bisnis dalam perbankan modern yang
mewajibkan mereka mengalokasikan sumber dayanya untuk program pemberdayaan
masyarakat4. Pihak perbankan lain seperti Bank Sumut kemungkinan besar ingin mengadopsi
aturan bisnis perbankan modern. Maybank sudah menerapkannya secara internasional.
Seluruh Bank Maybank di negara manapun wajib mengadakan program untuk masyarakat.

Tantangan juga berasal dari internal Konsil LSM dimana tidak semua perusahaan dapat menjadi
mitra bagi LSM. Misalnya, Kode etik Konsil LSM tidak memperbolehkan LSM bekerja sama
dengan perusahaan perusak lingkungan. Di daerah wilayah kerja anggota Konsil LSM yang
tersebar di 15 provinsi kecuali Jakarta, justru banyak perusahaan-perusahaan yang masuk
dalam kategori tidak diperbolehkan. Bahkan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
terdapat perusahaan rokok, belum diperkenankan untuk menjadi mitra bagi LSM. Selain itu
menjadi tantangan saat ini adalah kurangnya contoh-contoh kerja sama antara LSM dan
perusahaan. Hal ini dapat dipahami karena dalam konteks kemitraan LSM dan perusahaan
masih menjadi strategi alternatif bagi LSM memperoleh pendanaan untuk keluar dari
ketergantungan pada donor.

1.2.2. Sumatera Barat


Konsil LSM bersama anggota Konsil LSM di Suamtera Barat yakni : P3SD Padang berhasil dalam
menjalin kerja sama dengan PT. Semen Padang, bersama PKBI Sumbar menjalin kerja sama
dengan PT. Aqua Investama Solok, dan bersama Totalitas menjalin kerja sama dengan PT.
Telkom. Dalam hal audit sosial pun Konsil LSM berhasil meraih dukungan perusahaan seperti
PT. Semen Padang, PT. Indonesian Logistic Parner (ILP), dan PT. HM. Sampoerna.

Kerja sama dengan PT. Semen Padang hanya sebatas kajian dalam bentuk Social mapping untuk
pelaksanaan CSR PT. Semen Padang, dan bukan dalam bentuk pendanaan CSR. Merujuk pada
kode etik, kemungkinan aturan boleh dan tidak boleh bekerja sama dengan perusahaan perusak
lingkungan masih belum secara rigid ada pengaturannya. Sehingga dalam hal kerja sama untuk
kajian atau penelitian masih diperkenankan. Pengaturan kerja sama dengan perusahaan masih
menjadi tantangan bagi Konsil LSM untuk meningkatkan keberlanjutan LSM anggotanya.

1.2.3. Sulawesi Selatan


Keberhasilan Konsil LSM di Sulsel adalah dengan mengajak kerja sama PT. Pelindo di Sulawesi
Selatan untuk menyediakan fasilitas dan pengobatan bagi penderita HIV/AID. Tantangan di
Sulawesi Selatan adalah merangkul perusahaan seperti perbankan, air minum dan perusahaan-
perusahaan lainnya. Salah satu faktor pendorong PT. Pelindo bersedia karena regulasi
mewajibkan BUMN untuk melaksanakan CSR. Ini dilihat sebagai salah satu pendorongnya,
namun juga tidak terlepas dari kedekatan Konsil LSM dalam berkomunikasi dengan personil di
PT. Pelindo.

4
Mengutip pernyataan Yudi Juvensius Manager CSR Bank Maybank dalam acara membangun dialog kemitraan
antara LSM dan Perusahaan di Jakarta, 15 Desember 2015.
1.2.4. Sulawesi Tenggara
Dua perusahaan berhasil terjalin komunikasi yang baik dengan Konsil LSM yaitu Dragon Inn
(perhotelan) dan PT. Bangun Wakatobi (pariwisata). Konsil LSM tidak hanya berhasil sebatas
kegiatan namun berhasil juga dalam menjalin hubungan perusahaan-perusahaan tersebut
dengan LSM-LSM lainnya (di luar anggota Konsil LSM).

Salah satu tantangan terbesar bersumber dari internal LSM di satu sisi LSM butuh sumber-
sumber pendanaan baru dari perusahaan sementara tidak banyak perusahaan yang kuat dan
banyak pendanaannya seperti perusahaan tambang dan migas. Di Sultra, banyak perusahaan-
perusahaan tambang namun karena anggota Konsil LSM sudah memilih tidak bekerja sama
maka kerja sama dilakukan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak cukup kuat dan banyak
pendanaannya. Merangkul Dragon Inn, Konsil LSM tidak mendapatkan dana tetapi
mendapatkan akses untuk menggunakan halaman parkirnya untuk melaksanakan bazar rakyat.
Merangkul PT. Bangun Wakatobi dengan cara memediasi dengan petani untuk mendapatkan
dukungan alat-alat pertanian. Perusahaan-perusahaan tersebut bersedia karena nilai lebih yang
dapat dimanfaatkan untuk kelancaran bisnisnya.

1.3. The implications of changes and challenges for implementation

Tantangan dapat bersumber dari pelaku program (Konsil LSM, perusahaan, dan pemerintah) dan
faktor eksternal (kebijakan, trend filantropi, dan lain sebagainya). Tantangan bagi pelaku program
yang utama adalah pola komunikasi. Pola komunikasi ini menjadi perhatian karena masalah utamanya
terletak pada kepercayaan satu pihak dengan pihak lainnya. Seperti dikatakan di awal bahwa stigma
negatif terhadap LSM masih melekat pada perusahaan dan pemerintah, untuk menguranginya butuh
waktu yang lama (incremental). Pembicaraan mengenai LSM selalu identik dengan pemerasan dan
orientasi pada proyek. Hal ini sering muncul secara terselubung dalam komunikasi-komunikasi baik
informal maupun formal. Akuntabilitas LSM selalu menjadi topik utama dalam semua dialog-dialog
antara perusahaan dan pemerintah. Namun mulai pertengahan hingga akhir tahun 2015 Konsil LSM
sudah mulai mengangkat topik pentingnya pemerintah dan perusahaan mempraktikkan akuntabilitas.
Stigma negatif terhadap LSM masih menjadi tantangan di semua provinsi, dan untuk
mengantisipasinya Konsil LSM melaksanakan strategi kemitraan dengan pendekatan Domestic
Support and Fundraising salah satu diantaranya adalah matchmaking strategis.

Konsil LSM perlu memperjelas pola kerja sama dengan perusahaan dimana terdapat pengaturan yang
lebih detail mengenai sifat dan bentuk kerja sama. Hal ini untuk mempermudah anggota Konsil LSM
dalam bekerja sama dengan pihak perusahaan yang dinilai cukup strategis dalam keberlanjutan Konsil
LSM. Konsil LSM juga perlu mengidentifikasi jenis-jenis kerja sama dengan perusahaan dan mulai
membedakan filantropi perusahaan dengan konsep CSR yang sesungguhnya. Hal ini untuk mengubah
paradigma yang berkembang di komunitas LSM bahwa bekerja sama dengan perusahaan hanya dalam
bentuk pendanaan CSR, padahal konsep CSR lebih luas lagi.

Dalam pendekatan program sangat diperlukan share learning yang intensif di antara anggota Konsil
LSM di empat provinsi. Share learning terjadi namun masih menggunakan mailing list dan telepon.
Dan pada tengah program ada evaluasi midterm. Hal ini telah disadari oleh tim program. Namun
demikian Konsil sekretariat secara kontinu berbagi mengenai materi-materi dasar untuk mendukung
kerja-kerja tim program di lapangan seperti konsep audit sosial, contoh-contoh policy brief, dan
materi-materi lain sebagai pendukung. Pada masa mendatang, hal ini masih sangat penting dilakukan
untuk menunjang keberhasilan program.
2 Progress Monitoring Protocol

2.1. Please provide monitoring data according to the Monitoring Protocol on both output and
outcome level, on milestones (if any were defined), and other ‘issues’ that were agreed upon
in the contract (e.g. finance, PMEL, governance).

I. AGREEMENTS AT THE LEVEL OF OUTPUT PARTNER:

Indicator 1 : With this funding NGO Council and its members in South Sulawesi, South East
Sulawesi, West Sumatera and North Sumatera promote the rule of law, civil
and human rights.
Target : 1 in 2015
Hasil : Sudah tercapai 1 promosi aturan di provinsi Sumatera Utara, 3 promosi aturan
di Sulawesi Tenggara, 1 di Sumatera Barat, dan 1 promosi aturan dilakukan di
Sulawesi Tenggara.

Milestones 1 : NGO Council and its members in South Sulawesi, South East Sulawesi, West
Sumatera and North Sumatera initiate to promote rule of law and human
rights to the local development processes and policies.
Target : 5 in 2015
Hasil : Sudah tercapai 5 kali inisiasi Konsil LSM untuk promosi aturan hukum di empat
provinsi.

Milestones 2 : With this funding there will an establishment of Communication Forum


consisting of self-reliance of local communities organization, NGOs,
corporate/private sector, governance in provincial or urban district in West
Sumatera, North Sumatera, South Sulawesi and South East Sulawesi
Target : 10 in 2015
Hasil : Sudah tercpai 10 kali forum dialog dilaksanakan di empat provinsi.

Milestones 1 : Persiapan kegiatan yang difasilitasi oleh Konsil LSM Indonesia


Target : 6 in 2015
Hasil : sudah tercapai 10 kali forum dialog dilaksanakan di empat provinsi.

Milestones 2 : Social audit on investment and investor in South Sulawesi and South East
Sulawesi, West Sumatera and North Sumatera, and to develop the linkage
with government development budget.
Target : 4 in 2015
Hasil : Sudah tercapai kegiatan audit sosial sebanyak 3 di tahun 2015. Tidak terlaksana
di Sulawesi Selatan. (penjelasan terlampir)

Milestones 3 : Communication and match making forums between NGO, private


corporations and government on sustainable development in South Sulawesi
and South East Sulawesi, West Sumatera and North Sumatera
Target : 4 in 2015.
Hasil : Hanya tercapai 1 kali di tiap-tiap provinsi.

Milestones 4 : Communication and match making forums between NGO, private


corporations and government on sustainable development in South Sulawesi
and South East Sulawesi, West Sumatera and North Sumatera
Target : 4 in 2015.
Hasil : Sudah tercapai 1 kali di Sumatera Utara, 2 kali Sumatera Barat, 1 kali Sulawesi
Selatan, dan 2 kali Sulawesi Tenggara. (tabel matchmaking terlampir).

II. AGREEMENTS AT THE LEVEL OF OUTCOME PARTNER:

Indikator 2 : With the funding in how many countries program coalitions and Networks and
partners succeeded in improvements rule of law, civil and political rights.
Target : 1 in 2015.
Hasil : 2 di Sulawesi Tenggara untuk aturan hukum buruh migran dan pembentukan
Yankomas untuk pelayanan pengaduan HAM; 1 di Sumatera Utara berupa
Rancangan Peraturan Daerah tentang CSR.

Milestones 1 : NGO Council member and partners in Jakarta and in South Sulawesi, South
East Sulawesi, West Sumatera and North Sumatera have strong Cooperation
for Human Rights and Development program consultation series.
Target : 1 in 2015.
Hasil : 6 kerja sama di Sumatera Utara; 6 kerja sama di Sulawesi Tenggara; 1 kerja
sama di Sulawesi Selatan; dan 9 kerja sama di Sulawesi Tenggara; tidak
berhasil di Jakarta.

Milestones 2 : With this funding, four provinces in Indonesia with strong Alliance NGO in
national (Jakarta) calling for government Social accountability on Investment,
and anti-corruption and Trading budgets on Development in provincial and
national level.
Hasil : Belum berhasil memperkuat aliansi LSM di tingkat nasional dan provinsi.

III. OTHER AGREEMENTS

1. Agreement 1: Konsil LSM Indonesia memperoleh kontak orang yang mempunyai


kewenangan atas Program CSR (Manager CSR) dari 5 Perusahaan yang potensial untuk
bekerjasama.

Konsil LSM sudah menyusun database perusahaan yang disusun berdasarkan kategori
nama perusahaan, alamat, telepon dan email, dan program CSR. Database ini bersumber
dari website perusahaan. Dalam database tersebut sudah terdata 52 perusahaan dengan
beragam program CSR yang dimiliki. Berdasarkan database tersebut terdapat 5 perusahaan
yang potensial dapat bekerja sama dengan LSM, yaitu PT. Unilever Indonesia, PT. Martha
Tilaar Group, PT. Indofood Sukses Makmur Tbk, Bank Indonesia, dan Bank Maybank. Lima
perusahaan ini sudah menyampaikan kesediaannya utk membuka diri kepada Konsil LSM
dan organisasi lainnya yang ingin membangun kerjasama. Database tersebut disertakan
dalam lampiran.

Selain itu Konsil LSM juga sudah mempunyai database yang berasal dari empat daerah.
Database ini disusun berdasarkan keterlibatan perusahaan-perusahaan dalam kegiatan-
kegiatan yang didukung melalui pendanaan ini. Database ini sudah dimanfaatkan untuk
menggalang sumber-sumber pendanaan baru bagi LSM di empat provinsi, dan ke depan
akan digunakan oleh Konsil LSM dalam mengembangkan program kerja sama dan
kemitraan antara LSM dan perusahaan. Salah satu hasilnya adalah program kerja sama
Konsil LSM dan Ford Foundation dengan program kemitraan LSM dan Perusahaan telah
berjalan mulai Januari 2016. Database disertakan dalam lampiran.
2. Agreement 2: Konsil LSM Indonesia memberi informasi dan mengundang ICCO untuk
menghadiri Pertemuan dengan APINDO, KADIN, dan Perusahaan.

Konsil LSM sudah tiga kali bertemu dengan Direktur eksekutif APINDO yakni Bapak Agung
Pambudhi, dua kali tahun 2014 dan satu kali pada tahun 2015. Dalam pertemuan singkat
dengan Direktur Eksekutif Konsil tersebut, Bapak Agung menyambut baik rencana Konsil
LSM untuk membangun komunikasi dan kemitraan antara LSM dengan Perusahaan dan
menyatakan kesediaannya untuk mengagendakan pertemuan lanjutan dengan Konsil LSM.
Pada 2 Oktober Konsil berdialog kembali di Kantor APINDO, bertemu dengan Bapak Agung
Pambudhi selaku Direktur APINDO. Dalam pertemuan tersebut, APINDO mendukung kerja-
kerja Konsil LSM dalam mempertemukan antara LSM dan Perusahaan. Bapak Agung
Pambudhi mempersilahkan Konsil LSM di daerah untuk melakukan komunikasi intensif dan
memberikan nomor kontak APINDO di empat provinsi. APINDO juga bersedia hadir pada
diskusi yang diselenggarakan Konsil LSM di Jakarta.

Konsil LSM melaksanakan pertemuan pada 15 Desember 2015 yang melibatkan APINDO
sebagai narasumber dengan tema “Kemitraan Antara Perusahaan dan LSM untuk
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”. Konsil LSM juga telah mengundang KADIN,
Perusahaan, jaringan CSO untuk CSR dan juga ICCO untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Namun sayangnya APINDO dan KADIN menyatakan tidak dapat hadir dalam pertemuan
tersebut. Narasumber pertemuan digantikan oleh Ibu Waila dari PT. Unilever. Pihak swasta
yang hadir dalam pertemuan tersebut PT. Maybank Bapak Judi Juvensius Manager CSR.

2.2. Noticeable Issues di 4 Provinsi

 Sumatera Utara: Ada dua catatan isu yang berpengaruh pada upaya Konsil LSM untuk
meningkatkan kepercayaan dari para pihak, yaitu (1) adanya kepercayaan atas kapasitas
Konsil LSM dalam hal akuntabilitas LSM dari Pemerintah dalam hal ini Kesbangpolinmas
Sumut; dan (2) pentingnya Konsil LSM untuk memperluas kerja sama, tidak hanya dengan
Bank Sumut. Pemerintah menginginkan Konsil LSM memberikan asistensi teknis tentang
pemilihan kriteria bagi LSM yang bekerja sama dengan pemerintah. Di satu sisi ini adalah
kesempatan Konsil LSM untuk mendorong pemerintah menerapkan mekanisme
akuntabilitas dalam pengelolaan program pemerintah, namun di sisi lain kontradiksi di
kalangan LSM lain perlu dipertimbangkan.
 Sumatera Barat: Potensi kerja sama dengan perusahaan dan pemerintah cukup tinggi. Konsil
LSM telah dikenal sebagai host untuk merajut kemitraan multistakeholder di Sumbar, oleh
karenanya Konsil LSM perlu mengembangkan desain kemitraan yang berkelanjutan agar
dapat memberikan bagi LSM anggota Konsil LSM. Selain itu pemikiran mengenai pola kerja
sama dengan perusahaan perusak lingkungan perlu disepakati kembali oleh Konsil LSM di
Sumbar. Dan bahkan Konsil LSM Sumbar dapat mengajukan rekomendasi kepada Konsil
Sekretariat untuk memperjelas mekanisme tersebut.
 Sulawesi Tenggara: Kerja sama dengan dua perusahaan yaitu Dragon Inn dan PT. Bangun
Wakatobi masih akan berlanjut meski program ini sudah berakhir. Namun, upaya
mempertemukan para pihak lainnya (perusahaan dan pemerintah) dalam forum formal
masih dibutuhkan, mengingat citra Konsil LSM sudah melekat sebagai organisasi yang
memediasi pertemuan para pihak (host). Untuk menjaga keberlanjutan program ini Konsil
LSM akan mencoba memperluas forum dialog yang sudah dilakukan kepada perusahaan-
perusahaan lain dan mengembangkan mekanisme keberlanjutan forum komunikasi
multistakeholder.
 Sulawesi Selatan: Melihat hasil capaian program, Konsil LSM di Sulsel perlu menstrukturkan
kembali tim kerja internal agar hasil yang diharapkan dapat tercapai. Seed capital Konsil LSM
di Sulsel masih lemah, dan perlu diperkuat dengan memanfaatkan aktor-aktor anggota
Konsil LSM yang mempunyai pengaruh pada sektor perusahaan dan juga pemerintah.

3 What went well and what didn’t

 Write a reflective analysis of one or two examples of cases that went very well

Contoh Berhasil
1) Salah satu contoh keberhasilan dalam program ini adalah ditandatanganinya perjanjian kerja
sama program Keluarga Sehat dan Mandiri melalui Konservasi Lingkungan Berbasis Komunitas
Pinggiran Kota di Kecamatan Medan Sunggal dan Medan Helvetia, antara Bank Sumut dengan
PKPA Medan dan Konsil LSM Indonesia pada tanggal 15 Desember 2015. Selain itu, hasil yang
juga sangat positif adalah komitmen Bank Sumut untuk menghadirkan 35 tim CSR dari seluruh
kantor cabang Bank Sumut di 35 kabupaten kota dalam workshop matchmaking, yang
direncanakan pada bulan Februari 2015. Keberhasilan ini dicapai karena Tim Konsil Sumut kreatif
dalam melakukan pendekatan dan pantang menyerah untuk mendapatkan kontak person yang
strategis di Bank Sumut. Sebagaimana dikemukan oleh Tim Sumut bahwa berbagai pendekatan
sudah dicoba, diantaranya mengirim surat undangan kepada Ketua Tim CSR, namun tidak
direspon, hingga akhirnya mereka berhasil mendapatkan no telp dari salah satu rekan Ketua Tim
CSR Bank Sumut. Langkah cepat dari Tim Konsil Sumut, dengan segera menulis kerangka acuan
program yang akan ditawarkan juga menjadi faktor keberhasilan ini.
2) Sekda Kota Kendari menilai bahwa program ini merupakan program inovatif untuk
mempertemukan berbagai kalangan. Menurut beliau kemitraan antara pemerintah dan
perusahaan sudah merupakan hal yang lumrah tapi duduk bersama dengan LSM, media,
universitas, DPRD ini adalah pertama kali dan merupakan kemajuan yang positif sehingga patut
dihargai karena hal ini akan meminimalisir benturan diantara berbagai pihak demi kemajuan Kota
Kendari. Pendapat senada juga disampaikan Ketua DPRD Kota Kendari agar kiranya pertemuan
seperti ini terus diupayakan dan bila memungkinkan dapat mengundang pihak DPRD sebagai
peserta untuk lebih memahami kebutuhan dan harapan LSM dan OMS itu sendiri karena OMS
memiliki jumlah dan kekuatan yang lebih besar dibanding organisasi pemerintah maupun sektor
swasta.

Contoh Tidak Berhasil


3) Konsil LSM di Sulawesi Selatan tidak berhasil dalam memperoleh kesediaan dari perusahaan
untuk diaudit. Alasan yang dikemukakan perusahaan kepada Konsil LSM adalah mereka merasa
berat jika program mereka dipantau atau diaudit. Bagi perusahaan cabang Sulsel, alasan
penolakan mereka adalah audit sosial untuk perusahaan seharusnya dilakukan pada perusahaan
pusat, dan bukan perusahaan cabang di daerah. Pendekatan melalui lobi perusahaan sudah
dilakukan namun belum berbuah hasil.

4 Lessons learned

 Please reflect on the most important lessons learned in the reporting period.

1. Membangun forum dialog multistakeholder sangat strategis dikembangkan oleh Konsil LSM ke
depan dan koheren dengan tujuan Konsil LSM yaitu menjaga keberlanjutan OMS berbasis
akuntabilitas LSM (kode etik). Oleh karenanya Konsil LSM perlu mengadopsi pola kemitraan ini
menjadi pengetahuan yang terdokumentasikan. Selain itu juga Konsil LSM perlu menyusun
platform bersama dalam hal bekerja sama dengan perusahaan, agar anggota Konsil LSM dapat
memahami dengan baik.
2. Menangkap peluang kemitraan dengan cepat. Jika komunikasi sudah terbangun maka perlu
secepatnya mendesain programnya agar peluang kemitraan dengan perusahaan dan pemerintah
dapat direspon dan berjalan. Belajar dari Sumut, terkadang perusahaan meminta cepat usulan
program dari LSM. Namun karena pengajuan usulan kegiatan sudah melebihi batas waktu yang
ditentukan, maka program kerja sama tidak dapat berjalan.
3. Pembenahan tata kelola, tranparansi dan akuntabilitas LSM mendesak untuk dilakukan karena
stigma negatif dari pemerintah dan sektor swasta yang menjadi tantangan utama dalam
pelaksanaan program ini adalah akibat dari rendahnya tranparansi dan akuntanilitas LSM. Konsil
LSM perlu mencari pendanaan untuk assesment pada tahun 2017, dan melakukan diskusi refleksi
pelaksanaan akuntabilitas LSM di wilayah anggota Konsil LSM.
4. Membangun komunikasi dan relasi, apalagi kemitraan dengan sektor swasta bukanlah perkara
mudah. Dibutuhkan kesabaran, keuletan dan strategi pendekatan yang intensif dan kreatif.
Pendekatan atau lobi secara informal cenderung lebih efektif dibanding dengan cara formal,
seperti melalui surat. Pembelajaran tersebut setidaknya terbukti dari pengalaman Tim
Perwakilan Konsil Sulsel yang sukses melobi Ketua Forum CSR Kota Makassar (Direktur PDAM)
dan sejumlah perusahaan seperti, PT Maruki International, BNI, BPD Sul-Sel, untuk hadir dalam
matchmaking workshop. Lobi pertama dilakukan disela waktu dalam acara pelantikan Ketua
Forum CSR dan dilanjutkan melaui telp.
5. Mempelajari profil dan program-program CSR perusahaan sebelum pertemuan atau lobi sangat
diperlukan, guna memudahkan dalam diskusi. Dengan mengetahui profil dan focus program CSR
perusahaan akan memudahkan untuk menemukan “titik temu” antara apa yang dilakukan
perusahaan dengan apa yang sedang kita kerjakan.
6. Melibatkan instansi pemerintah dalam melakukan pendekatan kepada Perusahaan dapat
menjadi salah satu alternative, seperti pengalaman Perwakilan Konsil Sumbar. Dalam
matchmaking workshop pertama, tidak ada satupun perusahaan swasta yang hadir, kecuali
BUMN/D. Berdasar pengalaman tersebut, pada pertemuan matchmaking II, Tim Sumbar
mencoba melobi Ketua Bapedalda Kota Padang untuk turut serta mengundang dan 15
perusahaan hadir dalam pertemuan.
7. Dalam hal pelakasanaan audit sosial, beberapa hal penting untuk diperhatikan. Pertama,
kesiapan tim program memahami konsep audit sosial. Tanpa konsep yang matang maka
pelaksanaan audit tidak berjalan sesuai harapan awal. Kedua, kerangka acuan audit sosial perlu
dipersiapkan sejak awal, hingga pertanyaan-pertanyaan kunci apa yang akan dijawab pada saat
audit sosial. Ketiga, kapasitas tim audit sosial dalam melobi perusahaan perlu ditingkatkan.
Keempat, pelibatan perusahaan sejak awal pelaksanaan audit sangat membantu kelancaran
kegiatan audit sosial.

5 Gender and the Rights Based Approach

 Indicate to what extent gender and the Rights Based Approach are part of this program. Include
your comments on progress.

The Rights based approach


Pada dasarnya kerangka program ini menggunakan pendekatan berbasis hak, dengan pemahaman
dasar bahwa setiap manusia adalah pemegang hak untuk menuntut (claim-holders), dan pemerintah
serta sektor swasta sebagai pemangku kewajiban (duty-bearers). Program ini mendorong pemerintah
dan sektor swasta untuk memenuhi kewajibannya kepada masyarakat sesuai standard dan prinsip
HAM Internasional serta kerangka hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam program ini, melalui kegiatan lobi dan matchmaking workshop, Perusahaan didorong untuk
melakukan kegiatan usahanya dengan tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Perusahaan juga diedukasi
agar memenuhi tanggungjawab social nya terhadap persoalan kemiskinan dan kerusakan lingkungan
yang disebabkan oleh bisnis perusahaan. Salah satunya dengan mendorong perusahaan untuk
melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dalam
program CSRnya, agar program yang dikembangkan dapat memenuhi hak masyarkat.

Dalam dialog, perusahaan juga diminta untuk memenuhi hak pekerja dan mematuhi UU
Ketenagakerjaan. Pemerintah sebagai pemangku kewajiban juga diminta untuk menjalankan tugas
dan tanggungjawabnya, termasuk melakukan fungsi pengawasan agar perusahaan memenuhi hak-hak
pekerja dan memberi sanksi kepada perusahaan yang menjalankan praktek bisnis yang melanggar
HAM dan merusak lingkungan.

The Gender based approach


Pendekatan Program berdasarkan Gender (the Gender based Approach) meski pada awal periode
program ini belum dipersiapkan dan direncanakan secara matang, namun pada tahun 2015 setidaknya
segregasi gender sudah mulai diperhatikan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Dalam hal
konten, gender based approach sudah mulai didorong salah satunya dengan mendorong Peraturan
Nagari tentang Hak Kesehatan Reproduksi oleh Konsil LSM Sumbar.

Pemahaman tentang pendekatan ini disadari belum merata pada seluruh tim program. Sebagian tim
program sudah cukup memahami pendekatan ini dan sebagian yang lain masih perlu ditingkatkan.
Untuk itu, dalam periode pelaksanaan program kedepan, akan dibuat perencanaan yang lebih matang,
termasuk meningkatkan pemahaman tim program yang masih lemah. Kendati demikian, sebagian
provinsi sudah menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan beberapa kegiatan, yakni :
1. Memperhatikan keseimbangan jenis kelamin dalam pembentukan tim supporter lobi, dan
tim lobi.
2. Memperhatikan keseimbangan jenis kelamin dalam pembentukan panitia workshop,
narasumber, fasilitator.
3. Memberi kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam mengemukakan
pendapat dalam workshp.

Anda mungkin juga menyukai