Anda di halaman 1dari 9

EPIDEMIOLOGI

Sekitar 1% dari semua kunjungan layanan primer terkait dengan konjungtivitis. Sekitar
70% dari semua pasien dengan konjungtivitis akut datang ke perawatan primer dan
perawatan darurat. Prevalensi konjungtivitis bervariasi sesuai dengan penyebab yang
mendasari, yang mungkin dipengaruhi oleh usia pasien, serta musim. Konjungtivitis
virus adalah penyebab paling umum konjungtivitis infeksius baik secara keseluruhan
maupun pada populasi dewasa dan konjungtivitis juga lebih lazim di musim panas.
Konjungtivitis bakteri adalah penyebab tersering kedua dan bertanggung jawab atas
mayoritas (50% -75%) dari kasus pada anak-anak. Konjungtivitis alergi adalah juga
merupakan penyebab yang sering, mempengaruhi 15% hingga 40% dari populasI.
Konjungtivitis merupakan penyakit yang sering terjadi, yaitu sekitar 1% dari semua
kunjungan layanan primer sehingga mempengaruhi sekitar 6 juta orang setiap tahun.
Namun, Hanya sekitar 30% pasien perawatan primer dengan konjungtivitis infeksi
yang dikonfirmasi memiliki konjungtivitis bakteri, walaupun 80% diobati dengan
antibiotik (Azari et al., 2013).

DIAGNOSIS BANDING

Dry eye Sensasi terbakar dan Merah kedua mata


terganjal benda asing.
Gejalanya biasanya
sementara, lebih buruk
dengan membaca atau
menonton berkepanjangan,
karena penurunan
berkedip. Gejalanya lebih
buruk di lingkungan yang
kering, dingin, dan
berangin karena
peningkatan penguapan.

Blefaritis Serupa dengan dry eyes Kemerahan lebih hebat


pada margin kelopak mata

Uveitis Fotofobia, nyeri, Penglihatan menurun,


pandangan kabur, bilateral reaksi pupil berkurang,
mata sakit menjalar ke
pelipis dan alis.
Kemerahan, fotofobia
berat, adanya sel radang di
ruang anterior.

Angle closure glaucoma Sakit kepala, mual, pada palpasi mata lebih
muntah, sakit mata, keras, kemerahan dengan
penglihatan menurun, injeksi limbal. kornea
sensitivitas cahaya, dan kabur / beruap, pupil
melihat lingkaran cahaya di melebar yang tidak reaktif
sekitar lampu. Gejala terhadap cahaya.
biasanya unilateral.

Endoftalmitis Nyeri hebat, fotofobia, Kemerahan, nanah di ruang


mungkin memiliki riwayat anterior, dan fotofobia
operasi mata karena trauma
Skleritis Penglihatan menurun, Mata merah, sklera
nyeri sedang sampai berat kebiruan

Subconjuntival Terdapat rasa mengganjal Terdapat darah pada


hemorrhage atau seperti ada benda membran konjungtiva
asing
Carotid cavernous fistula Riwayat trauma kepala, Dilatasi pembuluh darah
mata merah kronis

Cellulitis Nyeri, pandangan dobel, Kemerahan dan


sensasi rasa penuh pembengkakan kelopak
mata, mungkin memiliki
keterbatasan gerakan mata,
mungkin memiliki riwayat
sinusitis sebelumnya
(biasanya etmoiditis)

Tumor segmen anterior Bervariasi Pertumbuhan pada bagian


luar atau dari dalam mata

(Cronau et al., 2010)

DIAGNOSIS

Diagnosis konjungtivitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatian pasien mengeluhkan bahwa mata
berwarna merah dan tidak nyaman, dan keluarnya kotoran yang dapat membuat
kelopak mata saling menempel di pagi hari. Visus biasanya tidak terpengaruh. Keluhan
juga mungkin berupa rasa mengganjal, perih, berair, gatal ataupun nyeri. Pada
pemeriksaan kelopak mata mungkin sedikit bengkak, mata merah, dan mungkin ada
beberapa discharge yang terlihat. Kornea harus jernih, dan pupil harus bulat, teratur,
dan bereaksi terhadap cahaya. Pada pemeriksaan konjungtiva, ditemukan injeksi dan
hiperemi konjungtiva. Tanda lain ynag mungkin ditemukan saat pemeriksaan ialah
folikel, papil, flikten, membran, sikatrik maupun kemosis (Ilyas et al., 2010).

Pemeriksaan penunjang seperti kultur konjungtiva umumnya dilakukan pada


kasus-kasus curiga konjungtivitis neonatal infeksius, konjungtivitis berulang,
konjungtivitis rekalsitans terhadap terapi, konjungtivitis yang datang dengan keluarnya
cairan purulen yang parah, dan kasus-kasus yang mencurigakan untuk infeksi
gonokokus atau klamidia (AAO, 2011)

Tes antigen cepat di kantor tersedia untuk adenovirus dan memiliki sensitivitas 89%
dan spesifisitas hingga 94%. Uji ini dapat mengidentifikasi penyebab virus
konjungtivitis dan mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu (Sambursky et al.,
2006). Namun tidak lazim digunakan.

TATALAKSANA

Mengobati konjungtivitis memiliki tiga tujuan utama:

meningkatkan kenyamanan pasien.

Mengurangi perjalanan infeksi atau peradangan.

Mencegah penyebaran infeksi dalam bentuk konjungtivitis yang menular.

Perawatan yang tepat untuk konjungtivitis tergantung juga pada penyebabnya:

Konjungtivitis alergi.

Langkah pertama adalah menghapus atau menghindari iritasi, jika memungkinkan.


Kompres dingin dan air mata buatan kadang-kadang meringankan ketidaknyamanan
dalam kasus ringan.

Pada kasus yang lebih parah, obat antiinflamasi nonsteroid dan antihistamin dapat
diresepkan. Orang dengan konjungtivitis alergi persisten juga mungkin memerlukan
obat tetes mata steroid topikal.

Pengobatan terdiri dari penghindaran antigen, penggunaan larutan salin atau air mata
buatan untuk melarutkan dan menghilangkan alergen secara fisik. Dekongestan topikal,
antihistamin, penstabil sel mast, obat antiinflamasi nonsteroid, dan kortikosteroid dapat
diindikasikan (Azari et al., 2013). Dalam tinjauan sistemik yang besar, antihistamin dan
stabilisator sel mast lebih baik daripada plasebo dalam mengurangi gejala
konjungtivitis alergi; para peneliti juga menemukan bahwa antihistamin lebih unggul
daripada penstabil sel mast dalam memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan
antihistamin antihistamin jangka panjang dan vasakonstirktor naphazoline harus
dihindari karena keduanya dapat menyebabkan hiperemia yang meningkat. Steroid
harus digunakan dengan hati-hati dan secara bijaksana. Steroid topikal berhubungan
dengan pembentukan katarak dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan mata,
menyebabkan glaukoma (owen et al., 2004).

Konjungtivitis bakteri.

Konjungtivitis jenis ini biasanya diobati dengan obat tetes mata antibiotik atau salep.
Konjungtivitis bakterial dapat membaik setelah tiga atau empat hari perawatan, tetapi
pasien perlu menghabiskan seluruh rangkaian antibiotik untuk mencegah kekambuhan.

Setidaknya 60% dari kasus konjungtivitis bakteri akut yang terbukti atau terbukti kultur
sembuh sendiri dalam 1 sampai 2 minggu. Meskipun antibiotik topikal mengurangi
durasi penyakit, tidak ada perbedaan yang diamati dalam hasil antara kelompok
pengobatan dan kelompok plasebo (azari et al., 2013).

Semua eyedrop antibiotik spektrum luas tampak secara umum efektif dalam mengobati
konjungtivitis bakteri. Tidak ada perbedaan signifikan dalam mencapai penyembuhan
klinis antara antibiotik topikal spektrum luas. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan antibiotik adalah ketersediaan lokal, alergi pasien, pola resistensi, dan biaya.

kesimpulannya, manfaat dari perawatan antibiotik termasuk pemulihan lebih cepat,


penurunan penularan, efek samping tidak ada jika antibiotik tidak digunakan dalam
kasus-kasus konjungtivitis bakteri tanpa komplikasi. Oleh karena itu, perawatan segera
menjadi pendekatan yang masuk akal dalam kasus konjungtivitis tanpa komplikasi.
Terapi antibiotik harus dipertimbangkan dalam kasus konjungtivitis purulen atau
mukopurulen dan untuk pasien yang memiliki ketidaknyamanan yang berbeda, yang
memakai lensa kontak, immunocompromised, dan yang diduga konjungtivitis klamidia
dan gonokokal (Azari et al., 2011).

Konjungtivitis virus.

Tidak ada tetes atau salep yang dapat mengobati konjungtivitis virus. Antibiotik tidak
akan menyembuhkan infeksi virus. Seperti flu biasa, virus harus menjalankan jalurnya,
yang mungkin memakan waktu hingga dua atau tiga minggu. Gejala seringkali dapat
dihilangkan dengan kompres dingin dan larutan air mata buatan. Untuk kasus berat,
tetes steroid topikal mungkin diresepkan untuk mengurangi ketidaknyamanan dari
peradangan. Namun, tetes ini tidak akan mempersingkat infeksi.

Konjungtivitis virus sekunder akibat adenovirus sangat menular, Karena tingginya


tingkat penularan, mencuci tangan, desinfeksi instrumen yang ketat, dan isolasi pasien
yang terinfeksi dianjurkan. Inkubasi dan kemampuan berkomunikasi diperkirakan
masing-masing 5 hingga 12 hari dan 10 hingga 14 hari (Hovding, 2008). Meskipun
tidak ada pengobatan yang efektif, air mata buatan, antihistamin topikal, atau kompres
dingin mungkin berguna dalam mengurangi beberapa gejala. Obat antivirus yang
tersedia tidak berguna dan antibiotik topikal tidak diindikasikan karena tidak
melindungi terhadap infeksi sekunder, dan penggunaannya dapat mempersulit
presentasi klinis dengan menyebabkan alergi dan toksisitas, yang menyebabkan
keterlambatan dalam diagnosis kemungkinan penyakit mata lainnya (AAO, 2011).
Penggunaan obat tetes mata antibiotik dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi ke
mata lain dari dropper yang terkontaminasi. Peningkatan daya tahan juga menjadi
perhatian dengan seringnya penggunaan antibiotik.6 Pasien harus dirujuk ke dokter
spesialis mata jika gejalanya tidak sembuh setelah 7 sampai 10 hari karena risiko
komplikasi (Obrien et al., 2009).

Konjungtivitis kimia.

Pembilasan mata secara hati-hati dengan salin adalah perawatan standar untuk
konjungtivitis kimia. Orang dengan konjungtivitis kimia juga mungkin perlu
menggunakan steroid topikal. Cedera kimia parah, terutama luka bakar alkali, adalah
keadaan darurat medis dan dapat menyebabkan jaringan parut, kerusakan mata atau
penglihatan, atau bahkan kehilangan mata. Jika bahan kimia tumpah di mata maka
segera harus dilakukan irigasi (AAO, 2011). Pasien segera dihindarka dari paparan zat
yang menyebabkan reaksi. Salep mata tetrasiklin bisa menenangkan dan akan
mencegah infeksi bakteri sekunder (Senaratne et gilbert., 2005).

PROGNOSIS

Prognosis konjungtivitis umumnya baik. Penyembuhan dapat terjadi sempurna tanpa


komplikasi pada hampir sebagian besar kasus konjungtivitis viral dan bakterial.
Komplikasi pada konjungtivitis biasanya terjadi akibat infeksi kuman tertentu
seperti Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Komplikasi pada kornea
juga sering terjadi pada kasus konjungtivitis alergi subtipe atopik dan vernal yang dapat
menyebabkan kekeruhan kornea (AAO, 2011)

Komplikasi relatif jarang, dan termasuk infiltrat subepitel kornea sebagai reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen virus. Ini dapat menyebabkan iritasi mata serta
penurunan ketajaman visual. Perdarahan sub-konjungtiva dapat menyebabkan
beberapa ketidaknyamanan tetapi tidak memiliki implikasi prognostik. Phlyctenules,
membran dan pseudomembranes dapat memperumit konjungtivitis adenoviral dan
menyebabkan ketidaknyamanan pasien yang signifikan (Senaratne et Gilbert, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

 Azari, AA., & Barney, N. P. (2013). Conjunctivitis: a systematic review of


diagnosis and treatment. JAMA, 310(16), 1721–1729.
doi:10.1001/jama.2013.280318

 Scott IU, Dahl AA. Viral conjunctivitis (pink eye).


https://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#a4
 Yeung KK, Dahl AA. Bacterial conjunctivitis (pink eye).
https://emedicine.medscape.com/article/1191730-overview#a6

 Hovding GI. 2008. Acute bacterial conjunctivitis. Acta Ophthalmol. Feb;


86(1):5-17

 O’Brien TP, Jeng BH, McDonald M, Raizman MB. Acute conjunctivitis: truth and
misconceptions. Curr Med Res Opin. 2009;25(8):1953–1961.

 Owen CG, Shah A, Henshaw K, et al. Topical treatments for seasonal allergic
conjunctivitis: systematic review and meta-analysis of efficacy and
effectiveness. Br J Gen Pract. 2004;54(503):451–456.

 Cronau H, Kankanala RR, Mauger T. Diagnosis and management of red eye in


primary care. Am Fam Physician. 2010;81(2):137–144.

 American Academy of Ophthalmology. Cornea/External Disease Panel . Preferred


Practice Pattern Guidelines: Conjunctivitis-Limited Revision. American Academy
of Ophthalmology; San Francisco, CA: 2011. [Google Scholar] [Ref list]

 Sambursky R, Tauber S, Schirra F, Kozich K, Davidson R, Cohen EJ. 2006. The


RPS adeno detector for diagnosing adenoviral conjunctivitis. Ophthalmology.
2006 Oct; 113(10):1758-64.

 Senaratne, T., & Gilbert, C. (2005). Conjunctivitis. Community eye health, 18(53),
73–75.

 Ilyas S, mailangkay, Taim H, Saman RR, Simarmata M, Widodo P. 2010. Ilmu


penyakit mata untuk dokter umum, dan mahasiswa kedokteran. Jakarta: Sagung
seto. pp: 91-93

Anda mungkin juga menyukai