Anda di halaman 1dari 9

SMF & Laboratorium Ilmu THT REFERAT

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

EPISTAKSIS
Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu THT

Bobby Reyner (1810029002)


Siti Aminah (1810029034)

Pembimbing:
dr.Moriko Pratiningrum, Sp.THT-KL

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2019
KATA PENGANTAR

Terima kasih penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan refleksi kasus
dengan judul “Epistaksis”. Tulisan ini disusun sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu
THT di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Moriko Pratiningrum, Sp.THT atas ilmu dan bimbingan yang diberikan selama menjalani
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu THT. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan
dalam penulisan ini. Namun, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi proses
pembelajaran Ilmu THT.

Samarinda, September 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Epistaksis atau perdarahan dari hidung, adalah suatu masalah yang sering
diutarakan oleh pasien saat melakukan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Jarang
sekali epistaksis mengancam nyawa namun dapat menyebabkan kekhawatiran mendalam
terutama dari orangtua dari anak kecil (Nguyen & Meyers, 2018). Episode ringan
epistaksis biasanya dapat berhenti secara spontan atau apabila dengan pengobatan dapat
langsung berhasil baik oleh dokter umum maupun dokter emergensi. Hanya saat
perdarahan dari hidung berulang atau berat barulah pasien dirujuk ke dokter spesialis
otorhinolaringologi untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut (Beck, Sorge,
Schneider, & Dietz, 2018).
Insidensi seumur hidup untuk mengalami epistaksis adalah sebesar 60% dan
kurang dari 10% pasien yang mencari pertolongan medis. Puncak terjadinya kasus
epistaksis adalah pada kelompok usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun dan lebih sering pada
laki-laki (58%) dibandingkan perempuan (42%). Apabila terjadi pada bayi biasanya
disertai dengan masalah koagulopati atau patologi nasal seperti atreia koana dan
neoplasma (Nguyen & Meyers, 2018).
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk menambah dan berbagi sumber
informasi bagi dokter muda guna membekali dan mematangkan pengetahuan mengenai
epistaksis guna melewati stase Ilmu THT dan menjadi bekal dalam menjalani kegiatan
sebagai dokter umum di kemudian hari.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Epidemiologi

Sekitar 60% populasi pernah mengalami hidung berdarah setidaknya sekali dalam seumur
hidupnya. Belum ada penelitian epidemiologis yang pernah dilakukan untuk menentukan data
insidensi yang tepat pada kasus ini. Dari sekian banyak populasi yang mengalami hidung
berdarah, hanya sekitar 6% hingga 10% saja yang mencari pertolongan klinis. Dari seuah
penelitian diperkirakan terdapat insidensi sebesar 121/100.000 orang yang diobati di IGD East
Thuringia (Beck, Sorge, Schneider, & Dietz, 2018).

Sebuah penelitian retrospektif di Amerika Serikat mendapatkan data bahwa 1 hingga 2 dari
200 kunjungan ke IGD adalah karena epistaksis, dan sekitar 5% pasien dirawat inap. Di Jerman,
sebanyak 19.841 pasien (11.733 laki-laki dan 8.108 perempuan) menerima penanganan untuk
epistaksis selama tahun 2015. Rata-rata lama waktu rawat inap pasien adalah 3,6 hari. Dari
semua yang dirawat inap sebanyak 71% diantaranya berusia lebih dari 65 tahun atau lebih,
18% antara usia 45 hinga 65 tahun, dan 5% pasien berusia antara 15 hingga 45 tahun, dan 6%
berusia dibawah 15 tahun (Beck, Sorge, Schneider, & Dietz, 2018).

Anatomi

Suplai pembuluh darah arterial pada kavum nasal ditunjukkan dalam gambar 1. Pada 90%
hingga 95% kasus, perdarahan terjadi pada bagian anterior di area bagian anterior septum
nasalis, yaitu pada area Kiesselbach (atau area Little) dan pada 5% hingga 10% kasus
perdarahan terjadi di bagian posterior, di regio posterior dari kavum nasalis (Beck, Sorge,
Schneider, & Dietz, 2018).
Gambar 2.1. Anatomi pembuluh darah arterial di dalam rongga hidung. (a) arteri yang
mensuplai septum nasalis dan (b) dinding lateral dari kavum nasalis (Beck, Sorge, Schneider,
& Dietz, 2018).

Etiologi

Penyebab epitaksis yang paling sering adalah trauma akibat manipulasi oleh jari tangan
(mengupil). Penyebab lain diperlihatkan dalam gambar 2. Selain trauma, saat epistaksis juga
sering didapatkan peningkatan tekanan darah namun penelitian lain menunjukkan tidak ada
kaitan antara hipertensi dengan terjadinya epistaksis. Penelitian lain menunjukkan bahwa
epistaksis sering terjadi selama periode cuaca dingin, kering atau selama periode dimana terjadi
perubahan temperatur dan tekanan udara secara bervariasi. konsumsi dari obat antikoagulan
dapat meningkatkan risiko dari epistaksis. Sekitara 24% hingga 33% dari semua pasien yang
dirawat di rumah sakit untuk epistaksis memiliki riwayat minum obat antikoagulan dan/atau
antiplatelet. Konsumsi dari asam asetilsalisilat meningkatkan keparahan dan jumlah frekuensi
berulangnya epistaksis dan kebutuhan untuk intervensi bedah. Konsumsi antagonis vitamin K
diketahui menjadi faktor risiko signifikan dan independent untuk terjadinya epistaksis berulang
dengan odds ratio sebesar 11,6 (Beck, Sorge, Schneider, & Dietz, 2018).
Gambar 2.2. Penyebab dari Epistaksis (Beck, Sorge, Schneider, & Dietz, 2018).

Trauma

Trauma oleh diri sendiri yang berasal dari mengupil berulang dapat menyebabkan ulserasi pada
mukosa sptum anterior yang berujung pada perdarahan. Skenario ini seringkali ditemui pada
anak-anak berusia muda. Benda asing hidung dapat menyebabkan trauma lokal (selang
nasogastrik atau nasotrakeal) dapat menjadi penyebab dari beberapa kasus yang jarang pada
epistaksis. Trauma akut pada fasial dan nasal umumnya mengarah pada epistaksis. Jika
perdarahan berasal dari laserasi mukosa minor, biasanya akan berhenti dengan sendirinya.
Meski demikian, trauma fasial yang luas dapat menyebabkan perdarahan berat yang
memerlukan tampon hidung. Pada pasien ini, epistaksis yang memanjang dapat menunjukkan
adanya aneurisma yang mengalami trauma. Pasien yang sedang menjalani pembedahan hidung
harus diperingatkan mengenai adanya epistaksis. Sama halnya dengan trauma nasalis,
perdarahan dapat bervariasi mulai dari minor (akibat laserasi mukosa) hingga parah (akibat
dari transeksi dari pembuluh darah mayor) (Nguyen & Meyers, 2018).

Cuaca kering

Kelembapan yang rendah dapat mengarah pada iritasi mukosa. Epistaksis lebih sering terjadi
pada iklim kering dan selama cuaca dingin akibat dari dehumidifikasi mukosa nasal oleh sistem
penghangat ruangan (Nguyen & Meyers, 2018).

Obat-obatan

Obat nasal topikal seperti antihistamin atau kortikosteroid dapat menyebabkan iritasi mukosa.
Terutama jika diberikan secara langsung ke septum hidung bukannya ke dinding lateral, hal ini
dapat menyebabkan epistaksis ringan. Pengobatan seperti NSAID juga seringkali terlibat
(Nguyen & Meyers, 2018).

Abnormalitas septal

Deviasi septum (septum hidung terdeviasi) dapat menyebabkan abnormalitas dari aliran udara
nasal, mengarah pada kekeringan di mukosa hidung dan epistaksis. Lokasi perdarahan biasanya
berlokasi di anterior dari konka pada kebanyakan pasien. Tepi dari perforasi septum seringkali
berkoreng dan merupakan sumber umum terjadinya epistaksis (Nguyen & Meyers, 2018).

Inflamasi

Rhinosinusitis akibat bakteri, virus, dan alergi menyebabkan inflamasi pada mukosa dan dapat
mengarah pada epistaksis. Perdarahan pada kasus-kasus tersebut biasanya minor dan sering
bermanifestasi sebagai cairan hidung bercampur darah. Penyakit granulomatosis seperti
sarkoidosis, granulomatosis Wegener, tuberkulosis, sifilis, dan rhinoskleroma seringkali
mengarah pada terbentuknya krusta dan mukosa yang kering dan dapat menyebabkan
epistaksis berulang. Bayi muda dengan refluks gastroesofagus ke dalam hidung dapat memiliki
epistaksis sekunder akibat inflamasi (Nguyen & Meyers, 2018).

Tumor

Tumor jinak dan maligna dapat bermanifestasi sebagai epistaksis. Pasien yang mengalami
mungkin memiliki tanda dan gejala obstruksi nasal dan rhinosinusitis yang seringkali
unilateral. Rhabdomyosarcoma intranasal, meskipun jarang, sering dimulai di area nasal,
orbita, atau sinus terutama pada anak. Angiofibroma nasofaring juvenile pada remaja pria dapat
menyebabkan perdarahan hidung berat sebagai gejala awalnya (Nguyen & Meyers, 2018).
Penyakit darah

Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan riwayat keluarga positif, mudah
lecet, atau terjadi perdarahan memanjang dari trauma kecil atau pembedahan kecil. Contoh dari
gangguan perdarahan kongenital misalnya hemofilia dan penyakit Willebrand. Koagulopati
yang didapat bisa saja primer (akibat dari penyakit) atau sekunder (akibat dari pengobatan).
Diantara koagulopati yang didapat yang sering terjadi adalah trombositopenia dan penyakit
liver dengan efek selanjutnya yang berupa penurunan faktor koagulasi. Bahkan pada
ketidakhadiran penyakit hati, konsumsi alkohol telah dikaitkan dengan koagulopati dan
epistaksis. Penggunaan antikoagulan oral berhubungan dengan risiko epistaksis (Nguyen &
Meyers, 2018).

Abnormalitas vaskular

Penyakit pembuluh darah arteriosklerosis dipertimbangkan sebagai alasan terjadinya epistaksis


pada orang tua. Telangiektasis hemoragik herediter (Osler-Weber-Rendu syndrome)
merupakan penyakit dominan autosomal yang berkaitan dengan perdarahan berulang dari
anomali vaskular. Kondisi ini dapat mempengaruhi pembuluh darah mulai dari hanya kapiler
hingga arteri, mengarah pada terbentuknya telangiektasis dan malformasi arteri vena.
Pemeriksaan patologis pada lesi tersebut mengungkap kurangnya jaringan elastik atau
muskular di dinding pembuluh darah. Sebagai hasilnya, perdarahan dapat terjadi dengan
mudahnya bahkan hanya melalui trauma ringan dan cenderung sulit berhenti spontan. Berbagai
sistem organ seperti respirasi, gastrointestinal, dan genitourinari mungkin terlibat. Epistaksis
pada orang-orang seperti itu beragam dalam hal keparahannya namun seringkali umumnya
berulang. abnormalitas pembuluh darah yang lainnya yang merupakan predisposisi terhadap
terjadinya epistaksis termasuk neoplasma pembuluh darah, aneurisma, dan endometriosis
(Nguyen & Meyers, 2018).

Migrain

Anak dengan nyeri kepala migrain memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami
epistaksis berulang dibandingkan dengan anak tanpa penyakit tersebut. Pleksus Kiesselbach,
yang m erupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, dianggap berperan dalam patogenesis
dari migrain (Nguyen & Meyers, 2018).

Hipertensi
Hubungan antara hipertensi dan epistaksis seringkali salah dimengerti. Pasien dengan
epistaksis seringkali muncul dengan peningkatan tekanan darah. Epistaksis lebih sering pada
pasien hipertensi, mungkin akibat dari kerentanan vaskular akibat dari penyakit jangka
panjang. Hipertensi, walaupun begitu, jarang menjadi penyebab langsung dari epistaksis. Lebih
sering, epistaksis terkait dengan kecemasan menyebabkan peningkatan dari tekanan darah.
Terapinya, karena itu, harus fokus pada mengontrol perdarahan dan mengurangi kecemasan
sebagai tujuan utama dalam mengurangi tekanan darah (Nguyen & Meyers, 2018).

Penyebab Idiopatik

Penyebab dari epistaksis tidak selalu berhasil diidentifikasi. Sekitar 10% pasin dengan
epistaksis tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi bahkan setelah pemeriksaan
menyeluruh (Nguyen & Meyers, 2018).

Anda mungkin juga menyukai